"Suatu cinta dapat menjadi ilusi dalam sekejap dan suatu kebencian dapat menjadi kepercayaan tanpa disadari"
*****
Amaya tidak lagi mampu menatap lebih lama iris cokelat pria itu. Perasaannya yang telah hancur seakan kembali meluap ke permukaan, hanya karena berada di tempat yang sama dengannya.
Ia pun perlahan bangun dari kursi. Bersiap untuk pergi. Namun, sebuah genggaman menghentikan dirinya. Genggaman tangan dari pria yang entah memiliki arti apa dalam hidupnya.
.
.
Wanita itu melihat Rava dengan raut wajah yang sangat tersiksa. Membuat pria itu kehilangan kata. Hanya mampu menatap kembali wajah tersebut dengan tetap menggenggam tangan Amaya.
Seakan sadar akan kondisi yang terjadi, wanita itu pun langsung kembali duduk di samping Rava dan perlahan melepas tangannya dari genggaman. Ada sedikit perasaan kehilangan yang menyelimuti Rava, tetapi dengan cepat pria itu mencoba untuk melupakan. Tetap fokus pada pertemuan pertamanya dengan pria matahari Amaya.
.
.
-Flashback-
"Aku sudah menghubunginya."
"Siapa?" tanya Amaya ragu-ragu.
"Pria itu. Ia bilang dapat bertemu besok malam."
Amaya tidak membalas. Hanya menatap kosong. Melihat Rava bagai pria itu tembus pandang.
"Persiapkanlah dirimu. Jangan sampai ia sadar bahwa ada yang tidak beres dengan pernikahan kita."
"Aku tahu. Aku tidak akan mengkhianatimu," jawabnya singkat lalu pergi keluar kamar. Meninggalkan Rava yang masih menatap pintu kamar yang tertutup.
"Aku tahu kamu tidak akan mengkhianatiku, itu sebabnya aku memanfaatkan kebaikanmu."
.
.
"Apa kamu yakin dengan semua ini?" tanya Amaya sekali lagi.
"Tentu saja. Kamu bilang ingin dirinya pergi, maka hanya ini satu-satunya jalan," jelas Rava pada Amaya sebelum akhirnya mereka memasuki sebuah restoran bintang lima di Bilangan Jakarta Pusat.
Saat pelayan datang, Rava lantas menjelaskan, dan dengan cekatan pelayan itu langsung membawa mereka ke sebuah meja yang telah direservasi. Tidak lupa buku menu diserahkan pada Amaya dan Rava. Namun, tidak satu pun dari mereka membuka buku berlapis beludru hitam tersebut.
Amaya tidak bisa tenang saat itu. Ketimbang memesan makanan, ia lebih memilih untuk melihat ke arah pintu restoran. Menanti Ragil dengan cemas yang amat kentara.
"Tenanglah. Aku ada di sampingmu."
"Aku tahu, jika tidak ada kamu, aku bahkan tidak akan berani menemuinya."
Mendapat jawaban jujur seperti itu, sontak membuat degup Rava berdebar lebih keras. Beruntung, Amaya masih fokus melihat pintu, jadi Rava dapat menyembunyikan perasaannya untuk sesaat. Ya ... sesaat, karena belum sempat pria itu menata kembali perasaan, iris abunya sudah menangkap sesosok pria yang sudah berjalan ke arah mereka. Dengan penuh percaya diri, membuat Rava geram.
Sesampainya di meja, Ragil langsung duduk berhadapan dengan Amaya dan Rava. Namun, tidak menganggap Rava ada, kedua mantan kekasih itu hanya memandang satu sama lain. Berusaha mengambil alih situasi, Rava pun mulai membuka suara.
"Perkenalkan, nama saya Rava. Rava Herdiansyah Darmawan."
"Oh, saya Ragil. Ragil Saputra," jawabnya terkekeh.
"Dan ini Amaya. Kalian sudah saling kenal, 'kan. Ia ISTRI saya," balas Rava sembari menekankan kata istri di hadapan Ragil.
"Saya tahu, tetapi sebenarnya Anda tidak perlu mendampingi kami berdua, karena saya hanya punya urusan dengan Maya, bukan Anda," Ragil membalas tidak mau kalah.
