Oktober ✔

By Refstar

697 122 23

Silakan Folow Dulu Sebelum membaca!! Sesuatu telah terjadi hingga merenggut kebahagiaan lima tahun yang telah... More

Prolog
Bagai Pelangi Setelah Hujan
Awal Bernostalgia
Kekurangan di Balik Kelebihan
Rasa Bersalah
Fakta Masalalu
Datangnya Murid Baru
Pesan Mengejutkan
Ancaman
Nasehat Nenek
Sarkas Untuk Vita
Senin Pertama Oktober
Tenggelam Dalam Andala
Tidak Diinginkan
Pengakuan Erick
Good Bye, Erick
Maaf Dari Bian
Status Bian
Kabar Baru Erick
Ketahuan
Wanita Hangat
Malam Tahun Baru
Lulus
Kehidupan Setelah Wisuda
Bertunangan
Dia yang Berhati Lapang
Beruntungnya Memiliki Dia.
Suara Lemah Gery
Oktober Kembali Membawa Pergi
Epilog

Kaya Ilmu Akhirat

6 2 0
By Refstar

Dia kaya akan ilmu akhirat, sedangkan aku miskin ilmu akhirat dan dunia.

.Reya Prianca Mehra.
.
.
.
Happy Reading...
.
.
.

Waktu mengerjakan ujian berakhir. Kami bertigapun telah selesai. Ujian terakhir kami adalah fisika. Masih banyak murid di dalam kelas. Mereka masih mengerjakan walaupun waktu telah habis. Mata pelajaran ini sebelas dua belas dengan matematika, jadi ada banyak anak murid yang tidak suka dengan mata pelajaran ini.

"Lo pulang sama siapa, Re? Gue sendiri nih." hampir setiap hari Septiya mengajukan dirinya untuk menjadi sopirku sepulang sekolah-semenjak kepergian Erick. Walaupun dia tahu jika sudah tiga minggu aku pulang dengan Bian.

Aku menggeleng. "Gue mau pulang sama Bian kayaknya."

"Aku lihat-lihat kamu dekat, ya, sama Bian sekarang," kata Nea yang ada di sebelah kananku. Kami sudah keluar dari kelas, dan menuju tujuan masing-masing untuk pulang.

Aku yang mendengarnya mendadak tersenyum simpul. Sudah tiga minggu berlalu, tapi Nea baru menanyakannya hari ini. "Lo udah berapa lama lihat gue dekat ama dia? Nanyanya kok malah sekarang," sindirku menatap datar ke depan.

"Aku merasa takut saja buat nanya," gumannya menggaruk kepalanya.

"Kenapa? Lo cemburu?" godaku padanya yang kini tampak memutar mata.

"Bukan begitu! Aku ngerasa aneh aja gitu, kemarin kamu sama Erick sekarang kamu malah sama Bian." hatiku mendadak nyeri ketika ucapan itu keluar dari mulut polos Nea. Jangankan orang lain, sahabatku sendiri seakan merasa aneh dengan hubunganku dan Bian. Walaupun mereka tidak tahu aku dan Bian sudah berpacaran sekitar satu bulan yang lalu.

"Kami cuman menjaga amanah aja, kok, Ne. Erick yang minta." kulihat Nea menganggukkan kepalanya paham. Tumben dia tidak bersikap lola sehari ini.

"Bilang aja lo iri. Lo kan juga suka sama Bian." Septiya bersuara, ia memilih berdiri di samping kiriku setelah lama berjalan sendiri di belakang. Mereka pasti belum sadar jika aku tengah tersinggung dengan ucapan Nea barusan.

Nea menatap tajam Septiya. "Aku memang suka sama dia, tapi maaf, aku lebih suka sama orang yang selama ini aku kagumi. Dia cuma sebatas pengalihan aku aja, kok. Bisa dibilang aku juga salah satu fans-nya." Nea beralih menatap ke arahku yang tepat ada di tengah-tengah. "Aku cuman mau bilang, jangan sampai kamu jatuh cinta, Reya. Karena sosok Bian itu begitu cepat menjelma menjadi dambaan hati wanita," lanjutnya kemudian.

Aku tersenyum masam. Padahal, aku begitu ingin hatiku menetap pada sosok Bian, agar ia bisa menghapus bayang-bayang Erick di pikiranku.

Walaupun sudah tiga minggu interaksi kami berjalan layaknya orang pacaran, tapi sungguh, hatiku masih belum bisa terbuka untuknya. Bahkan hanya sedikit.

