Cowok Punya Hormon Cewek

By DearaSyarina

122K 4K 1.4K

PERINGATAN: Cerita ini mengandung tema dewasa seperti eksplorasi seksualitas dan perubahan gender. Hanya untu... More

Chapter 1 : Prolog
Chapter 2 : Keluarga
Chapter 3 : keluarga 2.5
Chapter 4 : Proses perubahan
Chapter 5 : sekolah dan sakit
Chapter 6 : Ajakan nonton
Chapter 7 : UKS
Chapter 8 : Ketahuan
Chapter 9 : My story
Chapter 10 : Bioskop
Chapter 11: Daster lagi?
Chapter 12: Seharian dasteran
Chapter 13 : Kolam Renang
Chapter 14 : Rahasia.
Chapter 15 : Tanktop
Chapter 16 : Hujan
Chapter 17 : Hujan (2)
Chapter 18 : Rumah Meira
Chapter 19 : Kamar Meira
Chapter 20 : Menginap
Chapter 21 : Malam
Chapter 22 : Dijemput
Chapterr 23 : Nyaris saja
Chapter 24 : Periksa
Chapter 25 : Oh tidak
Chapter 26 : Nongkrong
Chapter 27 : Persiapan
Chapter 28 : Persiapan 2
Chapter 29 : Perawatan
Chapter 30 : Kondisi Tubuh
Chapter 31 : Hotel
Chapter 32 : Sekamar
Chapter 33 : KEBAYA?
Chapter 34 : Pernikahan
Chapter 35 : Drop
Chapter 36 : Istirahat
Chapter 37 : Pagi hari
Chapter 38 : Jalan jalan
Chapter 39 : Pulang kerumah
Chapter 40 : Suara
Chapter 41 : GYM???
Chapter 42 : Terangsang
Chapter 43 : Terangsang 2
Chapter 44 : Pembalut
Chapter 45 : Perpustakaan
Chapter 46 : Kenyamanan?
Chapter 47 : Gosip perempuan
Chapter 48 : Kayla vs Rena
Chapter 50 : hore 50.
Chapter 51 : Rumah Sakit
Chapter 52 : Rumah sakit 2
Chapter 53 : Home
Chapter 54 : Butik
Chapter 55 : Dress Up
Chapter 56 : Pasar Malam
Chapter 57 : Larva
Chapter 58 : Jogging, Brother
Chapter 59 : Seblak
Chapter 60 : Pertengkaran
Chapter 61 : mau jadi kuat
Chapter 62 : Alun Alun
Chapter 63 : Warnet
Chapter 64 : Diculik
Chapter 65 : Malam
Chapter 66 : Perisai
Chapter 67 : Godaan pria
Chapter 68 : Hormon 92%
Chapter 69 : Salon
Chapter 70 : Rencana Tahun Baru
Chapter 71 : Acara Tahun Baru
Chapter 72 : Pagi itu
Chapter 73 : Sebentar lagi sekolah
Chapter 74 : Pemeriksaan

Chapter 49 : Demam

745 47 13
By DearaSyarina

Setelah kejadian memalukan tadi, suasana di rumah Meira menjadi canggung, meskipun semua orang mencoba berpura-pura tidak ada yang terjadi. Aku memeluk jaket Meira erat-erat, duduk di sudut ruangan sambil berharap waktu berjalan lebih cepat. Teman-temannya satu per satu berpamitan, termasuk Azizah yang masih menatapku dengan penuh rasa penasaran.

“Terima kasih sudah datang, semuanya,” kata Meira, mengantarkan mereka ke pintu dengan senyum ramah yang biasa.

Aku hanya bisa diam, berusaha tidak membuat kontak mata dengan siapa pun. Setelah semua orang pergi, rumah itu menjadi sunyi. Hanya ada aku dan Meira.

Dia menatapku lama sebelum akhirnya berjalan ke arahku dan duduk di sampingku. “Reza... eh, Rena, kamu nggak apa-apa?” tanyanya pelan.

Aku mengangguk, meskipun tahu ekspresi wajahku pasti tidak meyakinkan. “Aku... aku malu banget, Mei,” gumamku akhirnya.

