Salju belum juga berhenti berjatuhan dari langit, tidak ada tanda-tanda akan mereda sejak semalam. Angin berhembus kencang menerbangkan kepingan-kepingan salju searah angin.
Langit sore tertutupi oleh kabut tebal. Cuaca buruk menghentikan pemakaman Ratu Quanda yang seharusnya dilaksanakan sore ini.
Tidak ada yang menduga. Kemarin Ratu Quanda masih tersenyum bangga dihadapan ratusan rakyat Bellvania. Tetapi sekarang wanita itu terbaring tidak bernyawa di dalam peti dengan setangkai bunga Lily digenggamannya.
Charlos duduk seorang diri pada salah satu kursi yang tersusun berjejer ke belakang di Aula Istana. Mata merah yang membengkak menatap kosong peti berwarna coklat di atas panggung. Penasihat istana dan tabib Balden baru saja meninggalkan ruangan ini. Kebencian dan dendam bertambah membara dalam diri pria itu.
Bahkan hanya untuk menyebut nama Julian terasa sangat menyakitkan. Bagaimana tidak, salah satu pria yang selama ini ia hargai telah berhasil merenggut dua orang terpenting dalam dirinya. Tatapan kosong itu berubah menatap bengis.
Sepuluh menit berlalu sejak tabib Balden meninggalkan Aula Istana, tetapi perkataan tabib itu masih mendengung ditelinganya.
Tabib Balden mengatakan penyebab kematian Ratu yang terkesan mendadak diakibatkan racun yang menggorogoti dan merusak setiap sel dan saraf serta menghancurkan semua organ dalam ibunya secara perlahan.
Luka dileher Ratu Quanda menghitam menjadi awal mula racun yang diduga berasal dari ular paling berbisa di laut hitam. Bisa ular dicampurkan ke bubuk bunga yang membuat racun tidak langsung beraksi setelah memasuki tubuh Ratu.
Charlos tahu bagaimana Ratu mendapatkan luka dilehernya. Semua itu ulah pedang Julian. Seharusnya sejak awal ia menyadari kedatangan Julian memiliki tujuan besar. Pria itu dengan berani menemuinya dan Ratu secara langsung.
Sekarang ia mengerti. Sepertinya karena pria lemah yang selama ini tersemat pada dirinya membuat Julian sangat meremehkannya. Rahang Charlos mengetat, kedua tangannya terkepal kuat. Giginya sampai mengeluarkan bunyi saat bergesekan.
Suara derit pintu menyapa gendang telinga Charlos. Hanya dalam hitungan detik raut wajah pria itu berubah dengan cepat menjadi datar. Derap langkah pertemuan sepatu dan ubin Aula semakin terdengar jelas saat langkah kaki itu mendekat.
Seseorang duduk di samping Charlos. Tanpa menoleh ia tahu siapa yang meletakkan selimut tebal di bahunya sekarang.
"Kau menggunakan baju tipis. Itu bisa membuatmu jatuh sakit." Dengan telaten Helena memperbaiki letak selimut. Helaaan napas berat Helena terdengar. "Kau bahkan belum meminum obatmu."
"Penasihat istana dan tabib Balden baru saja datang menemuiku." Perkataan Charlos menghentikan Helena. Netra keduanya bertemu saat pria itu menoleh ke samping. "Kau tahu apa kata tabib?"
Helena menggeleng pelan. Tidak! Dia jelas tahu apa yang akan dikatakan tabib Balden tetapi akan sangat mencurigakan jika ia mengatakan mengetahuinya saat penasihat istana belum mengeluarkan pernyataan resmi. "Tabib mengatakan hal yang menyakitkan?" tanyanya.
Benjolan di depan tenggorokan Charlos bergerak saat ia menelan ludah. "Tabib mengatakan Ratu telah diracuni. Kau tahu siapa orang kejam yang telah membunuh Ratu?" Lagi-lagi Helena menggeleng.
"Julian," bisik Charlos di depan wajah Helena. "Julian yang melakukannya."
Kedua tangan Helena menutup mulut dengan mata membesar. Dia menatap Charlos seakan tidak percaya. Bersandiwara bukanlah hal baru baginya.
Keterkujat Helena menimbulkan senyum miring dibalik wajah tanpa ekspresi Charlos. Dia menjauhkan kembali kepalanya. "Seharusnya kau tidak perlu terkejut. Di dunia ini hanya Julian seorang yang menginginkan kematian Ratu. Oh tidak, bukan hanya Ratu. Dia juga menginginkan kematianku."
