ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
🎀
ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
Keluar dari mushola stasiun selepas sholat subuh, Khadijah menguap lalu mengucek matanya pelan. Mereka sudah sampai di Kutoarjo, Khairil membawa tas mereka dan menggandeng Khadijah untuk keluar. Berjalan beberapa meter, Khairil menuju tempat penyewaan sepeda motor, karena kendaraan agak sulit untuk sampai ke rumah Bukdenya. Khadijah terus berjalan dengan mata sayu tanpa bertanya atau mengatakan apa pun. Masih mengantuk.
Selesai dengan syarat dan pembayaran, Khairil menerima kunci, surat dan helm. Setelah berterima kasih, Khairil memasangkan salah satu helmnya untuk Khadijah.
"Ngantuk banget?" tanya Khairil seraya mengusap wajah Khadijah.
Khadijah mengangguk. "Pegal, terus lapar juga."
"Kita sarapan dulu kalau gitu, mau di daerah sini atau di depan?"
"Terserah Aa."
Khairil mengendarai motor dengan pelan, sesekali memastikan jika Khadijah tidak tertidur. Mengajaknya terus mengobrol dan bercerita tentang tempat yang akan mereka kunjungi.
Di tengah perjalanan, Khairil berhenti di sebuah pasar, mencari sarapan dan berhenti di tukang nasi kuning. Setelah memesan, mereka duduk bersisian.
"Udah lama, Mbah, jualan nasi kuning?" tanya Khadijah.
"Bukan lama lagi, seumur hidup saya jualan nasi kuning. Dulunya ibu saya yang jualan."
"Wahh, legendaris dong ya. Memang Mbah umur berapa?"
"Saya udah 81," jawabnya seraya menyajikan dua piring nasi kuning lengkap dengan ayam dan telur.
"Hahh? Masa sih? Saya kira masih 50an loh Mbah," kata Khadijah membuat Mbah tersebut tertawa nyaring. Khairil juga heran dibuatnya.
"Aduh bisa aja, nduk. Saya udah tua. Cicit juga udah banyak."
Khadijah hanya menyengir dan segera memakan sarapannya sambil sesekali tetap bertanya ini dan itu. Selesai sarapan, mereka melanjutkan perjalanan kurang lebih satu jam sampai Khairil tiba-tiba menghentikan sepeda motornya sebelum melewati sebuah jembatan.
Khairil menoleh menatap Khadijah. "Jembatan di depan itu sebelah kanannya bisa langsung lihat laut. Mau lihat nggak?"
"Langsung laut?" tanya Khadijah.
"Engga langsung sih, masih ada sungainya sedikit. Tapi launya udah kelihatan."
Khadijah mengangguk semangat.
Khairil tersenyum kecil. "Sebenarnya nggak boleh berhenti di atas jembatan, jadi lihatnya sebentar aja di sebelah kiri ya."
Khadijah kembali mengangguk dan Khairil kembali menjalankan motornya sampai ada di sisi jembatan sebelah kiri. Khadijah turun dan melihat laut yang Khairil maksud.
"Masyaallah ... Kedengaran sampai sini ombaknya!" seru Khadijah senang.
Khairil terkekeh. "Iya, dari sini dekat. Kalau jalan kaki mungkin lima menit."
"Ayo kita ke sana Aa!"
Khairil menggeleng, menyuruh Khadijah untuk kembali naik dan melanjutkan perjalanan mereka yang tinggal beberapa menit. "Kita ke rumah Bukde dulu."
Khairil berbelok tidak jauh dari jembatan tadi, memasuki perkampungan yang tidak terlalu ramai.
"Di desa ini juga ada salah satu makan Syekh, nanti kita lewati, tapi kita ke rumah Bukde dulu."
Masuk beberapa ratus meter, Khairil menunjuk sebuah masjid yang di belakangnya terdapat makam yang dimaksud, tapi mereka tidak berhenti dan melanjutkan perjalanan sampai tiba di sebuah rumah panggung tua.
Terlihat seorang wanita tua duduk di teras sambil mengira-ngira siapa yang berhenti di halamannya.
Khairil turun dan membantu Khadijah melepas helmnya, lalu masuk setelah mengucap salam.
"Khairil, po? Nggak bilang bilang mau ke sini," katanya seraya menyalami Khairil dan menepuk bahunya.
Khairil hanya tersenyum, menarik Khadijah pelan dan memperkenalkan. Mereka sedikit mengobrol sambil menunggu Pakde yang katanya sedang di kebun, tidak lama kemudian Pakde datang membawa ember berisi ikan kecil.
"Lagi tanam apa di kebun, Pakde?" tanya Khairil.
