Baru semalam Heksa bilang akan banyak hal yang harus kami hadapi. Pagi ini, ucapannya terbukti. Tatapan dan seringaian para Anggota yang berpapasan kerasa beda. Hanya karena mereka cowok sehingga lebih kelihatan acuh. Tapi Anggota cewek, sebagaimana umumnya di sekolah, berbisik-bisik saat gue lewat.
Gue pikir itu wajar. Keburukan akan jadi santapan lezat orang-orang. Seperti makanan, hal itu juga akan kadaluarsa pada waktunya. Jadi untuk sekarang gue hanya berusaha mengabaikan. Yang paling penting, enggak akan ada yang berani macam-macam karena mereka taunya ini anak Heksa. Lagipula mereka juga sudah enggak perawan (mungkin). Ingat kan ujian ketiga waktu disuruh masuk ke kamar, menerima apapun yang dilakukan cowok-cowok di sana? Setiap Angggota cewek harus melalui ujian itu.
Della masih setia di samping gue. Menjadi saksi bahwa berita hamil ini menyebar dengan sangat cepat. Dia bersumpah menutup mulut seharian kemarin dan menduga dari Suster Rara semua ini bermula.
“Tapi Nyx,” kata Della pelan, cuma cukup untuk didengar berdua. Dia menatap sekeliling lalu mendekatkan mulutnya ke telinga gue. “berita yang gue denger, lo hamil anak Heksa. Emang iya? Rasanya ekspresi kecewa Heksa tempo hari, gak sinkron kalo itu beneran anak dia.”
Begitu Della menjauh, gue bisa lihat raut penasaran sekaligus bingung bermain dalam wajahnya. Gue mengedikkan bahu. “Lo tahu jawabannya, Del.”
Della menghela napas. “Bukan, ya. Tapi kenapa beritanya malah kayak gitu?”
“Gue gak tau. Bagi gue ini gak masuk akal.” Gue mendesah.
“Mungkin Suster Rara ngarang cerita ke orang-orang.”
Gue sengaja berhenti melangkah, begitu juga Della. Lapang latihan sudah cukup dekat tapi obrolan kami belum tuntas. Enggak adil rasanya kalau harus menimpakan berita ini ke Suster Rara, dia sudah cukup baik ke gue. “Sejujurnya, semalem gue dibawa Heksa ke rumahnya.” bisik gue.
Della menutup mulut dengan tangan, kaget. Gue menghargai usahanya menahan teriakan untuk menghindari perhatian. “Demi apa?!” Giginya rapat.
“Jangan minta cerita di sini.” Dengan gusar gue menatap sekitar. Walaupun memang sepi tanpa seorang pun yang lewat, namun agak berbahaya juga.
“Ok,” Della mengangguk, menelan ludah. “Kalo gitu, bisa dipastiin berita ini menyebar, dari pelayan-pelayan di rumah Gandewa.”
Itu lebih masuk akal. Meski memang rumah Gandewa kelihatan sepi, gue enggak bisa menjamin berapa banyak telinga pekerja di sana, yang mendengar percakapan menegangkan kemarin.
“Lo beneran mau latihan?” Volume suara Della kembali ke normal.
Gue ngangguk. “Why not?”
“Ya udah deh, terserah lo aja.”
Hanya perlu waktu singkat untuk menyelesaikan perjalanan dan sampai ke lapang latihan. Anggota cewek sudah berkumpul, beberapa melakukan pemanasan. Oh ya, Anggota cowok itu latihan di lapang berbeda. Tapi kalau Miko sama Della memutuskan latihan gabungan, kita bakal pindah ke lapang cowok.
“Yang belum pemanasan, pemanasan dulu!” Della berseru lantang.
Gue menjauh sedikit, mulai melakukan pemanasan. Seperempat Anggota cewek mencuri-curi pandang- tepatnya ke perut gue. Mereka pasti penasaran. Padahal kan perut gue masih rata sekarang. Harus nunggu beberapa minggu lagi biar kelihatan.
“Ok sebelumnya, gue mau ngasih tau rencana latihan hari ini.” teriaknya lagi. “Gue sama Miko sepakat, kalo kita jangan cuma jago beladiri dengan tangan kosong, tapi harus bisa pakai senjata juga.”
Dengungan antusias langsung kedengaran. Jujur gue juga excited, soalnya latihan kali ini bakal lain dari biasanya. Gue langsung kebayang jadi Lara Croft bawa panah di film Tomb Rider. Wuihh keren kan?
“Nyx, pemanasan! Jangan ngelamun!” sentak Della.
