Unbroken Adores #2 ✔

By lucidvous

346K 30K 12.1K

Inilah awal mulanya. Pertemuan dua orang yang berbeda. Seketika bersama disaat belum saling mengenal, tidak j... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 18

Chapter 17

13.3K 1.4K 389
By lucidvous

Untuk ketiga kali dalam hidupnya, ia memutuskan untuk melahirkan secara normal. Sebenarnya ia termasuk wanita beruntung. Sejauh ini, ia tidak merasakan kesulitan berarti dalam melahirkan─kecuali rasa sakit, yang seperti mau mati.

Tidak ingin mengulang kejadian seperti saat melahirkan Hiro, Sasuke tidak pergi kemanapun. Pria itu sama sekali tidak menghadiri kegiatan bisnis di luar negeri dan luar kota sekalipun. Sangat terlihat suaminya tidak ingin melewatkan kelahiran anak ketiga mereka ini. Ia tahu pria itu berusaha dengan keras. Jadi tidak ada alasan baginya untuk mengeluh dengan semua hal baik ini.

"Kita jadi berangkat besok pagi?" tanya Sasuke.

Ia mengangguk, sembari mengecek perlengkapan yang akan mereka bawa ke rumah sakit. "Iya, besok saja. Perutku mulai mulas sejak sore. Sepertinya sudah kontraksi."

Mereka benar-benar berharap kelahiran Ken sesuai dengan perkiraan dokter. Sehingga tidak ada lagi adegan terburu-buru dan panik seperti saat kelahiran Sarada dan Hiro.

Kedua anaknya telah diungsikan ke rumah Nenek dan Kakeknya. Sasuke meminta mereka semua datang saat Ken sudah lahir saja. Pria itu tidak suka kehebohan yang terjadi jika semua orang bersama-sama menunggu di rumah sakit. Lebih baik mengabari mereka jika sudah lahir saja. Termasuk untuk Sarada dan Hiro yang juga harus sekolah.

Saat itu pukul enam pagi. Bahkan masih kurang beberapa menit. Matahari juga belum terlalu bersinar. Tapi ia dan Sasuke sudah siap untuk berangkat ke rumah sakit. Lagipula sejak semalam, mereka belum tidur sama sekali. Lebih tepatnya ia tidak bisa tidur dan pria itu menemaninya. 

Kontraksinya berangsur lebih kuat seperti perkiraan, walau masih dapat ia tahan. Tentu saja ini normal jika sudah mendekati hari kelahiran. Bagaimanapun ia telah melahirkan dua orang anak sebelumnya. Sehingga sakit ini setidaknya menjadi lebih normal baginya. 

Mereka pergi dengan tenang. Ia hanya mengaduh sebentar-sebentar dan dalam batas wajar. Suaminya juga tidak panik dan memastikan sumuanya aman. Sungguh pengalaman paling bertolak belakang bagi mereka, jika dibandingkan dengan ingatan saat akan melahirkan Sarada atau Hiro.

Kedua momen itu dipenuhi kepanikan. Benar-benar seperti drama orang akan melahirkan yang sering dilihatkannya.

Saat mereka tiba, Sasuke memapahnya perlahan. Ia duduk di kursi tunggu. Sementara Sasuke akan mengonfirmasi kamar yang akan ia tempati.

"Tunggu disini."

Ia mengangguk sebagai jawaban atas perintah pria itu. Tangannya mengusap-usap pinggangnya yang pegal.

Suaminya kembali dengan seorang perawat yang mengantar mereka menuju kamar. Pria itu beberapa kali bolak-bolik keluar masuk untuk memindahkan barang bawaan dari mobil.

"Ada makanan di tas itu," tunjuknya pada sebuah tas di hadapan Sasuke. Suaminya sedang duduk di sofa panjang sebelah jendela. "Sarapanlah dulu. Kita tiba pagi sekali disini."

Lalu perlahan ia turun dari tempat tidur. Mencoba berjalan-jalan pelan di sekitar kamar.

"Kapan kau membuatnya?" Sebelah alis pria itu naik, bertanya-tanya.

"Saat kau tertidur sebentar sebelum kemari. Daripada hanya berfokus pada mulas ini, aku memasak."

Sasuke menatapnya sebentar, lalu membuka tas itu dan mengeluarkan kotak makanan di dalamnya. 

"Kenapa hanya satu?"

