Tristan
Lexie dan Kafka memandangi foto yang gue temukan dari brangkas lekat-lekat. Habis kelas World History, gue menarik keduanya ke kafetaria supaya gue bisa menceritakan penemuan gue dengan lebih leluasa.
"Ini beneran nyokap lo kan, Tan? Bukan Tina? Kayak kembar, Nyet! Bedanya Tina kelihatan lebih angelic, nyokap lo lebih.... messy." Kafka menunjuk seragam nyokap yang berantakan dan riasan wajahnya yang mencolok banget untuk anak SMA. "Ada yang paham nggak sama maksud gue?"
"Gue paham, Kaf." Tina nggak mirip sama sekali sama bokap karena ternyata ia adalah jiplakannya nyokap.
"Terus, yang mau lo lakuin setelah dapat foto ini apa?" tanya Lexie.
"Berkat foto ini, gue jadi tahu kalau nyokap alumni Preston. Artinya, gue bisa tahu alamat rumah dia di Jakarta, dari informasi alumni yang ada di website sekolah. Tapi informasi tentang dia di situ cuma ada alamat email jadul dia. Gue udah coba kontak dia dari sana, tapi email gue mantul lagi." Nama alamat email-nya saja masih alay banget, maddythebaddie@yahoo.com. "Jadi gue kepikiran untuk cari informasi soal dia di ruangan administrasi Preston."
"Memang Preston masih nyimpan informasi soal nyokap lo? Dia aja udah lulus.... Berapa tahun yang lalu, tuh?" Kafka mencoba menghitung mundur tahun sekarang ke 21 tahun yang lalu. "Umur bokap lo 38, dikurang umurnya Tina 21, berarti 17 tahun lalu. Dikurang sama tahun sekarang.... berapa tuh jadinya? Hitungin dong, Lex!"
"Bokap dan nyokap lo lulus tahun 2002, Tan," sambung Lexie. "Lo yakin Preston masih nyimpan data mereka?"
"Yakin! Yang lagi gue pikirin sekarang adalah gimana caranya gue bisa dapatin informasi soal nyokap dari staf administrasi Preston. Karena mereka pasti bakal langsung aduin gue ke bokap kalau gue macam-macam di ruangan mereka."
"Memang nggak ada cara lain yang lebih simpel? Kan, lo udah tahu nama panjang nyokap lo, memang lo nggak bisa apa nemuin informasi soal dia dari Facebook?"
"Bener juga lo, Kaf. Kenapa gue nggak coba nyari informasi di media sosial, ya?" balas gue sarkas. "Yaiyalah gue coba cari! Tapi nggak ada. Mungkin dulu bokap pernah bikin dia berjanji untuk nggak memunculkan diri di mana pun, termasuk di media sosial, supaya anak-anaknya nggak bisa nyari dia. Lo tahu kan bokap gue se-petty apa?"
"Terus, rencana lo sekarang apa?"
"Gue kepikiran buat minta tolong sama anak-anak student council, Lex. Mereka kan sering bikin inisiatif buat alumni, kayak ngasih hadiah atau bikin acara buat mereka. Gue yakin nggak susah bagi mereka untuk masuk ke ruangan administrasi dan minta data alumni Preston tahun 2002. Tapi—"
"Tapi lo nggak mungkin dibantuin sama mereka!" sambung Kafka.
"Kenapa nggak mungkin?" tanya Lexie.
"Karena si bego ini habis ngegambar penis di poster-poster EAT MORE GREENS mereka." Kafka memukul belakang kepala gue. "Kemarin lo ngutuk-ngutuk mereka cuma karena masalah sayur, sekarang lo butuh mereka buat nyari ibu lo!"
Gue mengelus-elus belakang kepala gue. "Makanya gue butuh bantuan lo, Lex."
"Memang gue bisa apa?"
"Lo kan deket sama anak-anak student council, gue yakin lo bisa minta tolong sama mereka."
