[Empat puluh enam]
"Papa? Ayah?" Sintya memandang kedua pria tua yang duduk di ruang tamu, dengan dahi berkerut.
Sangat jarang sekali ayah juga ayah mertuanya berkunjung seperti itu. Sintya menghampiri keduanya, berseru kecil kepada pelayan untuk membuatkan minuman.
"Mana suamimu, Sintya?" tanya Tama langsung.
Prabu-- ayah mertua Sintya sekaligus sahabat Tama, mengangkat tongkat dengan ukiran pohon dan daun-daun serta elang sebagai pegangannya, keperut Tama dan menyodoknya lumayan keras. "Aku belum setuju dengan ini!" serunya tidak terima.
"Tidak ada yang meminta persetujuanmu di sini. Anakmu sendiri yang sudah membuat keputusan." Tama membalas santai sambil menghisap cerutunya, mengangkat sebelah kakinya untuk berpangku pada kakinya yang lain.
"Itu tidak sah! Aku Tuan besar Adhyastha yang sesungguhnya, dan yang benar saja, bahkan tidak ada yang memberitahuku bahwa Baskara sudah menikah dan akan memiliki anak kembar!! Aku benar-benar merasa tidak dihargai." Prabu kesal, meneguk minumannya yang baru sampai hingga tandas.
Tama masih cuek, sedangkan Sintya mengendap-endap memundurkan diri dengan senyum kaku, memanggil suaminya untuk menyelesaikan masalah yang sudah dimulai.
"Itu karena kamu tidak pernah di rumah, selalu bepergian tanpa alasan yang penting." Tama mengangkat gelasnya anggun, menyesapnya tanpa suara dan kembali menaruhnya di atas meja.
"Jadi wajar semua orang melupakanmu," lanjutnya dengan senyum miring. Prabu naik darah, mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi untuk memukul sahabatnya yang selalu santai itu.
"Aku pergi bersamamu, Tua Bangka! Tapi kenapa kamu tahu masalah ini sedangkan aku tidak?" Prabu menarik kasar tongkatnya yang Tama tangkap.
Rasanya umur prabu berkurang satu hari setiap berdebat dengan sahabatnya, Tama. Dari dulu tidak pernah sekalipun Prabu melihat Tama terbawa emosi, hal itu pula yang membuat Prabu kesal karena keinginannya untuk melihat amarah diwajah sahabatnya itu tidak pernah terwujud seumur-umur. Dasar sok keren!
"Aku punya cucu yang selalu mengabariku. Calon penerus keluarga Raharja. Baskara Harsa Raharja dan Mentari Raharja, oh, dan dua anaknya yang akan lahir nanti. Aku tidak sabar ingin melihatnya," senyum manis tersungging dibibir Tama saat mengucapkan kalimat itu, berbanding terbalik dengan Prabu.
"Baskara juga cucuku! Dia masih seorang Adhyastha, begitu juga dengan isteri dan anak-anaknya. Titik!"
Tama memalingkan wajah tak acuh. "Bicara saja dengan anakmu. Aku hanya ingin merawat cucu dan cucu menantuku yang terlantar dan dengan senang hati menambahkan nama mereka didaftar ahli waris."
Prabu sudah ingin mengumpati Tama saat sudut matanya menangkap keberadaan Atmaja dan Sintya. Prabu berdiri, mengacungkan tongkatnya ke arah anaknya. "Kamu! Kenapa kamu mengusir cucu dan cucu menantuku?!" sentak Prabu hampir berteriak.
Bagaimana cara kerja otak Atmaja sebenarnya? Prabu berpikir keras tentang itu. Anak tunggalnya menikah dan akan memiliki anak kembar kenapa justru diusir dan diancam dikeluarkan dari kartu keluarga?
Jika sudah Tama yang mengambil alih merawat Baskara dan isterinya, akan sulit untuk memintanya kembali dari pria tua keras kepala itu. Dan bagaimana dengan kedua anak kembar Baskara dan isterinya? Terlahir sebagai seorang Raharja? Prabu tidak rela! Mereka itu murni darah Adhyastha!
"Aku memang melakukan yang seharusnya, Pa," jawab Atmaja tak ingin disalahkan.
"Yang seharusnya bagaimana? Kau mengusir satu-satunya ahli waris keluarga Adhyastha beserta keturunannya! Sekarang aku mulai berpikir untuk mengusirmu juga!"
Atmaja terperangah. Astaga, pria tua itu memang tidak kira-kira. "Baskara menikah tanpa sepengetahuan kita, Pa, itu salah. Dan lagi, dia menikah dengan bekas pelayan di mansion ini, itu juga salah!"
Prabu tidak bisa menahan tawa sinisnya saat mendengar kalimat yang diucapkan oleh Atmaja. Sedangkan Tama kini memanggil Sintya untuk bergabung duduk disofa bersamanya, menonton aksi adu argumen dari ayah dan anak.
