Happiness [Completed]

By aprilianatd

4.2M 269K 10K

"Nikah sama anak Tante, hutang-hutang almarhum Ayahmu akan Tante dan suami anggap lunas." Kalimat itu terus... More

Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33 [end]
Epilog
Extra Part
Voucher Diskon Akhir Tahun
Pengumuman Lagi

Bab 17

112K 8.2K 334
By aprilianatd

Elin: Anakku lagi ngapain?

Datu: Aksa doang yang ditanyain?
Datu: Kamu kok pilih kasih gitu sih

Elin: Yaudah, aku ralat pertanyaanku
Elin: Mas sama Aksa lagi ngapain sekarang?

Datu yang sedang duduk di sofa tersenyum membaca pesan dari Elin. Saat ini ia sedang berada di ruang tengah. Sementara ia duduk di sofa, Aksa duduk di lantai beralaskan karpet tebal. Mata anaknya fokus pada TV, sedangkan tangannya memegang stik PS. Akhirnya Datu memotret anaknya dari samping dan dikirim ke istrinya. Tak perlu menunggu lama, pesan balasan Elin masuk.

Elin: ITU APA MAS???
Elin: MAS BELIIN AKSA PS???

Datu meringis. Ia berani bertaruh kalau Elin yang sekarang ada di Solo sedang kesal karena melihat Aksa menambah koleksi game console-nya.

Elin: Kok nggak dibalas sih?
Elin: Itu siapa yang beli PS buat Aksa?

Datu: Aku yang beliin
Datu: Aksa yang minta

Elin: Ngapain diturutin gitu aja sih?
Elin: Bagus banget main game-nya waktu hari sekolah
Elin: Lihat aja kalo aku pulang
Elin: Aku bakar semua

Datu terkekeh. Ia mencolek pundak Aksa dan menunjukkan layar ponselnya ketika anaknya menoleh ke belakang.

"Papa ngapain laporan ke Mama sih," decak Aksa sebal. "Harusnya Papa tuh diam-diam aja. Lagian aku nggak boleh main game kalo bukan hari Sabtu atau Minggu," lanjutnya.

"Tenang aja. Mamamu nggak bakal tiba-tiba muncul di depan pintu dan langsung ngebakar semua game console-mu."

Aksa menghela napas keras. "Bilang aja kalo aku udah selesai main dan sekarang lagi belajar," ucapnya sebelum pandangannya kembali ke layar TV.

Datu mendengus. Bisa-bisanya Aksa menyuruh dirinya berbohong ke Elin. Tentu saja itu tidak mungkin ia lakukan.

Datu: Aksa udah selesai main kok
Datu: Sekarang dia lagi belajar

Demi kenyaman bersama, sedikit berbohong mungkin adalah solusi yang terbaik untuk mereka berdua. Ia tidak mau diamuk Elin karena dengan cuma-cuma membelikan Aksa PS tanpa bicara dulu ke istrinya.

Elin: Halah!
Elin: Kalo mau bohong jangan sama aku
Elin: Awas aja kalo nanti aku udah pulang

Keesokan harinya, Datu pulang lebih awal dari biasanya. Setelah mandi dan mengganti baju, ia berjalan ke kamar anaknya. Tangannya terangkat mengetuk pintu kamar anaknya pelan. Begitu terdengar sahutan dari dalam, ia membuka pintu kamar Aksa.

"Kenapa, Pa?"

"Tumben nggak main PS?"

"Kemarin waktu video call, Mama ngomel lama banget sampai telingaku panas. Mama ingatin aku kalo main cuma boleh hari Sabtu sama Minggu doang."

Datu bersandar di kusen pintu sambil kedua tangan terlipat di depan dada. "Terus sekarang kamu ngapain?"

"Nonton youtube," jawab Aksa. "Tentang penyelesaian soal matematika yang belum aku ngerti," tambahnya.

Datu tersenyum mendengar jawaban anaknya. Ia diam sejenak, tanpa mengalihkan tatapan dari anaknya. "Mau belajar motor nggak?" tanyanya tiba-tiba. 