"Lo dapat kesimpulan dari mana gue dekat sama mereka?"
"Karena mostly anak-anak student council itu anak-anak beasiswa."
"Simpel banget ya, Tan, cara berpikir lo? Hanya karena gue dan mereka anak-anak beasiswa, kita otomatis deket, gitu? Lo nggak pernah mikir, kalau bisa aja hal itu bikin kami jadi saling bersaing buat mempertahankan beasiswa kami?"
"Memang lo masih bersaing sama mereka?" Memang uang yang bokap gue dan nyokapnya Kafka kasih untuk Preston nggak cukup apa untuk membiayai uang sekolah mereka?
"Nggak sih, tapi...."
"Gue cuma bisa minta tolong sama lo, Lex. Lo bisa sok-sok tanya apa rencana yang mau mereka bikin buat alumni-alumni. Lo bilang aja kalau alumni tahun 2002 tuh belum pernah dikasih hadiah, dibikinin acara, atau apa, kek. Terus, lo tempelin mereka waktu mereka mau minta data alumni di ruangan administrasi. Gue cuma butuh alamat nyokap gue yang dulu kok, Lex. Nggak lebih."
"Duh, Tan, gue nggak bisa janji..." Lexie menggaruk pipinya. "Lagian, nggak kayak lo, gue nggak bisa bikin masalah di Preston. Gue bisa kehilangan beasiswa gue."
"Lo nggak bikin masalah. Lo cuma bantuin anak student council buat nyari hadiah untuk alumni. Kalau gue bisa minta tolong sama mereka, gue pasti akan minta tolong sama mereka sendiri. Tapi, gue bakal disiram pakai jus seledri kalau masuk ke ruangan mereka."
"Tan, tapi—"
"Ini penting banget buat gue, Lex." Gue meremas tangan Lexie. "Please?"
Kafka menggelengkan kepalanya, kelihatan nggak suka melihat tangan gue memeluk punggung tangan Lexie. Cewek itu menarik tangannya. "Gue usahain, tapi gue nggak janji."
"Thank you, thank you, thank you!" Gue memeluk Lexie. Kafka malas banget melihat pemandangan itu sampai ia pamit cabut duluan.
Habis Kafka cabut, gue sama Lexie lanjut ngobrol-ngobrol di kafetaria. Gue hendak memesankan Lexie jus nanas + kale (serius, Lex?) ketika papasan sama Bianca dan dua temannya yang baru masuk ke kafetaria. Mantan gue itu melihat gue dan Lexie duduk di meja yang ada di tengah-tengah kafetaria, lalu mengambil tempat duduk paling pojok dengan punggungnya membelakangi kami.
"Thanks." Lexie mengaduk-aduk jusnya. "Kita nggak apa-apa duduk di sini? Atau lo mau pindah aja?"
"Kenapa harus pindah?"
"Soalnya... ada mantan lo di sini."
"Lo nggak nyaman ada di sini?"
"Gue nggak masalah. Kan, bukan mantan gue." Lexie mencicipi jusnya. Nggak kebayang deh rasanya kayak apa."Lo... pacaran lagi nggak, habis putus dari Bianca?"
"Nggak. Gue lagi dekatnya sama lo, kan? Lo lebih enak diajak ngobrol dan diskusi dibanding mantan-mantan gue."
"Yaiyalah, Tan. Mereka kan baru lulus SMP! Mereka kaget kali tiba-tiba dideketin sama senior macam lo, makanya mereka berusaha bikin lo terkesan. Kayak si Bianca, itu. Atau Lanissa, Larissa, Tanya, Vania...."
"Ciye, lo hafal nama-nama mantan gue, Lex? Lo diem-diem suka merhatiin gue, ya?"
Lexie mengigiti sedotannya sambil cemberut. "Lo sama anak-anak lain di Preston sama aja. Selalu mikir kalau semua orang suka sama dia. Terutama orang-orang kayak gue."
