Sakura dan Sasuke tidak membuat acara khusus untuk merayakan kelahiran putri mereka, Sarada. Hanya keluarga dekat yang bergantian berkunjung dan beberapa tetangga dekat di Ise City. Terutama Ino yang paling sering datang.
Ino sedang mengandung dan katanya dia ingin belajar mempersiapkan diri sebelum anaknya lahir. Wanita itu banyak bertanya darinya, mulai dari persalinan hingga memandikan bayi. Benar-benar calon ibu sekali.
Para wanita sedang berada di rumahnya untuk menengok Sarada siang itu. Ini sudah dua bulan sejak putrinya lahir. Di sini ada Ibu Mikoto, Yugao─yang tentu saja diajak ibu mertuanya, dan Ino.
"Yugao, coba kau gendong Sarada," pinta Ibu Mikoto.
Yugao yang tiba-tiba dipanggil, berubah menjadi terkejut. Alisnya naik, "Memang kenapa, Bu?"
"Sudah gendong saja. Siapa tahu aura seorang Ibu akan langsung muncul dan kau juga bisa segera tertular punya anak."
Ia ingin tertawa dengan pemikiran Ibu Mikoto. Bukan mengejek, hanya lucu saja bagaimana orang tua suka sekali menyambungkan satu hal dengan hal lain. Tapi ia tidak segan untuk berjalan ke arah Yugao, memberikan Sarada yang semula berada di gendongannya. Kakak iparnya itu segera menyulurkan tangan dengan kaku, begitu ia memberikan Sarada untuk dia gendong.
"Tidak perlu kaku, tumpuannya ada di tangan kiri," ujarnya saat melihat Sarada telah berada di gendongan Yugao. Ia gemas saat memerhatikan Sarada terlihat turut bingung dan sedang menatap bibinya dengan mata bulat hitam.
"Nah! Seperti itu," ujar Ibu Mikoto bersemangat. "Sebenarnya kau sudah cocok, Yugao. Mungkin ini karena kau jarang memegang bayi saja."
Yugao hanya bisa tersenyum kaku. Lalu beralih menunduk menatap Sarada dan tanpa sadar menimang-nimangnya dalam gendongan.
"Sakura, apa kau merasa baby blues setelah melahirkan?" tanya Ino padanya.
Mereka sedang bersantai bersama di ruang tengah. Ia tidak langsung menjawab, berpikir sejenak. "Hm, aku tidak yakin. Tapi sepertinya aku tidak mengalaminya. Aku hanya sedikit kesulitan menyesuaikan diri untuk bangun tengah malam. Tapi selebihnya baik-baik saja."
"Bagaimana kau mengatasi itu?" Ino berdecak kagum. Dia terlihat sangat antusias, mungkin karena berpikir ini dapat menjadi bekal baginya pula.
"Sebenarnya karena pekerjaan rumah masih dibantu Ayame, aku bisa fokus mengurus Sarada. Biasanya aku mencuri waktu untuk tidur saat Sarada sedang tidur. Itu agar aku bisa terjaga saat dia menangis tengah malam," jelasnya. "Tapi terkadang jika aku sudah terlalu lelah seharian, Sasuke mau menggantikanku untuk bangun," tambahnya.
Tiba-tiba raut tidak percaya Ino tercetak jelas. Matanya melebar sambil bertanya, "Benarkah? Suamimu mau bangun tengah malam untuk menenangkan bayi yang menangis?"
Ia mengangguk. "Ya, terkadang dia mau. Bahkan dia bisa mengganti popok."
Sekarang giliran ibu mertuanya yang terkejut mendengar itu. "Astaga, tidak kusangka putraku bisa melakukan itu. Kau tahu Sakura, saat lajang Sasuke bahkan tidak bisa diganggu saat sedang tidur. Kau lihat saja ekspresinya, saat sedang tidal kesal saja dia ketus, apalagi sedang kesal." Ibu mertuanya menggeleng tidak percaya. "Ya, walau pria Uchiha memang kebanyakan berwajah seperti itu."
Ia tertawa mendengarnya. Ibu Mikoto tanpa sadar sedang menceritakan bagaimana suaminya sebelum menikah. Ia tidak terlalu mengenal Sasuke saat lajang. Tapi sebagai suami, ia tahu bahwa pria itu memang berusaha.