Raut sedih Helena berbanding terbalik dengan apa yang dirasakannya saat ini. Hatinya menjerit senang tetapi wajahnya begitu sendu. Dia mengambil kedua tangan Charlos lalu menggenggamnya.
"Aku tidak tahu harus mengatakan apa untuk menghiburmu. Aku tahu kau pasti tertekan dengan semua yang terjadi. Kau pria yang kuat, kau pasti bisa melalui semua ini. Kau tidak sendirian Charlos." Helena berusaha tersenyum menenangkan. "Aku akan selalu berada di sampingmu, menemanimu apapun yang terjadi."
Helena tersentak. Tiba-tiba Charlos menyemburkan tawa menimbulkan kernyitan di dahinya. Pria dihadapannya tertawa dengan mulut tertutup rapat, Charlos terlihat berbeda. "Kau baik-baik saja?" tanyanya.
Charlos terus tertawa. Kepalanya bahkan sampai tertunduk. Suara tawa itu menggema mengisi Aula Istana saat Charlos membuka mulut. Perkataan Helena bagaikan lelucon.
Ayah dan ibunya juga pernah mengatakan akan selalu berada di sampingnya dan melindunginya. Lihatlah apa yang terjadi. Semuanya hanyalah kebohongan. Mereka berdua mengingkari semua itu dan yang lebih menyakitkannya lagi. Keduanya pergi meninggalkannya sendirian di dunia ini.
"Kau baik-baik saja?" Helena bertanya kedua kalinya tetapi tetap saja pria di depannya tidak menghentikan tawanya. "Charlos! Hei, hentikan. Ada apa denganmu?"
Cairan bening sedikit terlihat dikedua sudut mata Charlos. Helena merasa ucapannya tidak bisa membuat seseorang tertawa sampai mengeluarkan air mata. Namun itu tidak membuatnya khawatir. Hatinya tersenyum puas.
Ini yang ia inginkan. Keterpurukan Charlos dan ia akan datang sebagai pahlawan. Membuat pria itu tergantung terhadapnya. Dia tidak sabar melihat kehancuran Bellvania sebentar lagi akan terjadi.
"Ibu. Sedikit lagi kita akan berhasil. Penderitaanmu akan terbalaskan. Aku tidak aka menyia-nyiakan pengorbananmu," batin Helena.
Lamunan Helena buyar merasakan tangan Charlos terlepas dari genggamannya. Matanya melebar melihat tubuh Charlos jatuh ke lantai. "Charlos!" pekiknya. Dia ikut turun dari kursi lalu meletakkan kepala pria yang tidak sadar diri ke pangkuannya.
"Charlos, buka matamu." Helena menepuk-nepuk pelan wajah pucat Charlos tetapi pria itu sama sekali tidak merespon. Dia melihat kearah pintu. "Tolong! Siapapun tolong! Putra Mahkota tidak sadarkan diri," teriak Helena menggema.
Tidak lama kemudian pintu megah itu terbuka lebar. Empat prajurit berlari tergesa-gesa memasuki Aula Istana. Tangisan histeris Helena terdengar. Wanita itu menunduk membawa tubuh Charlos dalam dekapannya. "Kumohon kau harus baik-baik saja Yang Mulia," ucap Helena disela-sela tangisannya.
Detik selanjutnya ia mengukir senyum miring di bibirnya. Matanya melirik peti mati Ratu Quanda seakan-akan memandang rendah wanita yang terbujur kaku di dalamnya.
*****
Kematian Ratu Quanda menjadi dejavu bagi seluruh rakyat Bellvania. Lagi-lagi salah satu anggota kerajaan meninggal secara mendadak. Istana belum juga mengeluarkan pernyataan penyebab kematian Ratu membuat orang-orang bertanya-tanya apa yang terjadi.
Semua aktifitas di Ibu Kota dihentikan untuk menghormati mendiang Ratu Bellvania.
Semuanya dibuat terkejut. Kehilangan dan kekhawatir melanda seluruh orang. Apa yang akan terjadi dengan kerajaan Bellvania selanjutnya? Tanpa Raja Hugo, tanpa Ratu Quanda dan tanpa Julian sebagai pewaris tahta sesungguhnya. Kedudukan pemimpin akan diisi oleh Putra Mahkota yang baru.
Charlos dikenal sebagai pria yang pintar dan lembut namun tidak menjadikan rakyat Bellvania merasa aman. Semua orang tahu ia hanyalah pria yang tidak bisa mengambil tindakan. Selama menjadi pangeran keputusan selalu di tangan ibunya.
