Happy reading 🤗
.
.
.
Dulu saat kecil, menjadi desainer itu bukan merupakan cita-citaku. Aku memilih senang menggambar-gambar pakaian, tapi itu hanya sebagai hobi.
Karena seperti kebanyakan anak kecil lainnya, cita-citaku juga sering berubah-ubah tergantung musim. Kalau di TV sedang ada tayangan Conan, maka aku ingin jadi detektif. Kalau sedang main ke rumah Om Romi, maka aku ingin jadi dokter. Kalau bertemu Om Angkasa, kepingin jadi orang kantoran. Bahkan dulu pernah diajak liburan ke Denpasar untuk tinggal sebentar di rumah Kakek Danu, aku bercita-cita jadi turis hanya karena pernah kenalan dengan turis. Tertawalah, karena aku memang seabsurd itu.
Hingga di kelas 3 SMP, aku diajari menjahit oleh Tante Bintang. Awalnya hanya menjahit sembarang kain, tanpa tujuan pasti. Setiap hari aku berlatih, hingga tidak bisa dihitung lagi berapa tusukan yang mampir ke jari. Maklum, waktu itu justru aku lebih dulu latihan jahit tangan. Tapi aku merasa sangat puas ketika untuk pertama kalinya berhasil membuat sebuah bando kain yang cantik. Bando itu disukai oleh teman sebangkuku. Aku pun memberikannya dengan senang hati.
Sejak itu, aku seolah tahu mau jadi apa saat dewasa nanti. Melihat hasil karyamu disukai orang lain, entah sekecil apapun itu, rasanya sangat membanggakan. Bahagianya melebihi diterima jadi pacar gebetan. Serius. Jangan tertawa! Karena itu, meski di musim-musim tertentu, waktuku banyak tersita untuk pekerjaan, tapi aku menikmati. Kebahagiaan seorang pekerja itu adalah saat di mana hobimu bisa jadi mata pencaharian.
"Helloooo, all!"
Suara renyah itu membuatku mengangkat pandangan dari buku sketsa. Mahasiswa yang sikapnya masih seperti bocah itu tersenyum lebar menyapa Ririn dan Fani, sambil memberikan tas kertas kecil entah isinya apa. Saat menoleh padaku, dia menampilkan cengiran.
"Ngapain lo ke sini?"
"Gitu ya lo sama gue?" Dia berdecak, menyeret kursi plastik di ujung ruangan, lalu meletakkannya di sebelahku. Dua buah tas kertas ditaruh di atas meja. "Yang biru buat Athar. Yang item buat lo."
"Apaan nih?" Aku mengintip isinya yang ternyata oleh-oleh khas Bali. Ada pie susu juga, yang langsung kumakan. "Thanks."
Dia tertawa, lalu tanpa aba-aba langsung mengacak-acak rambutku.
"Heh, nggak sopan ya lo sama orang tua!" Kupukul tangannya keras-keras. Fani dan Ririn cekikikan sambil saling berbisik.
"Oleh-oleh ini nggak gratis, tahu."
Aku mencebikkan bibir. "Udah gue duga. Minta bayaran apa lo?"
Dia tersenyum miring, menaikturunkan alis. "Instagram live. Kita berdua."
"Ogah!"
"Yaah, Nes, bantuin gue kek!" Kedua tangannya ditangkupkan. "Gue harus konfirm soal instastory kemarin."
"Salah lo kenapa seenaknya posting foto selfie kita!"
Dia menatapku memelas. Aku membuang muka. Jadi ceritanya, kemarin sore aku dapat pemberitahuan di Instagram kalau Dewa memposting foto kami. Dia juga menandai akunku. Belum lima menit posting, sudah banyak fansnya yang bertanya soal hubungan kami. Yang membuatku kesal setengah mati, mereka juga mengirim DM ke akunku. Sampai aku terganggu karena rentetan notifikasinya. Dan terpaksa aku log out sementara dari sosial media itu.
