Kaka&Rara [Completed]

By farare9

303K 17.8K 1.4K

[DISARANKAN FOLLOW TERLEBIH DAHULU BIAR KEREN KAYAK SAYA] ___________ Brukk Tubuh Kaka ambruk saking terkejut... More

PROLOG
1. Awal Mula
2. Masa Aktif Jomlo
3. Status Baru
4. Berita Panas
5. Kaka Sold Out
6. Boncengan Perdana
7. Ngambek
8. Mau Bunga
9. Bunga dari Kakanda
10. Eskalator
11. Es Krim
12. Mikhayla
13. Jatuh
14. Wejangan
15. Putus
16. Nasi Goreng Cinta
17. Perjuangan
18. Cewek Murahan
19. Kecewa
20. Galau
21. Sebuah Fakta
22. Modus
23. Tragedi di Lab
24. Rumah Kaka
25. Perhatian Kaka
26. Dijemput
27. Lagu untuk Kaka
28. Perihal Perasaan
29. Elegi
30. Kacau
31. Menyerah
32. Awal yang Goyah
33. Cuma Teman
34. Jangan Pergi, Ra
35. Cemburu?
36. Mulai Luluh?
37. Perasaan Baru
38. Gue Sayang Lo
39. Status Baru
40. Terima Kasih
41. Euforia
42. Jangan Sakit
43. Karen
45. Sebuah Kejutan
46. Permohonan
47. Break
48. Bima Kenapa?
49. Sudah Cukup
50. Pengakuan
51. Baikan
52. Perihal Masalalu
53. Real Sadboy
54. Duka
55. Drop
56. Delusi
57. Nestapa
58. Why, God?
59. Hampa
60. Tuhan Tidak Tidur
61. Sepucuk Surat
62. Bendera Putih
63. Pawang Aurara
64. Tidak Terwakilkan
65. Kebersamaan Terakhir
EPILOG
Extra Part : Kangen
I'm back!

44. For The First Time

3.9K 233 51
By farare9


Aurara menghela napas tatkala tak sengaja melihat jar memory di atas meja belajarnya. Jar memory itu masih kosong, Aurara belum sempat mengisinya dengan berbagai kejadian yang dia dan Kaka lalui setelah mereka resmi pacaran.

Aurara berjalan ke arah meja belajarnya, dia duduk kemudian mengambil jar memory bertali merah itu. Di sebelahnya ada stickey notes yang belum Aurara buka bungkusannya.

"Belum juga diisi udah enggak-enggak aja," gumamnya pelan. Aurara mengambil bolpoinnya, mengambil beberapa stickey notes dengan warna berbeda dan hendak menuliskan sesuatu.

Meski tampak ragu, Aurara akhirnya menggerakkan jarinya untuk menulis. Di stickey notes pertama tertulis;

Hari itu, di depan gerbang rumah, Kaka dengan kakunya menyatakan perasaan. Sayang aku katanya.

Tanpa sadar bibir Aurara tertarik ke atas. Mengingatnya membuat Aurara jadi salah tingkah sendiri. Meskipun tampak kaku, pernyataan Kaka terlihat sangat tulus untuknya waktu itu.

Aurara kembali menulis di stickey notes berikutnya. Begitu seterusnya hingga sudah ada lima stickey notes yang berisi tulisan tangannya. Aurara melihatnya kembali satu persatu, di antara lima tulisan itu, ada satu yang berisi kenangan tidak mengenakkan.

Aurara mengambil kelimanya, kemudian memasukkannya ke dalam jar memory untuk pertama kalinya.

"Semoga kisah gue dan Kaka bisa sampe menuhin jar memory ini, ya." Aurara begumam pelan. Tersirat harapan besar dalam ucapannya.

***

Aneh. Itulah yang Kaka rasakan sejak semalam. Pesan yang Kaka kirimkan pada Aurara sejak semalam tak kunjung dibalas. Bahkan dibaca pun tidak. Sangat tidak biasanya. Karena cewek itu biasanya membalas pesannya super kilat.