"Anak-anak di Preston, orang-orang kayak lo, maksud lo apa, sih? Kok, lo suka mengkotak-kotakan orang, gitu? Kalau ngomongin suka, gue juga suka kok main sama lo. Gue nyaman tiap kali ngobrol sama lo. Gue pikir, lo yang nggak suka sama gue karena lebih sering gue yang ajak lo main duluan."
Cemberut Lexie berubah jadi senyum kecil, tapi ia masih menyembunyikan wajahnya di balik gelas jusnya. "Bukannya gue nggak suka sama lo. Cuma rasanya... too good to be true gue bisa main sama lo kayak sekarang."
Too good to be true? Memang gue siapa? Pangeran dari negeri dongeng? Mantan-mantan gue nggak pernah se-straight forward Lexie, tapi tanpa mereka mengatakannya pun, gue bisa merasakan bagaimana mereka dengan naifnya, mengagumi gue. Dan perhatian macam itu bikin gue merasa hidup.
"Lo lagi merendah untuk meroket, ya? Lo kan keren, Lex. Lo pinter, seru, terus rajin bantuin nyokap lo. Gue pingin ngabisin waktu sama lo lebih banyak lagi, kalau lo mau."
Lexie menahan ketawa. "Lo ngomong hal kayak gitu juga ke anak-anak grade 10?"
"Enggak, karena diskusi kami nggak pernah sedalam pas lagi sama lo."
Mereka tentu saja tahu tentang pohon keluarga Khevandra yang nggak lengkap, karena cerita itu yang gue pakai untuk mendapatkan simpati mereka. Tapi, biasanya mereka hanya memberikan respons yang gue mau, nggak kritis kayak Lexie. Atau mungkin Lexie sama aja kayak mereka? Gue nggak terlalu peduli.
Gue bergerak untuk menyentuh tangan Lexie, tapi cewek itu menarik tangannya. "Kenapa, Lex?"
"Lo bilang kita temen doang dan lo nggak akan memperlakukan gue kayak anak-anak grade 10!"
"Memang nggak, karena lo seumuran sama gue."
"Terus kenapa...?" Tatapan Lexie jatuh ke tangan gue yang hendak meraihnya.
"Karena gue suka sama lo dan gue pikir... lo suka sama gue juga."
Gue nggak secuek itu juga sampai nggak memedulikan apa yang terjadi di sekitar gue, termasuk ketika Lexie suka tahu-tahuan soal trivia hidup gue, Kafka cerita kalau Lexie baper sama gue, Lexie sering cerita soal gue ke Axel... gue sadar kok Lexie punya perasaan buat gue. Dan hal itu, the right amount of attention macam itu, bagai candu untuk gue.
Gue nggak peduli siapa ceweknya. Mau dia grade 10 atau anak kuliahan sekalipun. I just love being loved.
"See? Semua anak Preston itu sama, pasti selalu mikir semua orang suka sama mereka!"
"Jadi gue salah?"
"Nggak tahu, Tan..." Lexie semakin menjauhkan dirinya. "Gue nggak mau berakhir jadi kayak anak grade 10 yang ngehindarin lo tiap ketemu lo."
Tangan gue bergerak lagi untuk meraih tangannya, kali ini berhasil. Gue meremasnya pelan. "Kalau gitu lo kasih tahu gue, ini terasa benar atau nggak?"
Lexie melihat punggung tangannya yang terbungkus tangan gue, lalu mendongak untuk melihat keyakinan dari mata gue yang ingin memilikinya.
Cewek itu memutar tangannya dan menggenggam balik tangan gue sebagai jawaban.
-
Athina
Aku bolak-balik melihat hasil foto-foto bareng Alarik dan si kembar habis naik helikopter yang kucetak akhir pekan kemarin. Saking happy-nya, rasanya nggak cukup kalau hanya menyimpan kenangan kemarin secara digital. Jadi, aku mencetak beberapa kopi masing-masing dua rangkap, untuk aku pajang di kamar dan aku kasih ke Alarik.