"Hah?" Aksa yang semula sedang berbaring tengkurap, sontak bangun dari posisinya.

"Dulu seumur kamu, Papa udah bisa naik motor."

"Beneran boleh?" tanya Aksa antusias.

"Boleh banget." Datu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Pada dasarnya sama aja kayak naik sepeda onthel. Kalo bisa naik sepeda onthel, pasti bisa naik sepeda motor."

"Belajarnya pakai motor siapa?"

Datu nyengir, kemudian menjawab. "Motor Mamamu," jawabnya santai.

"Lah, kalo nanti jatuh terus rusak gimana?" tanya Aksa cemas.

"Kalo bisa jangan sampai jatuh dong. Lagian ada Papa yang jagain nanti. Kalo nanti rusak, nanti biar Papa beliin Mamamu motor baru," jawab Datu santai. "Yang bahaya kalo kamu sampai lecet. Bisa-bisa Papa langsung disate sama Mamamu," lanjutnya dengan meringis.

Aksa mengabaikan kalimat terakhir Papanya dan melompat turun dari kasur. "Oke, ayo kita belajar motor."

Datu terkekeh. Ia berjalan lebih dulu, diikuti oleh Aksa di belakangnya. Telunjuknya memutar-mutar kunci motor milik Elin dengan girang.

"El, aku pinjam motor sebentar. Aksa perlu belajar motor," ucap Datu mengusap-usap motor milik Elin.

Aksa sudah duduk di motor dan di belakangnya ada Papanya. Berulang kali ia menarik napas, menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak sengat kencang. Sebenarnya ia bukan takut jatuh, ia lebih takut kalau motor Mamanya lecet. Bisa-bisa Mamanya langsung murka begitu pulang dari Solo.

"Kok nggak jalan?" tanya Datu heran.

"Bentar, Pa. Lagi menyiapkan mental."

Datu terkekeh. "Pelan-pelan aja nggak usah ngebut. Lagian ini motor matic. Tinggal gas sama rem doang. Rem di tangan kanan itu rem roda depan dan rem di tangan kiri itu rem roda belakang."

"Kalo nanti aku naik motornya lancar, kita langsung ke dealer motor ya Pa beli moge," ucap Aksa menatap Papanya dari kaca spion.

"Dikira duit Papa tinggal metik doang di pohon," sahut Datu berdecak pelan.

Aksa tertawa keras. Kemudian tangannya bergerak memutar kunci, menyalakan mesin motor. "Wah, nyala," ucapnya takjub.

Datu mengulum senyum. "Di gas pelan-pelan aja."

Aksa mengangguk. Meski awalnya agak kaku, tapi setelah cukup jauh dari rumah ia mulai merasa nyaman. Untung saja kompleks perumahannya sepi, jadi bisa dipakai untuk belajar motor.

"Ini jalannya lurus terus? Papa takut lama-lama kita sampai Jakarta kalo kamu nggak belok," celetuk Datu.

"Gimana cara beloknya, Pa?" tanya Aksa sedikit panik.

"Itu, di depan ada gang yang agak lebar. Kamu belok ke situ aja." Tunjuk Datu begitu matanya melihat ada gang yang memang lebar jalannya cukup untuk dua mobil. "Kalo mau belok gasnya agak dikurangin. Pelan-pelan aja nggak usah panik."

Aksa mengikuti perintah Papanya.

"Kalo kamu dari posisi sebelah kiri dan mau belok ke kanan, beloknya jangan mepet ke kanan. Kamu harus melebar ke kiri, Sa. Takutnya dari arah dalam ada kendaraan yang keluar, kamu bisa ditabrak."

"Melebar gimana sih, Pa?" tanya Aksa dengan tatapan fokus pandangan ke depan.

"Pokoknya melebar ke kiri. Jangan terlalu ke kanan, karena takut ada kendaran lain yang muncul dari arah berlawanan," jawab Datu menjelaskan. "Kalo kamu posisi di kiri dan mau belok ke kiri, itu baru nggak perlu melebar. Paham kan maksud Papa?"

