Midun

By Basilaks

17.8K 1.1K 319

"Gre, kamu itu nomor 7 di hidup aku. Nomor 1-5 Pancasila, Nomor 6 keluargaku." - Nino Hamids cerita remaja me... More

PROLOG
KASET KUSUT
SEKOTENG MANGGA MUDA
GATOT KACA
HAMIDS NYEBELIN!
SEPEREMPAT TAHUN PERTAMA
IBU
KENCAN PERTAMA?
HEMBUSAN ANGIN SEGAR
JADI SUPPORTER FUTSAL
MAKAN SAMA IBU DAN FIRA
HUJAN JANGAN MARAH
MENUJU SENJA
EPILOG

PAPA

1K 81 20
By Basilaks

"pa! Kak Shania rusuh tuh!" aku berlari kecil menyusul Papa yang berjalan dengan Mama beberapa langkah di depan aku dan Kak Shania yang daritadi ribet mengeluarkan barang bawaan.

Kami baru saja turun dari mobil di parkiran sebuah rumah sakit. Hari ini aku dan keluargaku akan menengok teman Papa yang sakit. Tapi entah mengapa Kak Shania malah yang paling semangat untuk datang. Bahkan ia membawa banyak makanan untuk diberikan.

"bilang aja kamu mau ndusel-ndusel Papa kan?" kata Papa yang merangkul pundakku.

"ndusel mah bonus, Pa. Lagian Gre kangen sama Papa."

"hahahaha anak Papa yang manja ini udah besar ya ternyata," Papa mengacak-acak rambutku. "dulu kalo jalan Papa gandeng, sekarang udah bisa dirangkul." Lanjutnya.

"dasar lu tukang ngadu!" Kak Shania menyusul menyamakan langkah kaki Mama. Mama membantu membawakan kantung yang Kak Shania bawa.

Mama memang pendiam. Ia hanya senyam senyum saja melihat tingkah kami.

Sampai di kamar rawat temannya Papa, ternyata ada Kak Boby yang juga sedang menunggu Ayahnya bersama Bundanya. Oh, pantesan Kak Shania semangat banget.....capernya. pft

Selesai menjenguk, Papa lebih dulu ke parkiran untuk mengambil mobil. Katanya, Aku, Kak Shania dan Mama nunggu di lobby rumah sakit aja biar gak repot jalan jauh. Tapi berhubung aku lagi males deket-deket Kak Shania, jadi aku ikuti saja Papa ke parkiran.

"loh? kamu ngapain ngikutin Papa, Gre?" Papa menghentikan langkahnya yang terpaut beberapa meter di depanku.

"males, Pa. Kak Shania nyebelin." Kataku sambil berjalan mendekati Papa.

"jangan berantem terus sama Kakak kamu. Cuma dia yang kamu punya." Papa memegang kedua pundakku. "kalian berdua harus bisa bikin Mama bangga ya, jagain Mama juga. Kalian bertiga harus kuat. Papa gak pengen liat keluarga Papa nangis."

Aku gak tau maksud apa yang Papa bicarakan. Namun tubuhku reflek memeluk Papa. Ia balas memelukku juga. Rasanya hangat. Sangat hangat. Aku suka punggung Papa yang sangat nyaman dipeluk.

"Papa pergi dulu, ya. Inget loh, jangan berantem sama Shania mulu. Nama kamu kan ada Shania-nya juga. Hehe." Papa melepaskan pelukannya.

Aku masih diam mematung.

"udah sana, tunggu di lobby aja. Nanti papa ke sana." Papa tersenyum tulus. Perlahan ia berjalan menjauh dari tempatku berdiri.

"Papa!" ucapku berteriak.

Ia masih terus berjalan.

"Papa!"

Hanya punggungnya yang bisa kulihat. Papa terus berjalan sampai....

"Papa!"

Aku terbangun dari tidurku. Ternyata hanya mimpi.

"Papa....." ucapku lirih.

Astaga, aku memimpikan Papa. Sebegitu kangennya kah aku sama Papa? Mimpi itu terasa sangat nyata. Pelukan Papa dalam mimpi masih menghangatkan tubuhku yang hanya berbalut piyama saat ini. Tanapa kusadari air mata mengalir di pipi. Papa lagi apa ya di surga sana?

