"I can prove it." -A
____________
Untung saja para tetangga daerah rumah Gibran memiliki rasa empati untuk berziarah kerumahnya.
Selesai dari pemakaman, Gibran membawa Nalla kerumahnya. Ia berutang budi dengan Nalla bahwa gadis itu sudah menemani dirinya hingga pemakaman sang kakak selesai.
"Kotak P3K ada dimana?" Tanya Nalla yang kini duduk di samping Gibran, tepatnya di sofa ruang tamu.
Gibran menunjuk sebuah lemari kecil yang tak jauh dari mereka.
Nalla berjalan dan mengambil kotak itu, lalu kembali ke samping Gibran. "Gue obatin ya, kalo gak pasti bakal infeksi." Ucap Nalla sambil membuka kotak itu dan mengambil sebuah kapas lebih dulu.
Baru saja akan mengarahkan benda itu ke sudut bibir Gibran, cowok itu langsung memegang tangan Nalla. "Gue bisa sendiri." Tolak Gibran.
Nalla memutar bolamatanya kesal. "Gib, jangan gitu, gue niat bantuin lo. Bisa gak kali ini aja?" Ucap Nalla serius.
Gibran menatap mata Nalla tanpa kedip, lalu ia mengangguk setuju.
Oke, Nalla mulai melakukannya. Semakin dwkat jarak diantara mereka, hingga akhirnya Nalla mendadak merinding sendiri, telinga sebelah kirinya terasa ada yang berbisik.
"Mau gue ceritain gimana kak Dea bisa kenal sama lo?" Bisik Gibran, tentu saja membuat Nalla mengangguk ingin. Tujuannya berada disini adalah juga untuk mencari tahu mengapa Dea bisa begitu mengenalnya.
Nalla berhenti mengobati luka Gibran, ia duduk seperti semula. Menghadap ke arah Gibran.
"Dia-" Gibran menjeda ucapannya sebentar, menatap Nalla intens. "Dia dulu pacar kakak lo, almarhum kak Angkasa."
Deg!
Nalla tercekat.
"Lo tau, mereka pacaran sudah hampir lima bulan, sampai akhirnya kak Angkasa memutuskan hubungan mereka." Ucap Gibran seperti menahan amarahnya.
Nalla menahan kagetnya. "Ke-kenapa?"
Gibran kembali menatap Nalla. "Kak Angkasa udah tau penyakit Kak Dea gak akan mudah sembuh, kayaknya dia gak suka sama cewek penyakitan." Ujar Gibran.
"Gib, Kakak gue gak gitu orangnya, dia-"
"Apalagi Nal? Lo jangan belaian orang yang kalo lo sendiri gak tau sifat aslinya gimana."
Nalla terdiam, benar. Memang benar. Bahkan, ketika ia mengingat kejadian dimana Alisa hampir saja dilecehkan oleh sang Kakak, dirinya pun masih keuh-keuh membela Angkasa.
"Itu sebabnya gue kasar sama lo, gue sering bully lo sejak SMA." Ucap Gibran dengan suara rendah. "Soal di SD, gue gak ada niatan apapun bully lo, karena-"
"Karena apa?" Tanya Nalla.
"Dari awal gue jumpa sama lo, gue udah suka sama lo, lo tau kan lo selalu sok kecantikan, manja dan cengeng, itu sebabnya gue selalu bully lo di SD, tujuan gue cuma satu." Ucap Gibran yang kini menatap Nalla dengan sangat lekat.
"Gue mau nyari perhatian sama lo."
Nalla masih diam sambil mengingat apa saja yang sudah Gibran lakukan padanya di SD dulu.
"Walaupun gue gagal, sampai SMP, SMA, gue selalu ikutin lo, dimana pun lo sekolah, tapi itu gak membuahkan hasil." Ucap Gibran menghembuskan napasnya.
"Sampai akhirnya Kak Dea cerita semu tentang dirinya dan Angkasa. Dan mulai masuk SMA, gue jadi tau apa yang harus gue lakuin ke elo."