Tiba-tiba suara gelak tawa Sarada yang sedang berada gendongan Yugao, mengalihkan perhatian mereka. Ia tidak tahu apa yang menyebabkan putrinya tiba-tiba tertawa, mungkin saja Yugao melakukan sesuatu yang membuatnya senang.
"Putrimu cantik sekali. Dia lebih mirip siapa, ya?" tanya Ino sambil memerhatikan Sarada yang tersenyum kecil.
"Sepertinya dia lebih mirip Sasuke."
Jujur saja, ia memang merasa Sarada lebih mirip Sasuke. Rambut putrinya hitam legam seperti suaminya, lengkap dengan bola mata yang mirip pula. Ia terkadang bingung apa bagian dari anak mereka yang mirip dengannya.
"Sebenarnya Ibu juga berpikir begitu. Putri kalian mirip sekali dengan Sasuke. Jika saja Sasuke adalah perempuan, dia pasti sangat cantik. Saat Ibu mengandungnya dulu, kukira sedang mengandung anak perempuan. Dia cantik saat lahir," canda Ibu Mikoto.
Lalu ibu mertuanya kembali memerhatikan Sarada. "Tapi sepertinya senyumnya mirip denganmu, Sakura. Cantik sekali."
Ia tersenyum mendengar itu. Mungkin benar senyum Sarada mirip dengannya─karena Sasuke bahkan hampir tidak pernah tersenyum.
-o0o-
Sepertinya ia lupa memperkirakan ini dulu saat Ino bertanya padanya, bagaimana ia bisa baik-baik saja setelah melahirkan. Setelah putrinya, melewati masa rewel, itu memang lebih mudah. Tapi ia merasa seperti memiliki dua anak. Dan anak pertamanya adalah Sasuke.
Pria itu memang membantunya menjaga putri mereka. Dia bisa diandalkan di saat tertentu, seperti memandikan Sarada atau mengganti popoknya saat ia tengah melakukan hal lain yang tidak bisa ditinggalkan. Suaminya yang terlihat dingin dari luar, bisa menangani bayi dengan baik. Tapi pada satu waktu, Sasuke tetaplah Sasuke. Dia akan rewel pada sesuatu yang ia tidak mengerti.
"Jangan menonton terus. Perhatikan Sarada."
Ia tidak kaget dengan nada bicara Sasuke yang selalu seperti itu. Tapi ia hampir tidak percaya dengan kata-kata yang diucapkan pria itu. Memang apa yang dilakukannya seharian ini jika tidak menjaga Sarada?
Ia sedang berada di ruang tengah, menonton drama di TV dan Sarada sedang bermain di sampingnya. Putrinya yang telah memasuki usia tujuh bulan itu sudah bisa duduk, walau ia tetap memberi bantal untuk menyangganya. Dan belum ada beberapa menit sejak ia mengalihkan perhatian dari putrinya, Sasuke sudah bicara seperti ia tidak melakukan hal lain seharian ini dan hanya menonton drama.
"Aku terus memerhatikannya sepanjang hari. Jangan menilai hanya dari apa yang kau lihat beberapa menit lalu."
Ia menahan suaranya untuk tidak kesal. Ia malas berdebat, apalagi sedang ada anak mereka. Walau bisa dibilang, Sarada masih bayi dan mungkin tidak akan mengerti. Ia tetap tidak mau.
"Ya, kau terus memerhatikan Sarada dan tidak lagi memperhatikan hal lain."
Keningnya mengeryit dalam, tidak mengerti apa maksud pria itu. Sasuke baru saja menunduhnya tidak memperhatikan Sarada, lalu sekarang mengatakan ia hanya memerhatikan Sarada saja. Sungguh membingungkan.
"Sebenarnya kau ingin bicara apa, suamiku? Apa yang tidak kuperhatikan?"
Sasuke membuang napas keras. "Sudahlah, kau itu memang sering tidak mengerti." Lalu beranjak dari hadapannya untuk masuk ke kamar dengan raut tidak enak.
Dan ia merasa kesal sekali mendengar ucapan Sasuke seperti itu. Ia bukan pembaca pikiran. Walau sering bisa berkomunikasi lewat mata dengan suaminya, tapi ia tidak sepenuhnya mengerti apa yang diinginkan pria itu jika tidak disampaikan secara langsung.
