Hallowwwww jangan lupa komen dan vote, happy reading 🔥 ✨ 🤗
•••••
Ruang tamu utama Mansion Keluarga Rajendra tampak mencengkam, para anggota keluarga khusus laki-laki duduk menikmati makanan yang dihidangkan seraya mengobrol. Pembahasan antar keluarga, tetapi lumayan masuk ke hal sensitif.
White Fonder Rajendra, kepala keluarga yang memiliki pengaruh besar. Setelan jas hitam membalut tubuhnya yang masih gagah, walau umurnya sudah memasuki kepala tujuh. Wajah tegas dengan sorot mata tajam itu sangat fokus mendengar ucapan salah satu putra kandungnya yang tengah membicarakan bisnis yang sedang ia pegang.
"Bagaimana Ayah?" tanya Ken- Putra kandung White dan Papa dari Raga dan Graciella.
"Saya setuju." Pria paruh baya itu merapikan jasnya, bersandar pada sandaran sofa, lantas menyesap cocktail pada gelas yang sedari tadi ia pegang.
Pembahasan yang pada akhirnya akan ada perbedaan pendapat, sangat membuat Raga malas untuk ikut berkumpul, tetapi ia tidak bisa karena dirinyalah yang akan meneruskan perusahaan sang Papa dan memegang kendali Rajendra High School.
"Raga, bagaimana hubunganmu dengan Putri Eros?" Kini tatapan White tertuju pada Raga yang sedari tadi hanya diam.
"Seperti apa yang Kakek lihat," jawab Raga seadanya.
White mengangguk, "Kamu akan menjadi pewaris Rajendra, dan kamu harus menikah lebih dulu, memiliki anak sebagai pewaris Rajendra selanjutnya."
Raga hanya mengangguk, seakan malas merespon ucapan sang Kakek.
"Max, kamu dan kedua putramu sudah mendapatkan bagiannya. Saya harap kamu bisa memegang kendali perusahaan itu," ucap White kembali pada Max- anak angkat sekaligus Papa dari Gavin dan Victor.
Pria paruh baya itu tersenyum, dan mengangguk. Dalam hatinya sudah sangat kesal, walau ia hanya anak angkat, tetapi tidak bisakah Ayahnya itu bersikap adil.
Netranya beralih menatap dua putranya yang sedari tadi hanya diam, duduk di samping Raga yang akan menjadi putra pewaris Rajendra.
"Saya akan bertemu dengan klien saya. Ken, kamu ikut dengan saya!" titah White pada Ken, beranjak berdiri- merapikan jasnya.
"Baik Ayah," balas Ken lantas beranjak berdiri, mengikuti langkah Ayahnya yang keluar dari Mansion.
"Gavin, Victor, ikut Papa!" Max juga beranjak berdiri, melangkah lebih dulu ke arah luar taman Mansion.
Gavin dan Victor hanya menurut, mengikuti Papa-nya yang tampak tengah menahan amarah.
Raga masih terduduk di sofa, menyesap cocktail yang sedari tadi ia pegang. Dirinya sudah di perbolehkan meminum minuman beralkohol karena usianya yang sudah legal. Keluarganya juga tidak mempermasalahkan, karena sudah menjadi tradisi di keluarga Rajendra setiap kali berkumpul.
"Honey."
Merasa jengah saat Beverly datang, memeluk dirinya yang sedang menikmati waktunya sendiri.
"Honey, i Miss you," ucap Beverly manja.
Seakan Beverly tidak berbicara apapun, Raga tetap diam, menikmati setiap tegukan Cocktail yang mengalir di tenggorokannya.
"Raga, aku tidur di kamar kamu, ya?!" Tatapan Beverly pada Raga, bibir mengerucut, membuat wajahnya menjadi lucu.
Raga hanya diam, membuat Beverly semakin cemberut. "Kalo diam, tandanya setuju." Senyum Beverly, dan kembali memeluk tubuh tunangannya.
"Honey, setelah lulus sekolah nanti, kita akan menikah," ucap Beverly. Kepalanya kembali mendonga, menatap Raga, "Are you happy?"
"I am not happy," jawab Raga menatap dingin Beverly.
Beverly terdiam sebentar, dan dua sudut bibirnya kembali mengembang, "I know, you must be embarrassed."
Raga berdecih, dirinya benar-benar tidak ingin menikah dengan Beverly, dan bukan karena malu untuk mengatakan kalau dirinya bahagia.
"Raga, Who is Ansel?" Pertanyaan Beverly menarik atensi Raga untuk menatap gadis itu.
Netra keduanya saling menatap, sontak membuat bibir Beverly tersenyum kembali, "You like to talk about, Ansel?"