Aksa mengiyakan, meski sebenarnya tidak terlalu paham maksud Papanya.

"Kalo belok jangan kayak tadi."

"Emang aku belok kayak apa?"

"Kalo di jalan raya yang ramai kendaraan, sebelum belok harus lihat spion dulu. Terus lihat juga dari arah depan. Takutnya ada kendaaran lain," jawab Datu menjelaskan dengan sabar. "Kalo ada polisi tidur, jangan digas sekuat tenaga. Kurangi gasnya, biar kamu nggak lompat," lanjutnya memberitahu.

Jalanan lumayan sepi. Hanya ada dua atau tiga motor yang berpapasan dengan mereka. Ada juga beberapa mobil, tapi tidak terlalu banyak. Datu bersyukur karena sejauh ini Aksa cukup lancar mengendarai motor. Tarikan gas Aksa juga cukup stabil. Sudah beberapa menit mereka berputar-putar menggunakan motor. Mulai dari jalan lurus, belok kanan, belok kiri, semua bisa dilalui Aksa dengan baik. Hanya satu yang belum dicoba Aksa adalah putar balik.

"Kalo putar balik, kakinya perlu ikut turun nggak?" tanya Aksa.

"Kalo di jalan raya yang ramai dan tidak memungkinkan untuk langsung putar balik, biasanya kakinya turun satu. Tapi kalo sepi, langsung putar aja nggak papa."

"Aku putar balik di depan situ ya, Pa." Aksa menatap ada putaran balik yang tak jauh di depan matanya.

"Iya. Pelan-pelan aja mutarnya. Kalo ragu, mending kakinya turun satu," sahut Datu.

Dari awal Aksa kurang percaya diri untuk putar balik. Menurutnya dari belok kanan dan belok kiri, putar balik cukup sulit. Kakinya tidak turun seperti perintah Papanya. Dari arah yang berlawanan, tiba-tiba ada sebuah motor dengan laju cukup kencang, membuat Aksa seketika terkejut. Motor yang ia bawa oleng dan hampir menabrak ke sebuah pohon. Untung saja ia tidak sampai jatuh karena Papanya yang duduk di belakang, bisa menyeimbangkan motor.

Datu langsung turun dan melihat kondisi anaknya yang nyerempet pohon. "Ada yang luka nggak?"

Aksa tidak langsung menjawab. Jantungnya bergemuruh cepat. Hampir saja ia celaka kalau tidak ada Papanya.

"Ada yang luka nggak?" ulang Datu, meneliti tubuh bagian kiri Aksa yang baru saja nyerempet ke batang pohon besar.

Aksa menggeleng. Kemudian ka melihat tangan kirinya. Di sana ada luka panjang, tapi tidak mengeluarkan darah.

"Itu ada luka. Aduh, mati kalo kamu sampai lecet. Papa bisa diomelin habis-habisan sama Mamamu," ucap Datu panik melihat luka di lengan kiri anaknya.

Aksa tersenyum. "Mama nggak akan marah. Tenang aja. Lukanya nggak berdarah kok. Cuma luka gores biasa. Paling kena bagian batang pohon yang agak tajam, makanya bisa sampai luka."

"Ada luka lain nggak?" tanya Datu khawatir.

Aksa menggeleng. "Ayo, Papa naik lagi. Kita lanjutin lagi belajar motornya."

"Anak edan. Udah luka, malah minta lanjut," gerutu Datu geleng-geleng kepala pelan.

***

"Anak Mama seharian ini ngapain aja?"

"Tiduran aja. Kan nggak boleh main game. Jadi, cuma nonton youtube aja dari tadi."

"Selama ditinggal Mama, kamu sama Papamu akur, kan?"

"Iyalah. Nggak mungkin juga aku sama Papa jambak-jambakan. Lagian aku udah besar, Ma."

Elin di seberang sana terkekeh melihat ekspresi Aksa di layar ponsel. "Kamu tiduran dimana sih? Kok kayaknya nggak di kamarmu."

"Malam ini aku tidur di kamar Mama sama Papa."