Sarada masih bermain di sampingnya dengan tenang. Lalu ia meletakkan bantal mengelilingi putrinya agar tidak kemana-mana dan beranjak menyusul Sasuke ke kamar.
Pria itu tengah bermain ponsel di sofa dengan malas, masih dengan kemeja kerja yang belum diganti.
"Kenapa kau itu selalu bicara setengah-setengah? Katakan jika menginginkan sesuatu dariku. Apa aku kurang perhatian padamu?"
Sasuke belum menjawabnya. Namun telah mengalihkan perhatian dari ponsel di tangan dan terus menatapnya yang sedang setengah marah.
"Aku tidak bilang kau kurang perhatian padaku. Aku hanya bilang kau terus memperhatikan Sarada saja."
"Lalu?" Tanpa sadar suara meninggi.
Sasuke menghela napas. Tangan itu terulur padanya. "Kemarilah."
Walau sedang kesal, ia mengikuti perintah Sasuke─berjalan mendekat menuju pria itu. Sasuke mengambil sebelah tangannya dan menariknya pelan agar duduk di pangkuan pria itu.
Lalu ia duduk di pangkuan suaminya, menghadap pria itu. Sasuke meletakkan tangan di pinggangnya dan menyandarkan kepala di dadanya. Secara spontan ia mengusap tengkuk dan rambut hitam itu lembut. Entah mengapa ia merasa suaminya hanya sedang ingin bermanja-manja saja tanpa memiliki alasan yang jelas.
"Aku tidak tahu pria yang sudah memiliki anak pun, bisa begitu manja seperti bayi," ujarnya pelan.
"Semua pria memang seperti itu. Walau memiliki anak, pria tetaplah pria."
Lalu Sasuke berpindah posisi, menempelkan wajah di perpotongan lehernya, bernapas di sana. Mereka terus diam dalam posisi itu selama beberapa menit. Hingga ia teringat sesuatu.
"Aku tidak ingin menganggu suasana. Tapi putri kita sendirian di depan," bisiknya di telinga Sasuke dengan menempelkan bibirnya di sana.
Bisa ia dengar Sasuke berdecak pelan. Namun akhirnya melepas tautan tangan yang mengelilingi pinggangnya. Memberinya kesempatan untuk turun dari sana. Sebelum turun dari pangkuan Sasuke, ia mengecup sisi wajah pria itu.
"Nanti malam saja."
Dan saat ia akan berbalik, ia tahu Sasuke tengah menarik sudut bibirnya tipis─puas dengan idenya.
Dan benar. Mereka bercinta sampai pukul tiga pagi. Sepertinya ia baru tidur satu atau dua jam saat mendengar suara tangisan Sarada yang tidur di box bayi. Ia bahkan belum berpakaian dan langsung tertidur dengan Sasuke di sampingnya.
Saat ia bermaksud bangun untuk mengumpulkan kesadaran dan menenangkan Sarada yang masih menangis, suaminya telah lebih dulu bergerak walau dengan langkah lunglai. Mengenakan celananya dan berjalan ke arah box bayi.
"Aku saja," ujarnya singkat.
Lalu mengangkat Sarada dari sana dan menggendongnya. Sasuke keluar dari kamar bersama Sarada di gendongannya yang masih menangis. Mungkin pria itu menjauh agar ia bisa kembali tidur. Padahal samar-samar ia bisa dengar suara suaminya yang tengah mengajak bicara Sarada agar putri mereka tidak lagi menangis.
Sepertinya rencana untuk ke salon memotong rambut siang ini menjadi tidak masalah. Ini akhir pekan dan Sasuke berada di rumah. Pria itu pasti bisa menjaga Sarada untuk beberapa jam.
Ia pergi bersama dengan Ino ke salon. Ternyata wanita itu juga ingin merapikan rambut dan melakukan treatment. Sekalian ia akan menunjukkan tempat membeli box bayi seperti milik Sarada. Ino sangat suka dengan desainnya dan ingin membeli yang sama untuk bayinya.
Sebelum berangkat, ia sudah memasak untuk Sasuke, menyuapi Sarada yang sudah bisa diberi makanan pendamping, dan menyiapkan persedian ASI di lemari pendingin jika nanti putrinya ingin minum susu dan Sasuke bisa memberikannya.
"Apa tidak masalah meninggalkan Sarada hanya dengan ayahnya?" tanya Ino saat mereka sedang di creambath dan duduk bersebelahan.