Untuk menghilangkan berbagai pertanyaannya, Kaka yang baru saja tiba di sekolah tidak langsung menuju kelasnya, namun dia pergi ke kelas Aurara untuk mencari cewek itu.

Kaka berdiri di depan pintu kelas 11 IPS 2. Matanya meyapu pandang seisi kelas mencari keberadaan Aurara. Kedatangan Kaka yang tiba-tiba menarik atensi para teman kelas Aurara. Tak terkecuali Claudia yang tengah menghapus papan tulis. Cewek itu menghentikan aktivitasnya, lalu berjalan menghampiri Kaka.

"Kak Kaka nyari Rara, ya?" tebak Claudia. Untuk apa lagi Kaka datang ke kelasnya jika tidak mencari Aurara?

Kaka berdehem. Matanya tertuju pada bangku Aurara.

"Aurara kemana?" tanya Kaka saat dilihatnya ransel Aurara sudah ada di atas meja. Namun cewek itu tidak ada di tempat.

Claudia mengikuti pandangan Kaka, kemudian kembali menatap Kaka. "Dia tadi katanya mau ke kantin. Dia nggak sempet sarapan. Emang dasar Aurara, mau bel malah ke kantin."
Kaka diam sejenak. Kemudian mengangguk dan pergi begitu saja.

"Astaga, nggak ada basa-basinya sama sekali," gerutu Claudia lalu berbalik dan melanjutkan acara piketnya.

Sementara itu Kaka dengan langkahnya yang tergesa menuju kantin untuk menghampiri Aurara. Rasa-rasanya, dunia Kaka kini lebih didominasi gadis mungil berwajah cantik bernama Aurara Jihana. Kalau dulu dunia Kaka terasa sangat hambar dan monoton, kali ini lebih terkesan berwarna saat Aurara hadir dan menghancurkan segala anggapannya soal perempuan dan cinta.

"Ra," panggil Kaka saat berpapasan dengan Aurara di tengah koridor. Aurara tidak sendiri, dia bersama Bima.

Aurara yang semula mengobrol dan tertawa karena mendengar cerita Bima sontak langsung mengerem langkahnya. Aurara mendongak, mimik wajahnya tidak terlalu senang.

"Gue duluan, Ra," pamit Bima tahu situasi. Cowok itu kemudian melengang pergi dari hadapan Kaka dan Aurara. Bima tidak mau ya jadi obat nyamuk.

"Kenapa?" sahut Aurara terkesan jutek.

"Abis darimana?" Kaka berjalan mendekat.

"Kantin. Makan."

Kaka mengangkat sebelah alisnya. Tangannya bergerak menyentuh puncak kepala Aurara. Mendiamkan tangannya di sana. "Lagi PMS, ya?" tanyanya.

"Enggak, tuh." Aurara membuang muka. Enggan menatap Kaka balik.

Kaka tersenyum kecil. Dielusnya perlahan puncak kepala Aurara. Bukannya merasa aneh, Kaka justru gemas melihat tingkah Aurara yang seperti ini.

"Lagian enggak usah nanya-nanya, deh. Kepo banget," celetuk Aurara lagi. Hatinya masih sakit, ubun-ubunnya masih ingin berasap kala mengingat apa yang dilihatnya kemarin.

Kaka menurunkan tangannya. Ekor matanya kemudian menatap tangan Aurara yang menggenggam seplastik es teh.

"Pagi-pagi jangan minum yang dingin-dingin. Nggak bagus. Nanti kalo batuk gimana?" ucap Kaka lalu merebut begitu saja es teh dari tangan Aurara dan membuangnya ke tong sampah di dekatnya.

Aurara yang melihatnya melotot. Emosinya tak bisa lagi terbendung. Dengan galak Aurara memukul dada Kaka, kemudian pergi dari hadapan Kaka dengan langkah cepat.

Kaka tak tinggal diam. Dia mengikuti Aurara dari belakang. Kaka tak mengatakan sepatah kata pun. Kaka terus mengikuti Aurara hingga tiba-tiba cewek itu berhenti. Membuat Kaka ikut berhenti.

