Cie gercep ^_^
Sebelum baca, jawab dulu pertanyaan ini : "Bias lu siapa?"
...
KALO NEMU TYPO KASIH TAU YA🤗
Selamat membaca ❤️
____________
Nalla merasakan menindih seseorang. Debaran jantungnya semakin kuat saat ia merasakan aroma mint yang begitu dekat dengan dirinya. Matanya terbuka perlahan, betapa kagetnya ia yang kini sudah berada di pelukan seseorang, yang mana ad Alan di bawahnya sedang memegang erat pinggang cewek itu.
Keduanya saling beradu tatap lama.
Tidak ada yang mengalihkan tatapan saat ini, mereka sama-sama terkunci. Apalagi saat ini tidak ada jarak di antara mereka. Nalla merasakan hidungnya menyentuh hidung Alan.
"So beautiful, my girl..."
Desisan itu terdengar dari mulut Alan hingga Nalla tersadar dan dengan cepat cewek itu menarik tubuhnya ingin berdiri, namun gagal. Alan menahan tubuhnya.
Alan tidak mengizinkannya berdiri.
Membuat cewek itu mencoba menstabilkan debaran jantungnya, namun gagal. debaran itu semakin kuat hingga ia bisa melihat Alan yang kini menatapnya dengan tatapan yang tidak dapat di artikan.
"Gue gak bisa nahan rindu sama lo." Ucap Alan dengan suara seraknya, tangannya mulai mengeratkan pelukannya pada Nalla dan menatap cewek itu dengan intens.
Entahlah, jantung Nalla mungkin akan seperti itu dalam waktu yang sangat lama.
Nalla membalas ucapan Alan hanya dengan senyuman tipis, ia tak sanggup mengeluarkan perkataannya.
"Jangan senyum!" Perintah Alan.
Nalla kembali mendatarkan wajahnya, menatap Alan dengan kebingungan.
"Kenap-"
Deg!
Nalla memberhentikan ucapannya saat melihat Alan memiringkan kepalanya, menekan tengkuk Nalla perlahan dan mengarahkan bibirnya dengan bibir cowok itu untuk menyatu.
Dengan cepat, Nalla menutup matanya, serta tangannya yang sudah gemetar hebat memegang kuat kedua bahu Alan.
Anhar yang sedari tadi menganga lebar akhirnya menutup mulut sambil terus beristighfar dan menutup kedua matanya. "Astaghfirullah, ke-uwuan apalagi ini!" Ucapnya sambil mondar mandir diatas balkon dengan kedua mata yang senantiasa terpejam.
Suara bariton beberapa orang terdengar mendekat, hingga Anhar membuka matanya lalu menatap geram kepada dua orang di bawah sana.
"WOI, KABUR LO ALAN, BODYGUARD BOKAP LO OTW KESINI!" Gertak Anhar panik.
"CEPET ANJING, UWUW NYA NTAR AJA BEGO!" Ucap lagi Anhar dengan sangat kesal.
Padahal sedikit lagi Alan akan mencium cewek itu. Namun, suara Anhar membuat Nalla langsung bangkit berdiri dengan panik, begitupun Alan.
"Siapa disana?" Teriak salahsatu bodyguard yang masih berada di halaman depan, namun kakinya mencoba melangkah pelan menuju halaman samping, diikuti satu temannya.
"CEPET KABUR NJING!" Gertak Anhar lagi.
Dengan cepat Alan menarik tangan Nalla menuju jalan pintas yang ada di belakang rumahnya.
Anhar yang berada di atas balkon menjadi greget sendiri. Wajahnya seketika panik melihat dua orang yang berjalan di bawah sana.
"Hufhh..." Anhar bernapas lega, ternyata Alan dan Nalla sangat cepat menghilangkan jejak mereka.
"KAMU!"
Anhar terlonjak kaget, lalu melihat tepat ke bawah. Dua orang lelaki berbadan besar itu menatap tajam ke arah Anhar.
"Suara apa tadi?" Tanya seorang bodyguard berkepala pelontos.
Anhar mencoba memberanikan diri. "Lah, mana saya tahu, Saya kan ikan." Ucap Anhar sambil mencebikan bibirnya, setelah itu ia langsung berlari masuk ke dalam kamarnya. Mengunci pintu balkon dengan rapat serta tidak lupa menutup tirai gorden.