Ada foto kami berempat sebelum naik helikopter, saat naik helikopter, dan setelah turun dari helikopter.
Foto yang paling kusuka adalah fotoku berdua dengan Alarik setelah kami turun dari helikopter. Alarik merangkul pundakku yang masih kesusahan berdiri, lalu meminta Leo memotret kami di depan helikopter warna hitam itu.
Alarik dengan rambut berantakan dan senyum boyish-nya bikin ia kelihatan 100x lebih tampan dan aku dengan ekspresi belum siap dan punggung yang agak bungkuk, tapi hangat pundakku saat melesak di dadanya masih bisa aku rasakan sampai sekarang.
"Menu lunch hari ini Sri Lanka food, Tin. Kedoyanan lo kan yang aneh-aneh gitu." Mickey mengambil buku kuliahku yang dari tadi kupeluk, ingin membawakannya. "Kita lunch di dining hall, kan?"
"Iya, dong. Yuk."
Aku memasukkan fotoku ke dalam tas dan menyambut rangkulannya. Sampai di dining hall, aku dan Mickey mengamankan meja dulu sebelum mengantri makanan. Mataku jelalatan mencari Alarik. Hari ini dia makan siang di sini nggak, ya?
Mickey menaruh ranselnya di kursi dan buku-bukuku di atas meja kayu dining hall. "Weekend kemarin lo ke mana, Tin? Gue teleponin lo tahu, tapi nggak diangkat. Tadinya gue pingin ngajak lo main—"
"Mik, tolong jagain tas gue bentar, ya." Aku mengambil tasku yang tadi kulempar di atas kursi begitu melihat Alarik dan si kembar sedang duduk-duduk di meja yang agak di pojok. "Bentaaarrr aja. Nanti gue balik lagi."
Aku berlari-lari kecil untuk menghampiri mereka, tapi langkahku berhenti waktu melihat seorang cewek yang duduk di sebelah Alarik. Aku nggak tahu cewek itu siapa, tapi kalau dilihat dari jarak kursi mereka yang nempel banget dan dari bagaimana Alarik merangkulkan pundak cewek itu dan berbisik di telinganya, sudah cukup memberitahuku kalau aku hampir saja bersikap bodoh; menghampirinya dan dengan polosnya memberikan foto-foto kami kemarin yang rajin banget aku cetak.
Buatku, momen-momen kami kemarin, menantang maut dengan mencoba bungee jumping, pelukan kami setelahnya, jalan-jalan naik helikopter, dan pegangan tangannya yang bikin aku tenang, begitu berarti dan membengkas hingga bisa mengisi semua halaman dalam buku hidupku.
Sementara bagi Alarik, momen-momen kemarin mungkin hanya bisa disisipi di bagian footnote buku hidupnya saja, karena hidupnya kan memang sudah biasa diisi sama keseruan macam itu. Dan cewek di rangkulannya sekarang... kenapa aku masih kaget dan kecewa ia sedang merangkul cewek lain? Toh, aku sudah mengenalnya dari grade 10, jadi harusnya aku sudah tahu kalau Alarik memang sering bergonta-ganti cewek.
Hanya karena kami berada di secret society yang sama dan ia mengajakku untuk menghabiskan akhir pekan bersama kemarin, bukan berarti kami lantas punya hubungan spesial. Polos banget lo, Thin. Alarik bukan anak kemarin sore kayak lo.
"Habis dari toilet, ya?" tanya Mickey. Aku menaruh tasku di hadapannya dan menelungkupkan wajahku di atas meja. "Lo kenapa, sih? Perasaan tadi baik-baik aja, kenapa tiba-tiba lemes begini?"
"Gue lagi ngerasa bego."
"Bego kenapa?"