Nalla memejamkan matanya sebentar, apa semua orang melampiaskan hukuman Angkasa padanya?
"Nal, lupain semua, jangan nambah beban di elo, gue anggap aja semua cuma masalalu." Ucap Gibran.
Nalla membuka matanya yang sudah berkaca-kaca.
"Jangan nangis, nanti dikira orang gue ngapa-ngapain lo lagi,"
Nalla menangguk, mengelap airmatanya lalu kembali mengambil kapas diatas meja.
Dengan cepat Gibran mengambil kapas itu. "Udah, Nanti aja. Kita makan di luar yuk, lo gak laper?" Ucap Gibran.
"Tapi luka lo?"
"Udah, nanti aja." Ucap Gibran berdiri, menarik tangan Nalla menuju keluar rumah.
____________
Alisa berjalan menuju kelas dengan wajah yang sangat tak bisa di artikan. Senyumnya merekah sepanjang perjalanan. Saat memasuki kelas, untung saja guru belum datang, ia lalu segera berjalan kearah Dinda dan Ernon berada.
"Dari mana aja lo?" Tanya Dinda kesal.
"Tau ni, gue kira lo di culik sama Riko." Ucap Ernon.
Alisa tak menjawab, ia malah senyum-senyum tak jelas dan duduk di kursinya. Tentu saja hal itu membuat Dinda dan Ernon semakin penasaran. Mereka berdua langsung membalikan kursi mereka dan menatap Alisa lekat.
"Lo kenapa?" Tanya Ernon sambil menyipitkan matanya.
Dinda menaikan sebelah alis. "Jangan bilang lo jadian ya sama-"
Dengan cepat Alisa membekap mulut Dinda menggunakan tangannya. "Lo bisa hati-hati gak sih ngomongnya, ntar mereka denger lagi." Ucap Alisa sambil melihat kearah teman-temannya yang lain.
Dinda langsung melepaskan tangan Alisa daei mulutnya. "Jadi benar? Lo jadian sama Riko?" Tanya Dinda dengan suara yang sangat pelan.
Alisa menggeleng.
"Terus?"
Alisa meringis, "Gu-gue baru pendekatan sama di-dia." Ucap Alisa sambil tercengir.
Dinda dan Ernon langsung memutarkan bola mata mereka malas.
"Kemarin bilangnya benci-benci tapi sekarang?" Ucap Dinda berlagak muak.
Alisa kembali tercengir. "Ya kan cinta bisa datang tiba-tiba."
"Tiba-tiba cinta datang kepadaku," nyanyi Ernon tak jelas.
"Yee, lu siapa yang datang? Pak asep?" Ejek Dinda lalu bahunya dipukul oleh Ernon.
"Mulut lu minta-"
"Gue boleh gabung gak?"
Alisa, Dinda dan Ernon saling pandang dengan diam. Apalagi Alisa, cewek itu benar-benar bingung langsung menarik Dinda dan Ernon mendekat ke arahnya.
"Dia kesambet atau gimana?" Bisik Alisa.
"Dia berantem sama Dini dan gengnya." Ujar Ernon.
"Dia juga bilang mau minta maaf sama Nalla, tadi." Sambung Dinda.
Tentu saja Alisa menahan kagetnya, segampang itu Chelin meminta maaf? Alisa kurang menerimanya, apalagi Nalla yang berhati batu.
Alisa kembali ke kursinya, menatap Chelin dengan pandangan tak suka. "Mau ngapain lo?" Tanya Alisa dengan cetus.
Chelin memandang Alisa agak takut. "Gu-gue mau bareng ka-kalian lagi." Ucapnya gugup.
Alisa memutar bola matanya. Lalu berdiri menatap Chelin dengan tajam. "Enak ya lo ngomong gitu, setelah lo ninggalin Nalla gitu aja, lo mutusin persahabatan gitu aja, lo pikir membangun persahabatan itu mudah? Sulit Chel, butuh waktu lama, dan lo segampang itu merusak?" Gertak Alisa membuat semua teman kelasnya mendadak heboh dan malah menonton dimana Alisa dan Chelin berada.