"Oh ya? Kok tumben?"

"Papa yang nyuruh."

Mendengar itu, Elin sontak tersenyum lebar. Keputusannya untuk liburan dan meninggalkan Datu dan Aksa berduaan di rumah memang tepat.

"Mungkin next time kita bisa tidur di sini bertiga, Ma. Aku, Mama sama Papa."

"Nggak boleh!" Datu membuka pintu kamar mandi dengan cukup keras.

Aksa menoleh ke samping, melihat Papanya melangkah mendekatinya. "Kenapa nggak boleh?"

Datu ikut duduk di sebelah Aksa dan melihat layar ponsel. Di sana ada wajah Elin yang sangat ia rindukan. Baru beberapa hari, tapi rasanya ia sangat rindu dengan istrinya.

"Kenapa aku nggak boleh tidur bareng, Pa?" tanya Aksa lagi.

"Karena kamu udah besar. Nggak boleh tidur sama Mama dan Papa," jawab Datu.

"Tapi, aku kan mau tidur di sini."

"Mamamu kalo tidur mutar kayak helikopter. Daripada kamu ditendang dan jatuh dari kasur, mending kamu tidur di kamarmu sendiri aja kalo Mamamu udah pulang."

Deheman keras terdengar. Datu dan Aksa sontak fokus ke layar ponsel.

"Emang benar Mama kalo tidur nendang-nendang? Mama pernah nendang Papa sampai jatuh dari kasur?" tanya Aksa menatap ke layar ponsel.

Datu memberi isyarat agar Elin mengangguk.

"Mama nggak ingat. Kan Mama tidur," jawab Elin sekenannya.

Datu menghela napas lega.

"Yaudah, kalian berdua sekarang tidur. Besok Aksa harus sekolah dan Mas harus kerja."

"Kok video call-nya cepat banget?" tanya Datu memprotes.

Aksan menoleh ke samping. "Aku sama Mama udah ngobrol dari tadi, Pa. Salah sendiri Papa lama di kamar mandi," ucapnya dengan senyuman lebar.

"Kalo Aksa mau tidur, biar aku lanjut video call sama kamu," ucap Datu menatap layar ponsel dengan memohon.

"Besok aku janji bakal telfon lebih pagi. Hari ini aku capek banget jalan-jalan sekalian kulineran di Solo."

Datu mendesah pelan. "Yaudah deh. Aku kasihan kalo kamu capek. Kamu istirahat aja. Besok telfon aku lebih pagi ya."

Elin mengangguk setuju.

"Bye, Ma. Good night." Aksa nemberi kecupan jauh sebelum mematikan video call.

"Papa kan belum sempat bilang good night ke Mamamu," ucap Datu menatap anaknya dengan tajam.

Aksa terkekeh. "Nggak usah, Pa. Biar aku aja yang wakilin Papa."

"Kamu tadi cerita ke Mamamu soal belajar motor nggak?"

Aksa menggeleng. "Bilangnya setelah Mama pulang aja. Malam ini aku nggak mau dengar ceramah panjang dari Mama lagi kayak semalam."

Datu menghela napas lega. Kemudian ia mematikan lampu kamar dan mulai berbaring di kasur. Ini pertama kalinya ia tidur bersama dengan anaknya. Dengan posisi tubuh miring, ia memperhatikan Aksa yang sudah memejamkan mata dengan napas teratur.

"Maafin kelakuan Papa yang dulu ya," ucap Datu sambil mengusap kening Aksa pelan.

***

Datu dan Aksa sedang sama-sama duduk di sofa. Di hadapan mereka ada TV yang menyala, tapi tidak ada dari mereka yang tatapannya fokus ke layar TV.

"Pa, Mama kapan pulang?" tanya Aksa dengan nada memelas.

"Masih dua hari lagi," jawab Datu dengan suara pelan.

Aksa mendesah lelah. "Aku kangen Mama."

"Kamu kira Papa nggak kangen?" balas Datu melirik Aksa yang menyadar di sandaran sofa. "Papa juga kangen banget sama Mamamu."