"Semua baik-baik saja, kan, waktu Ayah pergi?" tanya Tama dengan nada rendah. Sintya membalas dengan senyum manis, menolak memberitahu yang sebenarnya tentang pernikahannya yang merenggang dengan Atmaja.
"Semuanya baik-baik saja, Ayah. Yaa, kecuali masalah Baskara, mas Atmaja masih tidak setuju dengan pernikahannya."
Tama mengangguk mengerti. "Masalah itu tenang saja, Ayah dengan senang hati membawa Baskara dan isterinya tinggal di mansion Ayah. Ayah rasa Baskara cocok untuk memimpin bisnis keluarga."
Sintya memutar bola mata, sudah tahu jika ini yang akan ayahnya inginkan. Tama yang ingin pensiun dan hanya Baskara yang pria tua itu percaya untuk mengurus tempat perjudian besar miliknya. Sebagian negara di luar negeri bahkan memberi Casino du Liban-- kasino milik Tama memonopoli total atas industri kasino di negara mereka.
Tempat judi milik Tama begitu eksklusif, ia bahkan tidak membiarkan pegawai pemerintah atau siapapun itu masuk ke kasino selain memiliki pendapatan setidaknya US$ 65.000 perbulan.
Karena orang-orang rela membayar mahal, operator kasino pun tak sungkan memberikan pengalaman mewah untuk konsumen seperti hotel, klub malam, atau fasilitas bisnis terintegrasi dengan kasino.
Tama kembali menyimak pertengkaran sahabatnya dengan menantunya tersebut, tidak memberikan waktu untuk Sintya protes atas keputusannya.
"Jadi hanya masalah itu?! Kasta? Astaga, dasar otak udang. Kamu pikir dapat membeli kebahagiaan dengan uang? Mamamu juga dulunya wanita biasa, dia hanya pegawai bank tapi kita bisa hidup bahagia. Jika Baskara sudah berani mengambil langkah itu, berarti dia sudah sanggup dengan segala konsekuensinya. Dia tau yang membuatnya bahagia dan dia memperjuangkannya."
Prabu menghempas tubuhnya ke sofa, memanggil pelayan untuk membuatkannya satu minuman lagi. Atmaja benar-benar bodoh, batinnya.
"Tapi kenapa dulu Papa menjodohkanku dengan Sintya? Kenapa Papa tidak menanyakan pilihanku?" tanya Atmaja tanpa nada. Sintya menegang ditempatnya.
Apa Atmaja ingin membongkar semuanya? Memberitahu Tama dan Prabu tentang hubungannya yang hambar selama 22 tahun dan berpikir untuk mengakhirinya?
Sintya menelan ludah kasar, mengatur ekspresinya agar terlihat biasa saja.
Prabu kembali mengangkat tongkatnya, ingin sekali melemparnya kewajah Atmaja. "Kenapa itu jadi masalah sekarang?! Lagipula kalian akhirnya saling jatuh cinta dan memiliki buah hati yang kini sudah dewasa dan dengan gampangnya kamu usir!" ujarnya sebal, sedikit menyindir.
"Aish, waktu itukan masih zamannya Siti Nurbaya, sekarang tidak lagi." Prabu melanjutkan dengan gumaman pelan. Sangat malu jika harus mengingat isterinya dan isteri Tama yang menyarankan untuk melakukan perjodohan hanya karena terkesima dengan cerita Siti Nurbaya.
"Terserah Papa," ucap Atmaja akhirnya, melangkah kembali ke dalam ruang kerjanya.
"Aku akan menyusul mas Atmaja," ujar Sintya gugup dan mengundurkan diri, mengikuti suaminya masuk ke dalam ruang kerja.
Prabu memukul sofa dengan tongkatnya, tertawa keras dengan wajah puas karena Atmaja mengalah dengan mudah. "Nah! Baskara tetap seorang Adhyastha! Kamu tidak akan bisa merebutnya, Ha ha ha!" ujarnya bangga pada Tama.
Tama melirik sekilas dengan senyum tipis, tidak terganggu sama sekali dengan tawa menyebalkan Prabu. Ia mengeluarkan berkas dari balik punggungnya, membuka dan menyebarnya di atas meja.
Berkas yang menyatakan Baskara dan Mentari serta keturunan-keturunan yang akan Mentari lahirkan nanti akan otomatis memiliki nama Raharja di belakangnya. Sudah sah secara hukum dan yang paling penting disetujui oleh pihak pertama, kedua, dan ketiga.
Senyum Prabu luntur tak tersisa seketika, matanya melotot dan akhirnya benar-benar melempar tongkatnya keras hingga mengenai bahu Tama.
"Dasar tua bangka brengsek!"
Setelah mendengar umpatan menggelegar dari Prabu, sudah jelas menunjukan siapa pemenangnya. Tama tertawa penuh kemenangan, mengusap jas mahalnya dengan anggun tepat di tempat tongkat milik sahabatnya itu mendarat tadi.
"Keluarga Raharja memang selalu selangkah lebih unggul dari keluarga Adhyastha," ujar Tama mengejek, bangkit dan berlalu setelah melambaikan tangan tak acuh pada Prabu yang sudah akan meledak.