Meira menarik napas panjang, lalu menggenggam tanganku. “Aku ngerti. Tapi aku cuma mau bilang, kamu nggak sendirian. Aku di sini buat kamu.”

Aku hanya bisa mengangguk lagi, tapi kata-katanya memberikan sedikit rasa nyaman di tengah kekacauan yang masih menguasai pikiranku.

“Ayo, aku antar kamu pulang,” Meira mengajak,
Meira bisa bawa mobil sendiri sebenarnya.

Kami masuk ke mobil, dan sepanjang perjalanan aku hanya diam. Kepalaku penuh dengan pikiran yang saling bertubrukan—tentang apa yang tadi terjadi, tentang diriku, dan tentang bagaimana semua ini akan berakhir.
Aku duduk di kursi penumpang mobil Meira, tubuhku masih terbalut jaketnya yang harum lembut. Di bawahnya, aku masih mengenakan rok  yang tadi dipaksakan padaku selama belajar kelompok. Pikiran tentang bagaimana aku harus kembali ke rumah terus mengganggu.

“Reza,” kata Meira sambil melirikku dengan cepat dari balik kemudi. “Kamu mau langsung pulang kayak gitu? Nggak, kan?”

Aku terdiam sejenak, menatap jaket yang kupeluk erat. “Aku nggak tahu, Mei. Aku nggak mungkin pulang kayak gini...”

Dia tersenyum kecil, seolah sudah menduga jawabanku. “Tenang aja. Aku tahu tempat yang aman buat kamu ganti. Ada WC umum di taman dekat sini. Kita mampir sebentar, oke?”

Aku mengangguk pelan, tidak punya pilihan lain. Mobil meluncur dengan lancar ke arah yang dia maksud, dan aku hanya bisa memandangi jalan di luar jendela, merasa semakin cemas.

Beberapa menit kemudian, Meira memarkir mobil di dekat taman kecil yang cukup sepi. WC umum itu terlihat bersih dari luar, dengan papan penanda untuk pria dan wanita yang tergantung di pintunya.

“Kamu bawa seragam cowok kamu di tas, kan?” tanya Meira sambil menoleh ke arahku.

“Iya, ada,” jawabku, suaraku hampir seperti bisikan.

“Bagus. Yuk, aku temani ke sana,” katanya sambil membuka pintu mobil.

Meira membuka pintu WC wanita dan memastikan tidak ada orang di dalam sebelum melambaikan tangan ke arahku. “Ayo, cepat. Nggak ada orang. Aku jaga di sini,” katanya sambil tersenyum tipis.

Aku masuk dengan langkah pelan, menutup pintu bilik di belakangku. Di dalam, aku menatap diriku di cermin kecil di dinding. Bayangan itu kembali membuat dadaku terasa sesak. Aku melihat wajahku yang sedikit lebih lembut karena make-up Meira tadi, jaket yang membingkai tubuhku, dan rok yang membuatku terlihat lebih ramping.

Aku menghela napas panjang. “Ini benar-benar gila,” gumamku sambil mulai membuka blus.

Aku mengganti bajuku dengan cepat, melepaskan pakaian yang membuatku menjadi "Rena" dan kembali mengenakan seragam cowokku yang tadi pagi kubawa di tas. Tapi ketika aku melihat pantulan di cermin lagi, seragam itu terasa aneh. Rasanya seperti aku sedang memakai pakaian yang sudah tidak pas, baik di tubuh maupun di pikiranku.

Setelah selesai, aku keluar dari WC dan melihat Meira menunggu di dekat pintu. Dia langsung tersenyum begitu melihatku. “Nah, sudah kembali jadi Reza,” katanya ringan, meskipun nada suaranya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam.

Aku hanya tersenyum tipis, tidak tahu harus berkata apa. “Makasih, Mei,” ujarku akhirnya.

“Selalu,” jawabnya singkat. Dia mengantar aku kembali ke mobil, dan kami melanjutkan perjalanan pulang tanpa banyak bicara. Tapi sepanjang jalan, aku terus memikirkan apa yang kulihat di cermin tadi. Aku kembali menjadi Reza, tapi entah kenapa, aku merasa seperti meninggalkan sesuatu yang tidak sepenuhnya salah.