"Aku sudah minta ijin pergi dua jam dan Sasuke mengijinkan. Semua keperluan mereka sudah kusiapkan agar dia tidak bingung."
"Tidak kusangka suamimu sanggup. Para pria biasanya tidak tahan jika diminta menjaga bayi, bahkan untuk setengah jam saja."
Ia harus mengakui itu. Sasuke memang bukan tipe pria penyabar, tapi dia cukup cakap dalam menghadapi bayi mereka. Padahal jika ia membaca pengalaman ibu lain, para suami biasanya enggan jika diminta menjaga bayi yang belum mengerti apa pun. Beda cerita jika anak sudah memasuki usia saat dia bisa bicara. Itu akan lebih mudah diajak berkomunikasi.
"Semoga saja Sai juga bisa begitu saat anak kami lahir. Mungkin aku akan terkena baby blues jika dia tidak bisa diajak bekerja sama," keluh Ino.
Ia hanya bisa tersenyum maklum mendengar itu. "Kau bisa bicara pada Sai agar dia lebih pengertian nanti," ujarnya memberi saran.
"Memang kau bicara seperti itu pada Sasuke?"
Dan tanpa sadar ia tertawa, teringat ia sama sekali tidak melakukan itu pada Sasuke, namun malah memberi saran pada orang lain. "Tidak. Aku tidak mengatakannya."
Ino memutar bola mata. "Kalau begitu, memang Sasuke saja yang pengertian dan bisa diajak bekerja sama."
Ya, seperti pemikirannya selama ini. Mereka memang tim dengan kerja sama yang baik─tapi tidak cukup baik untuk percakapan panjang dan mencurahkan isi hati.
-o0o-
Tanpa terasa waktu terus berjalan. Sarada yang berusia 20 bulan, sudah bisa berjalan selangkah demi selangkah dan mengoceh walau belum terlalu jelas. Putrinya bisa meniru beberapa kata untuk diucapkan dan itu sangat menggemaskan.
Ia pergi mengunjungi rumah utama Uchiha begitu Sasuke berangkat kerja. Ibu mertuanya mengatakan sedang rindu pada Sarada dan kesepian di rumah sendiri.
"Apa Ayah pergi ke kantor?" tanyanya pada Ibu Mikoto.
"Iya, ada beberapa hal yang harus di urus," jawab ibu mertuanya sambil meminta Sarada untuk digendong. Ia langsung memberikan putrinya yang masih tidur ke dalam dekapan ibu mertuanya itu.
"Duduklah, Sakura. Ibu hanya sangat rindu pada kalian."
Mereka berbicang sepanjang hari di ruang tengah dengan Sarada yang telah bangun. Putrinya bermain di karpet dalam pengawasan mereka.
"Kalian sudah membicarakan akan mempunyai berapa anak?" tanya Ibu Mikoto.
"Belum, Bu. Mungkin saat ini kami fokus pada Sarada saja dulu, agar perhatian padanya penuh."
Ibu Mikoto mengangguk. "Seperti itu juga baik. Mungkin setelah Sarada berusia dua tahun, kalian mulai bisa merencanakannya lagi. Sebaiknya saat kalian sudah menginginkan adik untuk Sarada, kau hentikan penggunakan kontrasepsi."
Lalu tiba-tiba ia tersentak. Mencoba mengingat kapan terakhir kali ia minum pil kontrasepsi. Sepertinya ini karena ia kehabisan dan terus menunda membeli hingga akhirnya lupa. Kesibukan mengurus Sarada membuat pikirannya fokus dan tidak mengingat hal lain. Ia mencoba menghitung dalam hati kapan terakhir kali minum pil dan bercinta dengan Sasuke.
Namun saat Ibu Mikoto menyadari ada yang aneh dengan rautnya, dengan cepat ia mengubahnya menjadi biasa saja. Lalu mengalihkan perhatian pada Sarada dan bermain dengannya.
"Sakura, kau baik-baik saja, kan?"
Dan perkiraannya salah, ternyata Ibu Mikoto sepeka itu.
"Kenapa, Bu? Aku baik-baik saja."
"Bagaimana rumah tangga kalian? Kau tidak sedang bertengkar dengan Sasuke, kan?" Ibu mertuanya bertanya dengan raut khawatir yang kental.
