Halooo! Siapa yang nungguin update Yasfar dan Nika? 🥰
Jangan lupa vote dan komen banyak-banyak yaahh 💖💖
💫
Azan Subuh berkumandang sekitar lima belas menit yang lalu, dan Nika sudah menunaikan ibadah dua rakaatnya sekitar lima menit yang lalu. Sekarang, Nika yang masih mengenakan mukena, duduk di pinggir kasur.
Saat bangun tidur dan tidak menemui Yasfar di sebelahnya, Nika bertanya-tanya ke mana perginya laki-laki itu. Niat hati Nika untuk keluar mencarinya, tetapi rupanya Yasfar membawa cardlock kamar mereka, membuat Nika urung keluar. Justru, ponselnya yang tidak dibawa. Dibiarkan tergeletak di samping Nika saat tidur. Sekarang, Nika hanya bisa menunggu saja. Lagi pula, Nika tidak terlalu penasaran, palingan Yasfar sedang mencari angin atau nongkrong dini hari dengan sepupu-sepupunya.
Pikiran tentang Yasfar tersingkirkan, berubah memikirkan hal lain. Nika merogoh totebag yang ia letakkan di kursi rotan dekat jendela. Nika meraih botol plastik kecil yang berisi pil kontrasepsi dan kembali duduk di pinggir kasur.
Nika sudah minum dua pil ketika selesai berhubungan dengan Yasfar kemarin. Namun, Nika ragu-ragu, bingung, dan tidak yakin dengan aturan minum pil tersebut. Apakah hanya diminum saat selesai berhubungan atau memiliki jadwal rutin seperti minum obat biasanya?
Nika mengeluarkan kertas kecil yang terlipat dari dalam botol plastik berbentuk tabung itu. Ia ingin membacanya sekali lagi agar lebih paham. Sementara itu, Nika tidak sadar kalau pintu kamarnya sudah terbuka.
“Nika?” panggil Yasfar setelah menutup pintu.
Nika terlonjak kaget dan buru-buru bangkit, lupa mengangkut botol kecil yang ada di sampingnya. Botol itu malah tersenggol dan menumpahkan semua pil di dalamnya. Yasfar mendekat dengan kening berkerut, sementara Nika kelimpungan mengambil satu per satu pil di lantai dan memasukkan ke dalam tempatnya.
“Nika, itu obat apa?” tanya Yasfar amat penasaran dan khawatir sekaligus. Istrinya sakit apa?
Nika menoleh sesaat. “Eh, Yas, udah balik,” katanya terbata-bata, menyapa dan bukan menjawab pertanyaan Yasfar. Nika agak terkejut melihat kondisi wajah Yasfar, tetapi fokusnya kini hanya pada beberapa pil yang masih belum masuk ke tempatnya.
Belum selesai memasukkan semua pil, Yasfar sudah merebut botol di tangan kiri Nika dan langsung membaca bagian depannya. Yasfar sangat terkejut.
“Pil kontrasepsi? Kamu minum ini?” tanyanya dengan raut tak menyangka.
Nika menggigit bibir bawahnya sebelum menunduk dan mengangguk pelan.
“Kenapa kamu minum ini?” Suara Yasfar memberat, alamat akan mendekati sesak. Yasfar tidak bodoh untuk sekadar tahu alasan seorang perempuan meminum pil kontrasepsi, tetapi ia ingin tahu dari Nika langsung meskipun jawabannya pasti akan membuatnya kecewa.
“Aku belum mau hamil, Yas.”
Yasfar menghela napas berat. Seperti dugaannya. Sesak kini mulai merambat di dadanya. “Sejak kapan kamu minum ini?”
“Aku udah siapkan itu sebelum kita nikah dan aku mulai minum kemarin waktu kita berhubungan.”
Yasfar meringis sebab perih di wajahnya kembali terasa, melengkapi perih di bagian-bagian lain. Yasfar juga sebenarnya tidak ingin buru-buru menjadi orang tua, tetapi ia juga tidak berniat untuk menunda.
“Bukannya hal kayak gini semestinya didiskusikan sama-sama, ya?”
“Aku takut kamu marah,” balas Nika yang makin menciut. Rasanya ingin menghilang saja.
“Jadi, kamu bakal lebih oke kalau someday aku overthinking semisal kamu nggak hamil-hamil? Kalau aku mikirnya salah satu di antara kita mandul, gimana?”
Nika mengangkat kepala, menatap Yasfar dengan kedipan mata sendu. “Kok, kamu bilang gitu?” Nika agak meringis menatap lebih jeli pada beberapa lebam di wajah Yasfar, tetapi ia tidak berani angkat bicara soal itu.