Gue cengar-cengir tanpa merasa bersalah. Melanjutkan pemanasan yang tinggal setengahnya.
“Pemanasan di lengan lebih difokusin, soalnya bakal dipakai buat pegang senjata.” Setelah mengintruksikan itu, Della mulai menengadahkan kepala, peregangan.
“Hi, girls!”
Tetiba si Aspal- maksud gue Nata- muncul di sebelah Della. Gue langsung menurunkan tangan yang lagi peregangan ke atas.
Della melotot. “Ngapain ke wilayah cewek, hah?!” hardiknya. Pasti merasa teritorial dia terganggu.
“Galak banget sih, lo.” Nata malah senyum. Mencurigakan banget dia.
“Ya terus mau ngapain? Pergi sana!” Della mengibas-ngibaskan tangan.
“Gue mau nyampain kalo Miko nyuruh cewek ke aula sekarang. Maen marah-marah aja.”
“Bodo amat! Sana pergi, nanti cewek nyusul kalo udah selesai pemanasan.”
“Bener ya nyusul, jangan lama, loh.” Nata mencolek bahu Della, yang langsung dibalas dengan pukulan keras. Dia meringis. Sial banget, niatnya ngegoda malah dapat hadiah bogem dari Della.
Anggota cewek ketawa, gue juga. Nata cuma cengengesan. “Makasih loh, Del. Gue anggap itu tanda perkenalan kita.” ucapnya, diakhiri kedipan mata. “Ok semua, gue tunggu di aula, ya!” Dia melambai sambil berjalan menjauh.
Della bergidig, menatap gue dengan ekspresi jijik. “Dia kenapa, sih?”
Gue angkat bahu, ketawa singkat. “Naksir lo kali.”
“Idih... ” Dia melengos.
Cellin ber-ciee ria, diikuti oleh cewek-cewek lainnya. Membuat Della makin salah tingkah dan akhirnya berteriak, “Cukup! Kalian itu ya, cepet pemanasan!”
“Udah kali, Del. Kita udah selesai.” timpal salah satu cewek.
Della kelihatan linglung. “Y-ya udah, ayo ke aula.”
Paduan suara ‘ciee’ bertahan beberapa saat kemudian dan berhenti ketika kami menyusuri selasar. Gue dan Della berjalan paling belakang.
“Makanya, jangan salting.” goda gue.
“Apaan, sih. Engga!” sanggahnya. Tapi ekspresi enggak bisa membohongi, mukanya memerah.
🏹🏹🏹
Gue gagal jadi Lara Croft yang bawa panah, karena ternyata kita semua dikasih pisau. Cowok dianggap lebih mahir pakai senjata, jadi lima belas cewek diserahkan ke mereka buat dilatih. Gue dapat Agra. Cellin sama Miko. Tebak Della bareng siapa?
Nata! Hahaha. Mampus tuh anak, bakalan dag-dig-dug sepanjang latihan.
“Pegangnya salah.” Agra mengulurkan tangan, membenarkan posisi jari-jari gue di pisau. Dia membuat tangan gue seperti menggenggam, sehingga seluruh pegangan pisau tertutup. “Pegang yang kuat, jangan sampe lepas.”
“Agra,” ujar gue sambil membetulkan tangan.
“Apa, cantik?” Sempat-sempatnya dia bertingkah pas lagi latihan gini.
“Heksa mana?”
Agra menatap gue. “Cie, kangen Heksa.”
“Ih, gue serius juga.”
“Tegang banget, lo. Santai dikit kali.” Dia memutari tubuh gue, beralih posisi ke belakang terus mengulurkan tangannya lagi. “Ayo pegang yang kuat. Nah, mata pisaunya ngehadap ke atas, jauhin dari badan lo.”
Tubuh gue jadi kayak boneka digerak-gerakin Agra. “Agra serius deh, Heksa kemana?”
“Ngeyel dasar, untung cantik.” Agra berdecak. “Heksa lagi di sidang sama Om Margana.”
Pisau gue jatuh, berkelontang di lantai. Semua orang sibuk saling memberi arahan, maka enggak ada satu pun yang menyadari. Gue berbalik. “Sidang apa?”
“Ck, ya itu lah.” Matanya mengarah ke tubuh gue, oh- perut.
“Ya ampun! Demi apa? Gue harus nyamperin dia, kasian.” Gue belum sempat berbalik, keburu ditahan Agra.
“Udah lah, lo disini aja. Kalo lo kesana, ntar masalah Heksa nambah. Kecuali kalo Heksa sendiri yang minta.” Gue mempertimbangkan, sepertinya benar juga. Gue enggak bisa nolong apa-apa seandainya ke sana.