Sepertinya telah terjadi kesalahpahaman di sini. Ibu mertuanya mengira ia berekspresi seperti tadi karena tengah bermasalah dengan Sasuke. Ia menjadi tidak enak sekarang.
Tangannya menyentuh tangan Ibu Mikoto. "Tidak ada apa-apa, Bu. Kami baik-baik saja. Tidak perlu khawatir," ujarnya menenangkan.
"Jika kau ada masalah, tidak apa bercerita pada Ibu. Walau Sasuke adalah putraku, jika dia berbuat salah, Ibu pasti akan memarahinya."
Ia tidak bisa menahan senyum bahagia karena memiliki mertua yang begitu baik. "Sungguh Bu, tidak ada apa-apa. Aku hanya teringat sesuatu yang tidak penting tadi. Kami sama sekali tidak memiliki masalah. Semua baik-baik saja," ujarnya lebih menyakinkan.
Terkadang orang tua akan berpikir berlebihan jika ada sesuatu dengan rumah tangga anaknya. Dan ia tidak mau Ibu Mikoto berpikir yang tidak-tidak. Karena pada kenyataannya Sasuke dan dirinya memang tidak bermasalah.
Ia dan Sarada pulang saat hari telah sore. Ibu Mikoto sebenarnya memintanya tetap tinggal dan menyuruh makan malam di sana saja. Bahkan memintanya menghubungi Sasuke sebelum pulang kantor agar ke rumah Uchiha untuk makan malam. Namun dengan lembut ia menolak. Ia tidak membawa banyak perlengkapan putrinya dan sepertinya Sarada mulai tidak nyaman dan harus dimandikan. Akhirnya dengan berat hati, Ibu Mikoto membiarkannya pulang.
"Aku dan Sarada akan datang lebih sering, Bu," ujarnya berpamitan pulang, lalu mengecup pipi ibu mertuanya.
Begitu selesai membersihkan Sarada dan memasak untuk makan malam mereka, ia mengecek kotak obat─tempat dimana ia menyimpan pil miliknya. Dan benar saja, telah habis sejak beberapa waktu lalu.
Jarinya tanpa sadar mengetuk kabinet dapur. Perasaan ini hampir sama seperti saat mencari tahu kehamilan Sarada. Sedikit gugup tapi tidak segugup saat sebelumnya. Ia tidak langsung mengetes kehamilannya malam itu. Menunggu hingga pagi, karena hasilnya akan lebih akurat.
Sebelum tidur, ia mencoba bicara dengan suaminya. Ia ingin mencari tahu bagaimana pendapat pria itu tentang memiliki adik bagi Sarada. Walau sebenarnya ia juga belum tentu hamil. Tapi ia hanya bertanya untuk jaga-jaga.
Ia masih menoton TV di kamar dengan menyandar di kepala ranjang saat Sasuke masuk. Ia sengaja menunggu pria itu.
"Suamiku─kau ingin memiliki berapa anak?"
Gerakan Sasuke yang akan duduk di ranjang tertahan beberapa detik karena pertanyaannya. Pria itu terlihat berpikir sebelum menjawab.
"Kuharap tidak satu."
Ia mengangguk-angguk kecil sebagai respon.
"Kenapa? Kau sudah menginginkan anak lagi?" Sekarang Sasuke yang balik bertanya padanya. Mungkin aneh dengan pembahasannya yang tiba-tiba.
"Bukan begitu maksudku. Hanya persiapan saja─jika dia tiba-tiba datang."
Sebelah alis Sasuke naik, memandangnya bertanya. "Kau sedang hamil?"
"Aku tidak tahu, akan aku test pack besok pagi."
"Bukankah kau minum pil kontrasepsi?"
Ia mendesah sebelum menjelaskan, "Sudah habis. Aku lupa membeli lagi karena sibuk dengan Sarada." Lalu tiba-tiba rautnya berubah kesal. "Dan kau selalu mengeluarkan spermamu di dalam, sama sekali tidak ada niat untuk mengeluarkan di luar," decaknya dengan mata menyipit.
Sasuke menatapnya lurus. "Untuk apa aku melakukan itu? Kurasa pasangan suami-istri bebas melakukan apa pun."
Ia kembali berdecak tidak sabar. "Untuk meminimalisir kehamilan di luar rencana. Jadi setidaknya walau aku lupa minum pil, kau ada inisiatif untuk melakukan tindakan lain sebagai pencegahan."