“Ya, itu kemungkinan yang bakal aku pikirkan kalau kamu nggak jujur soal pil kontrasepsi ini.” Yasfar menghela napas, sadar kalau amarahnya mulai meninggi. “Kalau kamu emang belum siap, kamu bisa bilang, Nik. Aku bisa pakai pengaman atau sekalian kita konsultasi buat KB. Nggak usah diem-diem minum pil begini.”
Nika mengangguk, mengaku diri salah. “Iya, maaf.”
Mata Yasfar menatap Nika sesaat. Istrinya terlihat merasa sangat bersalah. Yasfar memilih untuk mengakhiri perdebatan dengan cubitan di hatinya. Sebagai orang yang telah sadar kalau dirinya memang menginginkan Nika, tentu saja Yasfar pun ingin hasil dari pernikahan mereka. Namun, jika memang menunda kehamilan yang Nika inginkan maka Yasfar hanya bisa pasrah dan menurut. Ia hanya tidak suka kalau Nika mengambil keputusan tanpa berdiskusi dengannya, padahal itu adalah untuk kepentingan bersama, kepentingan masa depan mereka bersama. Lagi pula, Yasfar tersadar kalau kesalahannya bahkan lebih besar dari sekadar menunda kehamilan dengan pil kontrasepsi.
Yasfar melunak. Ia membantu memasukkan beberapa pil yang Nika pegang ke tempat semestinya dan mengembalikan pada Nika. Sambil tersenyum tipis, Yasfar pun bertutur lembut, “Kasih tau aku kalau kamu mau atur jadwal buat KB, ya. Atau, kalau emang kamu lebih percaya pakai pil ini aja, aku boleh bantu kontrol, kan?”
Nika tersenyum. Benar kata hatinya berkata, bahwa Yasfar mungkin memang tidak memiliki perasaan apa pun untuknya. Jadi, ketika ia ingin menunda kehamilan, itu tidak akan masalah bagi Yasfar. Orang bilang, anak adalah buah cinta dari pasangan. Karena tidak ada cinta di antara mereka, maka kehadiran anak pun sepertinya tidak ada dalam rencana mereka.
Nika mengangguk dan menjawab, “Boleh.”
Yasfar mengusap rambut dengan jemarinya, sedikit meringis saat tidak sengaja menyentuh bagian pelipis yang terluka. Yasfar memandang Nika yang sedang sibuk menyimpan kembali pil kontrasepsi miliknya dan juga mukena yang sekarang sudah terlipat rapi.
“Kamu udah salat?” tanya Nika tanpa menoleh pada Yasfar sebab fokusnya pada lembar-lembar desain yang bercecer di meja rotan.
“Udah tadi di kamar Hengky.”
Nika mengangguk maklum. Benar, kan, dugaannya kalau Yasfar habis berkumpul dengan sepupunya. Saking yakinnya, Nika bahkan tidak ingat lagi dengan lebam di wajah Yasfar.
Yasfar duduk meraih ponselnya. Tidak begitu menarik apa yang tertera di ponsel, baik pemberitahuan di media sosialnya atau berita dari portal yang biasa ia kunjungi. Yasfar memilih memperhatikan Nika yang kembali duduk di kursi dan mulai mencoret-coret lagi. Tampak fokus dan tidak bisa diganggu. Wajah ayunya tersenyum tipis tanpa beban. Tidak seperti tadi ketika ketahuan minum pil kontrasepsi, terlihat ketakutan dan tegang.
“Kamu nggak mau nanya aku dari mana?” tanya Yasfar yang berhasil membuyarkan fokus Nika.
Nika mengangkat kepala, menatap Yasfar sedikit bingung. “Emangnya dari mana? Oh, ya, itu muka kamu kenapa?”
“Berantem sama Bara,” balas Yasfar jujur.
Respons Nika sekarang adalah tertawa kecil sebelum kembali menghasilkan coretan di atas kertas putih dalam pangkuan. “Kenapa? Soal Kila?”
Yasfar berdecak. “Urusan aku sama Bara bukan cuma soal Kila, ya.”
“Terus, kenapa?” Nika masih tertawa kecil, antara percaya dan tidak percaya.
“Yang jelas bukan soal Kila,” pungkas Yasfar terlanjur kesal.
Maksudnya memancing pertanyaan itu, agar Nika bertanya keadaannya, memperhatikannya, bertanya apakah lukanya sudah diobati atau belum, bertanya apakah masih terasa sakit atau tidak. Namun, Yasfar hanya bisa menelan pahit kenyataan kalau Nika tidak peduli padanya. Sudah tidak mau punya anak, tidak mau peduli pula. Yasfar hanya bisa mendengkus sebelum memilih masuk ke kamar mandi.