Papa adalah sosok Ayah terbaik dalam hidupku. Papa adalah seorang yang sangat menyayangi keluarganya. Papa hanya punya 3 cinta selama hidupnya. Yang pertama adalah kecintaanya kepada Tuhan-nya, kedua adalah kecintaannya kepada Mama, dan yang terakhir adalah kecintaanya kepada anak-anaknya.

Papa adalah seorang Arsitek, Kontraktor, dan Mantan pacar terbaik seorang Jessica Veranda, Mamaku. Tahun lalu Papa meninggalkan kami bertiga. Saat itu Papa sedang ada proyek pembangunan sebuah gedung di Paris. Dan kebetulan yang menyebalkan pun membuat kami bertiga lemas setengah mati saat berita kerusuhan di Paris dilaporkan dari salah satu stasiun tv swasta.

Saat itu di Paris tepatnya di daerah Villiers Le Bel terjadi kerusuhan yang parah. Papa yang sedang mengamati bangunan-bangunan indah disana dari dalam mobil menjadi korban keganasan kelompok remaja yang membabi-buta. Kelompok remaja itu bentrok dengan polisi, bahkan kendaraan-kendaraan yang berlalu-lalang pun dibakar. Termasuk mobil yang Papa kendarai. Bahkan Papa dan 2 orang temannya belum sempat keluar dari mobil saat mobil itu dibakar massa. Dengan sekuat tenaga, Papa keluar dari mobil sebelum mobil itu meledak.

Namun hampir 80% tubuh Papa terbakar. 3 hari lamanya Papa dirawat di Rumah Sakit sekitar tanpa keluarga. Bukan karena kami tidak ingin melihatnya disana, tapi karena kerusuhan di Paris masih terus berlangsung dan pemerintah Indonesia tidak mengizinkan WNI melakukan keberangkatan pesawat ke sana sampai situasi benar-benar kondusif.

Sampai pada akhirnya tenaga medis disana sudah tidak mampu menolong nyawa Papa.

4 Desember 2007, Papa menghembuskan nafas terakhirnya di Paris. Bukan di rumahnya, bukan di kampung halamannya, dan bukan di negaranya yang ia cintai. Tanpa keluarga yang ia cintai di sisinya. Hari itu juga jasad Papa diterbangkan dari Paris.

5 Desember pukul 1.30 dini hari, aku menunggu kedatangan jasad Papa di lobby rumah sakit. Saat itu bukan hanya aku yang menangis, namun semua keluarga dan kerabat serta rekan kerja Papa juga turut merasakan kesedihan yang mendalam. Bahkan Mama dan Kak Shania sampai pingsan.

Saat itu, aku melihat tubuh Papa yang sudah penuh dengan luka bakar tertutup kain putih terbujur kaku diatas ambulance stretcher yang baru menjemputnya dari bandara ke kamar jenazah. Gak bisa aku jelaskan lagi bagaimana kepedihanku saat itu. Yang jelas, rasanya lebih sakit dari segala jenis rasa sakit di dunia ini. Papa, aku rindu.

Aku bangkit dari tempat tidurku. Kakiku begitu saja melangkah menuntunku menuju kamar Mama. Sekarang pukul 3.22 AM. Dan sepagi ini Mama masih sibuk dengan rancangan busana di meja kerjanya.

Aku langsung memeluk Mama dari belakang. Ku taruh daguku di pundak kirinya. Ia mengelus rambutku dengan tangan kirinya.

"Ma, Papa lagi apa ya? Gracia kangen." Ku tatap wajah Mama. Matanya berkantung seakan menegaskan kalau ia kurang istirahat. Beberapa garis tipis keriput kecil juga mulai menjajah wajah cantiknya.

"Papa lagi main tenis, mungkin. Mama juga kangen, Gre." Mimik wajah Mama berubah sendu. Namun ia selalu mencoba setegar mungkin di depan anak-anaknya.

"tadi Gracia mimpiin Papa, Ma. Kenapa ya Tuhan cepet banget ambil Papa dari kita? Padahal Gracia belom sempet bikin Papa bangga." Kataku yang masih memeluk Mama dari belakang.

"Tuhan lebih sayang sama Papa, sayaaaaang banget." Suara Mama sangat lirih dan serak seperti menahan tangis.

"tapi,..."

"ssssttttt..... sejak kamu masih di dalam rahim Mama, kamu udah bikin Papa bangga setengah mati. Karna saat setelah Shania lahir, Mama divonis gak bisa mengandung lagi karena kondisi rahim Mama yang lemah."

