SMA 3 TARA MUDA
Selasa/ 15/ July/ 2024.
10:40
"Eka? Kamu kenapa?"
"Gak tau! Tanya aja sama diri sendiri," ketusnya.
Kirana menatapnya dengan mata yang mencari kejujuran. "Jangan berbohong, aku tahu ada sesuatu. Ceritakanlah!"
Eka kesal, "Kak Kirana, kok bisa lupa janji sih?!"
"Ayo, jujur! Kamu kenapa?"
"Ingat, kan? Apa janji kakak kemarin sama aku?"
"Emangnya... aku janji apaan sama kamu?"
Eka membatin dengan kesal, "Sial, apa dia beneran pelupa atau cuma pura-pura lupa?"
"Itu loh, Kak! Itu lo..."
"Itu lo apa?"
"Itu lo janji Kakak! Jangan pura-pura lupa!"
Tinggal bilang saja. Soalnya aku beneran lupa, Eka," katanya dengan lembut, membuat hati Eka sedikit lunak.
Eka tersenyum sinis, "Jadi gini rupanya kakakku yang super pelupa..."
"Iya, apa?"
Eka mengingatkannya kembali, "Kan Kakak sudah janji, mau temenin aku ketemu sama Kak Rahmat."
"Terus?"
"Tapi kak Kirana malah ingkar janji!"
Kirana mencoba mengingat, "Tunggu, aku ingat sekarang! Aku memang janji mau temenin kamu ketemu Kak Rahmat. Maaf, aku benar-benar lupa!"
Eka berpaling, "Gak apa-apa, Kak. Eka jadi gak mood!"
Kirana tersenyum, "Yaudah, aku temenin sekarang. Maaf lagi ya, Eka. Aku janji gak bakal lupa lagi!"
Eka terkejut dan tersenyum lebar, "Beneran, Kak? Serius?"
"Iya, serius!"
Eka tertawa ceria, "Yey! Beruntung banget deh, bisa ketemu sama calon kakak ipar yang baik dan lembut kayak gini," godanya.
"Apa? Calon kakak ipar?"
"Iyalah! Calon istrinya Abang Deka loh..."
Kirana memukul keras bahunya. Eka meringis. "Ah! Sakit tau, Kak!"
Kirana mencibir, "Kamu memang suka bikin aku kesal, ya! Hobinya ledekin aku. Awas! Nanti gak jadi temenin kamu ketemu sama kak Rahmat."
"Ih, jangan dong, Kak!"
"Janji dulu, kamu gak boleh jodohin aku sama abangmu!"
"Tapi kalau aku keceplosan, jangan marah, ya?" katanya sambil tersenyum cengengesan.
Kirana membantah dengan nada kesal. "Huft, sama saja, menyebalkan!"
Kedua gadis itu berjalan santai menuju kelas 12 IPS 1 di lantai atas. Saat melewati koridor, mereka tak sengaja berpapasan dengan genk Niky. Tatapan sinis dari ketiganya membuat suasana menjadi tegang.
"Hadeh, si cupu lagi cari perhatian!"
"Si cupu lagi beraksi!"
"Eh, para pengikut Fir'aun! Fokuslah pada hidup kalian sendiri, bukan urusan orang lain!" teriak Eka.
"Heh! Para pengikut Fir'aun. Daripada sibuk urusin hidup orang, mending urus aja deh urusan kalian sendiri!"
"Apa!? kaum Fir'aun?"
"Heh! Lo itu masih bocil, gak usah ikut campur sama urusan orang dewasa," kata Maura sinis.
Eka menyunggingkan senyum miring. "Gue memang bocil, tapi pikiran gue gak sesempit kalian!"
"Ayo, kita pergi. Gak usah dengerin kata mereka," ajak Kirana.
"Ayok, Kak!. Lagian, aku juga males ladenin cengil kayak mereka. Buang-buang waktu!"
Niky tersenyum sinis. "Lo gak usah sok keras! Cuma bocil murahan!"
Mereka terbahak-bahak melihat Kirana dan Eka yang berubah menjadi tegang, mata mereka menusuk. "Kenapa diam? Kalian kehabisan kata-kata?"
Kirana melangkah maju dengan tegak, matanya menyala. Jari telunjuknya menunjuk wajah Niky. "Aku peringatkan kalian," katanya dengan suara tegas, "kalian boleh menghina aku, tapi jangan sekali-kali menghina Eka!"
Niky tersenyum miring. "Lo dan dia? Sama-sama murahan!"
Plakkkkkkkkkkk
Tamparan keras menyentak wajah Niky, membuatnya menoleh ke samping. Maura dan Siska terkejut, menutup mulut dan melirik Kirana yang marah.