"Ih, apa, sih ngikut-ngikut?!" kesal Aurara. Cewek itu sudah berbalik menghadap Kaka.

"Jalan," jawab Kaka enteng.

Aurara mendengkus. "Diem di situ! Jangan ngikutin aku!" tegas Aurara. Tangannya menunjuk lantai tempat Kaka berdiri.

Begitu mengatakan itu Aurara kembali melangkah dengan cepat. Lagi-lagi Kaka mengikuti langkahnya, kali ini bahkan Kaka menarik pergelangan tangannya dari belakang, membuat Aurara menarik dan mengembuskan napas menahan emosi. Dengan kesal Aurara berbalik.

"Kamu tuh jahat!" ucapnya tiba-tiba.

"Tega banget sama aku!"

"Beneran marah ternyata," gumam Kaka. Kaka sedikit terkejut. Dia kira Aurara hanya kesal karena es tehnya dia buang, namun melihat tatapan Aurara sepertinya kekesalan cewek itu naik level menjadi kemarahan.

"Iya udah ayo beli lagi," putus Kaka akhirnya.

Aurara menggeleng tegas. "Tega-teganya ya kamu bohong sama aku. Katanya kemarin mau ke rumah Kak Zidan? Kok malah nyasar ke mini market sama cewek? Pake rangkul-rangkul segala lagi. Maksudnya apa? Selingkuh gitu?"

Aurara tak mampu lagi untuk tidak mengatakannya. Kalau dulu Aurara memang tidak berhak marah seperti ini karena Kaka tak pernah menganggapnya, namun sekarang keadaan sudah berbalik, Aurara sangat berhak seperti ini.

"Kamu ngapain aja sama Karen kemarin?"
Mendengar pertanyaan Aurara Kaka terdiam kaku. Ditatapnya Aurara dalam. Pertanyaan Aurara seolah menunjukkan Kaka sedang kepergok selingkuh saja.

"Lo lihat?" tanya Kaka akhirnya yang semakin membuat Aurara mendidih di tempat.

"Ya, aku lihat. Kamu dengan mesranya ngerangkul dia jalan ke mini market. Dan kamu kaya nggak ada beban ngelakuin itu? Kamu inget nggak sih kalo ada aku, pacar kamu?" balas Aurara sarkas. Aurara merasa tidak dihargai kalau sikap Kaka seperti ini.

"Kamu ada hubungan apa, sih sama dia? Punya masalalu kaya gimana? Spesial, banget ya sampe-sampe aku nggak boleh tau?"
Diberondong dengan banyak pertanyaan membuat Kaka hanya bisa diam. Dia menunggu sampai Aurara menuntaskan seluruh kemarahannya.

"Ih, kamu nyebelin banget! Udah sana urusin aja Karen!" sentak Aurara karena Kaka hanya membisu menanggapi kemarahannya.

Kaka menghela napas pelan. "Udah marah-marahnya?"

"Enak aja udah." Aurara mendelik kesal.

"Nggak usah urusin aku, urus aja si Karen itu."
Setelah mengatakan itu Aurara berbalik, melengang pergi dengan menghentakkan kaki di sela langkahnya. Aurara tak menoleh lagi pada Kaka yang menatap punggungnya yang semakin menjauh. Aurara terlanjur kesal.

Kaka menggaruk tengkuknya. Sepertinya, lebih baik Kaka tidak menemui Aurara hingga emosi cewek itu benar-benar sudah mereda. Ya meskipun marahnya Aurara masih saja terkesan lucu.

"Begini rasanya dicemburuin sama pacar?" Kaka menggumam datar, membalikkan badan lalu berjalan menuju kelasnya.

***

"Miris amat yak idup gue. Nggak punya pacar, sekali mau punya pacar yang digebet nolak-nolak mulu. Meriang ...," celetuk Seno dengan nada tak bertenaga. Cowok itu kini bersandar di tembok sebuah warung tempat biasa mereka berempat-- lebih tepatnya mereka bertiga untuk menikmati waktu sepulang sekolah. Akhir-akhir ini mereka memang jarang mampir ke sini.