Lagi, air mataku mengalir. Teringat semua tentang kenangan kami bersama Papa.

"udah, jangan nangis. Mending Mama ceritain gimana waktu Mama pacaran sama Papa aja, mau dengerin gak?" Mama menghapus air mataku. Ia bangkit lalu membuka tirai jendela. Di luar masih gelap. Hanya ada purnama yang perlahan memudar.

Mama memposisikan tubuhnya duduk diatas tempat tidur. Tangannya memeluk sebuah bantal. Aku menghampirinya.

"Kinan..... dia baik." Mama mulai bercerita. Papaku bernama Kinan Jalu Wedhajati. "Kinan dulu anak Arsitektur, Mama dulu anak Psikologi. Sama-sama di UGM. Kenalnya gara-gara dia nyari Mama di kampus. Pas ketemu dia minta ganti rugi sama Mama."

"ganti rugi apa?"

"Kinan bilang tugasnya berantakan gara-gara Mama."

"kok bisa?"

"katanya waktu itu Kinan lagi duduk di depan Hotel Santika sama temen-temen kelasnya. Ngerjain tugas suruh gambar Hotel itu. Biasalah anak Arsitektur kalo ospek lama, bisa satu semester. Nah, kebetulan Mama lewat sana sama temen-temen Mama. Jalan kaki."

"cuma lewat disalahin?" tanyaku.

"Kinan ngasih liat gambarannya yang dicoret gede banget sama seniornya. Dia bilang disuruh ulangi. Terus dia nunjukin. Ada Mama di gambarnya, padahal cuma disuruh gambar bangunannya."

"gambarnya bagus?"

"enggak, gambar Hotelnya bagus. Persis. Gambar Mama cuma kayak simbol wanita di pintu toilet. Terus dikasih efek cahaya gitu di sekeliling gambar Mama."

"cahaya gimana?"

"iya, cahaya. Terus ada tulisan 'bidadari lagi jalan kaki' gitu. hahahaha" Mama tertawa sambil berusaha mengingat Papa. "abis itu Kinan tidur di kampus seminggu penuh."

"hahahahaha kok bisa?"

"iya soalnya gara-gara gambar Mama yang ternyata maba Psikologi, Papa kamu itu kena hukuman disuruh gambar kampus FISIP se-detil mungkin dari sudut pandang yang udah ditentuin koordinatnya." Mama tersenyum sangat senang saat menceritakannya. "itu tugas dari seniornya, diluar tugas dari dosennya yang udah numpuk."

"hahahaha kasian."

"enggak kasian tau. Dia jadi deketin Mama. Ya awalnya males sih, soalnya Kinan gak romantis, dulu Mama sukanya cowok romantis."

"kenapa mau?"

"kuliah psikologi bikin stress, Gre. Kinan humoris banget. Mama ketawa terus kalo sama dia." Aku kasih tau deh, wajah Mama yang tadinya sendu jadi berubah bahagia pas mulai cerita tentang Papa.

"hahahahahahahaha pas udah pacaran gimana?"

"pas udah pacaran, ya gitu. Pacaran yang sehat-sehat aja walaupun dulu sama-sama anak kos. Cuma pas akhir-akhir Mama kuliah, Kinan sering Mama omelin."

"kenapa diomelin?"

"Kinan udah bisa cari uang dari gambarnya. Padahal kuliahnya udah selesai dari cuma 3,5 tahun, tapi Papa kamu males bikin skripsi. Katanya 'ngapain lah bikin skripsi cuma buang duit, bikin mumet, toh sekarang dari desain bangunan udah bisa dapet duit' gitu. Mama sebel."

"bandel ya, haha."

"sampe mundur 2 tahun skripsinya. Mama udah lulus, udah kerja sama kuliah lagi di Jakarta. Kinan baru lulus. Itu juga gara-gara Mama omelin mulu."

"yang kuliah DKV lagi itu ya? Kenapa gak nerusin S2 biar jadi psikolog? Terus Mama sama Papa LDR dong?"

"males. Mama suka gambar, makanya ambil DKV. Iya terus putus. Gak lama nyambung lagi."

"kenapa putus? Terus kenapa bisa nyambung lagi?"