"Sial banget idup gue." Ucap Anhar sambil terduduk di lantai kamarnya.
______________
Sesampai di mobil, Alan membukakan pintu untuk Nalla, lalu buru-buru Alan masuk ke dalam mobil.
Baru saja Alan akan menghidupkan mesin mobil. Tangannya di jegat oleh Nalla. Sontak Alan menghentikan aktivitasnya dan kini menatap Nalla.
Cewek itu menatap Alan dengan tatapan berbeda. "Lan, kayaknya gue balik aja deh ke rumah." Ucap Nalla setelah berpikir panjang sejak tangannya di tarik oleh Alan sewaktu mereka berlari tadi.
Alan menatap Nalla lama tanpa berkata apapun.
"Gue-" Nalla menunduk, memainkan jari-jarinya, lalu kembali menatap Alan. "Gue gak bisa pergi sama lo." Ucap Nalla dengan mata berkaca-kaca.
"Kenapa?" Tanya Alan to the point.
"Soal kejadian lo sama Leona itu emang gak benerkan" tanya Nalla memastikan, namun bisa di lihat dari wajah Alan saat ini yang berubah drastis. Rahangnya mengeras, pandangannya berubah dingin menatap Nalla.
"Lo gak percaya sama gue, Nal?" Tanya Alan dingin.
"Bukan-" Nalla menggeleng antusias, "gue cuman takut Leona ngelakuin hal buruk ke elo, Lan. Gue gak mau Leona ambil lo dari gue, gue-" Nalla yang tiba-tiba meneteskan airmatanya. "Gue sayang sama lo." Ucapnya lagi.
Alan terdiam, menatap Nalla dengan sangat dalam.
"Alan, gue mohon jangan ninggalin gue. Gue perlu lo," ucap Nalla dengan gemetar, "ada banyak hal yang harus gue semogakan sama lo, ada banyak hal juga yang harus gue ceritain tentang derita gue ke elo," sekali lagi, Nalla terisak-isak, tubuhnya merasakan banyak gemetar yang kuat seolah ia sedang perlu seseorang. "Gue gak mampu nanggung ini sendirian, Alan. Gue butuh lo. Dan gue-"
Alan menunggu ucapan Nalla, matanya masih menatap Nalla dalam.
"Gue gak mau kehilangan lo, selamanya."
Mendengar itu, dengan cepat Alan memeluk Nalla dengan erat, seerat-eratnya hingga tak ada orang yang bisa memisahkan pelukan mereka.
Alan akui kalimat yang Nalla sebutkan tadi adalah kalimat yang juga ingin ia ungkapkan pada Nalla.
Ya, dirinya tak akan biarkan siapapun yang melukai cewek yang sedang berada di pelukannya saat ini.
_______________
Lagi dan lagi, kedua orang tua Dinda kembali berkelahi. Dinda mengurung diri di kamarnya dengan kedua tangan ia lipat di depan lutut sambil berjongkok di lantai.
Tangisan pelannya terdengar menyakitkan. Hingga barang yang ada di dekatnya ia hempaskan begitu saja. Bahkan, beberapa bukunya berserakan di lantai. Tangannya mendadak dingin dan bergetar. Lalu, dengan hati-hati Dinda menatap jam yang ada di dinding.
Pukul setengah sembilan.
Tangannya mulai mengepal kuat, ia tidak bisa diam saja di dalam rumah neraka ini.
Cepat-cepat dirinya mengambil ponsel yang tak jauh dari ia duduk.
Mencari nomor seseorang yang bisa membantunya.
Alisa? Dinda menggeleng, baru ia ingat bahwa malam ini Alisa sedang menemani kakaknya berbelanja.
Ernon? Tidak, cewek itu bahkan tidak di perbolehkan untuk mengajak temannya menginap di rumah. Ya, Ernon terbilang anak yang sangat kuat batasannya oleh kedua orang tua.
Nalla? Ah, tidak juga. Dinda ingat bahwa cewek itu sedang berada di rumah mertuanya.
Gibran? Cowok itu tinggal sendirian di rumahnya. Bisa bahaya.
Dinda tak bisa berpikir panjang lagi saat ini. tubuhnya sudah lemah, tenggorokannya sangat kering serta keringat membanjiri wajahnya.