"Hajar, hajar, hajar..." Sorak beberapa teman cowok di kelas itu mengompori Alisa.
Dini dan gengnya berjalan mendekat ke arah kerumunan itu.
"Gue suka gaya lo Lis, kayaknya ni cewek perlu di bully sekelas deh. Muna banget soalnya." Ujar Dini sambil menatap aura permusuhan ke arah Chelin, namun Chelin tetap menunduk dalam.
"Gue ada pantun bro." Ucap Beni yang kini maju selangkah, tepatnya di antara Alisa dan Chelin.
"Apa bro, apa? gas lah, gasss." Sahut lagi Dion heboh.
Tentu saja beberapa laki-laki juga ikut heboh dan mulai menyimak apa yang akan Beni ucapkan.
"Untuk apa burung gelatik, kalau tidak bersuara."
"Cakep." Jawab kompak para cowok.
"Untuk apa wajahnya cantik," tunjuk Beni tepat ke wajah Chelin, "kalau hatinya tidak setia."
"Hahahahahahahaa." Sontak tawa para lelaki pecah, apalagi ketika melihat wajah Chelin yang mulai mengkerut dan menggeram, namun ia masih menunduk, menahan malu.
Dini tersenyum miring. "Makanya jadi cewek jangan sok banyak gaya, di bully kan lo!"
Chelin meneteskan airmatanya, lalu berlari keluar kelas, hingga semua orang kembali menyorakinya.
_______________
Hari sudah gelap, jam menunjukan pukul 19.00 WIB. Nalla dan Gibran kini sedang berada di sebuah taman yang tak jauh dari rumah Gibran.
Malam ini, banyak sekali Gibran bercerita tentang masalah pribadinya kepada Nalla. Salahsatunya menceritakan tentang kedua orangtuanya yang sudah tidak memperdulikannya sejak kecil.
Ya, Gibran adalah anak mandiri. Ia di rawat oleh sang kakak hingga remaja seperti sekarang ini. Bahkan, Gibran juga sudah lupa bagaimana rupa kedua orangtuanya.
"Gib, gue tau ini berat. Dan gue tau lo itu kuat, lo pasti bisa melewati ini. Lo yakinkan takdir tuhan itu pasti baik?" Ucap Nalla meyakinkan Gibran.
Gibran terdiam beberapa saat, hingga ia mengangguk.
"Atau kita sama-sama cari keberadaan orang tua lo, gimana?" Ide Nalla sambil membinarkan matanya.
Ekspresi Gibran yang tadinya tenang, kini menatap Nalla dingin. "Buang ide buruk lo, sampai mati juga gue gak akan mau ketemu sama dua orang itu." Bantah Gibran tegas.
"Tapi Gib, mereka kan orangtua lo, lo harusnya-"
"Jangan sok ceramahin gue, kalo keluarga lo aja udah gak bener."
Nalla tercekat.
Gibran yang sadar dengan ucapannya yang keterlaluan langsung menarik rambutnya sendiri dengan kasar. Memejamkan matanya sebentar lalu kembali menatap Nalla. "G-gue minta maaf, gue gak bermaksud, Nal." Ucap Gibran penuh penyesalan.
Gibran memperbaiki tempat duduknya yang kini sepenuhnya menghadap ke arah Nalla. "Nal, gue bersumpah gak bermaksud, Nal." Ucap Gibran.
"Lo gak berubah Gib, apa lo masih dendam sama kak angkasa dan lampiasin ke gue?" Tanya Nalla dengan mata yang berkaca-kaca.
"Nal, gue-"
"Oke, lo gak salah. Gue emang pantas dapat perlakuan kayak gini, menampung kesalahan kak Angkasa." Ucap Nalla sambil berdiri.
