Dari siang hingga petang, Elia setia menunggui penanganan luka Adrian di bagian emergency. Ia tengah terduduk pada sebuah bangku di lorong rumah sakit. Kepalanya bersandar pada dinding sedangkan jarinya terus bertautan gelisah.
"Elia!"
Seruan kecil disertai suara derap langkah kaki bersusul-sulan membuyarkan lamunan Elia. Elia pun menoleh lalu melihat mertuanya; Linda dan Tommy, juga tante Adrian - Marissa beserta sang suami - Theo, sedang berjalan cepat menuju tempatnya duduk.
Elia langsung berdiri menyambut kedatangan keluarga dari suaminya tersebut.
"Mami..." Elia menggumam dengan membendung perasaan setengah lega. Ia lantas memeluk Linda yang tiba pertama di hadapannya.
Linda dan Tommy sebelumnya memang tengah berada di Paris. Begitu mendengar kabar dari Elia bahwa Adrian terluka hingga masuk rumah sakit, mereka segera terbang menyusul ke Florence ditemani oleh Marissa dan Theo.
"Gimana keadaan Adrian?" Linda melepaskan pelukan singkatnya lalu buru-buru menanyakan keadaan sang putra. Terpampang jelas raut cemas di wajah cantik Linda yang tak lagi muda.
Tak ingin memperlama kegamangan sang mama mertua, Elia pun segera menjawab.
"Kak Adrian masih diperiksa di dalam, Mi. Tapi tadi dokter sempat bilang ke Elia kalau dari pemeriksaan awal enggak ditemukan cedera fatal. Dan ini baru selesai CT scan untuk lihat apa ada kemungkinan fracture di kepala atau trauma saraf" Elia berucap.
"Oh... such a misfortune... " Linda sontak mendengus khawatir. Ia mengepalkan tangan di depan bibir dan berganti memijat-mijat dahinya.
Melihat keresahan Linda, Marissa berinisiatif maju demi meredakan kepanikan iparnya tersebut. Ia meletakkan jemari di bahu Linda dan menatap bergantian pada Elia. "Semua akan baik-baik aja, aku yakin Adrian bisa melewati semua ini" kata Marissa optimis.
Keoptimisan Marissa ditanggapi Linda dengan anggukan kecil dan memasang raut tegar. Setelahnya Tommy juga menunjukkan kepercayaan bahwa sang putra tidak sedang dalam kondisi yang mengancam jiwa.
"Betul kata Marissa. Ini cuma insiden kecil. Ini bukan apa-apa bagi Adrian. I know him, it just a piece of piss" giliran Tommy berkata begitu yakin walau terkesan agak meremehkan.
Tak ada yang berani mendebat Tommy dan semua hanya mengamini dalam hati.
"Kita harus tenang. Yang terpenting sekarang kita harus berdoa buat Adrian" Marissa kembali berucap untuk memberikan dorongan semangat pada kerabatnya yang tengah tertimpa kemalangan.
.
Menit demi menit berlalu. Sejak kedatangan sang mertua, Elia cukup terbantu dalam mengurus keperluan Adrian di rumah sakit.
Dan tak lama kemudian seorang perawat dengan clipboard di tangan tampak berjalan pelan menghampiri Elia dan keluarga Adrian yang tengah berkumpul.
"Keluarga pasien atas nama tuan Adrian Axman?" sang perawat memastikan kesesuaian identitas penerima informasi yang akan ia sampaikan.
"Kami, suster" Tommy menyahut membenarkan.
Dan perawat tersebut menjelaskan bahwa proses pemeriksaan Adrian telah selesai dan mereka bisa menemui dokter untuk mengkonsultasikan hasilnya.
.
*
.
"Halo, saya Ignazio Romagnoli" dokter spesialis yang menangani Adrian memperkenalkan diri.
"Senang bertemu Anda, dokter" Tommy jadi yang pertama menjabat tangan dokter senior yang berkacamata dan berkepala plontos tersebut.
"Senang bertemu, silahkan duduk" dokter Ignazio mempersilahkan Tommy lalu diikuti Linda duduk pada sepasang kursi di depan mejanya.
Di belakang Tommy dan Linda: Elia, Marissa, tak ketinggalan Theo juga masih ikut mendampingi.
Kemudian dokter Ignazio mulai menjelaskan temuannya dari hasil pemeriksaan kondisi Adrian yang tengah mengalami cedera kepala.
