The Dozent

By Shincann

912K 85.4K 2K

Sudah mewanti-wanti supaya tidak bertemu dosen menyebalkan yang kalau sudah beraksi minta dijambak dan dicaka... More

1. Too Late
2. Ini Tugas atau Siksa Neraka?
3. Starbucks
4. To Talk
5. Bukan Issue Apalagi Gosip Ala-ala
6. Mematahkan Hipotesa
7. Kamu Mau Main-Main Sama Saya?
8. Demi...
9. Mendadak Baik
10. Rahasia Bersama
12. Client
13. Client (b)
14. Alana
a. Intermezo
15. Late (Again)
b. Intermezo (WhatsApp Chatroom)
16. Buat Kamu
17. I Hate You
18. Bahunya dan Kompromi
19. Nonton
20. Double Damn!
21. Quality Time
22. Nonton (2)
23. Kembali
24. Clear
25. New Facts
26. Permission
27. Ask
28. Ask Again
29. Answer
30. Diantara Jakarta dan Bogor
31. Old Story
32. Meminta Bantuan
33. Makan dan Bimbingan
34. Elgar Sakit
35. Setelah kuliah, ngapain?
36. Akhir
Extra 1 - Sejak Kapan?
KARYA BARU

11. Perhatian Tersembunyi

28.2K 2.9K 66
By Shincann

Hope you like and enjoy this
Sorry for typo

Happy reading~~

.


.

Yang kecil-kecil itu dikhawatirkan akan jadi besar. -Nathasya

Sumpah! Ingin sekali rasanya aku minggat dari sini kalau tahu Elgar dan Bu Sonya akan mengambil tempat duduk tepat di sebelah mejaku.

Kegaduhan Alana, Andi bahkan aku pun mendadak lenyap dibawa angin karena dekatnya posisi mereka.

Kalau saja tidak sayang dengan makanan dan cacing di perut, aku sudah angkat kaki dari sini sejak tadi. Harus banget ya mereka duduk di sebelah? Masih banyak lho tempat kosong di sekitar kantin. Mau pacaran kok pilih tempat ramai seperti kantin. Padahal dua-dua sama-sama mampu membeli makanan di luar dengan tempat yang lebih kondusif dan eksklusif tentunya.

Tiba-tiba saja pandangan Elgar jatuh ke arahku. Aku terkejut, langsung membuang muka. Tapi sadar kalau akan sangat tidak sopan, maka cepat-cepat aku beralih pada Elgar lagi lalu memasang wajah ramah, memberinya senyum segaris yang kalau boleh jujur, itu terpaksa.

"Makan, Pak?" ucapku basa-basi.
Bukannya menjawab, Elgar malah memalingkan muka pada daftar menu di atas meja. Shit! buang-buang tenagaku saja. Masa aku kalah oleh daftar menu?

Kekehan Alana membuatku spontan mendelik sebal. Aku mendengus ditatap geli oleh Alana dan Andi yang masih stay in kalem menikmati makanan masing-masing. Mereka yang biasa makan angkat satu kaki dan tekuk lutut di depan dada ke atas kursi macam di rumah sendiri atau warung kopi pinggir jalan itu, tiba-tiba tenang seolah kantin ini sudah berubah menjadi restoran ternama yang sekali masuk bisa menghabiskan 6 sampai 7 digit angka rupiah. Jadi harus jaim, harus tampil elegan dan kalem. Prett! Muka dua semua memang.

Makan di samping manusia yang terkadang ingin kutenggelamkan di rawa-rawa itu sangat-sangat tidak baik untuk kehatan jasmani maupun rohani. Bisa berpotensi membuat nafsu makan hilang bahkan mual-mual dan emosi meluap-luap. Apalagi kalau bawaannya ingin minggat begini. Aku buru-buru menenggak sisa Pulpy setelah menyuapkan sisa makananku di sendok terakhir. Setelah menelan habis makanan di mulut, aku berdiri untuk bergegas pergi dari sini.

"Al, titip bayarin, ya?" pintaku sambil menyerahkan selembar uang lima puluh ribu di atas meja. Alana mengerutkan kening, menatapku heran.

"Ngapain buru-buru, Nath?" tanya Alana dengan mulut setengah penuh oleh nasi goreng.

"Udah ditungguin Bang Wahyu sama Kang Arya nih di Sekre," kataku sambil mengetik sesuatu pada layar ponsel.

Tahun lalu aku ikut mendaftarkan diri saat organisasi himpunan jurusan open recruitment untuk mengisi kepengurusan yang baru. Yah, hitung-hitung untuk tambah kesibukan saat jadi mahasiswa. Daripada hanya kuliah-pulang kuliah-pulang. Alasan yang sama seperti yang Rama katakan. Oh, hampir lupa, aku harus menghubungi Rama. Ada beberapa perlengkapan yang perlu dia dan tim siapkan untuk lomba debat bahasa tahun ini.