***
Jadwal penerbangan kembali ke Jakarta adalah adalah pukul 08:40 waktu setempat. Kesempatan terakhir untuk menikmati keindahan pantai jernih salah satu pulau indah itu adalah ketika mereka kembali menyeberang. Saat itu, mereka menyempatkan untuk foto bersama. Mengabadikan kebersamaan dalam beberapa foto dan video.
Dalam kebersamaan itu, Yasfar dan Nika sama-sama merasakan kecemasan yang serupa, yaitu tentang Faris. Mereka harap tidak bertemu dengan laki-laki itu lagi dalam keadaan apa pun. Cemas sekali kalau seandainya laki-laki itu juga pulang di hari yang sama dan penerbangan yang sama.
Nika menyenggol siku Yasfar sambil tertawa kecil. “Tumben kamu kalem banget? Biasanya udah grasak-grusuk nggak bisa diam.”
“Aku lagi re-charge energi buat balik kerja. Pasti bakal hectic.”
“Pasti kangen, ya?”
“Kangen gajinya.”
Nika tergelak dan memukul pelan paha Yasfar. Ada-ada saja.
“Yang jadwalnya udah kelihatan itu Muslim Fashion Festival, kan?” tanya Yasfar sambil melihat istrinya yang sibuk menjaga topi pantai di kepalanya agar tidak terbawa angin.
Nika mengangguk dan tersenyum. “Buat MUFFEST, kamu masih ikut Mbak Dayana, kan, buat koleksi muslim tema pastel?”
“Iya. Aku udah di-calling agensi dari seminggu lalu. Terus, buat koleksi kamu kapan? Yang kemarin gimana perkembangannya?” tanya Yasfar.
“Ukuran sama modenya udah aku kirim ke tim. Sekarang, mereka lagi cari bahan yang sesuai sama desain dan kulit warna kamu. Aku pakai kamu buat Jakarta Fashion Week, ntar lagi paling kamu dikabarin.”
“Cuma jarak tiga bulan, kan, itu? Kamu bisa selesaikan semua koleksinya? Tim kamu dibagi berapa?”
Nika tertawa kecil. “Tenang aja, buat MUFFEST, aku udah siapkan dari lama karena aku udah paham konsep tren yang dibicarakan tahun lalu. Sekarang, aku sama tim lagi fokus buat JFW.”
Yasfar berdecak. “Jangan remehkan MUFFEST, loh, Nik.”
“Ih, nggak, lah. Siapa bilang aku meremehkan? Aku kelihatan santai, ya, karena semua persiapannya udah oke. Kita udah dapat slot panggung sama stand. Tim aku juga udah amankan semua koleksinya. Kami juga udah dapat info model-model yang bakal dipakai, jadi udah paham kostum mana yang bakal aku bawa.”
“Kamu nggak mau pakai uang aku buat administrasinya?” tanya Yasfar sambil menaikkan satu alis.
“Uang kamu buat keperluan aku sama dapur aja, deh.” Nika menyengir. “Dari dulu, aku udah alokasikan dana buat persiapan fashion show sama butik. Jadi, urusan administrasi, perancangan, sampai penjualannya udah ada bagian masing-masing.”
Yasfar mengangguk paham. Nikmat juga ternyata berbincang dengan Nika soal pekerjaan. Untung saja pekerjaan mereka saling berhubungan, jadi arah pembicaraannya bisa satu jalur, tidak ke mana-mana.
“Bicara soal dapur ....” Nika menjeda sebentar, melirik ke sekitar dan memilih untuk agak ke belakang agar terpisah dari orang banyak. Yasfar mengikuti, paham kalau omongan Nika masih ada lanjutannya. “Kita, kan, masih tinggal sama Mama dan Papa. Aku lama-lama nggak enak, deh, kalau urusan dapur ditanggung sama Mama terus? Gimana, ya, caranya bagi-bagi dana biar kita juga keluarin uang buat keperluan dapur. Aku takut nyinggung Mama.”
“Nyinggung gimana, sih, Nik?” tanya Yasfar heran. “Mama, tuh, seneng banget kita ada di sana. Jadi, nggak usah mikir aneh-aneh. Kalau emang kamu mau kontribusi buat dapur, minta aja Kila atau Bu Jihan ngomong ke kamu kalau ada bahan dapur yang habis. Jadi, sebelum Mama belanja ini dan itu, setidaknya ada bahan yang nggak perlu dibeli lagi karena kamu yang beli duluan.”
“Eum ... gitu, ya?”
“Iya.”
Tangan Nika terulur untuk menyentuh air pantai yang terus memercik. Bisa dirasakan ketenangan ombaknya, membuat tubuh pun menjadi sangat relaks. Nika baru sadar kalau Yasfar tidak menyerangnya dengan sentuhan-sentuhan seperti biasanya. Laki-laki itu tenggelam dalam pikirannya saat menerawang jauh ke arah laut.