Mereka telah mendengar kabar burung yang beredar. Pasukan prajurit Nycthopilic dan pasukan prajurit Maxis telah berkumpul diperbatasan bahkan sudah seminggu mereka membuat perkemahan di daerah perbatasan.
Bukankah ini mencurigakan? Kematian Ratu Quanda seperti sudah direncanakan melihat para prajurit dari kerjaaan lain berkumpul satu minggu sebelumnya. Kabar duka seakan menjadi bencana besar bagi seluruh rakyat Bellvania.
Malam ini kedai-kedai di setiap sudut kota begitu ramai dikunjungan di tengah salju yang mulai bertumpukan. Mereka lebih memilih memakai pakaian tebal berlapis-lapis dan berkumpul bersama warga lainnya di sebuah kedai dengan secangkir teh panas untuk menghangatkan tubuh.
Orang-orang terus berdatangan memenuhi setiap meja. Mereka memiliki pembahasan yang sama, Kekhawatiran atas kematian Ratu dan nasib kerajaan Bellvania selanjutnya.
Walaupun kerajaan mereka terkenal akan kekuatan dan kemakmurannya, semuanya akan sia-sia tanpa seorang pemimpin yang tangguh. Bellvania, Nycthopilic dan Maxis adalah tiga kerajaan adidaya dengan kekuatan militer terkuat dari kerajaan lainnya.
Walaupun permusuhan antara kerajan Nycthopilic dan kerajaan Bellvania sudah berlangsung berpuluh tahun namun selama ini belum pernah terjadi peperangan besar selain di perbatasan.
Semua orang hanya bisa berharap semoga ketakutan dan kekhawatiran mereka tidak akan pernah terjadi.
Sementara di tempat lain, jauh dari Ibu Kota di sebuah rumah yang dikelilingi hutan belantara. Duduk enam orang mengelilingi meja persegi yang berada di teras halaman belakang.
Wajah Harry mengernyit saat anggur mengaliri tenggorokannya. Rasa asam, manis dan pahit berpadu menjadi satu dalam cairan beralkohol yang baru saja diteguknya. Anggur hasil racikan paman Baker yang menggabungkan Gin, Dubonnet dan sedikit perasan lemon terasa membakar tenggorokan bagi siapa saja yang meminumnya.
Walaupun rasanya membuat mereka mendesis, tetapi cukup membuat tubuh mereka hangat di tengah cuaca dingin dan bersalju.
Jari-jari Julian bergerak asal di pinggiran gelas kecil di hadapannya. Matanya melihat Harry yang mengetuk-ngetuk gelas ke meja. Mata Harry tidak berbeda jauh dengannya yang memerah, tetapi sahabatnya itu seperti telah kehilangan setengah kesadarannya.
"Aku benci medan perang," ucap Harry tidak jelas menunjuk dirinya sendiri. Sekali lagi ia meneguk segelas Anggur. "Tapi ayahku mantan panglima perang menginginkan aku mengikuti jejaknya. Bodoh! Sangat BODOH!"
Setelah meneriakkan kata bodoh Harry hampir saja jatuh dari tempat duduknya. Louis yang duduk di sampingnya dengan sigap menahan tubuh Harry yang mulai sempoyan.
Harry tiba-tiba saja tertawa dengan kebodohannya. Dia menoleh ke samping. "Pria manis." Harry menepuk-nepuk pelan pipi Louis. "Kau begitu baik padaku. Jika saja aku seorang wanita, aku pasti akan memintamu menjadi kekasihku."
Semuanya tersentak saat gelas kecil melayang lalu mengenai kepala Harry. Tenang saja, gelas yang tebuat dari logam tipis tidak akan melukai pria yang sekarang mengadu kesakitan sembari mengelus-ngelus dahinya.
"Hentikan pria tidak normal, itu sangat menjijikkan." Jane pelaku pelemparan gelas tanpa rasa bersalah meletakkan sebelah tangannya di atas meja lalu meletakkan kepalanya dengan pipi kiri menempel ke lengannya.
Dengan posisi duduk di sebelah kanan Jane, Julian bisa melihat perlahan mata wanita itu mulai tertutup. Sepertinya alkohol sudah memperngaruhi Jane sepenuhnya.
Sementara Harry menatap kesal Jane yang terlihat begitu nyaman dalam tidurnya. Tangannya langsung mengambil gelas kecil di depannya lalu melemparkannya kearah wanita yang mulai tertidur.