"IYA, KALAU KAMU JUJUR TENTANG PEREMPUAN ITU, AKU GAK AKAN KAYAK GINI, MAS!" Teriakan Mama Dinda menggema. Membuat Dinda kembali menjatuhkan ponselnya dan menutup telinga.
"ALAH, MANA BUKTINYA? KAMU JANGAN ASAL NUDUH!"
Pranggg!
Dinda semakin bergetar hebat, jantungnya berdegub lebih keras, matanya kembali berkaca-kaca.
"BILANGIN SAMA SELINGKUHAN KAMU, HARTA INI SEBAGIAN MILIK AKU, JADI DIA JANGAN MIMPI KALAU MAU NGAMBIL!" Teriak lagi Mama Dinda.
Dinda benar-benar tak tahan kali ini, ia mengambil ponselnya lalu segera menelpon random seseorang, Matanya melotot ketika ia melihat siapa yang ia telepon.
Rava?
Ya, tadi sebelum dirinya turun dari mobil Gibran sehabis pulang dari rumah mertua Nalla, dengan santainya Gibran merebut ponsel Dinda dan memasukan nomor Rava, entah mendapatkan dimana nomor itu, yang jelas Gibran itu punya 1001 cara mendapatkan apapun yang ia mau.
Dan sekarang? Nomor itu benar-benar Dinda hubungi.
Prang!
Dinda kembali memejamkan matanya, ponselnya kini sedang berada di telinga kanan, Berharap cowok misterius itu menolongnya.
"Siapa?"
Jantung Dinda berdebar mendengar suara dingin itu. Dinda segera menepis tentang hal itu sekarang.
"To-tolongin gue Va, gue Dinda. Yang lo tolongin di UKS. Gue-"
"Gue sibuk."
"Va, jangan di matiin dulu. Tolong gue, gue perlu seseorang nolong gue, gue terjebak disini. Di komplek merian nomor 45. Gue perlu bantuan-"
Tut....
Rava memutuskan sambungan teleponnya. Sontak Dinda menurunkan perlahan ponselnya, menatap kosong ke depan.
Hatinya mendadak sakit.
Dinda merasakan luka dua kali lipat. Ia benar-benar paham sekarang, ternyata inilah hidup. Kita benar-benar berada di dalam kondisi terpuruk dan semua orang benar-benar meninggalkannya.
Ia juga merasakan cinta bertepuk sebelah tangan. Begitu sakit, dan mengerikan.
Bisakah ia melupakan Rava saat ini?
Tiba-tiba ponselnya berdering, dengan cepat Dinda segera mengangkatnya, berharap itu adalah orang yang sama yang ia hubungi tadi.
Dan ternyata...
Gibran.
Dinda segera mengangkatnya.
"Gib, gue-"
"Yaelah, santai. Gue cuma tes doang nomor gue yang ini masa tenggang atau enggak, eh rupanya enggak..." Ucap Gibran sambil tertawa. "Syukur alhamdulillah gue gak jadi ngisi pulsa, males banget keluar ru-"
"GIB, TOLONGIN GUE!"
"Lo kenapa?"
"Gib, bawa gue pergi dari sini, gue ketakutan Gib, gue kejebak di rumah neraka ini, gue gak sanggup Gib, orang tua gue-"
"Otw!"
_____________
Kini kedua pasangan itu sedang berada di tepi laut. Angin malam dan ombak itu akan menjadi teman mereka utnuk melewati satu malam ini.
Ini adalah tempat yang bisa membuat siapapun tenang, begitupun Alan dan Nalla yang selalu menyempatkan diri ke tempat ini jika mempunyai masalah.
Nalla merasakan ketenangan yang kuat saat kedua tangan itu menyatu, membuat Nalla menahan senyumnya.
Ya, Alan sedari tadi menggenggam tangannya.
"Ceritain tentang semua masalah lo sama gue, gue gak mau lo nanggung itu sendirian." Ucap Alan yang terdengar serius.
Nalla menguatkan genggamannya pada tangan Alan.
Lalu Alan menarik Nalla untuk duduk di atas batuan besar yang tak jauh dari mereka berdiri. Menghadap ke laut, melihat ombak yang sedang asik menari di sana seperti tanpa beban.