Akhirnya kamipun sampai di tempat parkir. Di sana sudah kulihat Bian yang menunggu dengan bermain benda pipih mahal miliknya. Nea dan Septiya masih saja beradu argumen dengan topik yang baru saja kami bahas-tentang hubunganku dan Bian.

"Gue duluan, ya. Hati-hati di jalan nanti," pamitku pada dua orang yang paling random di dunia itu.

"Iya, Reya, kamu juga, ya." Nea melambaikan tangannya saat aku mulai menjauh darinya. Dengan senang hati aku membalas lambaian itu. "Bian! Aku tadi titip salam sama Reya. Hati-hati ya, Bian!" Teriaknya memanggil Bian yang lumayan berjarak darinya.

Pria yang tengah duduk di motor bongsor itupun tersenyum ketika mendengar ucapan tidak berbobot Nea.

Nea dan Septiyapun melesat dari parkiran setelah satu menit berlalu. Kini akupun berdiri di samping motor Bian. Menunggu ia yang kini bergerak hendak mengeluarkan motornya dari parkiran yang sangat padat dengan motor murid lain.

"Kamu ingin pergi ke suatu tempat sebelum pulang?" tanya Bian yang belum menghidupkan motornya.

Aku yang masih di tempat parkirpun semakin mendekat padanya. Rasanya aku ditarik ke masa lalu bersama Erick. Masa lalu? Bagiku iya, karena itu sudah berlalu. Setelah ia pergi, tidak ada lagi singgah di taman kota ataupun tempat yang lainnya setelah pulang sekolah. Hal ini hanya bisa membuat nyeri di dadaku. Rasa rindu kembali menyelimuti.

"Tidak ada. Untuk apa pergi ke suatu tempat?" tanyaku memancingnya untuk mengutarakan alasan.

Aku dan Bian masih belum beranjak dari lingkungan sekolah. Bian tidak menghidupkan motornya akupun tidak memintanya untuk cepat pergi dari sini.

"Ini adalah hari terakhir kita melakukan ujian, bukan?"

"Lalu?" Tanyaku kebingungan.

"Apakah kamu tidak ingin merayakannya?"

"Untuk apa? Aku belum melihat hasil dari ujianku. Aku akan merayakannya jika aku mendapat juara satu," candaku diakhiri kekehan.

Bian tersenyum tipis. "Itulah kekurangan seseorang. Mereka hanya akan mengapresiasi sebuah hasil dari kerja keras mereka." Bian kembali tersenyum ke arahku. Lalu kembali melanjutkan, "Seharusnya kita juga mengapresiasi sebuah perjuangan dari sebuah tujuan. Kamu harus lihat di luar sana, banyak orang yang tidak melakukan ujian karena tidak diperbolehkan guru jika uang bulanan tidak lunas. Sedangkan kita? Perjuangan kita dalam hal apapun pasti sangat banyak, hanya saja mendadak down saat menemukan hasil yang tidak sesuai keinginan." tutur Bian panjang lebar. Aku baru tahu jika Bian, lelaki tampan lagi baik itu sangat sebijak ini dalam menguraikan motivasi dan kata-kata.

"Apakah selama ini kamu tidak pernah memberi apresiasi dirimu?" aku menggeleng. Tidak ada. Aku merasa berjuang hanya saat bersama Erick, yaitu dalam hubungan kami. "Karena apa? Apa karena hasil yang tidak memuaskan?" aku mengangguk. Benar. Aku telah berjuang satu tahun bersama Erick, tapi aku malah dipertemukan dengan takdir yang sangat tidak mendukung.

Bian tersenyum lebar padaku. Senyuman yang mampu menelan pupil matanya. Senyuman yang sangat indah. "Lihatlah kedua orang tuamu, cobalah tanya mereka tentang bagaimana perjuanganmu. Baik itu bersama mereka maupun tanpa mereka." aku terenyuh, ucapan Bian malah menciptakan rasa rindu di hatiku. Baru kusadari jika aku memiliki sebuah perjuangan selain dari bersama Erick. Hal ini membuatku sangat ingin mengapresiasi diri di suatu tempat.

"Ya, aku tahu itu. Mari temani aku ke sesuatu tempat untuk memberi apresiasi diri!"

000

Motor besar milik Bian berjalan memasuki jalan setapak. Sesuai intruksiku yang menunjukan ke mana arah jalan yang akan kami tuju. Sampailah kami. Di sebuah pagar gang besar dengan papan kecil bertuliskan TPU.