Suara benturan logam dan meja mengejutkan orang-orang yang menyaksikan aksi balas dendam Harry.
Jane menggeliat seraya bergumam tidak jelas. Suara benturan di meja mengganggunya namun pejaman matanya tidak juga terbuka.
"Berhenti menatapku seperti itu," ucap Harry kepada sahabatnya yang menatapnya tajam. Dia melihat Julian menjauhkan tangannya dari kepala Jane. Ya, gelas tadi tidak sempat menyentuh kepala Jane karena tangan Julian dengan sigap melindungi wanita itu.
Harry mengangkat kedua tangannya melihat tatapan Julian semakin menajam. "Aku tidak bermaksud menyakiti istrimu. Aku hanya ingin membangunkannya. Dia harus meminta maaf padaku." Harry mencoba membuat pembelaan.
"Tahu batasanmu Harry. Aku memberimu kebebasan bersikap lancang padaku tetapi tidak kepada Jane."
Bukannya merasa takut Harry malah terkekeh. Dia menatap geli sahabatnya. Sebelah sudut bibirnya terangkat tersenyum mengejeknya.
"Wah!" Harry berseru. "Tingkahmu sekarang akan membuat siapapun yang melihatnya akan salah paham. Mereka akan berpikir kau sedang melindungi wanita yang begitu kau cintai. Bagaimana menurut bibi dan paman?" tanya Harry kepada sepasang suami istri yang sejak tadi hanya diam memperhatikan mereka.
Mendapatkan pertanyaan tiba-tiba membuat paman Baker dan bibi Emely berkedip berulang kali. Dua gelas anggur tidak akan membuat bibi Emely kehilangan kesadarannya namun tidak dengan paman Baker yang sudah meneguk delapan gelas anggur.
"Jelas saja mereka saling mencintai. Mereka sepasang suami istri. Ah bukan hanya itu saja_" paman Baker menggeleng mengikuti jari telunjuknya yang terangkat bergerak ke kanan kiri. "Mereka juga adalah calon Raja dan Ratu Bellvania."
Semburan tawa Harry keluar. Lagi-lagi tubuh sempoyannya hampir terjatuh namun kali ini ia mampu menahan tubuhnya sendiri tanpa bantu Louis.
"Ya Dewa tempat dudukku terus bergoyang...Itu tidak penting. Paman dengarkan aku. Pria ini memiliki hati lebih keras dari batu. Dia mengatakan tidak mungkin mencintai wanita menyebalkan itu." Harry menunjuk Julian dan Jane bergantian.
"Oh satu kali. Paman, kau mungkin sudah terlalu lama tinggal di hutan ini. Dia_" Sekali lagi Harry menunjuk sahabatnya. "Pria bodoh ini bukan lagi calon Raja Bellvania."
Harry memajukan tubuhnya ke arah paman Baker. "Biar aku beritahu sebuah rahasia," bisik Harry yang masih bisa dengar oleh Julian, Louis dan bibi Emely. "Dia sekarang buronan Istana."
Setelah mengatakan itu Harry berseru terkejut sedangkan paman Baker menatap polos seraya berkedip pelan. "Jadi_"
Bekapan tangan bibi Emely di mulut paman Baker menghentikan pria tua itu bersuara. Dia tahu jika dipengaruhi alkohol suaminya sangat cerewet dan tidak memikirkan setiap perkataannya. Bibi Emely tersenyum canggung kearah Julian.
"Sepertinya malam semakin larut. Waktunya untuk beristirahat. Kami mohon undur diri Yang Mulia." Bibi Emely menunduk hormat lalu menarik tangan paman Baker mengikutnya.
"Hei paman! bibi! Kalian mau kemana? Paman pembahasan kita belum selesai!"
Kepala Julian menggeleng kecil melihat tingkah sahabatnya. Decitan kaki kursi dan lantai terdengar. Julian memperhatikan pengawalnya mendekati Harry lalu menarik paksa pria itu berdiri.
"Saya akan mengantarkan tuan Harry ke kamarnya." Louis membungkuk hormat kemudian menarik kerah baju pria yang terus berteriak meminta dilepaskan.
Setelah kepergian Louis dan Harry keadaan menjadi tenang. Julian menunduk memperhatikan wajah Jane yang memerah akibat alkohol dan udara dingin. Tangannya terangkat merapikan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Jane.
"Berhenti memaksaku ibu. Sudah aku katakan aku tidak suka kue wortel."