"Ini masalah keluarga gue."
"Gue bakal dengerin apapun itu."
Mendengar jawaban Alan, ada kelegaan di dalam hati Nalla.
"Lo percaya gak? Kalo selama ini gue cuma pura-pura benci ke bokap gue?" Ucap Nalla yang kini mulai berkaca.
Alan bisa merasakan itu.
"Gue tau, Lan. Papa emang jahat banget, Papa udah buat Mama merasa luka yang hebat, Papa juga udah ninggalin gue, tapi-" Nalla terdiam sebentar, menatap ke arah laut, lalu kembali menundukkan kepala, dadanya merasa sesak. "Gue gak mau kehilangan dia, gue sayang banget sama dia, seburuk apapun Papa pernah lakuin ke gue dan Mama dulu, tetap gak bisa gue buat benci dia." Ucapnya sambil menahan tangisnya.
Dengan cepat Alan langsung menarik cewek itu kedalam pelukannya. Memeluknya dengan sangat erat, hingga Nalla membalas pelukan Alan dan tangisannya tumpah saat itu juga.
"Nangis aja, gue gak akan ngelarang lo. Asal lo nangis dalam pelukan gue." Ucap Alan sambil memejamkan matanya, mencoba merasakan kesedihan dalam diri Nalla.
"Alan, kalo gue izinin Bokap gue buat kembali sama Mama gue, apa di kemudian hari Bokap gue akan melakukan hal yang sama?"
Mendengar itu Alan terkejut, lalu melepaskan pelukannya dari Nalla.
"Istrinya?" Tanya Alan.
Nalla menghela napas pelan, "Bokap gue udah ceraiin dia. Bokap tau sebenarnya Diana cuma mau harta aja, gak ada cinta di antara mereka." Ucap Nalla dengan emosi.
Alan kembali memeluk Nalla.
"Alan lo belum jawab pertanyaan gue!" Ucap Nalla kesal.
Alan mengeratkan pelukannya kembali.
"Cowok bakal ngerasain kehilangan orang yang dia sayang ketika sudah puas dengan pelampiasannya."
"Gue gak paham." Ucap Nalla dengan polosnya.
"Yaudah."
Nalla berdecak kesal. "Kok gitu sih!"
"Lama mana? Bokap sama nyokap lo, atau Bokap lo sama Diana?" Tanya Alan sambil menaikan sebelah alisnya.
"Ya jelas sama nyokap gue lah, pertanyaan lo aneh banget sih!" Ucap Nalla sambil mencebikan bibirnya kesal.
"Itu yang gue bilang sebelumnya. Bokap lo lebih milih balikan sama nyokap lo dari pada harus cari perempuan lainkan? Banyak cowok di luar sana yang pasti akan cari perempuan lain, Nal. Mereka akan mikir dua kali untuk mengulang dengan mantan istrinya. Tapi Bokap lo? tandanya bokap lo masih sayang sama nyokap lo, dan dia menyesal telah berbuat demikian." Ucap Alan memperjelas.
Nalla mengangguk mengerti.
"Jad-jadi Bokap gue nyesel?"
"Bisa jadi." Ucap Alan sambil merangkul Nalla, merapatkan tubuh cewek itu di dekatnya.
Nalla menyandarkan kepalanya di bahu Alan, menatap ombak laut yang terus saja menari disana. "Kayaknya gue harus nerima Bokap kembali sama Nyokap deh."
"Kok lo yang ngatur? Emang Mama udah mau balikan?"
Nalla menepuk jidatnya. "Bego banget gue, lupa nanya."
"Lain kali, bego jangan di pelihara!"
Nalla mengecutkan bibirnya, lalu bangun dari pelukan Alan, menatap cowok itu dengan kesal.
Alan justru malah menaikan sebelah alisnya.
"Kenapa lo nyuruh-nyuruh gue buat gak pake pewarna bibir, hah!" Nalla langsung menutup mulutnya, keceplosan.
Entahlah, Nalla memang bego!
"Eh, udah ya skip aja kalo itu. Mending kita ke restoran, gue laper banget, please..." Ucap Nalla mengalihkan topik.