Ia menggeleng pelan. "Aku tidak berselera. Kau saja." Ia kembali duduk di pinggir ranjang dengan kaki menggantung. Tangannya menyangga tubuhnya untuk bersandar ke belakang. Memerhatikan Sasuke yang akan bersiap makan.

Lalu tiba-tiba pria itu berdiri dari duduknya. Menggeret sebuah kursi sembari membawa kotak makan di tangannya. 

"Kau makan juga, agar ada tenaga." Sasuke menatap jam di dinding. "Belum ada restoran yang buka sekarang. Nanti kita pesan makanan lagi."

Sasuke menyuapinya, lalu makan setelahnya. Mereka bergantian seperti itu hingga kotak makan bersih, tidak bersisa.

Ia tertegun sebentar. Sedikit aneh karena sebelumnya benar-benar tidak berselera makan. Entah karena suaminya yang menyuapi, atau makan dari sendok pria itu, rasanya selera makannya membaik.

Sasuke kembali ke sofa. Membuka laptop yang dia bawa dan─tentu saja bekerja.

Ia kembali berjalan-jalan di kamar dan duduk di atas bola yoga. Berupaya agar pembukaannya berangsur lebih cepat. Ia duduk disana dengan buku di sebelah tangan. Mencoba mengalihkan pikiran dari rasa sakit ini. 

Ponsel Sasuke berdering. Memecah keheningan di kamar mereka. Ia masih terus membaca buku sampai pria itu berjalan melewatinya. Menjauh dan berdiri di depan pintu masuk sambil terus berbicara di telepon.

Mata mereka bertemu saat ia tidak sengaja mendongak. Pria itu meliriknya sekilas, namun segera memutus pandangan itu. Berdiri memunggunginya. 

"Tidak apa. Lakukan saja."

Ia bisa mendengar suara Sasuke bicara seperti biasa. Normal dan tenang.

Tapi─apa tadi ia sempat melihat suaminya bersikap aneh?

"Ini bukan saja soal bisnis. Aku tahu batasnya."

Itu kalimat terakhir yang ia dengar sebelum menyudahi pembicaraan dengan Kakashi. Suaminya sempat mengucapkan nama asistennya itu.

Pria itu kembali berjalan melewatinya, duduk di tempat semula. Ia mengerutkan kening, memerhatikan Sasuke yang kembali fokus bekerja. Mereka berdua tidak pernah dalam momen saling ingin tahu pembicaraan dibalik telepon seperti ini. Mungkin hanya jika keluarga Uchiha yang bertelepon, ia baru ingin bertanya.

Tapi ia harus menggunakan kesempatan, setidaknya kali ini.

"Tadi Kakashi yang menelepon?"

Ia berusaha bertanya dengan nada seringan mungkin. Walau pasti suaminya tidak merasa begitu. Ekspresi pertama yang ditampilkan pria itu adalah bingung. Mungkin karena biasanya ia tidak pernah terlalu ingin tahu seperti ini. Terlebih Sasuke juga jelas-jelas memanggil pria di ujung telepon dengan nama Kakashi.

"Hn, Kakashi."

Ia mengangguk kecil. Ragu apakah harus meneruskan pertanyaan atau berhenti di sana.

"Tentang pekerjaan?"

Dan Sasuke benar-benar memutus fokusnya dari laptop dan menaruh atensi sepenuhnya padanya. Memandangnya lurus.

"Tentu saja. Pekerjaan."

Ia kembali mengangguk-angguk seperti pajangan mobil. Tidak tahu harus bersikap seperti apa. Terlebih karena pertanyaannya itu, Sasuke terus menatapnya.

"Kenapa tadi─"

"Istriku."

Ia terdiam.

"Jangan gunakan tenagamu untuk memikirkan hal tidak penting. Fokuslah pada anak kita."

Dan ia seharusnya tahu, Sasuke tidak seburuk itu dalam merayu. Pria itu bahkan menggunakan panggilan yang tepat untuk membuatnya diam. Membuatnya tidak lagi bertanya mengapa pria itu bersikap aneh saat mengangkat telepon beberapa menit yang lalu.

-o0o-

Uchiha Ken.

Putra ketiganya lahir dengan sehat dan sempurna. Sarada dan Hiro bahkan bergantian menatapi adik mereka itu. Mungkin mereka senang, sekaligus takjub. Hiro bahkan seperti melupakan kekecewaan karena tidak jadi memiliki adik perempuan.