Karena berpikir Alarik bisa tertarik denganku. "Karena baru tertarik main keluar akhir-akhir ini." Kalau dari dulu aku anaknya easy going, mungkin aku akan ditarik masuk Deer Hunter lebih cepat, jadi aku bisa dekat dengan Alarik lebih cepat, dan mungkin dengan begitu, yang duduk di sebelah Alarik sekarang bisa saja aku.
"Maksudnya? Main ke mana? Sama siapa?"
"Alarik."
"Jet? Lo main sama Jet? Gimana caranya?!"
"Gue... akhir-akhir ini main bareng Alarik dan gue pikir hubungan kami jadi spesial. Nggak tahunya, gue doang yang berpikir begitu. Buat Alarik, gue cuma pengisi waktu luang dia aja."
"Gimana caranya lo bisa main sama Jet? Lo kan selalu sebel tiap kali dia nyamperin kita buat godain lo. Kok, tiba-tiba lo pingin dianggap spesial sama dia? Jadi kemarin pun lo nggak bisa dihubungin, karena lo main sama dia?!"
"Memang kenapa kalau gue jadi main sama Alarik?"
"Karena lo baru ngabisin waktu sama dia akhir-akhir ini dan udah pingin dianggap spesial sama dia, sementara gue ada di samping lo dari kita masih maba!" Mickey menoleh ke meja Alarik dan berdelik waktu melihat cowok itu tertawa-tawa di mejanya bareng kroco-kroconya. "Lo ngapain tertarik sama dia? Kan, lo yang bilang kalau Jet itu cuma anak manja dan entitled!"
"Itu nggak sepenuhnya salah, tapi nggak sepenuhnya bener juga. Alarik lebih dari itu semua."
"Lo bilang lo takut Tristan gedenya jadi kayak dia!"
"Iya, tahu. Tapi itu sebelum gue kenal dia. Selama ini gue nge-judge hidup dia dari luar aja, padahal gue nggak punya capability untuk itu. Sekarang pas gue masuk ke dunia dia, gue sadar kalau dunia gue kecil banget dan Alarik ngenalin gue ke dunia yang lebih luas. Dia bikin gue pingin explore dunia itu lebih jauh..." bersamanya. "Tapi gue bego. Buat gue dunia itu, kebersamaan kami, spesial. Tapi buat Alarik kan biasa. Gue butuh dia, dia nggak butuh gue."
"Gue butuh dia, dia nggak butuh gue. Tayi, lah."
"Lo kenapa, sih?" Lama-lama aku jadi sebal sama kesewotannya.
"Tin, gue nggak tahu harus jadi lebih obvious apa ke lo."
"Maksudnya?"
"Gue suka sama lo dari dulu, Tina." Micky tersenyum setengah hati saat melihat reaksi wajahku yang berteriak oh shit. "Dan dari ekspresi muka lo yang kayak kejatuhan bom, gue harusnya udah bisa tahu jawaban lo, ya?"
"Gue... nggak pernah lihat lo dengan cara kayak gitu, Mik..."
"Yah, gue bisa tebak dari gimana lo bisa langsung kepincut sama Jet padahal bulan lalu, lo masih ngata-ngatain dia." Mickey mengacak-acak bagian depan rambutnya. "Gue... jadi ngerasa bodoh aja karena selama ini—"
"Mik, lo temen terbaik gue." Aku nggak mau ia jadi merasa kebaikannya selama ini nggak guna karena aku nggak bisa membalas perasaannya, tapi aku juga nggak tahu bagaimana cara menyampaikannya tanpa terdengar condescending. "Mik, kita masih bisa temenan, kan?"
Mickey mengangkat kedua bahunya. "Kayaknya terlalu cepat kalau kita langsung temenan lagi kayak biasa seakan nggak ada yang terjadi 5 menit lalu, Tin."
Aku mengambil tasku. "Gue... makan di tempat lain aja kalau gitu."
