“Apa kedatangan kamu ingin mengembalikan Kia pada kami?” ucap laki-laki paruh baya di hadapan Bimo dengan tatapan dingin. Laki-laki yang biasanya selalu ramah dan murah senyum itu berubah dingin dan datar. Tatapan elang itu menghunus ke dalam netra Bimo. Mencoba melumpuhkan keberanian Bimo yang telah dipersiapkan sejak tadi. Tapi Bimo tak akan menyerah begitu saja. Bimo ingin mengetahui semua rahasia Kia saat ini juga.
“Maksud Ayah apa?” Bimo balik bertanya sembari mencoba mencerna pertanyaan yang langsung ditodongkan kepadanya. Padahal sepatah katapun Bimo belum membicarakan tentang Kia.
Bimo memberanikan diri mendekati Ardan ayah mertuanya yang saat ini berdiri dengan bersandar pada meja kerjanya. Tadi sesampainya di kediaman Alfarizi Bimo langsung diajak Ardan masuk ke dalam ruangan favorit laki-laki itu. Ruang kerja sekaligus merangkap menjadi perpustakaan pribadi. Melihat koleksi buku Ardan tentu saja membuat Bimo terkesima. Rak buku bersusun itu berisi buku-buku dengan berbagai bidang ilmu. Para pecinta buku pasti akan menjadikan ruangan ini sebagai surga. Sedikit informasi yang diperoleh dari Azka sahabatnya bahwa laki-laki bernama Ahmad Ardan Alfarizi itu dulunya adalah seorang dosen dan penerjemah buku. Sejak pertama kali mereka bertemu Bimo sudah bisa menebak jika Ardan bukanlah orang sembarangan. Tenang dan berkharisma. Dua kata penilaian Bimo untuk ayah mertuanya.
“Saya sedang tidak ingin basa-basi. Sekarang katakan apa mau kamu?” lagi Ardan melayangkan pertanyaan yang membuat Bimo bingung. Bimo memang ingin menanyakan perihal tentang masa lalu Kia. Tapi bukan seperti ini yang Bimo harapkan. Bimo ingin berbicara baik-baik bukan ingin mencari masalah dengan laki-laki yang diseganinya tersebut.
Bimo kemudian berdeham. Mencoba melonggarkan kerongkongannya yang terasa kering kerontang. Di benaknya Bimo tengah memikirkan cara untuk merangkai kata agar tidak sampai membuat Ardan murka.
Melihat Bimo masih bergeming membuat emosi Ardan tersulut. Ardan tidak akan membiarkan siapapun menghina putrinya. Menginjak-injak harga diri anak gadisnya. Jika sampai laki-laki di hadapannya itu berani mengatakan hal negatif tentang putrinya maka Ardan tidak akan tinggal diam.
“Apa hanya sebatas ini cintamu untuk putri saya?” sinis Ardan menatap Bimo tajam.
“Saya tulus mencintai Kia. Saya memang kecewa saat Kia mengakui tentang masa lalunya. Tapi saya tetap mencintainya,” jawab Bimo dengan tegas. Kini Bimo yakin satu hal bahwa Kia tidak bersalah di sini. Perempuan itu hanyalah korban.
“Lalu alasan kamu datang untuk apa? Apa kamu sudah membuktikan apa yang dikatakan oleh putri saya benar?” cecar Ardan dengan sorot netra tajam yang mulai tampak meredup.
Untuk kesekian kalinya Bimo dibuat tertegun saat melihat luka di dalam netra laki-laki di hadapannya. Laki-laki itu hanya seorang ayah yang terluka demi melindungi putrinya. Keluarga yang Bimo anggap sempurna selama ini ternyata banyak menyimpan luka dan rahasia. Kemarin Kia dan sekarang ayahnya.
“Saya tidak akan pernah membiarkan siapapun menyakiti putri saya. Jadi jika kamu merasa kecewa maka lepaskan dia dan kembalikan kepada kami dengan cara baik-baik,” tegas Ardan dengan kedua tangan mengepal kuat. Keputusan yang sangat berat bagi Ardan. Ayah mana yang tidak akan terluka saat menyaksikan kehancuran rumah tangga putrinya yang baru berusia hitungan minggu saja. Ardan tidak akan sanggup mendengar orang menyebut putrinya janda. Tapi masa lalu Kia tentu saja akan mempengaruhi kehidupan rumah tangga mereka nantinya.