"Aku peringatkan sekali lagi!" Kirana berteriak. "Berhenti ganggu Eka! Jangan rusak ketenangan kami! Kami tidak pernah campur urusan kalian. Mengerti?!"
Niky marah besar. "Berani banget nampar gue? Dasar cewek gak tau malu!" Niky menjambak rambut Kirana dengan brutal. Maura dan Siska turut menyerang, menarik rambut Kirana dengan keras. Kirana meringis, berusaha melawan.
Eka berteriak histeris, berusaha melepaskan Kirana dari cengkeraman Niky, Maura, dan Siska. Suasana menjadi kacau, gaduh mereka mencapai kelas 12 IPS 1. Perhatian kelas beralih, terutama Deka yang langsung mengenali suara adiknya.
"Suara gaduhan apa itu diluar?" tanya Sasmita, guru BK yang terkenal galak nan sadis. Wanita berumur 55 tahun ini tengah sadar dengan suara ricuh di luar.
Salah satu siswa menjawab pelan, "Sepertinya ada yang berkelahi, Bu."
Deka membantin. "Suara anak itu? Apa jangan-jangan... ah, shit!"
Siswa-siswa berhamburan keluar kelas, meninggalkan pelajaran yang sedang berlangsung. Mereka penasaran dengan keributan di luar. Bu Sasmita memegang penggaris panjangnya, matanya menyala dengan rasa kesal. "Siapa yang membuat keributan ini?" teriaknya.
Sementara itu, Niky, Maura, dan Siska terus menarik rambut Kirana tanpa henti. Kirana meringis kesakitan, namun tetap melawan dengan gigih. Eka berusaha membantu, tapi terlalu banyak lawan.
Eka berteriak, "Lepaskan, Kak Kirana!" Ia terlihat kewalahan. Niky, Maura, dan Siska seperti serigala lapar, menyerang Kirana dengan brutal dan tidak berhenti.
"Bjir... seru banget!"
"Itu kan Kirana, siswi kelas sebelas? Waduh! Ada adeknya Deka lagi."
"Cari masalah emang, padahal kan Kirana dikabarkan lagi deket sama Deka dan Rahmat..."
"Iya, anjir! Kelar tuh tiga bocah."
Kacamata Kirana terjatuh dan Maura, dengan senyum sinis, menginjaknya hingga hancur. Eka marah dan mendorong Maura hingga jatuh ke lantai. Suasana semakin kacau, semua berteriak histeris.
Bu Sasmita datang dengan wajah marah, suaranya menggelegar. "Berhenti! Apa yang terjadi di sini?" Kerumunan siswa langsung bubar, melarikan diri takut akan kemarahan Bu Sasmita. Namun, Niky dan Siska tetap menjambak rambut Kirana tanpa henti, tidak terpengaruh oleh kemarahan guru BK tersebut.
Bu Sasmita berteriak dengan suara keras, "Apa yang terjadi ini?! Kalian mengganggu pembelajaran! Berhenti sekarang juga! Niky, Siska, lepaskan Kirana!"
Eka berlari menghampiri Bu Sasmita, menangis. "Bu, tolongin Kak Kirana! Dia baik, mereka yang jahat! Mereka yang memulai!"
Bu Sasmita menatap Niky dan Siska dengan mata tajam. "Niky! Siska! Berhenti sekarang juga! Kalian akan mendapat hukuman atas perilaku kalian ini. Eka, bantu Kirana!"
Niky dan Siska melepaskan rambut Kirana dengan wajah kesal. Bu Sasmita melotot, "Kalian bertiga, ke ruang BK! Ibu akan membereskan kalian!"
Niky membelalak, "Lah, Bu? Kok kita saja? Kirana juga bersalah, Bu!"
Bu Sasmita tetap tegas, "Tidak ada alasan untuk membenarkan perilaku kalian! Kalian terus bikin masalah dan mengganggu proses belajar. Mari, ikuti saya ke ruang BK!"
Niky menatap Kirana dengan mata dendam, "Awas, lo! Ini belum berakhir!"
Eka memeluk Kirana dengan khawatir, "Kak, gapapa? Gak terluka, kan?"
Kirana tersenyum lemah, memeluk Eka erat. "Makasih, Eka. Kamu selalu ada untukku."
Eka tersenyum, "Gapapa, Kak. Kita saudara, harus saling melindungi."
"Aaaaa... makin sayang!"
Deka dan Rahmat berlari menghampiri, napas mereka terengah-engah. Mereka berdua menatap Kirana dengan khawatir, lalu saling menatap dengan sedikit keheranan karena datang bersamaan.
Safar mendekati grup tersebut, napasnya terengah-engah. "Apa yang terjadi?" ia bertanya dengan penasaran, menatap Kirana, Eka, Deka, dan Rahmat bergantian.