"Kita udah nggak punya kebun. Dijual tahun lalu, dan sekarang cuma bantu urus punya orang," jawabnya.
Khairil mengangguk kecil. "Nggak ternak juga ya?"
"Susah urus ternak sekarang, rumput udah jarang. Harus ngarit di desa yang jauh, itu pun nggak selalu ada," jawabnya seraya menyeruput kopi. "Mau ketemu ibumu lagi?" tanya Pakde.
"Iya, semoga kali ini Ibu mau ketemu menantunya," jawab Khairil.
Khadijah menoleh, dia pikir Ibu memang ingin bertemu, tapi ternyata tidak?
"Oh iya, saya mau tanya. Apa sebelum Ibu ke sini dan ke Jogja, Ibu ada ketemu sama Bapak lagi? Atau laki-laki lain sebelum suaminya sekarang?" tanya Khairil.
"Kita nggak tau apa pun tentang ibumu selama di kota. Yang kita tau setelah dia pulang, dia janda."
Khairil menghela napas kecil, firasatnya belum tentu benar tapi kecil kemungkinan salah.
"Mau langsung ke Jogja?" tanya Bukde.
Khairil mengangguk kecil. "Kita mau langsung ke sana aja. Mampir dulu sebentar ke sini. Sekalian mau ziarah ke makam Mbah."
Bukde dan Pakde mengangguk, menyuguhkan makanan yang mereka punya. Khairil dan Khadijah bertamu selama dua jam dan setelahnya segera pamit sebelum hari semakin siang.
Seperti yang dijanjikan, mereka singgah di masjid tadi untuk berziarah di makam Syekh.
"Ini makamnya Syekh Abdul Jalal. Ayo masuk."
"Sepi ya," ucap Khadijah.
"Iya, biasanya ramai kalau bulan tertentu. Ayo ke belakang." Khairil menunjukkan lebih dulu sebuah foto yang dipajang, tertulis silsilah keluarga Syekh Abdul Jalal.
"Ada yang bilang kalau beliau itu keturunan Rasulullah dari Syaidina Hasan, cuma saya belum nemu sumber yang valid, dan di sini cuma di tulis silsilah beliau yang keturunan kerajaan."
Khadijah mengangguk. "Tahun berapa itu, Aa?"
"Abad 17, beliau diutus untuk berdakwah di pesisir selatan ya tepatnya di sini." Khairil mengajak Khadijah ke makam yang di maksud lalu berdoa untuk almarhum Syekh Abdul Jalal.
Setelahnya mereka keluar dan lanjut berziarah ke makam kakek nenek Khairil.
"Kenapa banyak orang yang melarang berziarah, Aa?" tanya Khadijah.
"Siapa yang melarang? Berziarah kan sunnah. Mungkin yang dilarang dan tidak diperbolehkan adalah melakukan hal di luar syariat. Contohnya meminta kepada makam, mengagungkan sebuah makam, dan hal musyrik lainnya. Kalau ziarah biasa, kita mendoakan yang meninggal, boleh, tapi hukumnya jadi beragam kalau yang berziarah perempuan."
"Ahh ..." Khadijah menggeleng. "Jangan dijelaskan di sini. Ija lagi nggak mau belajar."
Khairil terkekeh, menggenggam tangan Khadijah dan segera pergi dari area pemakaman. Mereka harus segera ke Jogja.
"Kita ke mana lagi?" tanya Khadijah.
"Ke stasiun. Kita ke Jogja naik kereta lagi."
Kembali menempuh perjalanan satu jam lebih ke stasiun, Khairil mengembalikan sepeda motor yang dia sewa lalu membeli tiket kereta lokal menuju stasiun Lempuyangan yang ditempuh selama satu jam.
Sampai di Jogja, Khairil lebih dulu mengajak Khadijah untuk ke penginapan dan untungnya bisa langsung check in. Mereka beristirahat, mandi lalu sholat. Dan sore harinya, barulah Khairil mengajak Khadijah untuk bertemu dengan ibu.
"Ija kira, Ibu memang mau ketemu Aa," ucap Khadijah.
Mereka sudah ada di sebuah cafe di salah satu kawasan elit Yogyakarta, tempat yang dipilih Ibu.
Khairil tersenyum dan menggeleng. "Kemarin malam saya sempat telepon dan minta ketemu, beliau nggak mau dan saya bujuk minta ketemu sekali aja dengan dalih Khadijah pengen ketemu mertua asli, awalnya tetap menolak, tapi saya bilang akan tetap ke Jogja bawa kamu. Terus tadi pagi saya chat beliau dan akhirnya beliau mau."
Wajah Khadijah berubah sendu, menggenggam tangan Khairil dan merapatkan duduknya. "Ija nggak terlalu pengen ketemu Ibu kok, harusnya Aa jangan memaksakan diri."