“Ayo latihan, lagi.” ajaknya, maju untuk memungut kembali pisau.
Sesaat memejamkan mata, gue memaksa diri mendapatkan fokus lagi, tapi susah. Dengan pikiran mengawang-ngawang, gue menerima pisau dari Agra. Mempraktekan intruksi pegang pisau yang tadi dia bilang.
“Coba pasang kuda-kuda.”
Gue nurut, memajukan satu kaki, menggunakan kaki belakang sebagai tumpuan.
“Kagok gak pegang senjata gini?”
“He-eh.” sahut gue.
“Ntar juga terbiasa. Tapi senjata kayak gini digunain kalo lagi terdesak aja. Buat tarung, lebih baik tangan kosong. Selain susah tekniknya, senjata juga malah bisa jadi bahaya buat kita.” jelasnya.
Gue ngangguk-ngangguk.
“Lurusin tangan lo. Nah, tekuk dikit. Ok, cukup.”
Dari jarak dekat gini, gue bisa lihat detail wajah Agra. Mata hitam dinaungi alis tebal yang codet pinggirannya, entah buat gaya atau bekas luka. Hidung yang sedikit lebih mancung dari Heksa. Dagunya membelah, menambah kegantengan berkali-kali lipat. Potongan rambut hitamnya cukup oke, kelihatan lembut seperti rambut Heksa cuma beda warna aja. Kalau dilihat dari pinggir, Agra super duper ganteng. Eh, tapi lebih ganteng Heksa, lah. Enggak ada yang bisa menyaingi ketampanan Heksa, titik.
“Ya ampun malah liatin gue. Gue terlalu ganteng apa gimana?”
Duh, gue cengengesan nutupin malu. “Apaan sih lo, ah.”
Agra malah menaikkan sebelah alis, menatap gue sambil senyum manis. “Lagian bukanya latihan malah liatin gue. Ntar bapak anak lo cemburu lagi.”
“Hah? Siapa?”
“Lah pake nanya.” Agra memutar bola mata. Terus dia merebut pisau di tangan gue, memutar-mutarnya. "Jadi karena ini, Heksa mau perjodohan batal?"
Gue melipat dahi. Daripada jawab, gue memilih mengambil balik pisau, tapi Agra menjauhkan tangannya. "Balikin."
“Bentar dulu. Lo sama Heksa udah lama punya hubungan?”
“Kok malah nanya itu?”
“Pengen aja, gak jawab juga gapapa.” Dia cengar-cengir.
Gue angkat bahu, menyelipkan anak rambut yang mulai melenceng dari kunciran. “Ayo latihan.”
“Konsen gak, nih?”
“Konsen, konsen.” Gue angkat dua jari sebagai tanda serius.
Agra terkekeh. Tapi saat dia akan meyerahkan pisau, gerakannya terhenti. Dari cengiran jail yang mendadak terbit di mulutnya, gue jadi curiga yang datang Heksa. Begitu menoleh, benar saja, cowok itu sedang mendekat.
“Tuh, pujaan hati lo.”
Gue enggak berniat menanggapi karena Heksa lebih dulu sampai. Dia melirik Agra sekilas, kemudian menatap gue. “Kenapa latihan?”
“Biasanya juga latihan, kan?” Gue mengernyit bingung.
“Jangan terlalu cape.”
“Gila, Sa, lo bisa romantis juga ternyata.” celetuk Agra.
Gue mendelik tajam. Bisa-bisanya dia merusak suasana gue sama Heksa. Tapi kok, gue kayak enggak tau diri ya, malah baper sama ucapan Heksa. Padahal, dia kan bukan ayah dari anak ini.
Rupanya Heksa enggak terpengaruh. Dia masih menatap gue lurus. “Malam ini, kita kembali menghadap Papa. Keluarga Antasena juga akan datang. Kamu pakai dress, ya. Nanti saya jemput ke kamar.”
Butuh waktu lama untuk mencerna kata-katanya. Bahkan sebelum rasa kaget gue pulih, Heksa dengan cepat meremas tangan gue kemudian pergi lagi. Gue menatap sekeliling, dimana orang-orang kembali memalingkan pandangan. Mereka pasti memperhatikan interaksi gue dengan Heksa barusan.
Ya ampun, dia tadi ngomong apa? Ketemu Tuan Margana dan Keluarga Antasena?
Gue sama Heksa harus bisa hadapi ini, tekad gue, mencoba meneguhkan hati.
“Ya, lo sama Heksa pasti bisa.” Agra bersuara, mengembalikan gue pada kesadaran. Ternyata ucapan gue tadi bukan di dalam hati.
Bersambung...