Sebelum mulai bab, cuma mau ngasih tau, kalo bab ini spesial Hari Ibu dan nggak ada sangkut-pautnya dengan jalannya cerita. Dan, semoga feel-nya kerasa, ya.
Selamat hari ibu, dari aku seorang anak yang sangat berterimakasih karena telah dilahirkan, untuk kamu, ibu, pelita paling terang dalam hidupku. Maaf, jika lahirnya aku adalah sebuah beban untukmu.
Happy reading all!
...
Cristy memandangi putri kecilnya yang masih berusia sebelas tahun itu dengan menghela nafas panjang. Pasalnya, setelah pulang sekolah, bukannya segera pulang, Maggiera malah keasyikan bermain hujan dengan teman-temannya di pinggir jalan sekitar rumahnya.
Gadis kecil itu tertunduk begitu dalam kala melihat mamanya berkacak pinggang di depan pintu dapur dengan pelototan tajam.
"Habis berapa jam kamu mandi?" Cristy bertanya dengan suara mengintimidasi. Begitu menakutkan jika melihat wanita itu sudah murka. Mau selembut manapun, ia tetaplah seorang ibu yang bisa marah pada anaknya.
"Bukannya Mama udah bilang, berhenti hujan-hujanan. Mama ngga mau kamu sakit sayang." Kali ini nada suaranya berubah melembut takkala telinganya menangkap suara isakan kecil dari bibir anaknya.
Gadis itu masih terisak, semakin menunduk lebih dalam. Cristy yang tak tega melihatnya segera jongkok dan memeluk tubuh kecil itu. Mengusap surainya yang kian memanjang, terasa halus dan harum. Maggiera semakin mengeraskan tangisannya, menyembunyikan wajahnya dibalik tengkuk sang ibu.
"M-maaf ... maafin Maggiera, Ma," ujarnya lirih, terdengar begitu menggemaskan ditelinga mamanya.
Wanita cantik itu melepaskan pelukan, menangkup wajah sembab putrinya lalu menciumi keningnya, beralih pada kedua matanya, lalu menciumi pipinya dengan gemas.
"Nggak apa-apa, lain kali jangan diulangi, ya. Jangan buat Mama sama papa khawatir," katanya, yang disambut dengan anggukan antusias.
***
Hari itu, suasana rumah keluarga Genta berbeda dari biasanya. Biasanya, tawa Maggiera mengisi ruangan. Namun, hari ini, keheningan menggantung seperti awan gelap.
Maggiera duduk di kursi makan, menatap raport di tangannya. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menahan tangis. Genta berdiri di depannya, wajahnya serius—bukan marah besar, tapi ada kekecewaan yang jelas terlihat.
"Nilai segini, kamu merasa puas, Rai?" tanya Genta, suaranya rendah namun penuh tekanan.
Maggiera menggeleng pelan. "Enggak, Pa."
"Kalau kamu tahu enggak puas, kenapa bisa begini? Papa sudah bilang, kamu harus fokus belajar. Tapi kamu malah main terus. Ini akibatnya."
Air mata Maggiera mulai menetes, meski ia mencoba menyembunyikannya. Ia berdiri dari kursi tanpa berkata apa-apa, lalu berjalan cepat menuju kamarnya. Ia tak sanggup mendengar lebih banyak.
Genta memanggil, "Ra, tunggu—"
Namun, pintu kamar anaknya sudah tertutup sebelum ia sempat melanjutkan kalimatnya.
Cristy yang sejak tadi berdiri di sudut ruangan akhirnya membuka suara. "Genta, lihat apa yang kamu lakukan. Kamu terlalu keras pada dia."
"Ini bukan soal keras, Cristy," balas Genta, matanya masih tertuju pada pintu kamar Maggiera. "Ini soal disiplin. Kalau dia enggak diajari sekarang, kapan lagi?"
Cristy mendekat, menatap suaminya dengan tajam. "Disiplin itu penting, tapi bukan dengan cara ini. Kamu tahu dia sudah merasa bersalah. Kenapa harus menekannya lebih jauh?"
Genta berbalik menghadap Cristy, nada suaranya mulai naik. "Cristy, aku cuma ingin dia jadi anak yang bertanggung jawab. Apa salahnya?"
"Salahnya adalah, kamu tidak mencoba mengerti perasaannya!" Cristy menjawab dengan tegas. "Dia masih kecil, Genta. Dia butuh dukungan, bukan tekanan!"
"Dan kamu pikir aku enggak mendukung dia? Aku yang kerja keras untuk memastikan dia punya segala yang dia butuhkan! Aku hanya ingin dia belajar menghargai itu!"
Cristy menghela napas panjang, mencoba meredam emosinya. "Ini bukan tentang kamu, Genta. Ini tentang dia. Kamu ingin dia sukses, tapi apa artinya kalau dia tumbuh tanpa percaya diri? Apa kamu mau dia takut padamu?"
Genta terdiam sejenak. Emosinya perlahan mereda, tapi ego masih menahannya untuk mengakui kesalahannya.