Seperti kedua kakaknya yang lain, Ken terlihat jelas lebih condong mirip Sasuke. Rambut dan bola mata yang gelap. Kulit putih bersih. Hanya saja dibanding Hiro dulu, Ken terlihat lebih imut dengan pipi mengembang. Membuat para perawat dan dokter yang membantu proses kelahiran, mengatakan anak itu juga mirip dengannya. 

Tidak hanya itu. Putra ketiganya ini juga jauh lebih mudah menangis. Jika digendong orang lain atau orang yang belum dia kenal, dia akan langsung menangis dan tidak akan berhenti sebelum berada dalam gendongannya lagi. Bahkan Sasuke pun kewalahan untuk menenangkan Ken. Berbeda dengan Sarada dan Hiro yang dulu masih bisa berhenti menangis di pelukan ayahnya, Ken benar-benar harus dalam gendongannya jika ingin berhenti menangis.

Ini sudah delapan tahun sejak terakhir kali ia memiliki bayi. Sehingga ia harus membiasakan diri lagi dengan ritme tidur baru.

Saat ini pukul tiga pagi dan Ken menangis tengah malam entah karena apa. Ia dan Sasuke terbangun hampir bersamaan. Jemarinya mengusap wajah perlahan untuk mengumpulkan kesadaran.

"Jika aku yang menenangkan, apa dia mau berhenti menangis?" gumam suaminya dengan mata terpejam di sampingnya.

Kepalanya menggeleng pelan. "Tidak apa. Aku saja. Kau ada rapat besok pagi. Tidurlah lagi."

Ia beranjak dari ranjang, berjalan menuju box bayi di sudut kamar. Lalu mengambil Ken yang tengah berbaring menangis ke dalam gendongannya. Ia berjalan keluar kamar, berusaha membuat anak itu tenang sembari menyusuinya. Membiarkan Sasuke kembali tidur karena pria itu tadi pulang lebih malam karena lembur.

Tidak mudah memang membuat Ken kembali tertidur. Namun ini memang sudah menjadi bagian dari pengalaman seorang ibu. Setiap wanita yang memiliki anak pasti akan melewati fase ini. Setelah hampir satu jam berusaha, Ken akhirnya tidur di pelukannya.

Ia masuk ke kamar dan membaringkan putranya di tempat semula. Lalu menyusul Sasuke berbaring di saat matahari akan terbit beberapa jam lagi.

Matanya terbuka nyaman. Tidurnya cukup nyenyak, walau hanya sebentar. Sasuke sudah tidak ada di sampingnya. Kepalanya menoleh ke arah jam. Hampir setengah delapan pagi. Suami dan anak-anaknya pasti sudah akan berangkat.

Dan ia kesiangan. 

Saat keluar kamar, kedua anaknya dan Sasuke sudah siap di depan pintu dan akan berangkat. Ia berjalan cepat menyusul mereka.

"Kalian sudah sarapan?"

Sarada mengangguk. "Kami makan sereal. Ayah makan roti, Bu."

Ia bernapas lega. Setidaknya ada sesuatu yang masuk ke perut mereka. "Kenapa tidak membangunkan Ibu?"

"Ayah bilang tidak perlu. Ibu baru tidur sebentar karena menjaga Ken."

Matanya menoleh mencari Sasuke. Ternyata suaminya sudah masuk ke mobil. Tidak lama, pria itu menekan klakson, tanda untuk kedua anaknya masuk ke mobil. Suaminya akan mengantar mereka ke sekolah.

Mobil Sasuke keluar gerbang. Tangannya melambai pada mereka. Sarada dan Hiro membalasnya dari balik kaca. Matanya bertemu dengan Sasuke dari spion. Pria itu mengangguk singkat. Lalu ketiganya menghilang di belokan Ise City.

-o0o-

Ino datang ke rumahnya saat ia sedang bersantai di ruang tengah dengan Ken. Kehadiran tetangganya itu memang selalu dapat menemaninya karena profesi mereka yang sama yaitu ibu rumah tangga.

Tapi melihat ekspresi sekilas Ino, membuatnya bisa menebak jika wanita itu sedang dalam suasana hati buruk dan butuh teman cerita.

Namun belum sempat bertanya, Ino telah lebih dulu menumpahkan curahan hatinya.

"Aku kesal sekali," mulai Ino. Tangan itu sembari mengusap pipi Ken pelan. Fokusnya sedikit teralih karena melihat bayinya yang menggemaskan.

"Jadi kenapa?"