Celetukkan Jane menghentikan pergerakan tangan Julian. Pria itu menelisik wajah wanita yang masih memejamkan mata. Tanpa disadari kedua sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman kecil.
Julian menjauhkan tangannya. Dia mengisi kembali gelasnya lalu meneguk habis isi gelas kecil itu. Pandangannya kembali jatuh pada wanita yang masih terlelap. "Jane," panggilnya.
Panggilan lembut Julian tidak akan mampu membangunkan wanita yang menghabiskan empat gelas minuman beralkohol. Julian mengehela napas. "Jane," panggilnya lagi sembari mengoyangkan bahu wanita itu.
Kali ini berhasil membangunkan Jane. Terlihat wanita itu menggeliat dengan kelopak mata yang perlahan terbuka. Jane tidak langsung menegakkan tubuhnya. Dia menatap sayu Julian dari bawah. "Tampan. Wow! Aku bertemu pria tampan."
Sebelah alis Julian terangkat mendengar ucapan Jane. "Berhenti mengatakan omong kosong. Udara semakin dingin kita harus kembali ke dalam."
"Jangan menyentuhku." Julian terkejut saat tangannya ditepis sedangkan Jane langsung menegakkan duduknya. "Beraninya kau menyentuhku. Aku wanita bersuami."
Julian merotasikan bola matanya. "Aku tahu kau wanita bersuami."
"Ya Dewa." Tiba-tiba Jane menjerit. Matanya melebar dengan kedua tangan menutup mulut. "Kau_" Mata Jane memicing memperhatikan setiap lekukan wajah Julian. "Wajahmu seperti pria brengsek yang menikahiku."
Julian tahu ini tidak akan berakhir. "Sebaiknya kau bangun sekarang atau aku akan meninggalkanmu di sini sendirian." Setelah mengatakannya Julian berdiri dan langsung melangkahkan kakinya menuju pintu.
Selangkah lagi tubuh Julian akan sepenuhnya masuk ke dalam rumah namun telinganya tidak mendengar langkah kaki mengikutinya dari belakang. Dia menoleh ke belakang.
Jane benar-benar menguji kesabarannya. Wanita itu tetap pada kursinya bahkan sekarang Jane mengangkat kedua kakinya. Kedua tangan memeluk kaki yang ditekuk dengan kepala menempel pada sandaran kursi.
Julian menghela napas kasar. "Jane!"
Teriakan Julian mengejutkan Jane yang sedang memperhatikan salju. Kepala wanita itu berputar, matanya berbinar melihat Julian yang mendekatinya. Senyuman lebar menghiasi bibir wanita itu. "Julian!"
"Akhirnya kau menyadari siapa aku wanita bersuami," ucap Julian sembari memutar kedua bola matanya.
"Julian," panggil Jane lagi dengan senyuman bahagia. Dia bahkan mengangkan kedua tangan dan menggoyangkannya.
"Kau mengenaliku sekarang?" Julian berhenti di samping kursi Jane yang terus tersenyum menunjukkan jejeran gigi atasnya. Tetapi raut wajah wanita itu tiba-tiba berubah sedih.
"Kau tahu tadi seorang pria menggodaku." Jane mengadu seperti anak kecil. Bibirnya mengerucut. "Dia menyentuhku seperti ini."
Julian hanya diam memperhatikan Jane yang memperagakan ketika ia mencoba menyentuh pergelangan tangan wanita itu. Dia tersenyum melihat Jane melebih-lebihkan setiap pergerakannya. "Itu sangat mengerikan," ujar wanita itu.
"Kau yang lebih mengerikan saat mabuk."
Jane menggeleng. Dia menatap kesal. "Tidak. Aku tidak mabuk."
Julian menyentil dahi Jane. "Aw!"
"Sudah aku katakan jangan minum terlalu banyak."
Jane mendengus kesal. Mulutnya bergumam tidak jelas sembari mengelus-ngelus dahinya. Dia melirik Julian yang kembali duduk di sampingnya. Pria itu menyilangkan kaki lalu melipat kedua tangan di depan dada bersamaan dengan kepalanya yang jatuh di sandaran kursi.
Merasa terus diperhatikan Julian menoleh ke samping. "Apa?" tanyanya melihat tatapan kesal Jane.
"Kau harus meminta maaf."
"Aku hanya membalaskan dendam Harry."
"Harry?" Kening Jane berkerut tidak mengerti. Dia melupakan perbuatannya yang membuat Harry hampir saja mendapatkan amukan Julian. "Ada apa dengan Harry?"