Rama itu adik angkatku. Jadi di kampus ini ada semacam tradisi Pengenalan Himpunan Jurusan (PHJ) sebelum benar-benar memulai perkuliahan. Kegiatan ini sifatnya wajib bagi setiap mahasiswa baru. Tapi untuk mengikutinya, ada syarat yang harus para Maru itu lakukan. Mereka wajib mencari satu senior -lawan jenis- yang bersedia dijadikan kakak angkat mereka.

Aku sedang duduk-duduk di perpustakaan waktu itu. Bukan untuk belajar, deadline tugas atau apalah, tapi untuk ngadem dan numpang tidur sembari menunggu kelas selanjutnya. Tiba-tiba seorang laki-laki dengan wajah masih sangat remaja menarik kursi dan duduk di sebelahku. Dengan sopan dia memperkenalkan dirinya sebagai Ramadifa Prayoga. Lalu dia memintaku untuk menjadi kakak angkatnya.

"Kamu yakin mau jadiin saya kakak angkat?"

"Yakin, Teh."

Aku memiringkan kepala. "Kenapa?"

"Cantik."

Aku cukup terkejut dengan jawaban Rama.

Aku memicingkan mata. "Kamu bukan mau kurang ajar, kan?"

Rama menggeleng dua kali dengan senyuman yang berhasil mencetak lesung pipit di pipi kanannya. "Ya enggak atuh, teh. Rama pengen aja teteh yang jadi kakak angkat Rama. Dari pertama liat, rama udah klik aja sama teteh."

Jarang banget nemu orang segini blak-blakannya.

"Pertama liat? Kapan?"

"Dulu waktu di Bandung. Tiap 2 minggu sekali Rama sering liat teteh kalau pulang ke Bandung. Manis. Jarang-jarang ada anak yang suka jenguk orang tuanya apalagi kalau sudah jadi mahasiswa jauh gitu. Mau pulang kapan aja bebas."

Aku suka pada penuturannya yang sopan dan sifatnya yang cepat akrab. Dia juga tidak malu mengungkapkan pendapat serta perasaannya. Coba saja dia lebih tua dari aku, bisa aku bawa buat ketemu Ayah kayaknya. Bonus dari Rama: Ganteng. Ganteng yang khas sunda. Sayang kalau dianggurin. Setelah ngobrol ngalor-ngidul, Rama semakin jauh saja menceritakan bagaimana awal mula dia jadi tetanggaku dan melihatku saat pulang ke Bandung. Dunia memang terlalu sempit, ya, kan?

Well, kembali ke Andi yang sepertinya tidak mau ditinggal.

"Santai lah, sama mereka ini. Nasi lo aja belum turun, Nath." Andi berusaha menahanku sebelum menenggak air mineral di atas meja.

"Gak enak ah. Mereka udah nungguin gue sejak 30 menit yang lalu," ungkapku jujur.

"Eh, gue ikut dong Nath?" Alana buru-buru menghabiskan es tehnya.

"Lo sama si kampret ini aja." Aku menunjuk Andi dengan dagu.

Alana menggeleng cepat. "Males. Ntar gue diapa-apain lagi," tolaknya skeptis. Sementara wajah Andi langsung berubah muram.

Aku terkekeh lalu memasukan ponsel ke dalam saku.

"Lo kira gue apaan Al?" sela Andi dengan mulut penuh.

Aku membuat gerakan tangan supaya dia mengambil minumannya lagi. "Sabar, yah."

Aku beralih pada Alana. "Yaudah, yuk?"

"Gue sendirian dong? Tungguin kek, dikit lagi nih," protes Andi lagi.

Aku dan Alana kompak memutar mata.

"Dikit apaan? Piring lo masih penuh gitu." Aku menunjuk piring Andi yang memang masih penuh dengan gado-gado buatan Bi Uum. Terspesial untuk seorang Wage Ezrandi Faresta.

Bagaimana tidak spesial kalau Andi saja sudah menjadi pelanggan paling loyalnya Si Bibi berbadan tambun yang saat ini sedang kular-kilir mengantarkan pesanan mahasiswa lain di ujung sana dari tahun pertama masuk kuliah. Rasa gado-gadonya memang enak. Apalagi andi sangat suka kuliner lokal, makin cinta saja dia dengan gado-gado buatan Bi Uum.

"Kayak bocah aja sih," komentar Alana dengan nada malas. Dia mengelap mulutnya dengan tissue sebelum ikut berdiri.

Bibir Andi lagi-lagi memberengut. Dia tidak suka sendirian, apalagi saat makan begini.