"Nggak usah, gue aja. Lo pasti pingin coba makanan Sri Lanka itu kayak apa, kan?" Mickey mengambil tasnya dari kursi. Sebelum cabut dari meja, ia seperti hendak mengatakan sesuatu tapi ia telan. Cowok itu menoleh ke meja Alarik, lalu meninggalkan meja kami. "Gue duluan, Tin."
Aku mengelap wajahku dengan dua tangan. Kemarin aku mengeluh kenapa hidupku sangat membosankan dan monoton, sekarang aku jadi merindukan kebosanan itu karena meskipun nggak menarik, hidup bosan itu nggak bikin hubunganku dan sahabatku jadi hancur.
"Athinaaa!" Alarik duduk di sebelahku. Ia berkata kepada cewek yang tadi ia rangkul dan si kembar kalau ia akan menyusul mereka nanti supaya mereka bisa meninggalkan kami berdua. "Bayangin. Gue, lo, si kembar, sky diving di Sumbawa. Sebelum gue bawa ide ini ke Deer Hunter, kita tes dulu berempat bakalan aman atau nggak. Kalau aman, kita cari aktivitas lain yang lebih nggak aman. Lo ikut, kan?"
Aku mengambil tasku dari kursi dan bangkit meninggalkan dining hall. Alarik mengikutiku.
"Atau kita cobain wingsuit? Gue jarang denger orang pernah nyobain wingsuit dan pas gue lihat video-videonya, kayaknya seru. Kita nanti pakai baju yang ada sayapnya, kayak sayap tupai terbang. Jadi rasanya bener-bener kayak terbang... menurut lo gimana, Thin? Seru, nggak?"
"Seru. Apalagi kalau sayap lo ternyata bolong terus lo jatuh ke laut dan jasad lo nggak bisa ditemukan karena udah dicabik-cabik sama hiu duluan. Gue doain supaya arwah lo diterima dengan tenang di neraka."
Alarik menahan lenganku agar aku berhenti berjalan dan memutar tubuhku untuk menghadapnya. "Lo marah sama gue?"
"Enggak. Kok, lo bilang gitu?"
"Soalnya lo balik lagi jadi diri lo yang selalu sewotin gue. Padahal kalung di leher lo dan leher gue harusnya udah ngasih tahu kalau kita sekarang temenan, kan?" Alarik mengeluarkan kalung Deer Hunter yang memeluk lehernya dari kemejanya.
"Temen pun nggak selalu akrab, Rik. Ada pasang surutnya."
"Memang surut kita apa? Gue habis ngapain sampai bikin lo jadi sewot sama gue? Perasaan terakhir ketemu, kita baik-baik aja. Malah seingat gue, lo bilang lo pingin main lagi bareng gue sama si kembar, kan?"
"Gue berubah pikiran."
"Athina..." Alarik membawaku dan menyandarkan tubuhku ke tembok dengan lembut. Satu tangannya ia taruh di tembok untuk menghalangi jalanku. "Kenapa lo marah sama gue?"
"Kenapa lo peduli? Kan, lo bisa ajak cewek lain buat main. Nggak harus gue, kan?"
"Cewek lain? Lo ngomongin siapa?" Aku melirik ke arah si kembar dan cewek misterius itu pergi. Alarik mengikuti. "Maksud lo Honey?"
Namanya memang Honey atau itu adalah panggilan sayangnya dari Alarik?! "Memang ada yang lain? Oh, pasti ada, sih. Namanya juga Alarik."
"Memang Alarik kenapa?"
"Kayaknya Alarik bisa jawab sendiri." Konyol banget deh kami jadi ngomongin dia pakai kata ganti orang ketiga. "Minggir, gue mau masuk kelas."
"Lo cemburu sama Honey, Thin?"
Aku ingin bilang nggak, tapi foto-foto kami yang nggak jadi aku perlihatkan padanya berkata lain. "Kalau iya, lo mau apa?"
Alarik menarik tangannya yang menghalangi jalanku. "Lo... suka sama gue?"