Mobil Meira berhenti perlahan di depan rumahku. Malam sudah turun, dan lampu-lampu rumah tetangga mulai menyala. Aku menatap rumahku dengan perasaan campur aduk, tapi yang paling dominan adalah kelelahan.

“Reza, udah malam. Istirahat, ya,” kata Meira sambil tersenyum lembut. “Kalau ada apa-apa, hubungi aku.”

Aku mengangguk pelan, membuka pintu mobil dengan enggan. “Makasih, Mei. Sampai besok,” gumamku sebelum menutup pintu.

Begitu masuk ke rumah, aku langsung menuju kamar tanpa bicara banyak dengan ibu. Untungnya, beliau hanya menatapku sebentar sebelum kembali ke dapur. Aku masuk kamar, merebahkan diri di kasur, dan membiarkan tubuhku tenggelam di bawah selimut tanpa memikirkan apa-apa lagi.

---

Esok paginya, alarm di ponselku berbunyi nyaring, memaksa mataku membuka sedikit. Tapi tubuhku terasa berat, malas bergerak.

Aku melirik jam di dinding. Pukul 6:15 pagi. Biasanya aku akan buru-buru bangun dan bersiap, tapi hari ini rasanya berbeda. Aku terlalu lelah, baik fisik maupun mental. Pikiranku masih kacau setelah semua yang terjadi kemarin.

"Ah, malas," gumamku sambil menarik selimut lebih tinggi. “Nanti aja, sekolah.”

Aku menatap langit-langit kamar, membiarkan diriku hanyut dalam keheningan. Aku tahu ibu atau Kak Cindy pasti akan mengetuk pintu sebentar lagi, tapi untuk sekarang, aku hanya ingin diam.

Ketukan pelan di pintu kamarku terdengar. Suara ibu menyusul tak lama kemudian.

“Reza, kenapa belum bangun? Kamu nggak sekolah?”

Aku menggeliat sedikit di bawah selimut, mencoba membuat suara terdengar lemah. “Aku... agak kurang enak badan, Bu,” gumamku pelan.

Pintu kamar terbuka, dan ibu melongok masuk dengan wajah khawatir. “Demam? Dari semalam kamu udah kelihatan lelah. Yaudah, ibu izininnya ke sekolah, ya. Biar kamu istirahat.”

Aku mengangguk kecil, berpura-pura pasrah. “Makasih, Bu.”

Beberapa menit kemudian, ibu kembali ke kamarku sambil membawa segelas air putih, beberapa butir obat, dan semangkuk sup hangat. “Ini, makan dulu yang banyak biar badan kamu cepat fit,” katanya sambil duduk di tepi tempat tidurku.

Aku mengambil mangkuk itu dengan tangan gemetar pura-pura, berharap sandiwara ini cukup meyakinkan. Setelah minum obat dan menyantap sup, aku kembali merebahkan diri, menatap langit-langit sambil menahan senyum kecil.

“Ibu bawain lagi nanti kalau perlu, ya,” kata ibu sambil membetulkan selimutku sebelum keluar kamar.

Begitu pintu tertutup, aku menarik napas panjang, merasa lega karena berhasil mengelabui ibu. Tapi rasa puas itu tidak berlangsung lama. Sekitar dua jam kemudian, aku terbangun dengan tubuh yang terasa jauh lebih berat dari sebelumnya.

Aku mengusap keningku dan merasakan panas menyengat di sana. “Astaga...” gumamku. “Panas beneran?! Karma boongan...”

Aku mencoba duduk, tapi kepala ini terasa berat dan berputar. Rasanya seperti tubuhku benar-benar menyerah. Aku memeluk selimut erat-erat, tubuhku menggigil meskipun suhu badanku seperti terbakar.

Ibu mengetuk pintu lagi, lalu masuk dengan wajah cemas. “Reza? Kok wajah kamu merah banget? Aduh, demamnya tambah parah, ya?”

Aku hanya bisa mengangguk kecil. Kali ini, aku tidak lagi berbohong. “Iya, Bu... panas banget,” gumamku, suaraku nyaris tidak terdengar.

Ibu buru-buru meraba dahiku, lalu menggeleng pelan. “Aduh, panas banget ini. Tunggu sebentar, ibu ambilkan kompres, ya.”