"Agnes!"
"Ogah."
"Nees...."
"Gue bilang ogah ya ogah. Sono lo pulang!"
"Kok lo gitu sih? Katanya peduli? Bullshit lo!"
"Bodo. Gue udah nggak peduli lagi sama lo."
"Udah Nes, bantu aja napa, sih?" Ririn ikut bicara.
"Iya, Mbak. Sekalian konfirmasi kalau kalian emang in relationship."
"In relationship, your head!" Aku menatap Fani kesal. "Gara-gara bocah ini hidup gue nggak tenang."
"Makanya kita konfirm kalau kita cuma temen. Please...."
Aku melempar kepala Dewa dengan pensil. Belum puas, kupukul juga lengannya dengan binder tebal. Dia sampai mengelak dan terus menghindar, membuat kami akhirnya kejar-kejaran.
"Stop!"
Akhirnya aku berhenti. Tante Rahma sudah berdiri di depan pintu, dengan kedua tangan berkacak pinggang.
"Kalau mau main-main, ke sekolah Daisy aja sana!"
"Dewa nih, Tan!"
"Apaan? Gue diem ya dari tadi. Lo yang terus-terusan aniaya gue kayak kesurupan. Belum nikah aja mainnya udah kekerasan. Alamat habis nikah, di-KDRT terus, nih."
"Siapa juga yang mau nikah sama lo!"
"Kapan gue bilang mau nikah sama lo? Perasaan gue nggak nyebut itu, deh." Dewa tersenyum tengil. "Lo ngarep gue nikahin, ya?"
Aku mendesis. "Masih jetlag ya, lo? Wake up, boy, wake up!"
"Hush kalian ini kalau ketemu selalu aja cosplay jadi Tom sama Jerry!" Tante Rahma geleng-geleng kepala. "Dan kamu, Dewa. Ngapain ke sini? Model ambassador dilarang masuk ruang kerja desainer. Keluar. Keluar."
Ekspresi Dewa berubah masam. Bocah itu melotot, yang kubalas dengan lambaian tangan dan juga juluran lidah. Dan dia pun akhirnya terpaksa keluar.
***
Pulang kerja, aku tidak bisa langsung menuju apartemen karena harus mengantar Fani dulu. Gadis itu seharian ini memang tampak lemah dan agak pucat. Bahkan saat sudah hampir jam pulang tadi, dia kelihatan mau pingsan. Karena itu, aku tidak bisa membiarkannya pulang dengan bus seperti biasa.
"Thanks ya, Mbak, udah nganter."
Aku menoleh ke bangku belakang, lalu tersenyum. "It's okay, Fan. Lo kalau ada apa-apa jangan disimpan sendiri gitu. Anak-anak butik keluarga lo juga. Jangan ngerasa sendiri."
Aku bisa melihat wajah Fani agak pias saat aku mengucapkan itu. Matanya seperti menerawang, dan berpikir keras. Sebenarnya sudah beberapa hari ini aku menyadari bahwa sikapnya agak aneh. Tapi karena terlalu sibuk, aku belum sempat bertanya, atau minimal berdiskusi dengan Ririn.
"Kuat naik sendiri nggak, Mbak Fan? Biar gue bantu." Dewa yang duduk di sebelahku, mengeluarkan suara.
"Nggak usah, Wa, thanks." Fani membuka pintu, lalu keluar.
"Kalau kos-kosan lo nggak ngebolehin ada cowok masuk, biar gue yang ikut. Tangga ke kamar lo lumayan banyak lho, Fan."
"Nggak usah, Mbak. Gue masih kuat, elah." Fani tertawa garing. "Lebay banget kalian."
Aku mendengus. Jelas sekali gadis ini berusaha terlihat kuat, padahal tubuh dan wajahnya saja menunjukkan hal yang bertolak belakang.
"Ya udah, sana masuk. Gue tungguin bentar."