"Tell me!"
Mata Beverly mengedip beberapa kali, merasa bingung dengan intrupsi Raga.
"Tell me, about?"
Raga menghela napas, "forget it."
Lalu, Raga melepas pelukan Beverly padanya, beranjak berdiri hendak pergi.
"Honey, Where are you going?" tanya Beverly menghentikan langkah Raga.
"None of your business." Raga kembali melangkah.
Beverly berdecih, bersedekap dada. Raga selalu membuatnya kesal, padahal ia selalu mencoba membuat hubungan baik keduanya.
"You're annoying, but__" Beverly menghela napas, "forget it," lanjutnya.
***
"So, what are you going to do next?" tanya Max yang sudah berdiri di dekat kursi taman Mansion Rajendra.
"There isn't any," jawab Gavin seakan tau apa yang dimaksud Papanya.
"Gavin, Victor, kalian harus mengambil hati Kakek kalian, supaya kalian bisa memegang kendali perusahaan yang lain, bukan mengandalkan perusahaan Papa saja."
"Selain menginginkan harta Kakek, kita juga harus sadar kalau kita hanya numpang hidup di keluarga Rajendra. Mendapat marga Rajendra saja sudah lebih cukup untuk hidup kita, tidak perlu haus harta," ucap Gavin dengan berani, dan setelahnya tamparan telak Max layangkan pada rahang Gavin, membuat wajah pemuda itu menoleh.
Victor terkejut, tetapi ia hanya diam, tidak berani untuk mengangkat kepalanya.
Max menatap marah putra sulungnya, ucapan berani Gavin membuat darahnya mendidih, dan mengingat fakta kalau ia hanya anak angkat yang beruntung mendapat bagian harta dari Ayahnya.
"Kamu berani membangkang saya, Gavin," desis Max begitu menusuk.
"Sampai kapanpun, saya dan Victor, tidak akan mengkhianati keluarga Rajendra. Anda juga harus ingat, kalau bukan karena keluarga Rajendra, you wouldn't have lived until now," balas Gavin menatap tajam Max. Menggenggam tangan adiknya, dan berlalu pergi dari hadapan sang Papa.
Victor hanya diam, mengikuti kemana Kakaknya akan membawanya. Wajah Victor menunduk, melihat genggaman tangan keduanya.
Gavin membawa adiknya untuk masuk ke dalam mobil, karena dirinya datang menaiki mobil bersama sang adik. Menuntun Victor masuk ke kursi penumpang bagian depan, menutup pintu mobil itu sedikit keras.
Lalu Gavin beralih masuk ke kursi pengemudi, menyalakan mesin mobilnya dan melaju keluar dari area Mansion keluarga Rajendra.
Selama perjalanan, hanya keheningan yang tercipta. Gavin maupun Victor diam, keduanya kalut dalam pikirannya masing-masing.
Tiba-tiba saja Gavin memukul stir mobilnya, membuat Victor yang masih menunduk sedikit tersentak.
"Shit, fucking hell," umpat Gavin. Tangannya menyentuh sudut bibirnya yang perih, rasa seperti besi begitu terasa membuatnya menebak kalau sudut bibirnya sobek.
Kepalanya begitu sakit, mengingat betapa kekeuhnya sang Papa yang menginginkan harta keluarga Rajendra. Ia tidak ingin berkhianat atau membuat hak buruk, ia hanya ingin hidup tenang, tanpa terlibat oleh apapun.
Gavin menepi di sebuah apotek, keluar dari mobil dan masuk ke dalam apotek tersebut. Victor masih diam, kedua tangannya saling meremat, seolah masih betah menunduk.
Tak lama, Gavin masuk kembali ke dalam mobilnya, membawa plastik berisi obat-obatan yang ia butuhkan. Kepalanya menoleh, baru menyadari Keterdiaman Victor.
Duduknya memiring, menyentuh kedua bahu Victor pelan, "Hey, look at me! I want to see my little brother's face."
Gavin beralih menangkup kedua pipi adiknya, terkekeh gemas, "Abang mau lihat wajah adeknya Abang," ucap Gavin mengulangi.
Perlahan, Victor mengangkat kepala. Air mata sudah membasahi pipinya, dengan sedikit isak tangis yang mulai terdengar.
"Why are you crying?" tanya Gavin khawatir, menghapus air mata adiknya, "Don't cry."
"I'm okay," jawab Victor lalu mengulum bibir bawahnya.
Gavin terkekeh, mengusap air mata Victor dan tangannya merambat mengusap rambut sang adik.
"Lucu banget, sih."