"Kita pesan makanan dulu saja, pelayannya juga sudah datang." Amaya tiba-tiba memecah ketegangan di antara mereka.
Setelah selesai memutuskan pesanan, Ragil kembali menatap Amaya.
"May, kamu enggak baik-baik saja sekarang, 'kan?"
"Maksud kamu apa?"
"Kamu pasti enggak bisa hidup tanpa aku, karena aku merasa kacau tanpa kamu."
"Kamu enggak mungkin merasa kacau tanpa aku, ketika kamu saja bisa bertahan pergi tanpa aku dulu."
"Aku pergi karena aku yakin kamu akan nunggu aku, May."
Amaya kehilangan kata. Ia sudah lelah. Tidak lagi berpikir, wanita itu lantas berdiri untuk pergi, sampai satu tangan Rava menghentikan dirinya.
-Flashback End-
.
.
"Aku tahu kalian butuh bicara berdua, tetapi aku rasa, aku perlu ada saat ini sebagai suaminya," sela Rava tidak lagi bersikap formal.
"Sejak awal, kami tidak butuh dirimu. Kamu hanya duri yang membuat situasi ini menjadi rumit," Ragil sudah melihat nyalang Rava. Ia juga tidak ingin menutupi rasa bencinya.
"Ragil!" tegur Amaya padanya.
"Aku benar, May. Jika pria ini tidak ada dalam hidupmu, maka aku mungkin sudah merencanakan pernikahan bersamamu sekarang."
"Jangan terlalu banyak bermimpi. Faktanya sekarang akulah yang ada di sisi Amaya sebagai suaminya. Jadi, aku minta padamu untuk tidak lagi menemui Amaya, baik sebagai mantan kekasih ataupun kenalan."
"Apa maksudmu?!" Tiba-tiba Ragil sudah menarik kerah leher Rava. Begitu pula dengan Rava yang balik mencengkram kerah leher Ragil karena refleks.
"Sudah cukup, Gil! Kita ada di tempat umum. Harusnya kamu malu !" bentak Amaya sambil melerai keduanya.
"Aku kacau, May!"
Tanpa banyak bicara, Amaya langsung melihat Rava seakan meminta pertolongan untuk keluar dari tempat itu secepatnya. Merasa paham dengan sinyal itu, Rava pun lantas memanggil pelayan untuk menyelesaikan pembayaran. Membuatnya lengah sampai kehilangan momen saat Ragil berhasil menarik Amaya pergi dengan amat cepatnya.
.
.
"Lepaskan tanganku, Gil! Lepas!!" rintih Amaya meski diabaikan oleh pria yang masih menariknya itu.
"Aku mau kejelasan, May!" balasnya frustasi. Sekarang, Ragil sudah membalikkan diri, tepat berhadapan dengan Amaya.
"Apa lagi yang harus aku jelaskan? Aku menikah dan kita selesai. Sudah cukup, Gil."
"Aku enggak peduli! Aku enggak bisa tanpa kamu, May!"
"Kamu bisa bertahan sama seperti saat kamu lebih memilih mimpi kamu dibanding aku dulu."
"Aku hanya butuh waktu saat itu, May. Bukan melepasmu."
"Aku tahu. Aku juga sudah memberimu waktu selama lima tahun tanpa kabar darimu. Terus menunggu sampai akhirnya aku lelah, Gil. Seperti pilihanmu lima tahun lalu yang egois, kali ini aku juga ingin egois dan memilih anak-anakku."
"Mereka bahkan tidak berbagi darah denganmu. Biarkan mereka bersama pria itu dan kamu bisa bangun keluarga sendiri bersamaku."
"Kamu itu lelaki hebat, Gil, sementara mereka hanya punya aku. Jadi, buatlah keluargamu sendiri, karena aku sudah punya keluarga sekarang. Pria itu dan anak-anakku. Mereka adalah keluarga bagiku," jelas Amaya setelah merelakan semuanya. Sudah tidak ingin menatap pria itu. Lebih memilih untuk melepas genggaman tangannya.
Sampai Rava akhirnya datang. Langsung menarik istrinya itu pergi. Meninggalkan Ragil seorang diri.
.
.
Ditulis oleh: Penulisdsy
Vote, follow, dan komentar jangan lupa