Aku hanya bisa merebahkan diri lagi, tubuhku benar-benar tidak punya energi. Karma karena pura-pura sakit tadi pagi kini menamparku dengan keras.

Seharian itu, aku hanya terbaring di tempat tidur, tubuhku terasa lemas dan panas tidak kunjung turun. Ibu sibuk bolak-balik masuk kamar, membawakan air putih, mengganti kompres di dahiku, dan memastikan aku makan sedikit-sedikit.

Kadang-kadang, Kak Cindy juga masuk, tapi caranya merawatku sedikit berbeda. Dia tidak langsung menunjukkan perhatian seperti ibu, malah lebih suka menggodaku dulu.

“Aduh, adek cewekku sakit, ya? Cup, cup, cup. Sabar ya, adek manis,” katanya dengan nada menggoda, sambil mencubit pelan pipiku.

Aku hanya bisa memandangnya dengan tatapan datar. Wajahku memerah, entah karena panas demam atau ucapan konyolnya. “Kak, nggak usah aneh-aneh, deh. Aku beneran nggak kuat ini...”

Cindy terkekeh, lalu duduk di kursi dekat tempat tidurku. “Yaudah, yaudah. Kakak nggak ganggu lagi. Nih, tadi Kakak beli susu beruang sama lasegar buat kamu. Siapa tahu badan kamu jadi lebih enakan.”

Dia menyodorkan kantong plastik berisi jus dingin dan cup kecil es krim rasa coklat. Aku hanya mengangguk kecil, tidak banyak bicara karena tubuhku terlalu lemah untuk membalas candanya.

“Buka, nggak?” tanyanya lagi, kali ini nadanya lebih lembut.

“Boleh, Kak,” jawabku pelan. Cindy tersenyum, lalu membuka jus jeruk dan membantuku meminumnya sedikit demi sedikit.

Sesekali, ibu masuk lagi untuk memeriksa keadaanku. Saat melihatku masih lemas dan wajahku tetap merah, dia mulai terlihat khawatir.

“Reza, kalau malam nanti masih panas, kita ke rumah sakit aja, ya? Biar diperiksa dokter,” kata ibu, duduk di sisi tempat tidur sambil mengganti kompres di dahiku.

Aku langsung menggeleng, meski gerakanku lemah. “Nggak usah, Bu. Paling nanti sore juga sembuh. Aku cuma kecapekan.”

Ibu terlihat ragu, tapi akhirnya menghela napas. “Ya sudah. Tapi kalau makin parah, kamu nggak boleh nolak, ya?”

“Iya, Bu,” jawabku singkat.

Namun, semakin sore, rasa dingin mulai menjalar ke seluruh tubuhku, meskipun demamku tidak turun. Aku menarik selimut lebih rapat, tapi tetap merasa menggigil. Kak Cindy yang masih duduk di dekatku langsung menyadarinya.

“Dingin banget, ya?” tanyanya, wajahnya mulai serius.

“Iya, Kak. Parah,” gumamku, suaraku serak.

Cindy menatap ibu yang baru saja masuk dengan tatapan khawatir. “Bu, ini Reza kedinginan banget. Apa nggak sebaiknya kita beneran ke dokter aja?”

Ibu mendekat, memeriksa tanganku yang terasa dingin. “Reza, kamu gimana? Masih yakin nggak mau ke rumah sakit?”

Aku hanya menggeleng lagi. Meskipun tubuhku terasa seperti akan meledak karena panas, aku benar-benar tidak ingin repot-repot keluar rumah. “Nggak usah, Bu. Aku... aku istirahat aja.”

Akhirnya, mereka menyerah dan hanya menutupi tubuhku dengan selimut lebih banyak. Cindy membelikan teh jahe dari warung dekat rumah, berharap itu bisa sedikit menghangatkanku. Aku meminumnya dengan perlahan, mencoba untuk tidak membuang energi.

Seharian itu terasa sangat panjang. Aku hanya bisa berharap sore benar-benar membawa kesembuhan seperti yang kubilang, karena tubuhku sudah tidak kuat lagi melawan demam ini.

Matahari mulai condong ke barat, tapi tubuhku masih terasa berat. Aku terbaring lemas di tempat tidur, selimut menutupi seluruh tubuhku. Napasku pendek-pendek, kepala terasa seperti dihimpit oleh sesuatu yang besar.