"Cewek kalo dikejar suka kaga tau diri alias jual mahal, Sen," timpal Zidan lalu menghisap rokoknya.

Seno mendengkus. Membuang puntung rokoknya sembarangan lalu menatap Zidan dengan helaan napas kasar. "Dikejar aja nolak gimana nggak dikejar coba?"

Zidan tertawa. Menertawakan kegalauan temannya. "Udah Sen, kalo pengen nyerah mah nyerah aja. Nggak usah maksa. Mendingan lo ditolak secara alus, kalo ujung-ujungnya dikatain? Kan lebih sakit ati lagi."

"Kalian ngomongin apa, nih?" Ilham yang baru saja kembali dari memesan mie rebus nimbrung obrolan.

"Biasa. Dila," jawab Zidan santai.

"Oalah, Sen, Sen. Jangan ngabisin masa muda sama ngejar cewek yang nggak mau sama lo deh. Kan cewek banyak populasinya di dunia," ucap Ilham lalu duduk di samping Seno. Cowok itu kemudian menikmati mi rebusnya. Tak menghiraukan delikan dari Seno.

"Kaga usah songong lo, mentang-mentang udah jadian sama adek kelas," sungut Seno.

Ilham langsung tersedak. Dia menoleh dengan muka memerah. "Siapa yang jadian? Ngada-ngada."

Zidan tertawa kencang. Baru kali ini melihat Seno dan Ilham bertengkar.

"Terus Fafa tuh apa? Adek-adekan gitu?" balas Seno masih nge-gas.

"Fafa ya Fafa lah!"

"Belagu mentang-mentang cintanya nggak bertepuk sebelah tangan," ucap Seno lagi. Cowok itu kini kembali menyalakan sebatang rokok. Itu semua tak luput dari penghlihatan Kaka yang sedari tadi diam menyaksikan interaksi teman-temannya.

"Jangan ngerokok terus. Sayang paru-paru lo," tegur Kaka karena Seno sudah dua kali menghisap rokok. Itupun dalam waktu yang berdekatan.

"Bener tuh kata Kaka!" seru Zidan.

"Lo juga, Dan," tambah Kaka.

Zidan nyengir. Kemudian membuang puntung rokoknya yang nyaris habis. Zidan menerima nasihat Kaka. Zidan hanya merokok di saat-saat tertentu saja. Tidak sesering seperti Seno.

"Jangan Dila aja lo sayang, paru-paru lo juga." Ilham ikut menegur. Ilham sama seperti Kaka, tidak merokok.

"Iya, Ka. Abis gue kaya galau banget." Seno menjawab lesu.

"Tapi rokok bukan jalan satu-satunya, Sen."

Seno mengangguk. Meskipun Kaka lebih pendiam dari mereka berempat, Kaka selalu peduli dan selalu bisa menjadi pendengar keluh kesah yang baik. Seno mengerti Kaka tidak ada maksud apapun. Kaka hanya mengingatkan jika itu tidak baik. Kaka akan sangat menolak keras jika ditawari rokok. Karena Kaka tahu, rokok tidak baik untuk kesehatan. Kaka ingin teman-temannya juga sadar akan hal itu dan mulai menyayangi tubuh mereka sendiri.

"Bener. Kan masih ada bir, Sen," tambah Zidan yang langsung mendapat pelototan dari Kaka.

"Bercanda kali, Ka. Masa gue nyuruh temen sendiri mabok-mabokan?" Zidan nyengir. Dia duduk mendekat pada Kaka.

"Kalo dipikir-pikir." Seno bertopang dagu. Dia sudah meletakkan rokoknya di asbak. "Jadi Kaka enak, ya?"

"Kaka dikejar Aurara, dia risih digituin, dia benci digituin, eh pas dia udah sayang Aurara Aurara masih bisa nerima Kaka meskipun sering disakitin atinya. Lancar banget, sih kisah cinta lo, Ka." Seno menoleh heran pada Kaka.