Khairil tersenyum, mengusap kepala Khadijah lembut. "Ada tujuan lain kenapa saya sangat ingin bertemu Ibu."
Khairil mengajak Khadijah berdiri saat seorang wanita paruh baya mendekati meja mereka. Sudah pasti itu Ibu.
Khairil menyalaminya seraya memperkenalkan diri dan Khadijah.
Khadijah memperhatikan wanita di depannya. Jika dibandingkan dengan Bukde yang katanya adik Ibu, Ibu jauh terlihat lebih muda. Mungkin faktor dari gaya hidup.
"Siapa yang kasih nama kamu Khairil?" Ucapan yang keluar pertama kali dari Ibu setelah duduk.
Khairil tampak menggertakkan giginya sebelum menjawab. "Abah."
Wanita di depannya mengangguk kecil. "Ini istri yang kamu ceritakan?" tanyanya menunjuk Khadijah.
Khairil mengangguk, sedikit kesal karena Ibu menunjuk langsung dengan jarinya.
"Ayo cepat, tanya apa yang ingin kamu tau," ujar Ibu.
"Apa Arana adik kandung saya?" tanya Khairil langsung membuat Khadijah menoleh.
"Arana siapa?" tanya Ibu balik.
"Anak perempuan yang Ibu buang di teras ndalem dua tahun setelah saya lahir," jawab Khairil menahan emosi.
"Ah anak itu. Iya. Dia adik kamu juga. Di mana dia sekarang? Masih di pesantren?"
Khairil mengerutkan keningnya. "Ibu nggak merasa bersalah?"
"Untuk apa? Kalian hidup enak kan? Ibu yakin Nawawi dan Aisyah membesarkan kalian dengan baik. Atau kalian memilih hidup jadi pemulung di desa?"
Napas Khairil sedikit menderu, Khadijah mengusap tangan Khairil agar sedikit tenang. Khadijah sebenarnya masih kaget dengan fakta jika Arana adalah adik kandung Khairil, tapi Khairil lebih emosi mendengar faktanya.
Khadijah menatap. "Kenapa Ibu tinggalkan Aa Iril? Ibu rugi loh nggak bisa tau perkembangan Aa Iril dari lahir sampai sekarang jadi orang hebat. Uang Aa Iril banyak!" ucap Khadijah bangga.
Khadijah juga menggenggam tangan Khairil di bawah meja yang tampak terus gemetar.
Ibu tertawa kecil, tawa yang tidak dapat diartikan. "Iyakah? Seberapa banyak sampai kalian harus naik kereta ke sini?"
"Banyak, mungkin kalau dihitung, Ibu cape duluan. Tapi, bukan cuma itu yang Ibu lewatkan. Yang terpenting adalah Ibu udah lewatkan salah satu jaminan masuk surga karena membesarkan anak sesholeh Aa Khairil. Mungkin, Aa Khairil udah ikhlas buat semua yang terjadi, cuma Ija masih nggak paham apa yang membuat seorang ibu membuang anaknya?" Khadijah menoleh menatap Khairil yang wajahnya memerah menahan emosi.
"Apa pun alasannya, Ija rasa Ija nggak bisa terima. Dan udah terlambat juga untuk menembus semuanya. Tapi Ibu jangan khawatir, Ija bisa membayar semua kesedihan Aa Khairil selama 24 tahun hidupnya. Ija janji nggak akan pernah menyia-nyiakan laki-laki di samping Ija." Khadijah berdiri dan menarik Khairil agar ikut berdiri.
"Udah selesai kan? Cuma itu yang mau Aa tanya sama Ibu?" tanya Khadijah.
Khairil mengangguk dan tersenyum. Khadijah kembali menatap Ibu dengan senyum manisnya.
"Ibu, kita senang akhirnya bisa bertemu Ibu. Tapi sepertinya Aa Khairil benar. Kita lebih baik cukup saling tau. Kita tetap ada di Bandung, seumpama Ibu mau bertemu kita lagi. Dan Ija pastikan Aa Khairil tetap berbakti sama Ibu lewat doa. Kita pamit ya, Bu. Assalamu'alaikum."
Khadijah menarik Khairil untuk segera meninggalkan tempat itu. Dia tidak tahan dengan apa yang Ibu lakukan. Walau tidak banyak bicara, tapi Khadijah tau jika Ibu tidak menyesal sama sekali dan tidak ingin bertemu mereka. Apalagi tatapan meremehkannya itu.
ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
🎀🎀🎀
ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
Halo, terima kasih udah baca sampai akhir. Jangan lupa sholat.
ㅤ
ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
9 November 2024