Rasa sakit itu tidak pernah berkurang setiap kali Ardan mengingat tragedi 4 tahun silam. Karena kelalaiannya Kia terlepas dari pengawasan kedua orang tuanya hingga terjadilah tragedi mengerikan itu. Tragedi yang melenyapkan keceriaan Kia. Tragedi yang memporak-porandakan hati dan harga diri putrinya. Tragedi itu tentu saja akan terus menghantui Kia sepanjang hidupnya. Sekarang yang Kia butuhkan adalah laki-laki yang tepat. Yang mau menerima Kia apa adanya.
“Saya tidak akan pernah melepaskan Kia. Saya sudah berjanji akan membahagiakannya. Jadi saya berharap Ayah tidak akan pernah memisahkan kami apapun alasannya,” jawab Bimo membalas tatapan Ardan.
Mendengar jawaban tegas Bimo seketika berhasil memberikan perasaan lega di hati Ardan. Laki-laki pilihan istrinya untuk Kia ternyata tidak salah. Kia bersama laki-laki yang tepat. Lalu demi mencegah terjadinya kesalahpahaman Ardan menceraikan semua tentang trauma yang diderita oleh putrinya. Sebagai suami Bimo harus tahu kondisi Kia yang sebenarnya. Ardan berharap Bimo mampu membantu Kia sembuh dari rasa traumanya. Bimo mampu mengembalikan keceriaan putrinya seperti sedia kala.
Tanpa sadar air mata Bimo jatuh membasahi pipinya. Hatinya teriris mendengar kisah pilu tersebut. Terlebih lagi Bimo membayangkan jika hal itu menimpa adik perempuannya. Bimo memiliki adik kembar perempuan dan laki-laki yang saat ini masih berkuliah. Sebagai kakak tentu saja Bimo tidak akan pernah membiarkan siapapun menyakiti mereka. Meskipun selama ini Bimo berada jauh tapi ia tidak pernah absen menghubungi dan menanyakan kabar mereka berdua. Bimo bahkan memerintahkan adik sepupu laki-lakinya untuk menjaga kedua adiknya selama ini. Kini Bimo tahu apa yang harus dilakukannya. Ternyata Kia masih menyimpan satu rahasia besar. Rahasia yang hingga detik ini masih disimpannya sendiri dengan rapat.
“Saya minta tolong jaga Kia dengan baik. Jika suatu hari nanti kamu tidak sanggup maka kembalikan dia kepada kami dengan cara yang yang terhormat,” pinta Ardan sembari memegang kedua bahu Bimo dengan netra berkaca-kaca.
“Saya akan menjaga Kia dan membantunya sembuh dari rasa trauma itu. Saya berjanji tidak akan pernah melukainya,” jawab Bimo dengan penuh keyakinan.
“Terim kasih Bimo,” balas Ardan singkat lalu memeluk anak menantunya tersebut dengan berurai air mata.
Setelah pembicaraan yang menguras perasaan itu Bimo langsung mencari keberadaan Kia. Mengetahui Kia berada di kamarnya Bimo bergegas naik. Sesampainya di kamar Bimo segera memeluk tubuh Kia dengan erat. Netra Kia terbeliak seraya menatap bundanya dengan penuh tanda tanya.
“Mas ada apa? Katanya tadi mau ke klinik?” ujar Kia kebingungan. Aisyah yang berada di sana segera ke luar dan menutup pintu. Aisyah yakin Bimo sudah mengetahui semua rahasia Kia sekarang.
“Mas lepasin! Aku nggak bisa napas!” imbuh Kia dengan suaranya yang serak karena flu yang masih dideritanya.
Bimo segera mengurai pelukannya lalu menatap ke dalam netra Kia seraya berkata-kata, “Jangan pernah mencoba pergi dariku!” Lalu tanpa Kia duga Bimo mencium bibirnya. Tubuh Kia membeku seketika. “Aku sangat mencintaimu, Kia,” lirih Bimo setelah melepaskan tautan bibir mereka.
Hanya dalam hitungan detik Bimo kembali meraup bibir Kia. Memagutnya dengan lembut dan penuh perasaan. Kia segera mencari pegangan demi mempertahankan keseimbangan tubuhnya. Memegang kuat pinggang Bimo yang saat ini mencumbu bibirnya. Tak mendapatkan perlawanan membuat Bimo semakin melancarkan aksinya. Bimo ingin segera membuktikan sendiri apa yang tadi telah di dengarnya dari Ardan. Perlahan tangan Bimo menyusup di antara helai rambut Kia demi memperdalam ciumannya.