"Lo kebanyakan dosa, sih Sen. Jadinya disendat-sendat bahagianya," timpal Zidan.

"Lo ada dendam apaan, sih sebenernya sama gue? Nge-bully gue teroos," keluh Seno karena sedari tadi Zidan tidak pernah berpihak padanya.

"Lo ngiri gue berani berjuang?"

"Dih enak aja. Kalo gue mau, sekarang juga gue bisa punya pacar!" Zidan nge-gas.

"Jadi fuckboy kok bangga." Seno mencibir pelan. "Malu, dong sama softboy macem Ilham."

"Aurara tadi marah-marah." Ucapan Kaka membuat atensi ketiga temannya teralihkan padanya.

"Kenapa?" tanya Ilham.

Kaka menghela napas pelan. Dia menceritakan pada ketiga temannya. Tidak detail, namun membuat Zidan, Seno dan Ilham mengangguk-anggukkan kepala.

"Jelas dia marah, Ka," ucap Ilham.
"Dan lo bukannya dateng buat jelasin dan minta maaf malah milih nggak peduli?" tambah Seno.

"Bukannya nggak peduli, Sen. Gue nunggu marahnya reda dulu," jawab Kaka merasa memang itu pilihan yang terbaik.

"Kalo nggak reda-reda?" Zidan mengangkat kedua alisnya.

"Dia udah pulang atau nggak apa lo tau, Ka?" tanya Seno.

Kaka menggeleng.

Seno berdecak. Kaka harus belajar banyak mengenai dunia perpacaran.

"Balik ke sekolah sana, Ka. Kalo Aurara belum pulang dan dia pulang sendiri gimana? Kan bahaya jam-jam segini."

Ucapan Seno membuat Kaka terdiam cukup lama. Dia melirik arloji di tangan kirinya. Pukul dua siang lebih. Apa mungkin Aurara masih ada di sekolah?

Tidak ingin terjadi hal yang tidak-tidak, Kaka beranjak berdiri. Mengambil jaket dan kunci motornya lalu melengang pergi.

"Gue pergi," ucapnya sebelum benar-benar meninggalkan warung.

***

"BANGSAT! YANG BENER KALO BAWA MOTOR." Kaka berteriak kasar saat dalam jarak yang sudah dekat dia melihat sebuah motor dari arah kanan melaju cepat dan membuat Aurara yang baru saja berbelok keluar dari gerbang menubruk motor itu. Aurara tampak jatuh tersungkur, dahinya membentur aspal.

Aurara memegangi kepalanya yang pusing. Dia merasa ada yang menarik tubuhnya untuk duduk. Napas Aurara menderu tidak beraturan. Jantungnya berdegup kencang. Aurara syok. Aurara mencoba mengerjapkan matanya untuk memperjelas penglihatannya. Setelah beberapa detik penyesuaian, akhirnya Aurara bisa melihat jelas.

"Ayo duduk," ajak Kaka lalu meraih kedua pundak Aurara. Kaka membawa Aurara ke pinggir jalan. Tepat di samping pos satpam.
Kaka mendudukkan Aurara. Dia kemudian ikut duduk bersila di depan Aurara.

"Punya tissue sama air?" tanyanya yang diangguki Aurara.

"Di dalem tas aku," jawab Aurara.

Kaka mengangguk. Dia mengambil alih ransel Aurara kemudian mengambil tisu dan juga botol minum Aurara. Setelah membasahi tisu dengan air minum, Kaka kemudian membersihkan darah yang menetes di sekitar dahi Aurara.

"Aduh, sakit."

"Perih. Pelan-pelan, Kaka."

"Tahan sebentar. Ini dibersihin biar nggak infeksi," ucap Kaka lalu kembali membersihkan dahi Aurara. Kaka bersyukur, Aurara tidak terluka parah. Hanya dahinya saja yang tergores sedikit.

"Kenapa belum pulang?" tanya Kaka lalu melirik Aurara yang menunduk menahan sakit.

"Ra?" panggil Kaka saat Aurara diam tak menyahut.

Kaka menghela napas pelan. Dia sedikit membungkuk, menyejajarkan kepalanya dengan kepala Aurara.