Alan masih menatap Nalla, membuat cewek itu mendadak risih. Dengan cepat, Nalla menarik tangan Alan. "Ayo, kita pergi ke restoran. Gue laper banget..." Ucap lagi Nalla sambil terus menarik tangan Alan.
Dengan mudahnya Nalla menarik tangan Alan menuju ke mobil.
Hingga saat Nalla akan membuka pintu mobil, Alan langsung menarik cewek itu mendekat ke arahnya. Seketika membuat jantung Nalla kembali berdebar dengan kuat, ia mendadak kaku.
"Kenapa lo nurut untuk gak pake pewarna bibir?" Tanya Alan dengan tatapan intens.
"Karena-"
"Apa?"
"Udah, Lan. Gue laper, ayo ke-"
"Jawab!"
Nalla terdiam, menatap Alan dengan takut.
Alan makin merapatkan tubuhnya pada Nalla, memegang kuat bahu cewek itu. "Gue yakin, kali ini lo akan balas Nal." Ucap Alan dengan suara seraknya.
"Balas? Balas ap..."
Nalla melototkan matanya ketika Alan kembali mencium bibirnya untuk yang kesekian kali.
Alan benar-benar merindukannya.
Lalu tangan cowok itu dengan kasar membuka pintu mobilnya, mendorong Nalla masuk ke dalam mobil itu tanpa melepaskan ciuman mereka.
_____________
Dinda lega ketika kedua orangtuanya sudah mulai tenang. buru-buru ia berjalan menuju pintu belakang, berniat kabur lagi untuk yang kesian kalinya.
Banyak yang mengatakan Dinda adalah anak manja, selalu di belikan apapun yang ia minta dan memiliki banyak fasilitas mewah di rumahnya. Kalian salah besar!
Dinda adalah Dinda. Cewek kuat yang selalu ceria didepan orang banyak. Cewek yang mudah tersenyum dengan tingkah konyolnya, cewek yang selalu bergaya layaknya seorang anak yang selalu di manjakan orang tua, serta cewek yang selalu menyembunyikan kesedihannya.
Ia tak pernah sekalipun berharap lebih kepada orang tuanya untuk menyayanginya. Ia hanya berharap dan terus berharap untuk kedua orang tuanya agar tidak bertengkar, apalagi bertengkar sewaktu dirinya berada dirumah.
Soal fasilitas, orang-orang pikir Dinda adalah anak orang kaya yang mempunyai banyak fasilitas mewah dan berbagai barang branded.
Itu benar.
Namun, Dinda akui yang sesungguhnya. Itu menyakitkan. Kedua orang tuanya selalu sibuk dengan bisnis mereka, tidak pernah memperdulikan dirinya.
Barang-barang itu hanya sebagai suapan agar Dinda tidak merasa kekurangan apapun.
Walau sebenarnya mereka tidak tahu, kasih sayang dan perhatian dari orang tua adalah nomor satu.
Dinda hebat, selama ini ia menutupi apapun itu dari semua orang.
Akhirnya, kakinya berhasil menjejakan ke tanah, tepat di taman belakang. Dengan cepat ia berlari menuju halaman depan sambil menarik koper kecilnya.
"OKE, SEKARANG APA MAU MU? CERAI?"
Dinda berhenti melangkah, airmatanya sedari tadi tak berhenti membasahi pipi, mengigit bibirnya dengan kuat.
Pasti sudah banyak tetangga yang mendengar itu. Ya, hampir setiap hari.
Dinda melanjutkan langkahnya yang terasa berat, tubuhnya sangat lemas.
Lalu detik berikutnya, Ia bernapas lega saat melihat Gibran bersama motornya berhenti di tepi jalan, melambaikan tangannya pada Dinda.
Namun, tangisan Dinda tak kunjung reda. Gibran mendekat ke arah cewek itu dan langsung memeluknya erat.
Dinda tidak menolak, ia membalas pelukan Gibran dengan sangat erat sambil tak berhenti menangis dalam pelukan cowok itu.
Tak jauh dari mereka berdiri, sebuah mobil hitam terparkir.
Cowok didalam mobil itu mengeratkan pegangannya pada stir mobil, menatap kedua orang disebrang sana dengan tatapan yang tak bisa di artikan.
Ya, Rava terlambat.
________________
NEXT ? VOTE & SPAM COMMENT 😍
Follow IG : @Nallan_Story
....