بسم الله الرحمن الرحيم
.
.
.
.
.
Jangan lupa perbanyak istigfar dan sholawat!
Happy Reading!
=_=_=
"Makasih, Gus." Ning Zawna melepaskan tangannya dari bahu lelaki di depannya itu.
Gus Ghaazi yang masih terpaku, tak menyahut. Pandangannya lurus ke tempat Salwa berdiri tadi. Ada rasa ingin mengejar gadis itu untuk menjelaskan semuanya, tapi mengapa? Dia juga bukan siapa-siapanya.
Hanya gadis merepotkan yang selalu hadir mengacaukan hidupnya. Mungkin dengan ini ia akan terbebas.
"Gus, Gus, Gus Ghaazi liat apa?"
"Bukan apa-apa. Pakunya sudah kamu cabut?" Ning Zawna mengangguk.
"Ya sudah, ayo kita menyusul Abah sama Ummi."
Sebenarnya Gus Ghaazi enggan pergi ke sini, tapi Ummi Shafiyah membujuknya untuk pergi. Selain itu, ada sesuatu yang menariknya untuk pergi. Seperti ada janji yang belum ia tepati hingga membuatnya terngiang-ngiang.
Namun ingatannya masih samar, hanya siluet seorang gadis yang mengenakan hijab. Gadis itu pun acap kali menghampirinya dalam mimpi sembari menangis.
Tangisan yang teramat pilu, membuatnya sampai memukul kepala untuk sekadar mendapatkan sekelebat ingatan tentangnya yang mungkin tersembunyi di dalam tempurung kepala.
Menyusuri pasar malam, ia berhenti tepat di depan permainan lempar gelang. Lalu netranya tertuju pada sebuah boneka upin ipin yang tergantung sebagai hadiah.
"Mau main, Mas?" tanya bapak-bapak yang punya permainan.
Kepalanya menguruhnya untuk menolak, lain dengan hatinya yang mendorong berbuat sebaliknya.
Tangannya merogoh saku celana, mengambil selembar uang berwarna hijau yang di tukar beberapa gelang. Kali ini ia membiarkan hatinya mengambil alih.
Sepuluh gelang yang ia dapatkan, semuanya tepat mengenai sasaran.
"Wah, Mas-nya jago banget. Karena semua gelangnya berhasil masuk, ini Mas dapat boneka beruang paling besar!" Bapak yang mengenakan kaos hitam serta topi merah yang terbalik itu mengulurkan beruang putih besar.
Namun, Gus Ghaazi tak mengambilnya. Tatapannya tertuju pada dua boneka bocah kembar itu. "Saya boleh minta itu!"
Bapak itu pun menoleh, lalu kembali menatap Gus Ghaazi. "Itu lebih kecil dari ini, beneran nggak mau pilih yang itu?"
"Iya."
Bapak itu pun mengikuti keinginan pelangganya, memasukkanya dalam sebuah plastik hitam. "Terima kasih sudah bermain."
Gus Ghaazi mengangguk, kemudian lanjut menjelajah. Rencananya yang ingin menyusul kedua orang tuanya, tak jadi ia lakukan lantaran keduanya tengah asyik berkencan.
Langkah kakinya kembali terhenti, kala melihat sebuah gambar yang lagi-lagi tokoh kartun dari Negeri Jiran itu. Tanpa sadar tangannya meraih gambar yang terpajang di depan.
"Mas, ini di jual?" tanya Gus Ghaazi pada seorang bapak yang tengah memperhatikan anak-anak mewarnai.
"Oh, itu ... sebenarnya punya Mbak yang tadi ikut mewarnai di sini, cuma di tinggal. Katanya buat pajangan di sini."
"Boleh saya beli?" Entah kenapa warnai yang tertuang di sana begitu menarik baginya.
"Mas, ambil aja. Mbaknya tadi udah bayar kok."
Gus Ghaazi menggeleng, lalu mengeluarkan uang dalam sakunya. "Saya bayar, terima kasih."
Setelahnya Gus Ghaazi pulang, perasaannya jauh lebih baik kala melihat dua barang yang baru di belinya itu.
Sampai di ndalem, Ummi Shafiyah mengerutkan keningnya. Tak berapa lama bulu kuduknya ikut berdiri. "Ummi merinding liat kamu senyum-senyum sendiri."
Gus Ghaazi mengalihkan pandangan dari benda di tangannya. "Ummi?"
"Ndak nyadar Ummi di sini?"
Gus Ghaazi gegas menyimpan semua itu ke dalam plastik lagi, menyimpannya di dekat sofa.
"Apa yang membuat kamu tersenyum begitu lebar?" Ummi Shafiyah mendudukan diri di samping putranya.
"Bukan apa-apa, Ummi.
Tatapan Ummi Shafiyah berganti serius. "Ummi mau tanya tentang wanita yang kamu cerita kan kemarin, siapa dia?"