Sasuke menggeleng tidak setuju dengan pernyataannya. "Tidak perlu dipusingkan. Jangan bersikap seperti kuhamili di luar nikah. Kau hamil besok pun, tidak ada masalah."
Tiba-tiba ia tertegun, seperti ucapan Sasuke ada benarnya. Tapi ia hanya mengkhawatirkan Sarada. Apa putrinya tidak terlalu kecil untuk mempunyai adik?
"Terkadang kau berlebihan. Sarada akan berusia dua tahun beberapa bulan lagi. Tidak masalah jika mempunyai adik," ujar Sasuke terakhir sebelum tidur. Dan seperti menjawab pertanyaan dalam benaknya.
Keesokan harinya begitu bangun, ia langsung ke kamar mandi. Mengambil test pack di laci wastafel dan memastikan apakah ia hamil atau tidak. Kali ini tidak segugup sebelumnya. Ia tidak harus bingung apa Sasuke akan terkejut atau tidak, karena nyatanya mereka telah menyinggung ini tadi malam.
Entah mengapa hasilnya keluar lebih lama dari biasanya. Ia mencoba menunggu dengan tenang. Lama-kelamaan alat itu menunjukkan hasil─garis samar. Ia mengernyit, mencoba melihat lebih jelas.
Dua garis samar.
Ia sedikit bingung. Karena saat mengecek kehamilan Sarada dulu, dua garis ini telihat lebih jelas dan nyata. Mengapa ini terlihat buram? Lalu ia mencoba membaca buku keterangan dalam kotak test pack. Dua garis samar bisa saja muncul karena kehamilan masih sangat muda dan hormon yang dihasilkan masih rendah. Tapi artinya ia tetap hamil.
Tidak menyerah, akhirnya ia mencoba sekali lagi. Dan hasilnya sama. Dua garis samar, namun lebih terang dari sebelumnya.
Ia menarik napas panjang. Sepertinya benar ia tengah hamil.
Saat keluar dari kamar mandi, ia melihat pintu yang mengarah ke balkon terbuka. Ternyata Sasuke telah bangun dan menggendong Sarada di sana. Ia menghampiri Sasuke dengan test pack di tangan.
"Bagaimana?" tanya pria itu begitu melihatnya.
"Sepertinya aku hamil─lagi."
Sasuke terdiam sebentar. Sebelum akhirnya mengangguk kecil dan kembali menghadap ke depan─menatap pemandangan lapangan golf Ise City. Tangannya mengusap-usap punggung Sarada yang berada di bahunya.
"Jika sekarang aku bertanya apa kau senang, apa kau masih menjawab tidak tahu?" tanyanya sedikit ragu. Suaranya terbata dan sedikit serak.
Sasuke menoleh padanya, menatap matanya lurus beberapa saat. "Aku senang."
Sedatar itu.
Alisnya terangkat. "Kau yakin sedang senang? Tidak apa jika kau ingin bilang tidak tahu lagi." Rasanya ia sedang sensitif karena Sasuke mengatakan senang, namun rautnya datar-datar saja.
"Aku senang. Aku hanya berpikir. Seharusnya semalam aku mengajakmu bercinta sepuasnya sebelum kau melarangku melakukannya tiga bulan ke depan." Lalu berjalan menjauh darinya dan masuk kembali ke kamar bersama Sarada di gendongan.
Mulutnya terbuka tidak percaya. Beruntung putri mereka belum mengerti apa pun. Ia bisa sesak napas jika suaminya mengatakan itu, saat anak mereka telah beranjak usia. Dan ia menyadari ekspresi senang datar dari Sasuke bukan karena tidak senang ia hamil, tapi karena pria itu tidak lagi bisa melakukan segalanya seperti biasanya.
.
.
-To be continued-
.
.
Udah hamil lagi aja Sakura 😂
Kemarin banyak yg komen Hiro otw, sekarang beneran otw ini. Rajin sih. Haha!
Sorry ya gaes, kemarin tidak bisa langsung up pas votenya terpenuhi. Everything needs time. Dan terimakasih sudah menunggu ❤
Jika sudah selesai baca, jangan lupa
VOTE VOTE VOTE
KOMEN KOMEN KOMEN
See you on next chapter! Bhay!
p.s. update saat vote 800