Julian lelah dengan tingkah Jane. Kepalanya terasa berat. Mengabaikan ocehan wanita itu terasa lebih baik. Anggur racikan paman Baker ternyata cukup membuat kewarasannya berkurang. Pantas saja Jane terlihat sangat mabuk hanya dengan empat gelas tegukan. Jane memiliki toleransi alkohol sangat rendah.
Senyap menyelimuti kedua manusia yang menutup rapat mulut mereka. Tidak ada lagi celotehan dari wanita yang sekarang ikut menyandarkan kepalanya.
Julian melihat melalui sudut matanya memperhatikan Jane yang terlihat lebih tenang. Wanita itu tidak tidur, matanya terbuka memandang kepingan salju yang terus turun menutupi tanah. Julian ikut memandang ke depan.
Dinginnya hembusan angin tidak membuat sepasang suami istri itu meninggalkan tempat mereka. Rahang keduanya terkatup enggan untuk bersuara. Waktu terus berjalan namun kesunyian masih menemani kedua insan yang memikirkan hal berbeda.
"Julian." Jane orang pertama yang memecah keheningan.
"..."
"Julian."
"Jane."
Jane tertawa kecil mendengar Julian balas menyebut namanya. Tawa itu tidak bertahan lama. "Bolehkah aku bertanya?"
"Satu pertanyaan."
Jane menggigit dalam bibirnya. Dia memiliki banyak pertanyaan dalam otak kecilnya. Sangat tidak adil jika Julian hanya mengizinkannya bertanya sekali.
Julian salah jika berpikir ia akan menuruti pria itu. Mulutnya hanya dirinyalah yang bisa mengendalikannya. Jane mulai berpikir harus memulainya dari mana.
"Menurutmu aku orang yang buruk?" tanyanya.
Kepala Julian berputar menatap wanita yang baru saja bertanya tetapi tidak melihat kearahnya.
"Kurasa begitu. Melihat banyaknya gadis bangsawan yang memusuhimu," jawab Julian.
Jane mengangguk pelan. "Kau benar."
Kali ini Jane menoleh ke samping. Ternyata pria itu masih melihat kearahnya. "Jika kau mendapatkan kembali tahtamu tapi aku tidak berada di sampingmu, kau akan bahagia?"
"Satu pertanyaan."
"Kau tidak akan meninggal jika menjawab pertanyaanku."
"Aku memiliki hak untuk tidak mnejawab."
Jane mendengus. "Baiklah. Satu pertanyaan terakhir."
"Teruslah berharap aku akan menjawabnya."
Jane tidak memperdulikan perkataan Julian. Dia menatap dalam netra dengan hiasan melingkar berwarna abu-abu itu. "Kau akan bahagia jika Luisa yang akan mendampingimu memimpin Bellvania?"
Keduanya terdiam. Netra keduanya masih saling menatap. Julian membuka mulutnya membuat degup jantung Jane berdetak semakin kencang.
"Kau seperti ingin mengatakan tidak menginginkan posisi Ratu."
"Sejak awal aku tidak menginginkan posisi Ratu," balas Jane cepat. "Aku benci pelatihan tata krama Putri Mahkota yang membosankan. Aku benci pekerjaan Ratu yang menumpuk. Aku benci kehidupan Istana yang penuh dengan penghinaan terhadapku. Tidak ada hal yang membuatku bahagia menjadi Ratu. Aku hanya ingin terus bersama dengan pria yang aku cintai. Tapi aku sadar, keinginan kecilku hanya akan membuat banyak orang terluka."
Jane berpikir setelah mengungkapkan semuanya ia akan merasa lega namun ia salah, sebongkah rasa sesak di hatinya masih enggan untuk beranjak. Keterdiaman Julian membuat segala pikiran buruk dalam otak Jane semakin bertambah.
"Kau menyerah?" tanya Julian.
Jane tersenyum sendu. "Bahkan hati yang paling kuatpun akan lelah."
Jawaban Jane menimbulkan semirik Julian. "Kau seharusnya lebih berusaha lagi agar pernikahan kita tidak terjadi. Sudah aku katakan, yang menjadi milikku selamanya akan tetap menjadi milikku. Lebih baik kau tiada. Aku benci orang lain memiliki yang seharusnya menjadi milikku."
"Kau monster."
"Dan kau istri seorang monster," balas Julian. Keduanya sama-sama memberikan tatapan tajam.