"Mungkin kau tidak tahu. Ayahku sejak dulu selalu memandang Sai tidak lebih kaya dari keluarga kami. Tapi kupikir setelah sekian lama, Ayahku tidak lagi berpikir begitu. Beberapa hari yang lalu, kami semua pergi berlibur singkat. Ayahku mengatakan banyak hal yang dia kira bercanda. Aku bisa melihat Sai berusaha menanggapi itu biasa saja . Tapi aku tahu sebenarnya perasaannya berkata lain. Saat pulang, aku meminta maaf pada Sai tentang sikap Ayahku."

Mata Ino mulai berkaca. Tanpa sadar, tangannya mengusap lengan Ino pelan. Berusaha menyampaikan simpatinya.

"Tapi aku dan dia malah bertengkar. Dia mengatakan, memang benar bahwa dia tidak lebih kaya dari keluarga kami. Aku berusaha menjelaskan padanya. Tapi Sai terus saja menangkap hal negatif dari penjelasanku. Padahal di belakangnya, aku telah mengatakan pada Ayahku untuk tidak bicara seperti itu lagi pada Sai. Aku benar-benar serba salah sekarang."

Mendengar cerita Ino, ia juga turut sedih. Memang permasalahan rumah tangga tidak hanya datang dari internal, sebagian lain berasal dari eksternal.

"Menurutku kau harus memberi waktu pada suamimu, Ino. Mungkin saat ini dia juga telah menyesal menyalahkanmu seperti itu. Kadang walau komunikasi kalian begitu lancar, namun jika emosi mengambil alih, logika bisa tertutup. Aku hanya bisa mengatakan untuk sabar. Jelaskan lagi padanya, jika kalian sudah lebih tenang."

Ino menatapnya dengan mata sayu. Lalu menghela napas panjang, sembari mengangguk lemah. 

"Kadang aku iri. Keluarga lain bisa memiliki hubungan menantu dan mertua yang akrab. Tadinya aku dan Sai tidak bertengkar saat berangkat, malah bertengkar setelah pulang dari liburan keluarga."

"Jangan bicara seperti itu. Setiap keluarga punya masalahnya masing-masing. Mungkin keluarga lain tidak memiliki masalah dalam hal itu, tapi bisa jadi memiliki masalah di hal lain. Tidak ada yang sempurna di dunia ini."

Lagi-lagi Ino mengangguk pasrah. "Ya, kau benar." Lalu mengambil Ken ke gendongannya. Berusaha membaikkan suasana hati dengan memeluk putranya yang memandang mereka dengan mata polos tidak mengerti apapun.

Sebenarnya Ino hanya tidak tahu, bahwa masalah wanita itu tidak lebih berat dari masalah keluarganya. Keluarga di pihaknya. Bahkan setelah hampir sepuluh tahun berumah tangga, ia tidak pernah leluasa menyebut orangtuanya. 

Sasuke tidak terang-terangan melarang. Hanya ia yang begitu malu dan tidak enak hati untuk mengungkit-ungkit bagaimana orangtuanya.

Sai dan orangtua Ino memiliki kondisi yang jauh lebih baik dibandingkan Sasuke dan orangtuanya─Ayah dan Ibunya. Keluarga Ino bahkan masih pergi liburan bersama, walau harus diakhiri dengan pertengkaran di antara keduanya. Sungguh jauh berbeda dengan keluarganya dan Sasuke yang hampir tidak pernah bercengkrama.

Terakhir kali ibunya tampil, mungkin membuat pandangan Sasuke terhadap keluarganya semakin buruk.

Bisa jadi lebih buruk lagi pada ayahnya.

Ia hampir tidak pernah melihat lagi ayahnya bicara dengan Sasuke, selain di hari pernikahannya dulu. Atau mungkin saat Sasuke bertelepon dengan ayahnya untuk memberikan investasi pada perusahaan keluarga mereka yang hampir bangkrut. Setelahnya─tidak ada.

Ayahnya tidak pernah menanyakan kabar dirinya, ketiga anaknya, apalagi menantunya. Sebaliknya Sasuke pun begitu. Pria itu sama sekali terlihat tidak tertarik dengan apapun diluar keluarga inti mereka.

Mendengar cerita Ino, membuat kembali memikirkan hal ini─setelah sekian lama berusaha ia lupakan.

Ino pulang saat akan menjemput Inojin dari sekolah. Kedua anaknya─Sarada dan Hiro, akan dijemput supir keluarga Uchiha. Membuatnya bisa lebih santai dan tinggal menunggu mereka pulang saja.