Ibu dan Kak Cindy sudah keluar kamar setelah memastikan aku cukup nyaman. Untuk pertama kalinya sejak pagi, aku sendirian.

Aku memandangi langit-langit kamar, pikiran berkecamuk di kepala. Panas tubuhku masih tinggi, dan aku menggigil meskipun sudah dibalut selimut. Rasa dingin ini aneh, seolah berasal dari dalam tubuhku sendiri.

"Ini nggak mungkin karena hormon, kan?" gumamku pelan.

Aku menelan ludah, mencoba mencerna pikiranku sendiri. Sejak beberapa bulan terakhir, tubuhku memang berubah. Haid yang datang tiba-tiba, payudara yang mulai tumbuh, dan sekarang... panas yang tidak biasa ini. Apa semua ini ada hubungannya?

Keringat dingin mulai mengalir di pelipisku, tapi aku tidak yakin apakah itu karena demam atau karena rasa takut yang tiba-tiba muncul. Aku menggeleng pelan, mencoba mengusir pikiran itu.

"Nggak mungkin. Ini cuma kecapekan biasa," kataku pada diri sendiri, meskipun suaraku bergetar.

Tapi di dalam hati, aku tahu bahwa perubahan ini lebih besar daripada sekadar kelelahan. Tubuhku berubah dengan cara yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Dan sejujurnya... itu membuatku takut.

Aku menutup mata erat-erat, mencoba melupakan semuanya. Tapi pikiran itu terus menghantuiku, seolah tubuhku sendiri tidak mau membiarkanku melupakan apa yang sedang terjadi.

Sudah dua hari aku sakit, dan meskipun demamku tidak setinggi sebelumnya, panas tubuhku masih belum benar-benar hilang. Rasanya ada sesuatu yang salah, tapi aku tidak tahu apa. Ibu dan Kak Cindy terus mengurusku, memastikan aku makan dan minum dengan baik.

Ibu masuk lagi dengan kompres dingin dan menatapku cemas. “Reza, panas kamu belum turun-turun. Ibu beneran khawatir, lho. Apa kita ke dokter aja?”

Aku menggeleng pelan, meskipun tubuhku terasa seperti terbakar. “Nggak usah, Bu. Mungkin ini cuma... butuh waktu aja,” gumamku, suaraku lemah.

Cindy yang berdiri di samping ibu terlihat tidak yakin. “Tapi, Za, kamu udah dua hari kayak gini. Kalau ini serius, gimana? Jangan nekat, dong.”

Aku hanya menghela napas, terlalu lelah untuk berdebat. “Aku... cuma nggak mau ribet, Kak. Nanti juga turun sendiri.”

Mereka berdua saling pandang, tapi akhirnya tidak memaksa. Ibu mengganti kompres di dahiku, sementara Cindy memberiku segelas air hangat.

“Minum ini, pelan-pelan. Kamu nggak boleh dehidrasi,” kata Cindy, nadanya lebih tegas daripada biasanya.

Aku menuruti, meneguk air itu sedikit demi sedikit. Tapi bahkan setelah itu, panas di tubuhku tetap tidak berkurang. Malam mulai turun, dan aku hanya bisa terbaring di tempat tidur, tubuhku lemas dan berkeringat dingin.

“Kenapa, sih, ini?” gumamku pada diri sendiri, mataku memandang kosong ke langit-langit. Panas ini aneh, seperti berasal dari dalam tubuhku. Aku menutup mata, mencoba mengabaikan rasa tidak nyaman itu, tapi bayangan-bayangan aneh tentang perubahan tubuhku beberapa bulan terakhir terus menghantuiku.

Ibu masuk lagi untuk memeriksa suhu tubuhku. Ketika dia menyentuh dahiku, wajahnya semakin khawatir. “Reza, kamu panas banget, lho. Ibu nggak tenang kalau nggak bawa kamu ke dokter.”

Aku menggigit bibir, menahan keluhan. Tubuhku benar-benar terasa seperti habis dibakar, tapi aku masih ragu untuk pergi ke dokter. “Bu, sebentar lagi pasti turun. Aku cuma mau tidur sekarang,” jawabku pelan.