=_=_=
Tengah malam menjelang sholat tahajud berjama'ah, Gus Ghaazi yang sudah tak mengantuk memasuki ruang kerjanya.
Termenung sejenak sambil tangannya tak henti menggoreskan sesuatu di ataa kertas kosong. Sosok perempuan itu kembali menyambangi mimpinya.
Tangisannya masih sama, tapi yang berbeda suaranya kian menghilang. Seolah menggambarkan akan pergi jauh. Alhasil ia resah tak karuan. Berusaha mengingatnya sekeras mungkin, lantaran terselip rasa takut yang teramat mengakiti dadanya.
"Siapa sebenarnya kamu?" gumamnya.
Menghentikan goresan penanya, ia memegangi kepalanya. Berusaha menemukan puzzle tentang ingatannya yang hilang. Namun, netranya membulat sempurna kala menemukan sebuah kaligrafi nama yang baru saja di rangkainya.
"Sal ... wa? Kenapa nama dia ..., ah!" Gus Ghaazi tak sanggup melanjutkan kalimatnya, saat pusing menyerang.
Belum juga reda, suasana di luar tiba-tiba berubah kacau.
"Siapa yang hilang?" Ummi Shafiyah tergopoh berlari keluar seraya membenarkan letak khimarnya.
"Assalamualaikum, kami membuat gaduh, Ummi." Usna menyalami tangan Ummi Shafiyah di susul Jiana dan Agni.
Wajah ketiganya juga pucat. Ummi Shafiyah bergantian mengusap punggung mereka. "Tarik napas, tenangkan diri dulu supaya kita mencarinya dengan pikiran yang jernih. Insya Allah kita bisa segera menemukannya."
"Afwan, Ummi." Mereka menunduk lagi.
"Salwa mana? Kok ndak ikut kalian?"
"Mmm ... itu sebenarnya, Salwa yang hilang Ummi."
"Astagfirullahal'adzim, Salwa! Ayo cepat kita cari!" Ummi Shafiyah gegas memakai sendalnya. "Ghaazi ... istri kamu hilang!"
Gus Ghaazi berjingkat, mencoba mendengarnya lebih jelas apa maksud ucapan ibunya.
Keluar dari sana, ia gegas menghampiri Ummi Shafiyah. "Ummi bilang apa tadi?"
Ummi Shafiyah menarik napas panjang. "Salaa hilang, bantuin cari!"
Gus Ghaazi mengangkat sebelah alisnya. "Bukan itu,"
"Udah, sekarang bukan waktunya bahas itu. Salwa butuh bantuan kita!" Ummi Shafiyah menarik putranya yang masih berdiam diri.
"Kalian berpencar dan minta tolong semua santri."
"Na'am, Ummi."
"Ghaazi bisa jalan sendiri, Ummi."
"Ya udah, jalannya yang cepet. Ini masalah gawat tahu!"
"Ck, nyusahin."
"Heh! Ngomong apa barusan?" Ummi Shafiyah melotot.
"Kenapa Ummi harus sepanik ini?"
"Kamu lupa pas Salwa keluar pesantren hampir di bunu--" Ummi Shafiyah gegas menutup mulutnya. "Sesama muslim itu saudara, sudah seharusnya saling tolong menolong."
Gus Ghaazi terdiam, merasa ada hal yang ibunya sembunyikan.
"Ummi mau tanya, apa kamu merasakan sesuatu?"
Gus Ghaazi mengernyitkan dahinya, tak mengerti maksud pertanyaan ibunya.
Mereka mulai mencari ke sekeliling pesantren. Di belakang Ummi Shafiyah, Gus Ghaazi kembali mengingat kejadian aneh yang ia rasakan hingga membuatnya terlonjak bangun.
Memegang dadanya, ia sempat merasakan nyeri di sana. Sebenarnya tadi ia terbangun dengan napas sesak yang teramat sangat. Cukup lama ia tertegun dan baru tersadar ketika air mata jatuh ke tangannya.
"Biar cepet ketemu, kita pencar." Ummi Shafiyah mengusulkan opsi yang lebih efektif. "Kamu ke arah sana, Ummi sana!"
Gus Ghaazi tak terlalu memperhatikan ucapan ibunya. Pikirannya sedang ruwet.
Langkahnya yang lambat dan tak menentu, membawanya ke sebuah sumur tua di belakang pesantren. Suasana di sana teramat gelap.
Baru saja ia hendak melangkah pergi, tiba-tiba kakinya terasa berat.
"To-longgg ...."
_______
Tbc.
Spam 1K komen
Gus Ghaazi udah berusaha keras buat inget semuanya, cuma sulit banget.
Part depan ada bocoran si pelaku yang di cari sama Gus Ghaazi.
Em, mau tanya gimana caranya report cerita wp?
Jazakumullah khairan khatsiran.
Tetap jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan utama😊