"Papa kamu bandel, masa arsitek bandel kan gak lucu. Nyambung lagi karna ternyata bandelnya Papa punya alasan bagus sampe Mama percaya kalo Papa kamu serius sama Mama."

"emang gimana?"

"kata Kinan 'jadi anak laki-laki tuh harus bandel. Biar ada yang dipertanggung jawab-in. Biar terbiasa dan gak pernah lari dari tanggung jawab. Kalo anak baik, hidupnya lempeng aja, gak ada yang bisa dipertanggung jawab -in. lha wong ga pernah salah.' Gitu."

"iya juga ya, terus gimana lagi?"

"terus Papa kamu, si Kinan itu, ke Jakarta juga. Kuliah Teknik Sipil di UI." Katanya. Aku tahu yang ini, Papa pernah cerita. Tapi aku baru tau kalo dulu jogja pernah jadi saksi cinta mereka. "tapi setelah nikah sama Mama, Papa udahan bandelnya. Dia suami yang terbaik deh. Mama beruntung pernah bikin tugas Kinan berantakan dulu. Hahahaha"

Kok aku ngerasa mudanya Papa kayak Hamids ya? Hehe. Jadi gue beneran udah move on?

Akhirnya aku tau alasan lain Mama memutuskan untuk pindah ke Jogja. Bukan hanya karena ingin cari suasana baru, tapi juga karena ingin hidup bersama kenangan manis saat jadi pacar Papa, alias Kinan Jalu Wedhajati.

Aku senang bisa dengar cerita ini. Tuhan, jagain Papa ya. Suatu saat nanti aku mau ngeledekin Papa karena selama ini Papa mulu yang ngeledekin aku. Hftgre.

"Hamids-mu itu kayak Kinan waktu muda, Gre." Kata Mama seakan tau apa yang aku pikirkan. Atau.... Ini ikatan batin antara ibu dan anak? Hahahah.

Ohiya, sebelumnya aku udah pernah cerita ke Mama tentang Hamids. Aku kasih tau ke Mama kalo namanya tuh Nino Hamids, bukan Sugeng yang kayak di surat izin waktu itu. hehe.

"kenapa gitu?"

"nyebelin, tapi bikin kangen. Yang kayak gitu jangan dilepas, Gre. Udah jarang ditemuin di bumi. Ada lagi di surga, si Kinan, Papa kamu itu hahahaha"

Gak ngerti lagi deh, Mama bisa tegar banget walaupun inget Papa tapi malah dibikin yang seneng-seneng. Malah bikin aku ketawa.

"tapi aku gak kangen ah sama Hamids. Hehe."

"bohong, ah. Kata Shania, kamu sering nulis 'Hamids, aku rindu.' tiap malem sebelum tidur." Kak Shania? Kok bisa tau?

"eh, ups! Aduhhh...." Ucap mama sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan.

"Kak Shania baca diary aku?!"

Telooooooo! Shania gedang goreeeeeeeng! Itu kan ritualku tiap malam. Pokoknya aku harus melakukan serangan balik nih sama dia. Awas aja pokoknya besok Shania gue jadiin umpan dugong!

***

Dari jaman TK sampe SMA gini, kenapa ya agustus jadi bulan favorit kelahiran temen-temenku? Apa karna bulan ini istimewa karena bersamaan dengan bulan dimana Indonesia merdeka? Atau karna dibuatnya pada saat musim hujan lagi deras-derasnya ya? Eh, aku ngomongin apasih. Hehe.

Di penghujung Agustus ini juga Elaine ulang tahun. Sebelum-sebelumnya ada beberapa anak kelas juga yang ulang tahun. Btw, aku baru tau kalo ternyata Elaine pernah dilahirin juga. Kiraen di bentuk pake senyawa kimia NaCl dan nitrogen alias asin dong. Haha, enggak. Bercanda kok.

Untuk merayakan hari ulang tahunnya, Elaine mentraktir beberapa teman dekatnya makan di sebuah café sepulang sekolah. Termasuk aku. Oh iya, btw Elaine udah 16 tahun loh. Aku aja gak nyangka. Soalnya Elaine kalo didandanin pake seragam SD juga masih cocok. Ya, semacam kebalikannya Kak Shania gitu deh. Ups, aduh males banget nyebut nama kakak ku. Bukan apa-apa, sampai detik ini dia belum mau minta maaf atas kelancangannya sembarangan baca diary orang.