"Kita ngapain di sini, Re?" dengan wajah bingung Bian bertanya padaku.

Aku tersenyum "Mengapresiasi diri," jawabku lalu berjalan lebih dulu memasuki gang pemakaman.

Langkah kakiku terus menyusuri pemakaman. Walaupun jarang masuk ke sini, aku tetap tahu di mana letak makam mama dan papa. Karena aku dan nenek selalu ke sini ketika akan menuju bulan ramadhan.

Langkah kakiku berhenti, menatap nanar ke arah dua pusara yang diberi ubin berwarna. Terlihat di sana dua nama orang yang paling sangat aku rindukan setiap hari.

Tanpa aku sadari Bianpun telah sampai dan berdiri di samping kananku. Ia tampak masih kebingungan menatap pusara yang ada di depannya. Dilihat dari tahun wafatnya, pasti Bian berfikir jika ini sudah sangat lama.

"Ini siapa, Re?"

"Tadi lo bilang buat lihat kedua orang tua gue, kan? Buat lihat seberapa besar perjuangan gue. Trus gue bakal mengapresiasi diri," ujarku menatap ke arah Bian yang juga tengah menatapku. Ekspresi bingung masih melekat di pahatan wajahnya. "Sekarang gue udah melihat mereka. Gue juga udah sadar kalau gue udah banyak berjuang tanpa mereka selama dua belas tahun tahun." aku melanjutkan kalimatku. Kulihat Bian masih belum ingin berbicara.

"Bian, gue rindu banget sama mereka," tuturku dengan nada datar. Tidak ada nada kesedihan atau minta dikasihani.

"Reya, orang tuamu..."

"Sudah tidak ada," potongku sebelum Bian menyudahi ucapannya. "Mereka sudah tidak ada dua belas tahun yang lalu." aku tersenyum simpul menatap ke arah kedua pusara itu.

Kududuki badanku di sisi makam mama. Mengusap batu nisan yang tampak indah dengan nama yang sangat singkat.

Bian yang sedari tadi berdiripun ikut duduk di sampingku. "Reya, kamu memang pantas mengapresiasi dirimu. Aku pikir selama ini orang tuamu tidak di rumah karena ada urusan. Pantas saja aku selalu hanya melihat nenek," ungkapnya tenang.

"Reya, aku selalu melihatmu dengan ekspresi yang terlihat sedih dan datar." Bian kembali melanjutkan ucapannya yang terjeda beberapa detik. "Apa hal inilah penyebabnya? Aku jarang melihatmu tersenyum dengan tulus. Setahuku, mereka yang tersenyum tulus akan menciptakan kerutan di kelopak mata, tapi hal itu berbeda darimu," ujarnya kembali berucap.

Aku menatap Bian yang juga tengah menatapku, lalu berujar, "Mungkin saja, karena semenjak mereka ninggali gue, gue jadi pribadi yang keras dan tegas. Tidak menangis saat sedih tapi bakal tergugu saat marah." aku menatap lurus ke arah pusara papa. Lelaki pertama yang kukenal, lelaki yang paling menyayangiku. Akan tetapi kini ia telah pergi. Ia hanya mampu menyayangiku dari jauh. Matahariku tak lagi bisa menyinariku dari dekat.

"Gue ngerasa dunia ini nggak adil. Semuanya pergi dan menghilang ketika ada di genggaman gue."

Kudengar bian berdeham. "Kamu bawa hijab?" aku menggeleng dengan alis menukik bingung. Bian mencari sesuatu di dalam tasnya. Jaket. Ia memberikannya padaku yang langsung kuterima tanpa tahu untuk apa. "Tutupi kepalamu! Mari kita berdoa buat ayah dan ibu." aku terenyuh. Bian, begitu membuat aku merasa seperti sampah yang sangat bodoh dalam hal ini. Dia kaya akan ilmu akhirat, sedangkan aku miskin ilmu akhirat dan dunia.

000

Continue Reading

You'll Also Like

47.7M 1.3M 37
Zoe is a rogue who is forced to attend a school for werewolves for a year thanks to a new law. There she meets her mate, a certain Alpha who holds a...
19.9M 603K 42
"Give me your hand." He ordered and i looked at him confused. He sighed before taking my left hand. I gasped when he suddenly put an engagement ring...
113K 4.2K 39
What the mind forgets; the heart remembers. You're always there to lift me up. I don't have a friend, everyone hates me, but you chose to be with me...