"Untuk hasil pemeriksaan tuan Axman hasilnya cukup melegakan. Kami membutuhkan waktu lebih lama untuk mendapatkan hasil pemeriksaan CT Scan, tapi sejauh ini dari hasil radiologi tengkorak kami tidak menemukan retakan di tempurung kepala" dokter Ignazio berkata sembari meneliti hasil x-ray bagian kepala Adrian.
"Untuk hasil yang lebih rinci dan menyeluruh akan kita ketahui besok. Diharapkan tidak ada cedera yang serius pada neurocromanium, otak maupun saraf tuan Axman. Tuan Axman hanya menderita cedera kecil berupa laserasi di area pelipis yang mana sudah kami tangani. Dan selebihnya diharapkan semua akan baik-baik saja" Dokter Ignazio menengadah usai melihat-lihat lembaran x-ray film di tangannya lalu tersenyum bergantian pada anggota keluarga Adrian.
Raut lega terbit bersamaan dari wajah Tommy dan semua yang ada di ruangan. Tommy pun mengangguk merasa lebih tenang.
"Putra anda baik-baik saja Pak, tidak perlu cemas" dokter Ignazio menambahkan kabar baik pada Tommy.
"Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan? Tidak ada cedera fatal?" Tommy memastikan ulang.
"Seharusnya begitu. Observasi sampai detik ini Tuan Axman dalam kondisi stabil, tidak menunjukkan adanya trauma yang berat" balas dokter Ignazio.
"...what a relief" Marissa dibelakang menghela nafas lega.
"Terima kasih, Tuhan" Linda juga turut tersenyum kemudian meremas tangan Elia yang berdiri disampingnya sembari mengerling gadis itu lembut.
"Namun kami anjurkan Tuan Axman beristirahat penuh malam ini dan baru bisa dikunjungi besok pagi" dokter Ignaz menyambung lagi.
"Tentu dokter, kami paham" Tommy mewakili menunjukkan rasa mengerti.
*
Setelah mengetahui bahwa Adrian dalam kondisi baik, tentu perasaan semua orang sudah setingkat lebih tenang. Walaupun belum bertemu langsung dengan Adrian, tapi pastilah hal tersebut sudah cukup dari apa yang ingin mereka dengar.
Saat berjalan di lorong rumah sakit, Linda menghentikan langkahnya dan memutar tubuh untuk bicara menghadap Elia.
"Elia, kamu pasti lelah. Dari tadi siang kamu sudah tunggu Adrian disini. Kamu belum makan, kan? Kita istirahat di hotel dulu ya, biar Papi sama Om Theo yang stand by" Linda menatap Elia lalu mengerling suaminya dan Theo yang berjalan di depan.
"Elia enggak apa-apa, Mi" Elia membalas menenangkan. "Cuma baju Elia aja yang kotor, Elia sepertinya harus ganti baju" Elia berkata lalu Linda spontan mengamati area bahu dress Elia yang terkena darah Adrian.
"Kamu enggak usah balik ke vila. Mami sudah booking-kan satu kamar di hotel tempat Mami menginap. Kita bisa beli baju buat kamu di sekitar sini. Gimana?" ujar Linda menawari agar Elia tak perlu repot-repot pulang ke Tuscany.
Elia masih mempertimbangkan tawaran Linda.
"Jangan sampai kamu jatuh sakit karena kelelahan. Kamu kelihatan sekali pucatnya. Ayo beberes di hotel dulu" dengan nada lebih tegas Marissa membujuk Elia untuk lekas beristirahat. Elia memang tak bisa lagi menyembunyikan raut lelahnya. Mata gadis itu bengkak dan wajahnya sayu.
Elia akhirnya tak ingin menolak dan bersedia menuruti ajakan Linda dan Marissa. Ketiganya lalu bergegas menuju hotel di dekat rumah sakit juga menyempatkan berbelanja kebutuhan pakaian untuk Elia kenakan.
.
*
.
Elia telah selesai mandi dan berganti baju baru. Ia masih berada di kamar tidur hotel ketika Linda tiba-tiba saja mengetuk pintu kemudian masuk ke dalam.
"Hai sayang" Linda menyapa Elia yang tengah menyisir rambut panjangnya.
"Ada apa Mi?" tanya Elia seraya menengok Linda.
"Boleh kita ngobrol sebentar?" Linda meminta ijin untuk berbincang sejenak dengan Elia di dalam kamar.
Elia tak menolak dan mengangguk menyambut permintaan Linda. "Tentu boleh" jawab Elia.