Jane memilih memalingkan pandangan melihat ke depan. Lebih baik ia melihat beberapa pohon besar yang tumbuh menghiasi halaman belakang. Tebalnya salju yang mendiami pepohonan membuat warna asli dedauanan hanya sedikit terlihat.
Cuaca buruk telah berlalu sejak tadi. Banyaknya salju yang terus berdatangan tidak sebanyak seperti sebelumnya namun hawa dingin masih terasa menembus mantel tebal kedua manusia yang memilih menutup mulut mereka, diam memandang jauh ke depan.
Jane merapatkan mantel tebalnya lalu memeluk dirinya sendiri. Kaki yang ditekuk sejak tadi mulai kram tetapi dengan posisinya sekarang terasa lebih baik. Dia menghela napas pelan.
"Aku ingin kau seperti pohon itu," ucap Jane memecah keheningan. Julian menoleh ke samping kemudian mengikuti arah pandang Jane yang tertuju pada salah satu pohon dengan ukuran paling besar.
"Walaupun daun dan bunganya sering berguguran. Rantingnya juga patah, tapi dia masih tetap berdiri kokoh. Kau lihat banyaknya salju yang bertumpuk memenuhi pohon itu?" Jane hanya melihat Julian sekilas lalu menatap kembali pohon besar tadi. "Banyaknya salju tidak akan mempu merobohkannya."
Julian diam bukan berarti ia mengabaikan semua yang Jane katakan. Setiap ia membalas perkataan Jane, wanita itu akan bertambah semakin kesal. Lelah bertengkar membuatnya memilih diam.
Tawa kecil yang keluar dari bibir kecil Jane menyapa gendang telinga Julian. Detik selanjutnya wanita itu kembali berucap. "Aku mengingat pertemuan pertama kita. Kau begitu menyebalkan dengan mengabaikanku dihari debutku."
Tiba-tiba Jane menegakkan duduk. Tubuhnya berputar sepenuhnya menghadap Julian. "Ini semua karenamu." Tangannya terangkat menunjuk pria yang mengangkat kedua alis keheranan.
"Seandainya malam itu kau tidak mengabaikanku. Seandainya malam itu kau tidak menatap bulan dengan wajah sedihmu aku tidak akan sepenasaran ini denganmu. INI SEMUA SALAHMU BEDEBAH!"
Setelah berteriak begitu keras tubuh Jane kembali menyandar dengan lesu. "Semuanya terlambat. Aku gila karena menyukaimu hanya karena bentuk perutmu yang seksi," ucap Jane pelan namun masih bisa didengar oleh Julian.
Perkataan Jane membuat Julian berpikir keras. Dia memutar kembali pertemuan pertama mereka. Dia tidak hanya mengabaikan Jane saja, ia juga menghindari semua gadis yang mencoba mendekatinya malam itu. Tetapi Julian tidak mengerti maksud Jane dengan menatap bulan dan perut seksinya. Memikirkannya membuat kepala Julian semakin berat.
"Seharusnya aku mendengarkan ibuku dan ayahku untuk kembali ke wilayah timur setelah pesta debutku. Hidupku baik-baik saja sebelum bertemu denganmu." Jane kembali berucap. Dia menatap Julian sinis. "Kau seharusnya minta maaf."
Julian terkekeh merasa lucu. "Kau yang seharusnya meminta maaf karena telah mengganggu ketenanganku."
"Kau benar-benar bajingan." Tiba-tiba Jane memegang kepalanya. Sesekali ia menggeleng dengan mata terpejam erat lalu terbuka kembali tetapi rasa pening masih terasa. "Kepalaku pusing. Semuanya terlihat berputar di mataku."
Dia hanya diam saat seseorang mengangkat tubuhnya dengan sebelah tangan melingkari punggungnya dan tangan lainnya berada di belakang lututnya.
Jane melihat Julian dari bawah. Wajah serius pria itu selalu terlihat menawan. Dia menyandarkan kepalanya di dada Julian. Matanya memandang sendu. "Kau harus tetap kuat seperti pohon tadi. Sekuat apapun badai yang mencoba merobohkanmu, kau akan tetap berdiri tegak."
"Berhenti bersuara."
Jane menggeleng. Dia kembali menatap Julian. "Aku ingin mengatakan sesuatu."
"Kau boleh mengatakannya nanti," ucap Julian.
"Tidak ada nanti."
Langkah Julian terhenti. Dia menunduk, menatap wanita yang juga menatapnya sayu. Dia menatap dalam netra Jane yang dipenuhi kesedihan. Jane bahkan tersenyum getir.