"Sudahlah," ujar Cristy akhirnya, suaranya lebih lembut namun tegas. "Aku akan ke kamar Maggie. Dia butuh ibunya sekarang."
Genta tidak menjawab, hanya menatap punggung Cristy yang menjauh menuju kamar Maggiera.
***
Di Kamar Maggiera
Cristy membuka pintu perlahan, menemukan Maggiera sedang duduk di atas tempat tidurnya. Wajah kecil itu penuh dengan air mata yang belum sempat ia seka.
"Sayang," panggil Cristy lembut sambil duduk di tepi tempat tidur. "Kenapa kamu masuk kamar sendirian?"
Maggiera mengusap matanya dengan punggung tangan. "Aku enggak suka dengar Papa dan Mama bertengkar ... aku bikin semuanya jadi kacau."
Cristy menarik Maggiera ke dalam pelukannya. "Oh, Ra, kamu enggak bikin semuanya kacau. Kamu anak yang hebat. Papa dan Mama cuma punya cara berbeda untuk menunjukkan sayang kami ke kamu."
"Tapi Papa marah ... aku enggak pintar, ya, Ma?" tanya Maggiera dengan suara pelan, penuh rasa bersalah.
Cristy menggeleng sambil mengusap rambut anaknya. "Kamu pintar, Ra, kamu sangat pintar. Nilai di raport itu bukan segalanya. Yang penting kamu mau belajar dari pengalaman dan terus berusaha. Mama tahu kamu sudah berusaha keras."
"Tapi Papa enggak bangga sama aku," gumam Maggiera, suaranya semakin lirih.
Cristy tersenyum lembut. "Papa bangga sama kamu, sayang. Dia cuma belum tahu cara menunjukkan rasa bangganya. Papa juga sayang banget sama kamu, sama seperti Mama."
Maggiera mengangguk kecil, meskipun air mata masih mengalir di pipinya. Cristy menyelimuti Maggiera dengan lembut, lalu mengecup keningnya.
"Kamu tahu, hari ini Hari Ibu," ujar Cristy, mencoba mengalihkan perhatian anaknya.
"Iya," jawab Maggiera pelan. "Aku enggak kasih apa-apa ke Mama ...."
Cristy tertawa kecil. "Kamu tahu apa hadiah terbaik untuk Mama?"
"Apa?"
"Kamu," jawab Cristy sambil mencium kening Maggiera. "Kamu dan semua tawa kecilmu. Itu sudah cukup untuk Mama."
Maggiera tersenyum tipis, meskipun masih ada sisa tangis di wajahnya. Cristy merasa lega. Ia mulai menyenandungkan lagu nina bobo kesukaan Maggiera, membantu anaknya terlelap dalam pelukan hangatnya.
Dari luar kamar, Genta berdiri di ambang pintu. Ia mendengar setiap kata yang Cristy ucapkan, dan hatinya perlahan diliputi rasa bersalah.
Ketika Maggiera akhirnya tertidur, Cristy menyelimuti anak itu dengan hati-hati. Ia menoleh, melihat Genta yang masuk perlahan.
"Genta," bisik Cristy.
"Aku terlalu keras tadi, ya?" tanya Genta, suaranya penuh penyesalan.
Cristy mengangguk pelan. "Dia hanya ingin kamu bangga padanya. Tapi, Genta... dia sudah berusaha keras."
Genta menghela napas panjang, lalu mengangguk. "Aku akan minta maaf besok pagi."
Cristy tersenyum. "Itu langkah yang baik."
Malam itu, keluarga kecil itu belajar untuk saling memahami, bahkan di tengah perbedaan cara mereka dalam mencintai. Dilandasi oleh cinta ibu yang tak terbatas.
***
Sekarang, Maggiera disini, berdiri dengan sebuket bunga mawar putih di pangkuannya sambil menatap gundukan makam. Hatinya mencelos setiap menatap tanah basah itu. Selalu menyakitkan kala mengenang sang ibu.
"Happy mother's day, Mama."
"Makasih udah mau melahirkan dan membesarkan Maggiera," ujarnya begitu lirih. Tubuhnya ia dudukan di pinggir makam, lalu meletakkan buketnya di dekat nisan.
"Maggiera sayang sama mama, sayang banget sampe rasanya pengen ikut kesana."
Semilir angin menerpa tubuh, melayangkan beberapa dedaunan kering. "Boleh nggak Maggiera ikut ke sana?"
***
Hargai selagi ada, jangan sia-siakan waktumu bersama ibu. Karena kalian tahu, akan sangat menyakitkan saat ia pergi dari hidupmu.
Sekarang, dimana pun kamu berada, berlarilah, temui ibumu, peluk wanita mulia itu dan katakan betapa kamu sangat menyayanginya dan sangat berterimakasih padanya.
Selamat hari ibu sedunia. Tiada cinta terbaik kecuali cinta ibu.
Salam, Andini Valendia.
22 Desember 2024.