"Apaan sih Mbak, lo kok–"
"Gue nggak mau dibantah ya, Fan!" potongku, tegas.
Fani menghela napas. Dia menggumamkan terima kasih, lalu berjalan pelan memasuki pintu gerbang kos-kosan khusus perempuan itu. Sedangkan aku menunggu beberapa menit sampai benar-benar memastikan kalau dia sudah masuk dengan selamat.
Jangan bilang aku berlebihan. Bertahun-tahun kenal Fani, meski tidak sedekat Rasti dan Kiara, tapi aku sudah menganggap gadis itu sebagai keluarga. Fani anak yatim piatu, dan tidak memiliki saudara. Dia hidup sebatang kara. Karena itu, sebagai teman, aku harus bisa melindunginya. Sebenarnya bukan hanya aku, karena Ririn juga merasa punya kewajiban menjaga Fani.
"Dia kelihatan nggak sehat," kata Dewa, setelah aku kembali melajukan Miko.
"Hm." Aku meliriknya sekilas. "Mulai sekarang aja, Wa, gue kalau sampai apart mau langsung tepar."
"Iya."
Akhirnya, dengan terpaksa aku menuruti keinginan Dewa. Tentu saja karena bocah itu terus saja merecokiku seharian ini. Dan perjalanan pulang menjadi pilihan kami. Kebetulan, Dewa juga katanya mau menemui Bangbi untuk membicarakan bisnis entah apa.
"Halo. Assalamualaikum. Selamat malam, guys. Balik lagi di Instagram live Mahardika Dewa."
Aku yang fokus menyetir, melirik Dewa yang sedang memulai aktifitasnya menyapa fans. Dia tersenyum lebar, ramah dan tidak meninggalkan kesan tengil yang sudah sangat melekat tanpa bisa dicabut dari pribadinya.
"Sesuai janji, malam ini gue mau kenalin kalian sama cewek tua yang fotonya kemarin gue pos–aduh!" Dia mengusap-usap lengan atasnya yang kutonjok. Lalu tertawa. "Doi marah gue bilang tua!"
Aku mendesis, memalingkan muka ke depan. Seperti biasa ketika sedang menyapa para fans, dia menyelipkan candaan-candaan receh. Aku hanya menyimak.
"Nah, kenalin cewek di samping gue yang ngakunya cantik, imut, manis, dan menggemaskan padahal hoax." Dewa mengarahkan kamera ponselnya ke arahku. "Jeng jeng jeng! Say hello, Agnesia Sinta."
Aku tersenyum kecil. Melambaikan tangan. "Halo semua, kalian bisa panggil aku Agnes."
"Nggak usah sok kalem lo. Biasanya juga galak plus bar-bar." Dewa mendorong ringan bahuku.
"Gue lagi nyetir, bego!" Aku menjambak rambutnya dengan sebelah tangan.
"Tuh kan, guys, Agnes ini emang gitu. Kasar, sukanya KDRT." Dewa tertawa kecil. "Jadi, gue mau klarifikasi kalau gue dan Agnes itu sama sekali nggak ada hubungan kayak yang kalian kira. Kita cuma temen biasa aja. Dulu gue temenan cuma sama sahabat Agnes tapi lama-lama ikut dekat juga sama dia."
Aku tersenyum mencibir. "Cuma teman Kia, tapi juga bucinnya."
Mendengar gumamanku, Dewa tetap tersenyum meski matanya memelototiku. Aku tertawa mengejek.
"Soal foto itu, kita udah biasa selfie bareng. Harusnya sih wajar kan kalau sesama teman saling seru-seruan foto bareng gitu?"
"Walaupun lebih banyak debatnya!" celetukku, yang disambut tawa Dewa.
"Yup, bener. Gue sama Agnes lebih banyak berantemnya. Jadi kayaknya emang mustahil kalau kita saling suka dalam tanda kutip."