"Hamids lo ajak gak, Len?" tanyaku ke Elaine. Saat ini di meja yang lumayan besar di sudut café ini sudah ada Aku, Stefi, Frans, dan Indah.

"aku ajak kok, Gre. Adam sama Okta juga." Kata Elaine yang sibuk dengan HPnya. Mungkin lagi SMS-an sama Adam. "mereka baru otw dari sekolah. Paling sebentar lagi."

"halah, mereka ngapain dulu to? Kok sampe baru pulang? Aku nggak enak nih cowok sendirian disini." Ucap Frans yang sedaritadi hanya diam. Oh, aku tau maksudnya. Pasti karna dia gak ngerti apa yang diomongin cewek.

"sabar to, Frans. Ngomong wae nek wes selak ngelih." Celetuk Indah meledek. (=bilang aja kalo udah keburu laper)

Frans sendiri hanya cengengesan menanggapinya. Kami memang sudah memesan makanan lebih dulu, tapi belum datang. Baru minumnya aja. Strategi dagang memang. Biar minumnya habis duluan kan? Terus beli minum lagi deh. Pft.

Tak lama, Adam datang dengan sebuah tart di tangannya. Ia tidak datang bersama Hamids, hanya ada Okta, si cowok menye-menye itu. Kemana Hamids?

"Hamids mana, Dam?" tanya Elaine sambil melirik ke arahku saat Adam dan Okta mengambil duduk.

"katanya nanti nyusul gitu." Ucap Adam sambil mengendikkan bahu.

"aku takut dia ikut tawuran. Akhir-akhir ini lagi rame tawuran e."

Oh yaampun Okta. Kenapa lo ngomong gitu coba? Sial. Aku jadi khawatir. Akhir-akhir ini memang lagi ramai tawuran antar sekolah. Tapi kasusnya hanya di STM atau sekolah yang mayoritas muridnya laki-laki saja. Dan sejauh ini belum ada SMA negeri yang ikut tawuran. Hamids, lo dimana sih?

Beberapa menit berlalu. Acara kecil-kecilan ulang tahun Elaine masih berlangsung dengan ngobrol-ngobrol gak jelas dan makan-makan. Tapi rasanya aku kayak gak berada disini. Mungkin ragaku aja yang duduk manis sambil mesam-mesem kalo yang lain tertawa, namun pikiranku cuma ke Hamids.

"eh, itu Hamids!" kata Stefi disela-sela obrolan kami.

Hamids masuk dengan rambut yang berantakan. Ia mengenakan jaket converse warna navy kesukaanya dan sepatu converse hitam yang sudah robek-robek. Di jaman ini memang sepatu semakin buluk semakin keren. Tapi serius deh, Hamids ganteng banget. Ia duduk di sebelah Okta. Tepatnya di depanku yang bersebelahan dengan Elaine.

"Elaine, wekwekwekwekwek wek, wek wek wekwekwek. Amin." Ucap Hamids sambil menjabat tangan Elaine.

Semua diam. Tepatnya gak ngerti lagi sama yang Hamids bilang. Termasuk aku.

"apa maksudnya?" tanya Elaine.

"wek? Wekwek wekweeeek?" dari nada bicaranya, Hamids sepertinya sedang balik bertanya. Wajah serius, gak keliatan lagi bercanda.

"Mids, serius to!" oke, Stefi mulai bete. Sepertinya sebentar lagi aku yang bete.

"loh? Katanya kamu bebek, Len? Kok ga ngerti?" ucap Hamids santai. Ekspresi mukanya datar.

"hahahahahahahaha."

Semua tertawa, termasuk aku. Astaga Hamids, ceritanya ngomong pake bahasa bebek? Apabanget deh. Tapi lucu. Semua jadi pada ketawa.

"iya, Mids. Makasih ya ucapannya. Hahahaha."

Oh akhirnya Elaine bisa (pura-pura) ngerti juga apa yang Hamids bilang.

Suasana menjadi lebih seru ketika Hamids sudah bersama kami. Bukan karena aku sedang dekat dengannya, namun memang jadi lebih banyak canda dan tawa. Pokoknya seru deh!

Ditengah serunya ngobrol-ngobrol sore, Hamids memberikan sebuah kotak kecil ke Elaine. Mungkin kado. Ia juga bangkit dari duduknya dan membisikkan sesuatu ke telinga Elaine. Tapi mungkin bukan bisikkan, soalnya kami bisa dengan jelas mendengar apa yang ia bilang. Katanya;

"tolong kasih ke Gracia."