Sebelum terjadi sesuatu yang lebih jauh Bimo segera menghentikan aksinya. Ia harus meminta izin kepada Kia terlebih dahulu. Ia tidak ingin menyakiti perempuan yang sangat dicintainya tersebut. “Kata kan padaku! Apa aku menyakitimu Sayang?” tanya Bimo sembari menatap ke dalam netra sebening madu di hadapannya. Namun Kia bergeming. Bibirnya tak mampu berucap. Demi membuktikannya Bimo kembali meraup bibir Kia. Kali ini Bimo memagutnya dengan sedikit liar. Sengaja memancing emosi Kia. Bimo ingin tahu sejauh mana pelecehan seksual yang pernah dialami oleh perempuan itu. Lalu dengan sengaja tangan Bimo mulai menggerayangi tubuh Kia dan berhenti di dadanya. Bimo bisa merasakan tubuh Kia yang mulai bergerak gelisah. Mulai menolak setiap sentuhan yang diberikannya. Napas Kia mulai tersengal-sengal. Tapi Bimo tak ingin berhenti. Terus menggoda sang istri agar menunjukkan reaksinya.
“Kamu adalah milikku Kia. Hanya milikku! Hanya aku yang berhak atas tubuh dan hatimu!” ucap laki-laki yang telah menemani Kia selama dua tahun tersebut. Selama itu pula Kia selalu diperlakukan dengan baik dan sopan. Tapi lihatlah. Laki-laki yang dicintainya itu kini menatapnya dengan seringai mengerikan. Seperti singa kelaparan yang siap menerkamnya.
“Zyan tolong jangan lakukan ini,” mohon Kia di sudut ranjang dengan pakaian yang telah terkoyak. Pun dengan penampilan Zyan yang kacau. Tampak goresan memanjang bekas kuku Kia membekas di di dada telanjang milik Zyan.
“Menikahlah denganku Kia,” pinta laki-laki bernama Zyan itu dengan tatapan sendu. Kia masih menemukan pendar cinta di sana. Namun cinta itu kini berubah menjadi sebuah obsesi yang mengerikan.
“Maaf aku tidak bisa Zyan,” jawab Kia dengan berlinang air mata seraya menutupi tubuh bagian depannya yang terekspos dengan selimut.
“Please Kia. Aku tidak bisa hidup tanpamu,” lirih Zyan seraya mendekati Kia. Mencoba menyentuh Kia yang langsung ditampik oleh gadis itu. “Aku tahu setelah apa yang kuperbuat orang tuamu tidak akan memberikan restu. Jadi kita akan menikah diam-diam saja. Aku tidak peduli dengan semua orang. Duniaku adalah kamu,” bujuk Zyan masih mencoba merayu Kia agar kembali kepadanya.
“Aku mencintaimu Kia.” Tubuh Zyan meluruh di lantai. Tangisannya pecah kala menyadari apa yang telah diperbuatnya kepada gadis yang sangat dicintainya tersebut telah menghancurkan cinta mereka berdua. Luka memar bertebaran di kulit mulus nun putih yang selalu dipujanya. Tanda kemerahan di leher dan dada karena ulahnya pun menjadi bukti kegilaannya. Zyan telah menghancurkan impian mereka berdua. Meluluhlantakkan segala rencana yang dulu pernah mereka bangun bersama. Dulu sebelum Zyan mengkhianati kepercayaan Kia.
Air mata Kia mulai menetes kala kilatan masa lalunya mulai berputar ulang di benaknya. Seringai mengerikan Zyan membayang. Tubuhnya bergetar hebat. Napasnya semakin tak beraturan.
“Lepaskan aku. Aku mohon jangan lakukan ini Zyan. Aku mohon Zyan,” racau Kia dengan terisak seraya mendorong tubuh Bimo menjauh dengan kasar. Tubuh Kia seketika membeku saat mendapati Bimo lah yang saat ini berrdiri di hadapannya bukan laki-laki brengsek bernama Zyan yang pernah melecehkan dirinya.
“Ma Mas Bimo!” gumam Kia dengan terbata. “Maafkan aku Mas. A.. aku tidak bermaksud…” belum sempat Kia melanjutkan kalimatnya Bimo segera membawa tubuhnya ke dalam pelukan laki-laki itu.