Karma. Satu kata yang terus berputar dikepala Baskara belakangan ini. Dulu, jika tidak membuat Mentari susah rasanya tidak akan pas. Sekarang sebaliknya. Jangan tanya bagaimana cara Mentari melakukannya, yang pasti salah satunya adalah dengan cara yang ia kerjakan saat ini.
Baskara menghapus bulir keringat yang mengalir dipelipisnya, menenteng keranjang kosong masuk ke dalam kamar setelah sebelumnya menjemur semua pakaian Mentari yang sudah ia cuci.
Benar, Baskara yang mencuci semua pakaian kotor Mentari setelah mereka tinggal di mansion Raharja. Bukan tanpa alasan, selain karena Mentari yang tengah hamil muda, trauma Mentari yang kadang-kadang bisa kambuh membuatnya tak mempercayai seseorang untuk mencuci pakaiannya.
Dan Baskara yang berperan sebagai suami yang baik dan siap siaga tentu saja dengan amat sangat terpaksa melakukan pekerjaan rumah itu. Tapi tidak apa-apa, itu semua demi isteri dan anak-anaknya tercinta.
"Sayang, pijitin pinggul aku, dong. Kok pegel banget ya?" Mentari berbaring miring di atas ranjang, hanya memakai tank top tanpa bra yang mencetak jelas payudara dan perutnya yang kian membuncit.
Kehamilannya masih dua bulan, namun perutnya mengembang seolah tengah hamil 4 bulan. Tentu saja karena ada dua janin yang tumbuh di rahimnya.
"Iyaa," jawab Baskara pelan, berjalan masuk ke dalam kamar mandi untuk meletakan keranjang kemudian kembali dan naik ke atas kasur.
Mentari mengubah posisinya menjadi duduk bersila, memeluk dua bantal yang ia susun di atas pangkuannya. Baskara sudah siap di belakang isterinya, mengangkat tank top Mentari dan mulai memijat pelan.
"Aku capek banget, Kak. Badanku pegel-pegel semua," keluh Mentari pelan.
"Hn," jawab Baskara pendek, memutar bola mata malas.
Yang nyuci baju siapa? Yang capek siapa? batin Baskara ikut mengeluh dalam hati. Tangannya masih memijat dengan sabar.
Mentari mengerjapkan matanya pelan yang sudah mengantuk, entah Baskara yang memijat terlalu lembut atau memang ia sedang ingin saja, namun sesuatu dibawahnya sudah geli dan terasa lembab.
Mentari mulai mendesah pelan saat tangan Baskara menekan pelan pinggul yang dekat dengan bokongnya, kemudian perlahan kembali naik kepinggangnya.
"Kaak?" panggil Mentari dengan desahan pelan.
"Hn," jawab Baskara pendek, masih malas dan lelah sehabis mencuci namun tetap memaksakan tangannya untuk memijat pinggul yang katanya pegal oleh isterinya.
"Kayaknya ... aku mau itu deh, Kak," ujar Mentari berbalik badan, melihat Baskara dengan mata sayunya.
"Apa, itu? Begituan?" tanya Baskara yang berubah semangat.
Sudah lebih dari lima hari ia tak mendapat jatah dari sang isteri, dan kini rejekinya tiba-tiba datang disaat haus melanda hasratnya. Mana mungkin Baskara mampu menolak.
"Ayok!" ajaknya tak sabar.
Baskara mulai membuka seluruh pakaiannya, kemudian membantu Mentari melepas pakaiannya juga. Mereka mulai bercumbu dan Baskara membaringkan pelan tubuh Mentari di atas kasur, sebisa mungkin Baskara menahan tubuhnya agar tak menindih perut buncit isterinya.
Baskara mengecap bibir dan dada Mentari dengan sangat pelan penuh godaan. Mentari mendesah lirih dengan mata sayu saat Baskara mulai beranjak dari atasnya, menggoda pelan intinya cukup lama sebelum bersiap-siap untuk masuk menjenguk bayi-bayi mereka.
"Ayah numpang lewat ya, twins," izin Baskara pelan. Mulai memasuki Mentari dengan perlahan.
"Gimana, sayang? Enak, kan---" Baskara bertanya sembari memompa pelan, menatap naik ke wajah Mentari yang sudah terpejam dengan dengkuran halus.
"Sayang? Lo nge-prank gue ya?" Baskara menepuk pipi Mentari pelan, namun tak mendapat respon sedikitpun.
Harus banget, ya tidur disaat genting begini?
Baskara mendesah lesu, masih merasakan ketegangannya di dalam inti Mentari. "Gue gak bisa berhenti, Tar. Maaf ya ...," bisik Baskara tak enak, namun tetap menikmati sepenuh hati mengerjai Mentari yang sudah di alam mimpi.
Hitung-hitung sebagai bayarannya karena sudah mencuci pakaian kotor Mentari. Baskara membela diri dalam hati.
Tbc ...