Elia dan Linda duduk memposisikan diri dengan nyaman di atas ranjang. Linda mengawali perbincangan dengan mengulas senyum. Ia lalu meraih pergelangan tangan Elia dan meneliti ruam samar yang masih tersisa pada kulit putih Elia.
Linda terus memandang iba pada Elia. Ia telah mengetahui asal-muasal penyebab Adrian berselisih paham dengan Garry hingga harus berakhir di rumah sakit. Bahkan ia sudah mengetahui prahara yang sebenarnya terjadi dalam rumah tangga Adrian dan Elia.
"Elia-" Linda melirih lembut.
Elia termangu dan menunggu Linda melanjutkan kalimatnya.
"Mami mewakili Adrian meminta maaf sama kamu" Linda berucap sungguh-sungguh.
Elia membuka sedikit bibirnya namun lalu merapatkannya lagi. Ia tak menyangka sang mama mertua akan bicara empat mata dan bersedia merendahkan hati meminta maaf padanya.
"Enggak ada yang bisa dibenarkan dari perbuatan Adrian ke kamu. Maaf ya, sayang" Linda berkata ikut menyesal.
"Mami enggak perlu minta maaf sama Elia" Elia justru merasa tak tega kala melihat wajah Linda berangsur makin sedih.
Linda lagi-lagi tersenyum diiringi mengusap-usap punggung tangan Elia. Linda pun menerawang kemudian bercerita.
"Adrian itu ambisius sekali orangnya. Mami aja selalu kalah debat sama dia. Segala cara Adrian tempuh untuk meraih keinginannya. Tapi mami enggak pernah sangka dia akan berbuat sejauh ini sampai menyakiti kamu, merugikan diri dia sendiri bahkan mengacaukan rumah tangga kalian..." Linda menggeleng tak habis pikir. "Pasti berat untuk memaafkan dia" dengus Linda tak lepas menatap sendu pada Elia.
Elia menunduk demi menghindari tatapan Linda. Ia memilih diam mendengarkan Linda yang tengah berbicara dari hati ke hati.
"Apa kamu masih ingin melanjutkan pernikahan kamu dengan Adrian?" Linda bertanya.
Elia seketika menengadah usai mendengar Linda menyinggung nasib rumah tangganya.
"Mami... itu-" Elia menggumam gugup. Ia jelas belum sanggup memberi kepastian pada Linda. Luka hatinya masih belum sepenuhnya sembuh untuk bisa menerima Adrian. Ditambah apa yang terjadi belakangan semakin mengombang-ambingkan perasaannya.
"Jangan salah paham. Mami enggak ingin mendesak kamu memaafkan Adrian. Sekalipun Adrian adalah putra mami dan mami sangat senang mempunyai kamu sebagai menantu mami, tapi setelah mengetahui semua ini-" Linda memutus kalimatnya dan kembali menelisik bekas merah keunguan yang melingkari pergelangan tangan Elia.
"Mami enggak ingin membela Adrian. Karena apa yang Adrian lakukan adalah sangat-amat-salah. Mami bisa bayangkan kekecewaan kamu" Linda terus menunjukkan keberpihakkannya pada Elia.
"Mami hanya bisa berharap yang terbaik buat kamu" ucap Linda.
Elia memejamkan matanya. "Maaf Mi, Elia enggak bisa menjanjikan apapun untuk saat ini" Elia tak ingin memberi harapan muluk pada Linda.
Linda mengangguk maklum. "Mami paham. Apapun keputusan kamu nanti, semoga bisa membuat kamu menjalani kehidupan dengan lebih bahagia. Meskipun jujur saja, mami jauh lebih senang kalau kamu tetap menjadi menantu mami" Linda berkata pasrah sambil mengusap sisi kepala Elia selayaknya putrinya sendiri. Ia tak mempunyai anak perempuan. Sebenarnya ia senang dengan kehadiran Elia dan dengan sukarela menganggap Elia seorang putri yang ia idamkan.
Elia menarik satu sudut bibirnya. "Terima kasih atas pengertian Mami. Terima kasih Mami mau temani Elia disini" hanya segelintir rasa syukur tersebut yang mampu Elia utarakan pada Linda.
"Anytime, sayang. Sama-sama. Terima kasih juga sudah jaga Adrian hari ini. Pasti melelahkan ya?" balas Linda menyanjung ketegaran Elia dalam menghadapi hari yang cukup berat.
Elia hanya menanggapi kecil dengan memberikan Linda sebuah senyuman sungkan.
.
.
.
.
.
***
.
.
.
.
.
.
Next part, coming up soon...