"Zee bolehin papa nikah lagi."
Sean memandang kosong layar ponselnya setelah sebelumnya panggilan terhubung dengan Roy. Baru saja ia berbincang dengan anak semata wayangnya yang hampir tiga minggu tidak ingin bertemu papanya. Hanya bisa lewat panggilan.
Perkataan anak perempuannya kembali melintas di benak Sean. Menikah, bahkan setitik pemikiran tak pernah melintas untuk melangsungkan pernikahan apalagi dengan Zea yang masih tidak ingin menemuinya. Meletakkan ponselnya dengan kasar, Sean berdiri dari duduknya, berjalan menuju jendela besar di ruangannya.
Sean rindu putrinya
Zea menurunkan genggaman ponsel dari telinganya. Pandangannya jatuh ke bawah---memandang lantai marmer yang sedikit rerlihat bayangan dirinya yang tidak berekspresi. Satu bulan ini, Zea mencoba menyehatkan pikirannya dengan bantuan Mama dan Om Roy yang selalu di sisinya.
Zea kira hidupnya tidak serumit ini. Setelah kehilangan mamanya apakah papa juga akan direnggut oleh orang lain? Tidak, Zea tidak akan menyesal telah berkata demikian pada papanya. Zea ingin papanya bahagia, bukan hanya mengurusi dirinya yang penyakitan. Lagi pula siapa yang akan mengurus papa jika dirinya telah pergi dari dunia ini. Zea tidak ingin papa dan mamanya menangisi kepergiannya nanti.
Zea bukan gadis polos yang percaya jika penyakitannya bukanlah sesuatu yang bisa cepat di sembuhkan. Ia sakit dan itu parah, Zea tahu itu. Zea memejamkan mata sejenak. Zea akan kembali pada papa lagi karena mamanya bukanlah tempat dirinya pulang. Walaupun Zea selalu mengiyakan saat mamanya berkata jika mama selalu ada disisinya tapi Zea tahu diri, ia bukan lagi prioritas mama.
Zea mengangkat pandangan ketika suara ketukan langkah kaki mendekat ke arah nya. Zea menerbitkan senyum pada mama dan Om Roy.
"Zea mau pulang, Ma."
Perrkataan Zea tanpa basa basi membuat Mama sedikit tersentak. Om Roy pun hanya memandang Zea lekat.
"Pulang?" Om Roy membeo.
"Iya, Zea mau pulang ke rumah papa." ulang Zea.
"Boleh, kemanapun adek pergi, Mama akan selalu nunggu adek kembali datang ke Mama lagi." Iriana memandang sendu putrinya.
"Zea juga udah lebih baik, Zea gak perlu lagi ke psikolog." Om Roy mengangguk.
"Dokter juga sudah bilang kalau Zee udah sehat, gak masalah untuk berhenti." kata Om Roy.
"Tuan sedang berada di kediaman Bu Tari, nona."
Zea tampak kaget mendengar penuturan mba Alin, tak lama ia kembali menormalkan ekspresinya.
"Persiapan pernikahan?"
Alin mengangguk ragu, "Saya dengar jika malam nanti upacara lamaran di kediaman Bu Tari."
Zea tersenyum getir, "Papa pasti bahagia." gumam Zea yang masih bisa di dengar Mba Alin dan Miko. Padahal baru beberapa hari yang lalu, Zea berbincang lewat telfon jika ia mengizinkan jika papanya menikah kembali.
"Nona." Alin ikut merasakan kehampaan dari seorang gadis yang ia jaga sedari kecil.
"Mba gak perlu khawatir, Zea bahagia sangat bahagia." kata Zea tanpa menoleh ka arah mba Alin.
"Ke rumah nenek aja, uncle."
"Baik, nona." Miko menjawab.
Setibanya di kediaman kakek dan neneknya, Zea disambut begitu hangat. Nenek yang membawa Zea dalam dekapan hangatnya. "Cucu nenek, baik-baik saja, sayang?" tanya Nenek sembari menatap cucunya lembut.
Satu isakan lolos dari bibir Zea, "Zee baik, nenek." balas Zea terbata-bata. Niami ikut mennagis melihat cucunya yang semakin ringkih.