"Aku berharap setelah badai ini, kebahagian akan selalu menghampirimu. Aku selalu yakin, suatu saat nanti aku akan menjadi sumber kau tidak akan menatap bulan dengan sedih lagi. Tapi aku salah_" Jane menggeleng. "Aku tidak akan pernah menjadi orang itu."
Cepat-cepat Jane menutup mulut Julian yang ingin mengatakan sesuatu. "Jangan berucap sepatah katapun. Kau selalu mengatakan hal-hal yang menyakitiku."
Jane menurunkan tangannya. Dia tersenyum lebar melihat Julian yang tidak mengeluarkan kata-katanya, matanya ikut mengecil saat tersenyum berbanding terbalik dengan pria yang sekarang menggendongnya.
"Turunkan aku," pinta Jane.
"Sialan!" Jane mengumpat, sedetik kemudian tertawa. Kakinya baru saja menyentuh lantai. Jika saja Julian tidak menahan pinggangnya mungkin sekarang ia sudah terduduk. "Lantainya bergoyang."
Melihat tatapan Julian yang menakutkan Jane menghentikan tawa bodohnya. Dia berdehem sekali. "Maafkan aku. Aku akan berhenti tertawa."
Seandainya Jane tahu bukan tawanya yang membuat Julian menatapnya tajam. Namun wanita itu malah berjinjit dan memeluk leher Julian yang membuat pria itu sedikit membungkuk agar tidak menyusahkan Jane. Kedua tangannya tidak pernah meninggalkan pinggang Jane.
"Pelukan ini bukan dariku." Jane menepuk-nepuk pelan punggung Julian. "Pelukan ini dari ayahmu. Dia ingin aku menyampaikan padamu betapa dia sangat menyayangimu melebihi nyawanya sendiri. Kau adalah satu-satunya orang yang ingin dia lindungi di dunia ini."
Jane melepaskan pelukannya. Dia menatap Julian dengan wajah sedih. "Kau seharusnya tidak bertengkar dengan ayahmu sore itu. Dia terlihat begitu sedih saat kau pergi dalam keadaan marah. Mengingatnya membuatku ingin menangis."
Tanpa diinginkan cairan bening mengaliri pipi Jane yang memerah. Jari-jarinya menyentuh pipinya lalu menatap telapak tangannya. "Air mata sialan. Ada apa denganku? Aku tidak ingin menangis."
Sementara Julian hanya diam memperhatikan Jane yang berkedip pelan. Dia kembali dikejutkan. Lagi-lagi Jane berjinjit dan kembali memeluknya.
"Kali ini pelukannya dariku," ucap Jane. Dia mengeratkan pelukannya. "Kau pria hebat yang bisa bertahan sampai sekarang, aku bangga padamu. Maaf mengganggu ketenanganmu selama ini." Jane tersenyum kecil. Pada akhirnya ia yang meminta maaf.
"Berjanjilah, tanpa aku di sampingmu kau akan semakin bahagia. Kau harus mencari wanita yang bisa mendampingimu dan berbagai dalam segala hal."
Julian benci mendengarnya. Ini mengingatkannya pada kejadian malam pembunuhan Raja. Malam itu juga ayahnya berbicara terlalu banyak dan beberapa jam kemudian ayahnya pergi untuk selamanya.
Ini di luar kendali Julian. Dia ikut mengeratkan lingkaran tangannya. Seketika rasa takut memenuhi dirinya. Perasaan ini seperti ia melihat tubuh Jane dipenuhi darah akibat keguguran. Jangan lagi, ia tidak ingin merasakan perasaan kehilangan seperti kehilangan ayahnya.
Sudah pernah Julian katakan. Jane sudah terlalu jauh masuk dalam hidupnya dan mempengaruhinya. Dia ingin berteriak di hadapan wanita dalam pelukannya, meminta untuk berhenti bersuara. Namun rahangnya malah terkatup rapat bahkan sampai Jane kembali bersuara ia masih diam dengan segala perasaan anehnya.
"Dikehidupan selanjutnya_" Jane menjeda ucapannya yang bergetar kemudian menghela napas pelan. "Semoga Dewa tidak pernah mempertemukan kita berdua."
Jane menyandarkan kepalanya di bahu Julian. Mendadak ia merasa lelah, perlahan kelopak mata itu tertertutup menyembunyukan iris birunya. Terlihat sedikit cairan bening di kedua sudut matanya.