“Tenanglah Sayang! Ini aku Bimo, suamimu,” ucap Bimo seraya menghujani kecupan di puncak kepala Kia. Bimo pun tak mampu menahan laju air matanya. Melihat perempuan yang sangat dicintainya ketakutan seperti ini membuat hati Bimo hancur lebur.
“Berikan aku talak Mas. Aku perempuan kotor. Aku tidak pantas untukmu,” ucap Kia dengan tergugu.
“Tidak. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu,” balas Bimo dengan tegas.
Kia memberanikan diri membalas pelukan Bimo. Menangis sejadi-jadinya dalam pelukan sang suami. Kini dirinya sudah tak memiliki harga diri lagi. Kia siap jika kapan pun Bimo ingin menceraikannya. Kia telah gagal menjaga kehormatannya untuk laki-laki yang seharusnya berhak atas dirinya.
Merasakan Kia mulai tenang Bimo segera mengangkat tubuhnya lalu merebahkan di atas ranjang. “Istirahatlah. Aku akan di sini menemanimu!” ucap Bimo seraya membelai rambut Kia.
“Mas talak aku segera? Di luar sana banyak gadis cantik yang jauh lebih baik dari aku,” sahut Kia sembari menatap Bimo yang terlihat menghela napas panjang. Bagi Kia perpisahan adalah keputusan yang terbaik bagi mereka berdua, sebelum dirinya jatuh cinta.
“Aku akan menuruti apapun keinginanmu, kecuali perceraian!” balas Bimo tak tahu lagi cara untuk menyakinkan hati Kia bahwa dirinya sepenuhnya menerima apapun kondisi perempuan itu.
Lalu tanpa berucap lagi Kia mengubah posisi tubuhnya. Membelakangi Bimo lalu kembali menangis. Meluapkan segala beban di hatinya. Tapi Bimo tak akan membiarkan Kia terlarut dalam kesedihannya. Laki-laki itu merebahkan tubuhnya di belakang Kia.
“Bahuku selalu siap untukmu. Jadi jangan pernah merasa sendiri!” bisik Bimo seraya memeluk tubuh Kia dengan erat. Menghidu aroma lily yang kini menjadi favoritnya.
*****
Sorenya tubuh Kia kembali demam. Jadi Bimo memutuskan untuk menginap di sana. Azka yang baru saja pulang bersama istri dan putrinya pun seketika panik saat mendengar kabar jika Kia sedang sakit.
“Lu apain adik gue sampe sakit kayak gini?” todong Azka sembari menatap Bimo yang sedang mengganti kompres di kening Kia dengan tatapan tajam.
“Kayak lu nggak pernah ngerasain jadi pengantin baru aja,” kekeh Bimo dengan sarkas. Malam pertama saja belum Bimo dapatkan. Justru Bimo diserang dengan berbagai fakta menyakitkan yang telah dilalui oleh Kia.
“Tapi nggak gini amatlah. Masak adek gue sampe sakit gini!” tukas Azka seraya berjalan mendekat lalu menyentuh leher Kia yang terasa panas. “Kasih obat injeksi aja!” titah Azka kepada Bimo.
“Iya. Tadi aku rencana ambil tas di klinik dulu sebelum pulang tapi Kia keburu demam lagi,” terang Bimo karena memang tas dinasnya tertinggal di klinik.
“Yaelah Bim, lu kan bisa suruh supir atau siapa gitu untuk nganterin tas lu ke rumah!” kesal Azka yang tentu saja sudah hapal dengan sikap Bimo yang selalu tidak ingin merepotkan orang lain. Lalu tanpa banyak bicara lagi Azka ke luar dari kamar untuk mengambil tasnya.
“Kia kenapa Bang?” tanya Letta istri Azka yang sedang menidurkan putri mereka. Sebenarnya Letta sudah tak sabar ingin melihat kondisi Kia. Tapi karena Ariella rewel Letta tidak bisa langsung ke sana.
“Kia demam. Pasti gara-gara kecapean!” tuduh Azka dengan asal.
Letta terdiam. Menatap Azka yang kembali ke luar dari kamar. Letta yakin Kia sakit bukan karena kelelahan dengan aktivitas yang biasa dilakukan oleh pasangan pengantin baru. Tapi masalah lain yang jauh lebih serius dari itu. Letta menghembuskan napas kasar. Berharap apa yang terjadi bukanlah seperti yang selama ini ditakutkannya.
Baru saja Azka hendak mendorong daun pintu saat Kia mengatakan sesuatu yang membuat jantung Azka berhenti berdetak.
“Talak aku sekarang Mas!"