Jothen membuang muka betapa menyedihkan cucunya. Tora beserta istrinya pun juga berada ditempat yang sama. Sani mendekati keduannya, mengelus kepala keponakannya.
"Tidur disini ya, dek?" Sani ikut merasakan kesedihan gadis yang ia anggap layaknya putrinya sendiri.
"Iya, dedek disini sama nenek." melepas pelukannya, Niami menangkup pipi cucunya.
"Boleh?" lirih Ara. Niami mengangguk.
"Dedek gak tau harus kemana lagi, nenek."
Niami memejamkan mata, merasakan betapa bergetar hatinya mendengar penuturan cucunya yang penuh akan luka.
"Ini rumah, dedek. Dedek masih punya nenek, nenek selalu ada buat dedek." kata Niami lalu memandang suaminya yang menatap Zea lurus.
Jothen mendekat, langsung membawa Zea ke rengkuhannya. Mengecup pucuk kepala Zee dengan sayang. "Kakek sayang, dedek." bisik kakek penub makna.
"Pulang, rumah dedek disini."
Zea membalas pelukan kakeknya dengan erat, menumpahkan tangisnya di pelukan kakeknya.
"Terima kasih."
Zea memandang pantulan dirinya di cermin. Cantik, seperti penuturan orang lain jika dirinya layaknya duplikat papa dan sedikit campuran mama. Kini sebuah dress se-lutut sudah melekat indah di badannya. Dibelakangnya, mba Alin dengan sabar mengutak-atik rambutnya.
Tepat malam ini, lamaran papa akan digelar dan kakeknya meminta Zea untuk ikut. Dan sehari ini pula papa belum mengetahui jika ia sudah kembali dari kediaman Gantara.
"Sudah siap, nona." Mba Alin senyum menatap Zea.
"Anda terlihat cantik." Zea menarik ke atas sudut bibirnya.
"Dedek!"
Tante Sani muncul dari pintu kamarnya. "Cantik sekali." tante Sani mendekat.
"Perfect." decak tante Sani.
"Yuk turun, semua udah siap dibawah." ajak tante Sani. Mereka turun lewat tangga, dari atas terlihat jika keluarga yang lain sudah menunggu di ruang tamu.
Kevanno yang menyadari kedatangan Zee dan maminya segera mendekat. Menyodorkan lengan pada Zee. "Dedek tega biarin kakak sendirian." Zea terkekeh lucu lalu menyambut lengan Kevan dengan melingkarkan lengannya.
"Ck, si Kepan." dengkus Gara karena ia yang sendiri tanpa gandengan.
"Yuk berangkat."
Zea melihat semuanya. Raut wajah papa dan tante Tari yang terlihat begitu bahagia. Zea ikut tersenyum kecil. Memilih duduk di belakang dengan Kak Kevan dan kak Gara karena kursi depan pun sudah ditempati oleh saudara tante Tari. Sejenak melihat raut wajah kakeknya yang terlihat tak senang, Zea menghela nafas. Kakek pernah berkata jika lebih baik Papanya tidak menikah kembali.
Kevan menoleh pada Zea, tanpa diperintah Kevan menggenggam erat jari jemari adiknya yang terasa dingin. Memandang acara masih berlangsung, dan terasa begitu sakral.
"Mau minum?" tawar Kevan.
"Kakak aja." Kevan mengangguk tapi tidak beranjak dari duduknya.
"Kakek gak ada senyum." komentar Gara yang duduk disebelah kanan Zea.
"Kakek gak nonton lenong." balas Kevan masih menatap prosesi lamaran.
"Minimal ketawa."
"Senyum aja kagak, apalagi ngakak." dengkus Kevan.
Zea hanya mendengarkan. Sibuk dengan tatapannnya tang mengarah pada dua sosok yang saling memasangkan cincin. Papanya terlihat gagah dengan setelan batik dan celana hitam. Suara tepuk tangan riuh setelah pasangan tersebut memperlihatkan cincin dipakainya di hadaoan para keluarga dengan senyum mengembang.
Zea ikut bertepuk tangan, hingga pandangannya yang mengembun terkunci oleh netra milik papanya. Zea melempar senyum dengan genangan air mata yang entah papa menyadari atau tidak. Tanpa bersuara, Zea menggerakan bibirnya, berucap---
"Selamat, papa."
Apa yang harus Zea lakukan???