"Bukan kayaknya, tapi fix gue nggak bakal suka sama bocah kayak lo."
"See, guys? Dia itu emang tukang nyolot. Untung gue sabar, ya kan?"
Aku memutar bola mata.
"Jadi, sudah jelas ya. Gue minta tolong banget buat nggak neror lewat DM ke akun Agnes, ya. Kasihan lho, dia udah jarang dikirimi DM, sekalinya ada malah teror. Gue sebagai temen yang baik, ngerasa prihatin aja sama nasib jonesnya."
"Jangan bawa-bawa status, lo!"
Dewa mengerling. "Siapa tahu di antara fans gue ada yang hatinya nyantol ke elo? Betul kan, guys?"
Aku mendengus. Iya, kalau fans-fans dia itu adalah manusia-manusia hot macam Donghae, atau kalau versi lokalnya ya Omar Daniel. Kalau cuma ABG mah, aku tidak minat.
"Klarifikasinya gue end cukup sampai sini ya. Sekarang, gue buka kesempatan ke kalian yang mau tanya-tanya. Langsung komen di bawah, oke?"
Aku menghela napas lega. Setidaknya, setelah ini aku akan dengan bebas berselancar di Instagram lagi. Menikmati foto oppa-oppa Korea yang selalu jadi pengantar tidurku tiap malam. Meski mungkin tetap saja akan ada beberapa fans Dewa yang tidak percaya begitu saja dengan klarifikasi ini. Kecuali kalau salah satu dari aku atau Dewa, membuktikan dengan memperkenalkan pasangan. Ya, tahu sendiri kan susahnya jadi publik figur?
Ah, atau mungkin sudah saatnya aku cari pacar seperti yang selalu disarankan Rasti dan Dio? Tapi ... siapa?
***
Sesampainya di basement apartemen, aku dan Dewa berjalan beriringan. Tas ransel kecil yang berisi buku-buku sketsa dan alat make up, kuberikan pada bocah itu. Meski menggerutu, dia tetap tidak menolak untuk membawakannya. Dan setelahnya selama di lift, dia bersenandung lagu-lagu Jawa yang kini sedang hits. Aku sih hanya diam sambil menikmati suaranya yang memang kuakui bikin meleleh. Eits, jangan berpikir macam-macam hanya karena aku memujinya, ya!
Kadang aku bertanya-tanya mengapa kami bisa berteman dekat, mengingat perkenalan dulu hanya diperantarai Kia. Biar kuceritakan ya, Dewa ini dulu menyukai Kia. Kejadiannya sudah empat tahun lalu. Sayangnya, dia salah orang, karena sahabatku itu sudah mencintai pacarnya yang tak lain adalah sepupuku. Saat hubungan Kia dan Bangpan sempat memburuk karena diganggu oleh Dilara, Dewa kembali berjuang mencari celah masuk. Tapi entah dasar nasibnya yang tidak beruntung atau memang cinta Kia dan Bangpan yang terlalu kuat.
Setelah Bangpan dan Kia menikah, aku tidak pernah lagi bertemu Dewa. Bocah itu seolah hilang. Memang sih, lingkungan kami beda, mengingat dia saat itu baru kelas dua SMA. Tapi setahun kemudian, tanpa disengaja aku melihatnya hari itu. Dimana dia sedang dipukuli oleh beberapa preman. Aku menolongnya dengan memanggil orang-orang sekitar. Dan sejak itu, kami saling berkomunikasi lewat chat, lalu sering bertemu juga.
"Mbak."
"Ya, Dek?"
"Sialan!"
Aku tergelak, menghindar saat lengannya ingin merangkul bahuku. Kami saat ini sudah keluar dari lift, dan sedang menyusuri koridor yang tumben sekali sepi.
"Lo tahu nggak nama mobil yang kecil itu? Yang biasa dipakai cewek."