"Bosen banget nggak ada Mama," keluh Aksa.

"Hmmm...."

"Motor Mama kemarin gimana, Pa?"

"Baret dikit."

"Gimana kalo sampai Mama tau?"

"Yailah, baret cuma dikit doang. Mama juga nggak bakal nyadar."

Aksa manggut-manggut. "Aku mau main PS, tapi takut dimarahi sama Mama."

"Kalo Papa nggak bilang, Mama nggak akan tau."

Aksa jadi memikirkan perkataan Papanya. Di satu sisi ia takut Mamanya marah, tapi di sisi lain ia juga merasa bosan. Akhirnya ia memilih untuk diam di tempatnya tanpa melakukan apa pun.

"Kapan-kapan Papa ajarin kamu naik motor lagi sampai jago," celetuk Datu.

"Kalo jago langsung dibeliin motor kan, Pa?" tanya Aksa menghadapkan tubuh ke Papanya.

Datu berdecak. "Lagian kamu aneh mintanya moge. Lebih besar ukuran motornya daripada badanmu."

Aksa terkekeh. "Yaudah, motor matic aja kayak punya Mama. Tapi mau yang warna hitam. Biar kelihatan lebih macho."

"Motor Mamamu juga matic. Kalo gitu pakai motor Mamamu aja."

"Motor Mama warnanya soft banget. Nggak cocok buat cowok."

Datu hanya bisa geleng-geleng kepala. "Nanti kalo kamu udah punya SIM, baru Papa beliin motor buat kamu."

"Lah, lama banget," protes Aksa.

"Nanti kalo dibeliin sebelum kamu punya SIM, Papa bisa digantung di monas sama Mamamu."

Aksa meledakkan tawanya. "Mama nggak akan setega itu sih," ucapnya disela-sela tawanya.

"Pokoknya Papa akan beliin kamu motor setelah kamu punya SIM. Sebelum itu, kamu mending pakai motor punya Mama aja. Dengan catatan nggak boleh keluar dari kompleks perumahan."

"Kalo nunggu punya SIM, mending sekalian nggak sih Pa?" tanya Aksa dengan tersenyum penuh arti.

Datu menatap Aksa kebingungan. "Sekalian apa?" tanyanya balik.

"Sekalian beli mobil juga," jawab Aksa dengan cengiran lebar.

Datu melotot. Benar-benar tidak mengira anaknya akan bilang seperti itu. "Kenapa nggak sekalian minta pesawat juga?" tanyanya sarkas.

Lagi-lagi Aksa tertawa. "Nanti kalo aku udah jadi pilot, baru deh Papa beliin aku pesawat."

Datu berdecak keras. "Emang gini nih. Sekalinya dibaikin malah ngelunjak. Semua-muanya diminta," dumelnya pelan.

Aksa terkekeh melihat wajah merengut Papanya. Tiba-tiba perasaannya menghangat karena bisa berinteraksi seakrab ini dengan Papanya. Sesuatu yang dulu tidak bisa dilakukan bersama Papanya, tapi kini terjadi. Siapa sangka kini hubungan mereka sudah jauh lebih baik setelah kehadiran wanita yang ia panggil dengan sebutan Mama. Wanita baik yang bisa menerima kehadirannya tanpa mengeluh sedikit pun.

***

Sorry for typo and thankyou for reading❤

Author Note:
Maaf update-nya jam segini yaaaa...
Masih ada yang bangun nggak sih?

Besok (btw ini udah ganti hari, wkwk) nggak update ya guys karena hari minggu. Jadi nggak usah ditungguin.

Continue Reading

You'll Also Like

145K 11.7K 30
Mahalnya seseorang bukan dari hartanya, tapi dari kualitas diri yang ia miliki. -Baby A Auriga Arden Dewangga Putra Pratama, laki-laki berparas tampa...
43.8K 1.5K 15
Rafael Azka Andana adalah siswa dari SMA Nandana yang memiliki wajah bak dewa ini memilik jabatan sebagai ketua geng dari Ravazkas yang dikenal sebag...