"Gue..." Aku teringat sama perhatian Mickey selama ini, persahabatan kami, rasa nyaman yang aku rasakan ketika dekat dengannya, dan rasa panas-dingin yang meledak-ledak tiap kali berada di dekat Alarik. "Mungkin suka, mungkin juga nggak. Gue nggak tahu, Rik. Tapi, lo nggak usah khawatir. Gue nggak akan biarin perasaan suka—kalau memang gue suka—buat lo ini tumbuh."
"Kenapa?"
"Karena nggak make sense! Karena selama ini, gue nggak suka sama lo. Gue sukanya main sama Mickey. Makanya nggak make sense, gue sama lo baru sering jalan akhir-akhir ini, tapi gue jadi nggak bisa berhenti mikirin lo dan gue bilang nggak waktu Mickey bilang dia suka sama gue. Padahal Mickey pasti bisa bikin gue seneng."
"Mike nembak lo? Finally, itu orang punya keberanian juga. Gue pikir sampai bangkotan dia bakal ngintilin lo doang kayak puppy." Alarik ketawa. "Sori, gue nggak maksud ngatain temen lo. Gini, coba lo ingat-ingat apa yang lo omongin tadi; lo suka main sama Mike dan Mike pasti bisa bikin lo seneng. Tapi nggak sekali pun lo bilang kalau lo suka sama Mike. Case closed, dong? Lo nggak suka sama dia, lo memang nggak harusnya nerima dia. Yang lo pusingin apa?"
Kenapa gue nggak suka sama dia aja, kenapa gue malah suka sama lo! Lo bukan siapa-siapa! "Tentang perasaan gue ke lo, lupain aja. Mungkin sebenarnya, gue nggak suka sama lo, tapi gue suka sama kegiatan yang kita lakuin. Lo tenang aja. Gue nggak akan biarin gue jadi suka beneran sama lo."
"Untuk orang yang tadi bilang kalau dia nggak tahu sama perasaannya sendiri, lo cukup self aware sama apa yang terjadi ya, Thin?" Alarik mengajakku duduk di bangku-bangku kayu panjang yang ada di koridor. "Gue juga tertarik sama lo, Athina."
"Nggak mungkin."
"Kenapa nggak mungkin?"
"Soalnya kita beda banget, Rik!"
"Tapi lo tertarik sama gue." Siapa juga yang nggak tertarik sama lo? "Kalau ini semua ada hubungannya sama kepercayaan diri lo, jangan merendahkan diri lo kayak gitu. Lo nggak culun karena milih cokelat aja ribet. Gue udah bilang kan kemarin? Menurut gue, lo bisa melakukan apa pun." Alarik mengambil tanganku, memainkan friendship bracelet di pergelangan tanganku. "Daripada lo langsung matiin perasaan lo buat gue, mending lo cari tahu. Gue juga maunya begitu. Gue pingin tahu perasaan gue buat lo ini ujungnya gimana. Kita bisa mulai dengan sering main bareng supaya bisa kenal lebih dekat. Lo mau, nggak?"
Maksud dia tuh PDKT, kan? Biasanya proses itu kan bisa langsung dijalankan tanpa meminta konsensual dari pihak lawan. Tapi mungkin karena aku anti crazy dan dia....
"Tuh kan, lo kebanyakan mikir lagi. Nggak usah mikir, Thin! Apa sih kekurangan dari saran gue? Banter-banter gue yang kecewa karena lo ketemu cowok yang lebih oke dari gue." Alarik tersenyum melihatku ketawa. Omongannya nggak mungkin banget. Yang ada situasinya akan terbalik. "Gini aja. Lo mau ke kelas atau mau makan siang?"
"Ke kelas."
"Gue antarin, ya?" Alarik menawarkan tangannya. "Kalau yang sesimpel ini masih lo ribetin, gue nyerah, Thin."
Akunggak bisa menahan senyumku dan menerima tawaran juga tangannya