Aku bersidekap, menaikkan kedua alis. "Napa tiba-tiba nanya itu? Lo mau beliin cewek lo mobil?"
"Lo ngejek karena gue jomlo?" Dia berdecak, aku tertawa. "Jawab aja, elah!"
"Oke-oke! Hm ... apa ya? Brio?"
"Bukan."
"Benz?"
"No."
"Terus apa? Mini Cooper?"
"Itu sih si Miko!"
"Ayla?"
"Nah!" Dia menjentikkan jari. "Apa tadi?"
Aku berdecak. "Ayla!"
Senyumnya mengembang. "Bahasa Inggrisnya pemandangan?"
"View."
Dia merentangkan kedua tangan, mengubah posisi menjadi berjalan mundur di depanku. "Aylaview too."
Aku mengerjap. Setelah tahu maksudnya, barulah pukulanku langsung menjadi hadiah. "Sinting!"
Dia terbahak-bahak, sesekali mengaduh karena aku tidak berhenti mencubiti lengannya. Meski begitu, jalannya tetap mundur.
"Mau lagi yang lebih baperin, nggak?"
"Ogah. Gue mah udah kebal ya sama gombalan–"
"AKU MAU KAMU!"
Ucapanku terhenti saat sebuah mendengar sebuah teriakan yang menggema di sepanjang koridor dengan penerangan minim ini. Menggeser badan Dewa agar tak menghalangi, aku mencoba melihat siapa sang pelaku. Dan pemandangan orang berpelukanlah, yang kusaksikan.
"I love you, Dave. Too much!"
Jika saja kedua orang itu adalah orang yang tidak kukenal, mungkin terkejutku hanya biasa saja. Tapi sekarang ini aku hanya bisa mematung. Tidak tahu harus berkata apa, atau sekadar melanjutkan langkah. Posisi mereka jelas menghalangi jalanku menuju unit Bangbi.
"Itu dokter yang katanya tetangga lo, kan? Sama cewek yang katanya adiknya ngefans gue."
Yup, Dewa benar. Di depan pintu tetangga unit Bangbi, kami bisa melihat dengan jelas Renata sedang memeluk erat leher Bangcat. Wanita itu mengucapkan kalimat-kalimat terlalu cepat, hingga mungkin akan terdengar seperti orang yang sedang meracau. Sedangkan Bangcat yang penampilannya sedikit berantakan, dengan kaus singlet dan celana bahan serta rambut gondrong acak-acakan, hanya diam saja.
"Mereka pacaran?" tanya Dewa dengan suara mirip bisikan.
Aku mengangkat bahu. Meski dalam hati juga penasaran. Tapi fix sih ini. Mereka pasti punya hubungan.
"Aku mau kamu, Dave." Renata melepas pelukan sambil berkata pelan, namun masih bisa terdengar sampai di tempat berdiriku.
Bangcat masih diam, dengan satu tangan memegangi tangan Renata yang menyentuh pipinya. Entah kenapa, tiba-tiba kedua tanganku terkepal di sisi tubuh. Jantungku mulai jumpalitan. Dan saat jarak wajah mereka nyaris terpangkas habis, aku menahan napas, lalu—
"Jangan lihat gituan. Lo masih kecil, Mbak."
—gelap.
Seiring tangan Dewa yang menutupi kedua mataku, aku juga merasa tubuhku dibalik paksa. Lalu lenganku ditarik melangkah menuju arah datang kami tadi. Tapi baru beberapa langkah, tiba-tiba terdengar suara umpatan keras dari arah belakang.
"Dek!"
Aku mematung. Sialan, kami ketahuan!
Mampus lo, Nes!
***
Aku nggak mau kasih liat adegannya bangcat sama si anak pejabat. Jadi aku kasih fotonya Athar aja ya, berhubung si bocil nggak muncul. Ini diambil pas dia ngambek karena ditinggal onta. Ullzzzang😍
Magelang, 03 April 2020
Direpost 24 Mei 2022