"Udah, sesekali lo mandiri. Makan sendiri." Aku menepuk bahu Andi dua kali sambil menertawainya.

"Nath, kuy bayar dulu," ajak Alana langsung kutanggapi dengan anggukan kecil.

Aku dan Alana kemudian pergi ke bagian kasir untuk membayar makanan tadi.

"Ndi, duluan. Bye," pamitku sambil lalu.

"Bye..."

...

Aku clingak-clinguk di depan pintu sekre yang sedikit terbuka. Aku menyentuh sisi pintu lalu mendoronganya pelan-pelan.

"Kang Arya?" panggilku hati-hati, mencari sosok Kang Arya. Hanya kepalaku yang melongo masuk untuk melihat kedaan ruangan, sementara dari leher sampai kaki berada di luar.

"Sa, sini!"

Aku menoleh ke kanan, menemukan Kang Arya sedang duduk lesehan di lantai sambil melambai-lambai ke arah ku.

"Masuk yuk," kataku pada Alana yang dari tadi diam saja. Alana hanya mengekor di belakangku, sibuk dengan ponselnya saja.

"Eh ada Alana juga?"

Alana mengangguk dengan senyum. "Iya, Kang."

"Udah lama ya, Kang?" tanyaku.

Aku melepaskan tas lalu ikut duduk bersila di lantai tidak jauh di sisi kiri Kang Arya. Begitu juga dengan Alana.

"Enggak kok, barusan aja, Sa." Kang Arya tersenyum ramah.

Ya Tuhan... Kuatkan iman hamba! Perempuan yang mudah jatuh cinta sudah barang tentu akan langsung meleleh karena senyuman Kang Arya yang manis kurang manusiawi. Bisa berpotensi menularkan penyakit jantung kronis. Untung saja aku ini bukan orang seperti itu.

"Loh Bang Wahyu mana?"

Kang Arya mengecek layar laptopnya sebelum menjawab, "masih di Akademik, Sa."

"Ngapain?"

"Itu tu ngurusin rencana field trip jurusan."

Aku menganggukan kepalaku beberapa kali sambi ber-oh ria menanggapi Kang Arya.

Aku juga ambil bagian dalam kepanitian Field Trip itu. Tapi belum tahu ditempatkan di mana oleh Bang Wahyu.

"Jadi mau ngomongin apa ya, Kang? Bukannya teknis lomba debat bahasa udah fix?"
Aku langsung bertanya langsung ke inti pembicaraan tanpa berniat basa basi lebih dulu. Memang itu yang sebenarnya ingin kami bicarakan. Sebab aku dan Kang Arya saat ini memang hanya berurusan pada kepanitian lomba debat bahasa yang akan diselenggarakan 2 minggu lagi.

Kang Arya merupakan ketua panitia pelaksana dan aku sebagai penanggung jawab untuk divisi acara.

"Ada perubahan teknis Sa. Kamu ada kuliah ga jam dua nanti?"

Aku menggeleng.

"Bisa gak kamu gantiin saya buat TM di ruang senat jam 2 nanti?"

TM? Bukannya sudah? Aku menautkan alis heran. "Kok TM lagi? Dadakan juga, Kang?"

"Maaf, yah. Saya teh lupa kemaren mau ngasih tau kamu sama penanggung jawab divisi yang lain kalau ada perubahan."

Kang Arya lalu mencari sesuatu di dalam tasnya. Aku melirik kertas berisi teknis acara debat bahasa yang pelan-pelan disodorkan ke padaku. "Akang teh ada janji sama Bu Inggrit buat ikut penelitian hari ini. Udah dari 2 minggu lalu. Tapi kemaren lusa, Pak Elgar maunya kita ngerubah teknis lomba. "

"Pak Elgar? Loh, bukannya kita bertanggung jawab sama Wadek III ya, Kang?"

"Harusnya tu gitu. Tapi kemaren saya teh dapet kabar Sa, kalo Bu Leila lagi dinas ke luar kota. Jadi Pak Elgar yang gantiin."

"Harus saya banget yang ngewakilin Kang Arya, ya?"

Kang Arya mengangguk. "Saya percaya sama kamu, Sa."

Kalau sudah itu yang dikatakannya, mana enak aku menolak Kang Arya. Tapi kenapa ya harus banget ada nama Elgar dalam kegiatan ini?!

Kapan aku bisa jauh-jauh sama manusia satu itu? Kapan???! Makan hati saja kalau ingat dia.

"Terus dari Bagian Konsumsi, kita kekurangan orang, Sa."

Alana menyela, "Kang, saya mau join. Boleh?"

Kang Arya otomatis tersenyum sekali lagi. "Boleh banget Al. Yakin bisa kan?"

"Yakin dong. Masalah konsumsi aja kan? Beres deh kalo sama saya Kang."