Victor menyentuh sudut bibir Gavin sontak membuat sang empunya berdesis, "Does it hurt?"
Gavin membalas dengan senyum, "it's okey."
Victor melepas kedua tangan Gavin yang masih menangkup wajahnya, beralih ia mengambil plastik berisi obat-obatan di sana.
"Gue obatin lebih dulu, takut infeksi," ucap Victor dan Gavin hanya menurut saja.
Kapas yang sudah di baluri anti septik itu Victor tempel pelan pada sudut bibir Gavin yang terluka, guna menghilangkan lebih dulu bakteri yang menempel. Wajah serius Victor membuat Gavin tertawa kecil, adiknya kalau mode serius sangat lucu.
"Seharunya Abang nggak lawan Papa," celetuk Victor sontak melunturkan senyum Gavin.
"Gue nggak suka Papa berbuat seenaknya."
"Gue khawatir Papa lukain lo, dan benar aja, Papa pukul lo."
"Gue udah biasa di pukul Papa, asal jangan lo." Gavin tidak terima kalau adiknya yang dipukul, karena menurutnya Victor jauh lebih berharga dari Papanya yang haus akan kekuasaan.
Setelah itu, Victor memberikan salep supaya cepat kering, "Sudah selesai."
Gavin menyentuh sudut bibirnya, meringis pelan. Padahal sudah diobati, tetapi masih terasa perih.
"Sekarang mau ke mana?" tanya Victor setelah selesai memasukkan obat-obatan itu ke dalam plastik.
"Do you want to watch?"
Victor mengangguk semangat, membuat Gavin terkekeh gemas, mengusap pucuk kepala Victor dan kembali menjalankan mobilnya.
***
Suasana ruang Makan keluarga Dellen begitu tenang, hanya terlihat saja, nyatanya menurut Xyan- Putra tunggal keluarga Dellen itu merasa tidak nyaman.
Menikmati makan malam dengan Aston Dellen- Papa Xyan itu terus berucap. Yu Chika- Mami Xyan itu hanya menyimak, sambil menikmati makanannya.
"Kamu persiapkan diri, karena beberapa bulan lagi, kita akan pindah ke China," ucap Aston membuat Xyan meremat sendoknya kuat.
"Di sana, kamu bisa belajar untuk mengelola bisnis Papi kamu. Supaya saat waktunya kamu yang memegang alih, kamu tidak terkejut," imbuh Yu Chika menambahkan.
Kembali hening, seolah mereka memang ingin menikmati makanannya.
"Kalau Xyan ingin tetap di sini, bersekolah di sini?" tanya Xyan ragu, sontak menarik atensi Aston.
"Tidak, saya akan tetap memindahkan kamu," jawab Aston tegas.
Xyan mulai mengangkat kepalanya dengan perlahan, menatap ragu Papinya yang tampak tenang.
"Tapi, Xyan mau di indo aja, Pi, bareng sama Zafran."
"Atau saya perlu berbicara pada Ayahnya Zafran untuk Zafran ke China bersamamu?"
Xyan menggeleng cepat, ia tidak ingin membuat Zafran masuk ke dalam masalahnya, cukup dirinya saja.
"Hal apa yang harus Xyan lakukan, supaya Papi sama Mami nggak pindahkan Xyan ke China?"
Meja makan itu di gebrak kuat oleh Aston, membuat Xyan tersentak, sedang Yu Chika masih tampak tenang, menikmati makannya.
"Kamu ingin melawan saya? Kamu ingin menjadi anak pembangkang?" Aston menatap Xyan begitu menusuk. Kepala Xyan sontak menggeleng kuat, menunduk takut akan tatapan yang di layangkan sang Papi.
"Ikuti apa yang saya perintahkan, jangan melawan apa keputusan saya," tukas Aston tegas dan kembali menikmati makanannya.
"Ingat itu, Xyan," timpal Yu Chika sama sekali tidak keberatan, bahkan wajahnya terlihat tenang.
Rasanya sesak, suaranya tidak pernah didengar. Menjadi anak tunggal membuatnya ingin menghilang, semua tekanan hanya membuatnya terluka.
***
Deril tidak kuasa saat menggantikan kain kasa yang melilit tangan Aurora. Luka bakar pada telapak tangan itu, membuatnya merasa sakit. Kenapa ia tidak menolong sang adik, dan kenapa nasibnya sangat tidak beruntung.
Takdir sedang mempermainkan mereka, memberikan rasa sakit tetapi tidak memberi tanda-tanda kapan semuanya akan usai.
Aurora menahan perih, saat air hangat itu membasahi tangannya. Perih dari luka bakar tangannya tidak bisa berbohong, betapa tersiksanya ia saat ini.