Beberapa minggu terakhir, suaminya terus saja pulang lebih malam dari kantor. Sepertinya pekerjaan sedang sangat banyak atau mereka sedang memiliki proyek besar. Karena saat telah sampai di rumah pun, pria itu masih mengangkat telepon dari entah siapa─ia harap Kakashi, lalu sibuk membaca dokumen atau masuk ke ruang kerja.

Namun malam itu sungguh tepat. Saat ia masuk ke kamar, suaminya sedang berada di pinggir box Ken yang sedang tertidur. Pria itu mengulurkan tangan mengusap-usap pipi putra mereka. Mata hitam itu memandangi Ken beberapa lama. Suaminya mungkin sadar bahwa ia telah duduk di pinggir ranjang sejak tadi sambil menatap interaksi kedua Uchiha itu.

"Kau banyak pekerjaan akhir-akhir ini?" bukanya.

Sasuke akhirnya menoleh ke arahnya. "Hn. Banyak─dan rumit." 

Ia mendengar ada nada aneh di akhir kata itu. Tidak ingin menambah kecanggungan, ia berusaha mencairkan suasana.

"Perhatikan Ken sekali-sekali. Aku tidak ingin saat dia sudah bisa bicara, dia memanggilmu Paman."

Mungkin leluconnya tidak terlalu lucu. 

Lagipula sebenarnya Sasuke tidak seabai itu pada anak mereka.

"Aku tidak seabai itu padanya."

Ia juga baru saja mengatakan itu─dalam hati.

Sasuke berjalan ke arahnya, menuju ranjang mereka. Lalu berbaring di sampingnya yang masih duduk bersandar di kepala ranjang.

"Akhir-akhir ini aku merasa kita berdua sangat sibuk. Kau sibuk bekerja. Aku sibuk mengurus anak. Haruskah kita melakukan sesuatu agar kehidupan ini lebih menyenangkan?"

Pria itu mengubah posisi berbaring ke arahnya. Menatapnya dengan pandangan bertanya. 

"Jika kau mengajak berlibur, aku pikir ini bukan waktu yang tepat. Pekerjaanku sedang banyak dan Ken masih bayi."

"Bukan itu, suamiku." Ia menggeleng dengan cepat. "Bulan depan kita akan ulang tahun pernikahan yang ke sepuluh. Tidakkah seharusnya kita bersyukur telah melalui sepuluh tahun ini bersama-sama?" tanyanya hati-hati. Ia sedikit ragu Sasuke akan menangkap maksud ucapannya.

"Ayo kita makan malam kalau begitu. Hanya berdua."

Perlahan senyum tipis terbit di bibirnya. Membayangkan akhirnya setelah sepuluh tahun bersama, mereka akan merayakan ulang tahun pernikahan untuk pertama kalinya. Keinginannya tidak besar, semoga mereka bisa merayakannya setidaknya sekali saja.

.

.

-To be continued-

.

.

Halo semuanyahh! Mayan lama juga ga update UA. Ga terasa chapter depan adalah chapter terakhir.

Seneng nih aku kalo uda tinggal 1 lagi begini. Biar ga banyak tanggungan. Walaupun sedih juga karena biasanya liat vote dan komen kalian yg bejibun 😭

Sudah adakah yg bisa menangkap tanda2 konflik di last chapter? 😏

Sebelum ini berakhir, jangan lupa

VOTE VOTE VOTE

KOMEN KOMEN KOMEN

See you on last chap! Bhay!

Continue Reading

You'll Also Like

13.6K 422 3
Vol. 5 ONESHOT SASUSAKU CERITA MILIK AUTHOR. NAMA KARAKTER MILIK MASASHI KISHIMOTO 1. When I Loved You 2. One Fine Day 3. SEASON (SUMMER, FALL, WINTE...
6.7K 1.3K 5
Apa yang harus kau lakukan ketika bertemu dengan orang yang kau pernah memiliki hutang padanya dengan jumlah yang besar? Tentu saja harus membayarnya...
22.6K 2.8K 15
[COMPLETED] Which one is better between being single or committed into the relationship with the man whose family cannot be kept up with? Rose tries...
812 175 15
"pokoknya gue benci noh sama maudy." "sok iye banget dah si maudy." "bosen banget gue maudy lagi maudy lagi. yang lain kek." maudy, mahasiswi juru...