"Masih marah, ya?"

Ditatap seintens itu oleh Kaka membuat Aurara menunduk. Dia menggigit bibirnya. Antara gemas dan juga kesal bercampur menjadi satu dalam hatinya.

"Jangan marah lagi," ucap Kaka melembut.

"Kemarin gue emang ke rumah Zidan. Dijalan nggak sengaja ngeliat Karen ditabrak motor. Gue bopong dia ke mini market. Tapi abis itu gue pergi, Ra."

"Gue nggak peduli dia kesakitan dan butuh diobati atau enggak."

Aurara langsung mengangkat pandang. Apa Kaka berbohong agar dia maafkan? Atau Aurara saja yang memang salah paham?

"Gue enggak jago bohong, Ra." Kaka seolah tahu pikiran Aurara.

Kaka menempelkan tissue pada dahi Aurara. Kembali membersihkan dahi Aurara. Dengan jarak sedekat ini, Aurara dapat merasakan hembusan napas Kaka menerpa wajahnya. Harum tubuh Kaka pun tercium di hidung Aurara.

"Jadi jangan marah lagi. Jangan cemburu terus marah-marah kaya tadi," ucap Kaka lagi.

Aurara memutar bola matanya ke atas. "Kaka, kok tau aku masih di sekolah?"

Kaka sudah selesai. Cowok itu balik menatap Aurara. "Maafin gue, ya?"

"Maaf untuk apa dulu?" Aurara sudah kembali seperti semula.

"Buat lo cemburu," jawab Kaka enteng.

"Aku enggak cemburu!"

"Terus tadi apa?"

"Marah aja, lah."

"Marahnya karena cemburu, kan?"

"Kaka ih!"

Kaka terkekeh pelan. Dia menarik kedua telapak tangan Aurara kemudian menggenggamnya.

"Jangan suka bikin khawatir dengan marah-marah dan luka kaya gini," ungkap Kaka dengan tatapan teduhnya yang terus mengunci Aurara.

Hanya dengan Aurara Kaka bisa merasakan ini semua. Kaka merasa bebas dengan melakukan banyak hal baru bersama Aurara. Kaka merasa lebih bahagia keluar dari zona nyamannya. Kehidupan yang monoton. Kaka akan menjaga ini semua. Kaka tidak ingin menyakiti Aurara. Kaka ingin menjaga Aurara sekuat yang dia bisa.

"Kita baikan, ya?" Bersamaan dengan ucapannya itu, Kaka semakin mempertipis jarak mereka. Semakin dekat, Kaka memiringkan kepala. Aurara sontak memejamkan mata rapat.

Selang beberapa detik, Aurara merasa napas Kaka menerpa wajahnya, bersama itu sesuatu terasa menempel di pipi kirinya.

Kaka menciumnya.

***

Ini Aurara Jihana

Ini Kakanda Aqsa Jauhari

Ini Mikhayla Ainsley Sugata

Ini Kaka sama Suri

Oh ya, selamat menunaikan ibadah puasa ramadhan. Semoga semua ibadah kita di bulan suci dan penuh rahmat ini diterima Allah SWT. Aamiin. Segitu dulu aja, ya.

See u ASAP!

Salam manis,
Aku

Continue Reading

You'll Also Like

9.9K 988 56
"Kalaupun bisa memilih, gue gak akan cinta sama lo sharul!!" Sesakit, sesalah, sesusah itukah mencintai seorang Mahameru Sharul Ganendra itu? "Andai...
681K 52.2K 44
pemuda manipulatif yang bertransmigrasi jiwa ketubuh remaja berandalan yang dibenci orang-orang. BUKAN BL! Full revisi beberapa alur dan karakter ter...
181K 4.9K 45
"orang baru akan kalah dengan orang yg ada di masalalu" - Alin
9.6M 834K 75
[Part tidak lengkap] Keira Quenessia Siswi Sma kelas XII yang harus menjadi istri dan ibu di usia muda. Namun ia tak pernah menyesal dan mensyukuri...