Eka menjawab dengan nada santai, "Biasalah, Kak. Trio Niky, Siska, dan Maura lagi cari gara-gara."
"Maksud lo... Niky? Maura? Siska?"
Eka mengangguk, "Iya, Kak. Masa tadi kita main jambak-jambakan, untung aja kita menang. Iyakan, Kak Kirana!?"
"Gak lucu, Eka..."
"Terus mereka kemana?"
"Diruang BK."
"Wih! Kalian keren, sih."
"Jelas dong!"
Deka menatap adiknya dengan serius, lalu mengambil tangan Eka. "Ikut gue sekarang."
Eka menarik tangannya, wajahnya memerah. "Ih, gamau! Abang kenapa, sih!"
Deka menatap adiknya dengan tegas. "Ikut! Atau mau gue seret!"
Eka menghela napas, lalu mengikuti Deka dengan langkah cepat, matanya memandang ke bawah, sedikit kesal.
Rahmat terus memandang Kirana, menunggu dia berbicara. Kirana melepas pita merah dari rambutnya, lalu menatap Rahmat dengan mata yang sedikit merah. Safar, yang memahami situasi, dengan sopan meninggalkan mereka berdua, memberi ruang bagi mereka untuk berbicara secara pribadi.
Deg
Kedua bola mata mereka bertemu dalam sekilas, dan tatapan mereka terkunci. Rambut panjang Kirana yang terurai membuat Rahmat terpesona. Dia tidak bisa menarik pandangannya, mata pemuda itu membulat besar menatap kecantikan Kirana.
Rahmat menelan ludah, berusaha menenangkan diri. "Kirana, lo... sangat cantik," katanya pelan, takjub.
"Kak Rahmat?"
"Eh, iya?"
Kirana memandang Rahmat dengan keraguan. "Kak Rahmat marah ya sama aku?" Suaranya lembut dan penuh keraguan.
Rahmat tersenyum pelan. "Gue gak marah. Cuma ada masalah kecil di osis kemarin." Rahmat mencoba menyembunyikan kebenaran. Kirana bisa melihat keraguan di matanya.
"Pasti... kak Rahmat stres banget, ya?"
"Ya, begitulah..."
Rahmat membatin. "Stres ngeliat lo deket sama Deka."
"Lo cantik juga, ya? Kalau rambutnya terurai kayak gitu."
"Hah? Emang iya?"
"Iya cocok, kayak ada imut-imutnya."
Rahmat mengambil sisir kecil dari saku celananya dan menyodorkannya kepada Kirana. Dia menerima sisir itu dengan senyum. Sambil menyisir rambut panjangnya, Kirana terlihat semakin cantik. Rahmat terpesona, matanya terus memandangnya tanpa berkedip.
Kirana mengembalikan sisir kecil itu kepada Rahmat dengan senyum tulus. "Ini sisirnya, Kak. Makasih ya?" Matanya berbinar dengan rasa terima kasih. Rahmat menerima sisir itu, tersenyum hangat, dan memandang Kirana dengan penuh kasih sayang.
Rahmat membatin lagi. "Sial, itu senyuman yang paling manis sedunia! Kirana, stop!"
"Oh, iya. Sama-sama."
Kirana mencari-cari sekitar dengan panik, matanya berputar-putar. "Kacamataku!"
Air mata Kirana mengalir deras saat dia menemukan kacamatanya tergeletak di tanah, lensanya pecah berantakan. Dia menunduk, mengambil kacamata itu dengan tangan gemetar, dan menatapnya dengan kesedihan. "Kacamataku... sudah rusak," katanya, suaranya terputus oleh tangisan.
Rahmat mendekati Kirana, suaranya lembut dan menenangkan. "Gapapa. Kita bisa beli kacamata baru, yang lebih bagus lagi." Dia mengangkat wajah Kirana dan menatapnya dengan penuh kasih sayang.
Sentuhan lembut Rahmat membuat Kirana merasa tenang. Air matanya berhenti mengalir, dan dia memandang Rahmat dengan mata merah. Suara Rahmat yang lembut dan penuh kasih sayang membuatnya merasa nyaman dan aman.
Kirana memeluk Rahmat erat, menumpangkan kepalanya di bahu pemuda itu. Rahmat membalas pelukan itu, terus mengelus rambut Kirana dengan lembut dan penuh kasih sayang. Keduanya berdiri dalam kesunyian, berbagi kehangatan dan kenyamanan.
Rahmat memejamkan mata, hatinya bergetar dengan perasaan cinta. "Gue sayang banget sama lo, Kirana," batinnya. "Gue ingin jadi pelindung, orang yang selalu ada, menenangkanmu saat kesedihan datang, dan melindungi dari segala kejahatan. Cuma gue, Kirana."
●●●
BERSAMBUNG...