Ibu hanya menghela napas berat. “Kalau nanti malam masih begini, kamu nggak boleh nolak lagi, ya.”

Aku mengangguk kecil, tapi dalam hati aku tahu bahwa panas ini bukan sekadar demam biasa. Sesuatu sedang terjadi, dan aku tidak tahu apakah aku siap untuk mengetahuinya.

Saat aku tertidur lelap, tubuhku masih terasa panas, napasku pendek-pendek. Aku tidak sadar ibu masuk ke kamar lagi membawa mangkuk kecil berisi air dingin dan handuk kecil untuk mengompres tubuhku.

Ibu duduk di tepi tempat tidur, mengganti kompres di dahiku dengan hati-hati. Namun, melihat aku masih berkeringat deras meskipun sudah dibalut selimut, ibu memutuskan untuk menurunkan kompres ke area dada, berharap panas di tubuhku bisa lebih cepat turun.

“Panas banget...” gumamnya pelan sambil meremas handuk basah.

Dengan hati-hati, dia membuka jaketku, yang masih kupakai karena aku terlalu lemah untuk berganti baju sejak siang tadi. Tapi ketika jaket itu terbuka, gerakannya mendadak terhenti.

Matanya membelalak, terkejut dengan apa yang dilihatnya. Di bawah jaket itu, dua buah dada kecil mulai terlihat jelas, bentuknya nyata meskipun tubuhku dibalut kaus tipis.

“Ya Tuhan...” gumam ibu, suaranya penuh keterkejutan.

Dia duduk terpaku, pandangannya tidak bisa lepas dari perubahan yang tak pernah dia duga. Tangannya gemetar saat mencoba menyentuh dengan hati-hati, memastikan apa yang dilihatnya benar-benar nyata.

Aku terbangun perlahan, merasa terganggu oleh sentuhan dingin di tubuhku. Ketika membuka mata, aku melihat ibu menatapku dengan ekspresi yang sulit dijelaskan—antara terkejut, bingung, dan... khawatir.

“Ibu?” suaraku serak, masih setengah sadar.

Ibu tidak langsung menjawab, tapi tangannya perlahan menarik jaketku lebih ke samping, memperlihatkan seluruh dadaku yang kini sudah berubah.

“Reza...” suaranya nyaris seperti bisikan. “Ini... apa?”

Aku menatapnya, mataku langsung melebar ketika sadar apa yang sedang dia lihat. “Bu... aku... aku bisa jelasin...” kataku terbata-bata, tapi tubuhku lemah, tidak mampu bangkit sepenuhnya.

“Kenapa tubuh kamu berubah seperti ini?” tanya ibu dengan nada yang lebih tegas, meskipun jelas dia mencoba menahan emosinya. “Kenapa ibu nggak pernah tahu? Kamu sakit? Kamu kenapa nggak bilang ke ibu?”

Air mata mulai mengalir di wajahku tanpa bisa kutahan. “Bu... aku nggak tahu... Aku juga nggak ngerti apa yang terjadi sama aku...”

Ibu menarik napas panjang, lalu menggenggam tanganku erat. Matanya masih menunjukkan campuran emosi yang sulit ditebak. “Reza, ibu perlu tahu semuanya. Kamu...

Aku hanya bisa menangis pelan, merasa tubuhku yang lemah tidak mampu menahan beban rahasia ini lagi. “Bu, aku nggak tahu harus mulai dari mana...” bisikku.


Continue Reading

You'll Also Like

660K 34.9K 45
" 'Lauhul mahfudz' antara qobiltu atau innalilahi, antara kita dan malaikat izrail, antara kapan dan kafan, dan antara Ar Rahman dan yasin" Mencerita...
312K 17.6K 49
GAVAL adalah singkatan dari Dua geng motor GANAR & VALENTÍA. GANAR yang beranggotakan para Pria, sedangakan VALENTÍA yang beranggotakan para Gadis...
35.9K 1.5K 46
"Ma, aku gak mau jadi cewek." itulah masa depanku. Sebelumnya namaku Agus, ketika SD aku dibuat mainan sma mamaku, aku didandani seperti anak cewek...
252K 13.5K 17
Story of a girl who gets transferred into a Seoul Boy high school. Not as a Girl But as a boy due to her principles little mistake. what happens whe...