"loh, kan yang ulang tahun aku, Mids?" kata Elaine. Mungkin maksudnya protes bercanda gitu.

"kamu kan udah dapet dari Adam. Kasian itu Gracia masa gak dapet kado juga." Ucap Hamids dengan wajah datarnya. Ia lalu meminum es teh yang ia pesan.

Elaine memberikanku kotak itu. Isinya sangat ringan. Mungkin lebih berat kotaknya daripada isinya.

"tapi gue kan gak lagi ulang tahun, Mids." Ucapku saat akan mulai membuka kotak yang ku pegang.

Aku gak ngerti lagi deh. Mau tau gak isinya apa? Ada 3 benda. Yang pertama sebuah gambar burung garuda dengan teks pancasila di bawahnya yang di print kertas HVS dan dilipat menjadi 8 bagian berbentuk persegi. Yang kedua adalah foto keluarganya ukuran 3R. Terakhir adalah fotoku saat sedang menggulung kaset kusuntnya tempo hari yang diambil diam-diam.

"ini apa maksudnya?" tanyaku.

"itu ada suratnya. Baca aja, Gre."

Ini memang tahun dimana sudah ada SMS bahkan aplikasi chat yang semakin mudah dan asik digunakan. Tapi gara-gara surat ini, aku jadi berterimakasih kepada siapapun di luar sana yang menemukan sesuatu yang disebut surat.

Aku dibuat melayang setinggi-tingginya karena surat ini. Tulisan Hamids emang gak bagus, jelek malah. Kertasnya juga bukan warna pink dan gak wangi seperti gaya orang pacaran jaman dulu. Cuma pake kertas sobekan nota di minimarket. Jadi, begini isi suratnya;


Gre, maaf ya kalo kadonya jelek. Kamu itu nomor 7 di hidup aku.

Nomor 1 – 5 Pancasila, Nomor 6 nya keluargaku.


Go boom boom!!!!!! Jedaaaaarrrrr! Mungkin kalo aku bacanya di kamar pasti udah jingkrak-jingkrak kegirangan. Tapi berhubung ini lagi di tempat umum, jadi aja aku cuma tertawa kecil.

Hamids tersenyum padaku, lalu bertingkah seperti Hamids biasanya. Cuek, polos dan seperti gak terjadi apa-apa. Dia malah asik menyuapkan makanan ke mulutnya. Aku sedikit menunduk untuk menutupi pipiku yang mungkin memerah. Dan surat ini, cuma aku dan kalian yang boleh tau. Temen-temenku gak aku kasih tau. Hahahaha.

Waktu itu aku pernah ngobrol sama Elaine. Katanya Hamids itu inti dari sebuah tongkrongan. Kalo gak ada Hamids, gak bakal rame. Dulu waktu kelas 1 SMA malah Hamids pernah bikin satu sekolah geger. Tapi seru katanya. Kapan-kapan aku ceritain deh. Eh, kalo inget ya. Hehehe.

Hamids, kayaknya aku udah fix move on deh dari Kak Mario. Hehe.

- bersambung, biar kayak Tukang Bubur Naik Haji-

------------------------------------------------------------------------------------------------

oi, apdet lagi nih. Maap kalo makin gak jelas. Hehe.

salam, keluarga Midun :*

Continue Reading

You'll Also Like

5.1K 325 5
Apa yang akan terjadi apabila Planet Venus dan Neptunus bertemu ? Tentu akan terjadi sebuah kekacauan maha dahsyat yang mungkin menjadi kiamat bagi b...
334K 5.7K 18
( Slow update ) Bahaya ⚠️⚠️ Cerita pendek , iseng aje sih gabut cerita ini akan ada kekerasan , dewasa, emosi , komedi , sadis , pembunuhan selamat...
539K 45.2K 48
[TAMAT] "Semangat! Kejar terus sampe dapetin Pak Aran!" ❗BXG STORY❗ NB : HANYA KARANGAN AUTHOR❗JUST A FICTION❗ 09 March 2022 - 21 August 2022
34.1K 2.4K 18
"Jika memang cinta membawa sebuah ketenangan jiwa, maka pada detak jantunglah Chika memasrahkannya" Yessica Tamara-Alvito Fadran Hai kembali lagi den...