Gibran ingin mencekal tangan Nalla, tapi ia urungkan karena ponsel Nalla tiba-tiba berbunyi.
Nalla mengangkatnya.
"Halo?" Ucap Nalla lebih dulu.
"PULANG!"
Nalla tidak menjawab, pikirannya terus saja berputar-putar mengingat kejadian tadi siang, dimana Alan menghabisi Gibran dengan banyak pukulan, serta Nalla juga mengingat ucapan Gibran barusan tentang keluarganya yang berantakan.
Nalla meneteskan airmatanya tiba-tiba, semua orang di sekelilingnya mendadak menjadi mengerikan.
"DENGER GAK? GUE BILANG PULANG YA PULANG!" Tegas Alan disebrang sana dengan suara yang menakutkan bagi Nalla.
"Iya, gue pulang sekarang." Ucap Nalla dengan sangat pelan.
Lalu Nalla langsung menutup telepon tersebut, memasukan ponselnya ke dalam tas sekolahnya. Baru Nalla menyadari, malam ini ia masih menggunakan pakaian sekolah putih abu-abu.
"Nal, gue anter ya." Tawar Gibran yang kini ikut berdiri.
Nalla menatap Gibran tajam. "gue bisa pulang sendiri." Cetus Nalla yang kemudian pergi meninggalkan Gibran sendirian.
Gibran akui ini adalah kesalahannya.
_______________
Alan berbaring di atas sofa sambil menangkat kakinya ke atas meja, tepatnya didepan televisi yang sedang menyiarkan berita malam. Alan tidak menontonnya, ia sedang menatap ponselnya, menelpon Nalla berulang kali dan nihil, tidak ada jawaban dari cewek itu.
Tiba-tiba bel apartemennya berbunyi, dengan cepat Alan bangun dan berjalan menuju pintu.
Ia pikir itu adalah Nalla, namun disana berdiri seorang cowok memakai topi hitam sambil tersenyum sangat ramah kepada Alan.
"Woi, apa kabar lo?" Ucap cowok itu sambil memukul bahu Alan dengan akrab.
Alat menyipitkan matanya, lalu kembali berwajah biasa. "Sejak kapan lo di Jakarta?"
Anhar, cowok itu tidak menjawab, ia malah nyelonong masuk kedalam dan meletakan sebuah paperbag di atas meja. "Ini, makan. Gue bawa makanan. Oh iya, Nalla mana?" Tanya Anhar sambil mengarahkan pandangannya keberbagai tempat.
"Gue gak suka ngalihin pembicaraan." Gertak Alan.
"Oke, gue kesini karena sekolah gue lagi libur. Dan ya, nyokap lo nyuruh gue kesini, katanya biar lo ada temennya." Cengir Anhar yang kini sibuk berjalan ke berbagai sudut ruangan, melihat-lihat benda-benda yang tersusun rapi disana.
"Lo pikir gue bocah?" Tanya Alan menatap kesal ke arah Anhar.
"Eh iya, lu kan udah ada bini. Oh iya, gue mau minta minum," ujar Anhar yang kini berjalan ke dapur dan menghilang dari pandangan Alan, membuat cowok itu menggeram sendiri, mengapa disaat ia sedang ada masalah, sepupu gilanya itu muncul secara tiba-tiba.
Baru saja Alan akan kembali duduk ke sofa, bel pintu kembali berbunyi.
Tentu saja Alan langsung berjalan kearah pintu kembali dan membukanya.
Ya, yang ia lihat adalah Nalla. Cewek yang kini berdiri sambil menunduk, mengeratkan tangannya pada tali tas.
"Ingat pulang?" Tanya Alan dingin.
Nalla kini menatap Alan dengan kesal. "Udah ya, gue gak mau ribut lagi. Gue capek." Ucap Nalla sambil menahan tangisnya, lalu berjalan melewati Alan.
Tidak mau kalah, Alan mencekal tangan cewek itu dan kembali menghadapnya. "Sejak kapan lo pacaran sama Gibran?" Tanya Alan.