"Rora maaf, maaf nggak bisa tolong kamu," ucap Deril lirih.
Sudah berapa kali Aurora dengar kata maaf dari Deril, membuatnya kesal karena Kakaknya itu selalu menyalahkan diri sendiri.
"I'm okey, don't worry," ucap Aurora pelan, menahan desiran perih telapak tangannya.
"Sama aja, It was my fault."
Aurora menatap Kakaknya tidak suka, padahal ini bukan kesalahannya, tetapi Kakaknya itu terus saja menyalahkan diri sendiri.
"Kalau tiba-tiba ibu masuk, dan denger kakak bilang gitu, mungkin ibu akan curiga," ucap Aurora memperingati.
Karena kedua orangtua mereka tidak tahu perihal tangan Aurora yang terbalut kain kasa. Aurora dan Deril mengatakan, kalau tangan Aurora terluka saat sedang pelajaran olahraga, padahal tangan gadis itu habis di bakar dengan sengaja oleh Reva, Cherry, dan Helena, seseorang yang tidak pernah absen mem-bully Silver students.
Deril terdiam, baru mengingat. Membalut kembali tangan Aurora dengan kain kasar baru, saat selesai mengompres dan memberikan salep dari dokter. Dokter menyarankan untuk tetap diperban, menghindari iritasi karena seringnya terkena debu. Juga beruntung, Aurora bisa menyembunyikan dari Sang Ibu.
"Sudah selesai," ucap Deril menatap Aurora dengan senyum hangat.
"Terimakasih," balas Aurora. Dirinya beruntung, memiliki Kakak yang perhatian seperti Deril.
Pintu kamar Aurora di ketuk, membuat Deril dan Aurora sontak memasukkan obat-obatan itu ke dalam kolong tempat tidur dan menyisakan air kompresan saja.
"Ibu," panggil Aurora seakan tau Ibu nya yang berada di luar.
Benar saja, Vily masuk ke dalam kamar putrinya dengan segelas teh hangat.
"Ibu boleh masuk, kan?" tanya Vily yang langsung dibalas gelengan Deril.
"Ibu nggak boleh masuk, soalnya cuma bawa teh untuk Rora aja," ucap Deril sontak membuat wajah Vily berubah berpura-pura sedih.
"Ya udah, Ibu pergi." Saat Vily baru berbalik hendak pergi, Deril dengan cepat menahannya.
"Ibu, Deril bercanda." Deril tertawa kecil, membuat Aurora juga ikut tertawa.
"Kakak jahil banget." Aurora memukul lengan sang Kakak yang sangat jahil.
"Tadi Ibu hampir merajuk," tawa kecil Vily. Menaruh teh hangat di atas meja kecil, lalu duduk di samping Aurora.
"Ibu, jangan merajuk, nanti cantiknya hilang," goda Deril membuat Vily berpura-pura malu.
Ketiganya tertawa, candaan ringan yang membuat keluarga ini sangat harmonis. Ayah mereka juga mungkin sudah istirahat karena seharian bekerja, membuat Pria paruh baya yang bekerja sebagai kuli itu kelelahan.
"Rora, apa sebaiknya tangan kamu nggak usah di perban?" tanya Vily tampak khawatir.
Aurora melirik Deril, seolah berbicara dengan mata untuk membantunya menjawab.
"Kata dokter di UKS, lebih baik di perban, menghindari debu yang membuat tangan Rora infeksi," jelas Deril membuat Aurora bernapas lega.
Vily mengangguk, memeluk tubuh kecil sang putri lembut, "Kalau ada apa-apa bilang ya sayang, jangan diam aja."
Vily menatap Deril dan menarik sang putra untuk ikut berpelukan. "Anak ganteng Ibu, makasih selalu sayang sama Adek."
"Ibu berharap, kebahagiaan selalu menyertai kalian," lanjutnya memeluk kedua anaknya nyaman.
Aurora maupun Deril hanya diam, merasa pelukan Ibu mereka begitu hangat, dan membuat lebih tenang.
Jika di sekolah, kebahagiaan mereka di renggut begitu saja, tanpa memberikan celah untuk mereka bahagia. Tetapi, ketika di rumah, mereka mendapat kebahagiaan, kasih sayang, dan kehangatan yang mungkin membuat orang lain iri.
_______________________
Guys jujur ya, kalau kalian rajin spam komen aku semangat guys 😭 gak bohong, bukan karena nyuruh kalian komen, tapi aku lebih semangat bgt...
Guys tolong sayangi My Princess Beverly 😭👸🏻👑
Thanks for reading Kiko 💍 💅🏻