"Oke, nanti saya bilang langsung ke skretaris biar masukin nama kamu di proposal."

Kang Arya langsung mengacungkan jempol pada Alana. Lalu perhatiannya turun pada buku catatan di pangkuannya untuk mencatat beberapa hal. Kemudian beralih pada laptop. Setelahnya Kang Arya membicarakan tentang perubahan teknis acara yang harus kusampaikan saat meeting pukul 2 siang nanti. Setelah 25 menit, Kang Arya baru berhenti menjelaskan.

"Gimana Sa, ngerti?"

Aku mengangguk pasti. "Ngerti Kang."

...

Lima menit lalu Alana meninggalkanku di sekre sendirian. Kang Arya pergi setelah pembicaraan kami usai. Lalu sekarang Aku memutuskan pergi ke minimarket depan untuk membeli minuman dingin dan beberapa makanan ringan. Tapi sepertinya aku sudah melakukan kesalahan dengan membawa mobil hanya untuk pergi ke luar daerah kampus.

Macet. Sial, bisa terlambat aku.

Aku baru sampai di kampus saat jam menunjukan pukul 14:05 WIB.

Kan, terlambat.

Aku buru-buru menuju ruang senat yang ada di lantai 3. Bisa naik lift saja tidak sih? Pakai aturan 'Lift digunakan Khusus untuk Dosen dan Karyawan' segala.

Terpaksa mendaki ke lantai 3 kalau gini caranya. Napasku memburu saat aku berhenti di depan pintu ruangan. Boleh pingsan saja gak? Sudah terlambat, pakai acara lari naik tangga 3 lantai segala. Mau mati rasanya. Aku menarik napas dalam lalu menghembuskannya. Tidak ada waktu untuk beristirahat.

Aku lalu mendorong pintu ruang senat dengan hati-hati.

"Maaf, saya terlambat," kataku dengan napas naik turun.

Aku menunduk malu, tapi tetap bisa melihat Elgar, Pak Iyan sebagai moderator debat dan lima dosen lainnya yang diminta untuk menjadi dewan juri pada acara debat bahasa nanti. Mereka semua sudah duduk ditempatnya masing-masing dan tampak memaklumi keterlambatanku. Mungkin karena mereka melihat napasku yang masih naik turun kehilangan kontrol ini kali, ya?

Aku langsung menduduki kursi kosong di samping Elgar tanpa memikirkan apapun. Aku tidak suka dia? Memang. Tapi kali ini terserahlah. Kesampingkan itu dulu. Karena yang aku tahu hanya kursi itu yang bisa kududuki dan aku butuh bernapas dengan normal sesegera mungkin.

Aku meletakan tas di bawah kursi sebelum mataku menemukan botol air mineral berukuran mini di atas meja. Percaya deh, itu botol sudah kayak berlian saja di mataku.

Tapi saat tanganku ingin meraihnya, tangan Elgar lebih dulu mengambil botol air mineral itu. Kampret kuadrat! Gak liat apa gue udah mau mati? Ngos-ngosan begini?

Aku terang-terangan langsung menatap tajam Elgar, tak suka. Sementara dia flat saja. Mana peduli. Dia itu manusia macam apa sih? Tingkat kepekaannya untuk mengasihani orang kenapa minus begini?

Ingin memak--

"Karena Nathasya sudah ada di sini bisa kita mulai rapatnya?" Elgar menegakan posisi duduknya setelah meletakan botol tadi di atas meja. Tanpa meminumnya setetes pun. Dia pasti sengaja banget supaya aku menderita.

"Ya, mulai saja Gar." Dosen-dosen yang lain serentak mengiyakan pertanyaan Elgar tadi.

Aku belum sepenuhnya siap mengikuti rapat. Juga Elgar tampaknya cuek-cuek saja. Tapi aku mendadak linglung saat tangan Elgar menggeser botol air mineral yang tadi diambilnya. Tangannya berhenti tepat di depanku, dengan segel botol yang sudah terbuka.

...

TBC --

Finally bisa lanjut. Maaf cukup lama. Minggu ini baru penyelesaian Mid semester jadi fokus ke situ dulu.

Klik 🌟🌟🌟 di pojok kiri bawah dong. Comment nya juga jangan lupa ^^

Hug, SHIN.

Continue Reading

You'll Also Like

152K 15.5K 24
ft. yuna Hanya sebuah kisah cinta roller-coaster antara Jisung yang kasar, cuek dan egois bersama Yuna yang peduli, ceria dan pantang menyerah. bahas...
2.1K 348 13
Saat bangun dari koma, Edgar menyadari bahwa Elgar, saudara kembarnya telah hilang. Ia memutuskan untuk bersekolah dimana Elgar sekolah, hanya untuk...