Nalla tertawa hambar.
Lalu ia kembali berwajah serius, menatap Alan yang juga menantangnya kali ini. "Lo kenapa segitunya ngehajar Gibran? Lo gak tau kakaknya baru aja meninggal, lo gak-"
"Innalilahi wainna ilaihi raji'un. Tapi sorry, gue gak kenal dan gak pengen tau apa penyebabnya. Gue cuma ingetin lo jangan pernah deket sama tuh cowok." Ujar Alan.
Nalla terdiam.
Alan maju lebih dekat, merapatkan tubuhnya dengan Nalla. "Dari kapan kalian pacaran?" Tanya Alan dengan suara yang sangat pelan namun terdengar horor.
"Gue gak pacaran sama dia, gue cuma nganterin dia ke makam-"
"Gue gak suka lo deket-deket dia." Gertak Alan yang langsung memotong ucapan Nalla.
Alan memegang tali tas Nalla lebih kuat dan menariknya lebih dekat. "Gue cinta sama lo."
Deg!
Nalla terdiam beberapa saat, hingga akhirnya kembali menatap kesal ke arah Alan. Ia tahu, semua cowok hanya bisa mengatakannya dengan mudah.
"Semua cowok pada dasarnya memang suka bicara kayak gitu, tapi-"
"Gue bakal buktiin." Ucap Alan lagi sambil menatap mata Nalla intens.
Oke, Nalla berusaha tidak gugup di pandang seperti itu, ia harus menetralkan jantungnya juga yang mulai berdetak tak karuan.
"Iya, gue perlu bukti." Tantang Nalla dengan dadanya yang naik turun, dan ia memberanikan diri menatap Alan.
"Lo yakinkan gak akan nyesel?" Tanya Alan yang kini menguatkan pegangannya pada tali tas Nalla, menariknya lebih dekat hingga tak ada jarak di antara mereka sekarang.
"Gue gak akal nyesel, buktiin kalo omongan lo itu bukan candaan Lan!" Ucap Nalla yang kini hampir menangis, matanya sudah berkaca-kaca, namun ia menahannya agar tak tumpah.
"Gue bakal buktiin kalo gue emang cinta sama lo, gue harap lo gak akan nyesal dan-"
"Halo, Nalla. Lo udah pulang? Anjir, gue kangen banget sama lo, eh kalian ngapain woi? Masih ada gue kali." Ujar Anhar yang keluar dari arah dapur dan berjalan menuju dimana Alan dan Nalla berada.
Nalla beralih menatap Anhar. Ia menahan kagetnya.
Anhar disini?
Berbeda dengan Alan, cowok itu masih merapatkan tubuhnya dengan Nalla, menatap Nalla dengan tatapan sangat intens.
"Anhar, lo bisa pulang sekarang!" Perintah Alan tanpa mengalihkan tatapannya dari Nalla.
"Gue kan belum ngobrol sama Nalla, gue-"
"PULANG GUE BILANG!"
Anhar terdiam, lalu detik berikutnya ia berjalan cepat ke arah pintu dan membukanya perlahan. "Nal, besok gue bakal kesini lagi, ada hal-"
"PULANG!" Gertak Alan lagi.
Dengan cepat Anhar langsung menutup pintu dan keluar dari Apartemen tersebut.
Nalla kembali menatap Alan. "Apa yang akan lo buktiin? Lan, omongan cinta aja gak cukup-"
"Gua bakal buktiin sekarang." Ucap Alan yang kini menarik paksa tangan Nalla menuju lantai atas.
Apa yang akan Alan lakukan padanya?
Nalla menepis pikiran buruknya.
Cie, di gantungin🙈
____________
FOLLOW IG : @Nallan_Story
Mau tanya dong, hobi kalian apa?
🍁
UPDATE PUKUL : 00.58 WIB
(8,Nov,2020)
NEXT ? VOTE AND COMMENT
TYPO BERTEBARAN