Kesal dengan diamnya Yasfar, Nika akhirnya kembali mengajaknya bicara. “Kamu nggak mau cerita soal muka kamu itu? Beneran berantem sama Bara?”
Yasfar berdecak. “Paling juga kamu nuduhnya ini tentang Kila.”
“Ya, aku nggak bakal mikir gitu kalau kamu cerita yang sebenernya.”
Yasfar mengalihkan pandangan. “Udah, lah, Cil. Terserah kamu aja mau mikir apa. Lagian, nggak ada urusannya sama kamu, kok.”
Mulut Nika mengerucut sebal. Sudahlah, Yasfar memang tidak mau terbuka dengannya. Nika mencoba tidak peduli. Kalaupun benar masalah Yasfar dengan Bara berhubungan dengan mantannya itu, ya, sudah, biarkan saja. Toh, Nika merasa baik-baik saja, hanya sedikit kesal karena Yasfar tidak mau berbagi cerita.
***
Pesawat mereka sudah mendarat dengan selamat sekitar dua puluh menit yang lalu dan sekarang tinggal mengambil barang dari bagasi. Tidak ada percakapan apa-apa selama penerbangan. Yasfar memilih tidur, sementara Nika terus memperhatikan langit dari jendela pesawat. Kadang kala, ia memikirkan banyak hal. Seperti rancangan desain yang kerap terlukis di otaknya. Lalu, memikirkan tentang rumah tangganya dengan Yasfar yang belum tau ke mana arahnya. Juga, memikirkan tentang Faris yang ternyata memiliki hubungan dengan Deyana. Nika tidak bisa menghalau semua pikiran itu. Nika coba untuk memejamkan mata agar bisa tidur seperti Yasfar, tetapi tidak bisa.
Yasfar, Nika, Fariska, dan semua anggota Hadiatama sudah menggeret koper masing-masing menuju mobil penjemputan. Tadinya, mereka berencana makan siang bersama, tetapi mendadak Gauri harus langsung datang ke perusahaan. Jadi, mereka memutuskan untuk berpisah di bandara menuju kediaman masing-masing. Nika dan Yasfar sudah mengajak Fariska untuk pulang bersama, tetapi Fariska menolak karena sudah dijemput teman.
Kecemasan Nika berujung nyata. Ketika ia baru keluar dari toilet dan Yasfar sudah masuk mobil duluan, rupanya ia kembali bertemu dengan Faris. Laki-laki itu memanggilnya tanpa ragu, sementara Nika berusaha untuk menghindar, tetapi Faris mengejar hingga berhasil memblokir langkah Nika.
“Nika,” panggil Faris sekali lagi saat benar-benar sudah berhadapan dengan calon istrinya yang gagal itu.
Nika mengembuskan napas lelah dan malas. “Apa?”
“Sorry kalau kesannya ganggu kamu. Saya cuma mau ngundang kamu buat datang ke pertunangan saya sama Deyana.”
Nika terdiam dan tanpa sadar mengepalkan sebelah tangannya. “Oke.”
“Acaranya di rumah saya. Kalau kamu belum tau, saya bisa chat alamatnya. Tapi, kamu ganti nomor, ya?”
“Kamu lupa, ya, kalau perempuan yang mau tunangan sama kamu itu sahabat saya? Kamu nggak perlu repot-repot chat, saya bisa tanya langsung sama Deyana.”
Faris mengangguk. “Oke, kalau gitu.” Ia berdeham sesaat. “Maaf untuk yang sebelumnya. Saya harap, kamu bahagia dengan kehidupan kamu yang sekarang,” ucap Faris bersungguh-sungguh, diiringi senyuman tipis.
“Makasih, kamu juga.”
Faris menyeret kopernya agar sejajar dengannya. Lantas, ia tersenyum lagi dan berpamitan pada Nika. Mereka berpisah di tengah ramainya orang yang berlalu lalang di sekitar mereka.
Entah mengapa, Nika merasa dadanya sesak dan air mata seakan ingin tumpah. Namun, sebisa mungkin Nika menahan. Seperti janjinya, tidak akan pernah ada air mata yang tumpah untuk laki-laki tidak bertanggung jawab seperti Faris.
Nika menggeleng-geleng miris setelah mengembuskan napas. Baru sadar ternyata Yasfar sudah menyusulnya. Beruntungnya Yasfar datang dari arah berbeda dengan Faris, jadi mereka tidak berpapasan.
“You okay?” tanya Yasfar sambil memegang satu pundak Nika. Ia bisa melihat air muka Nika yang tidak ceria.
Menatap Yasfar dengan tatapan yang lebih tenang, Nika menjawab, “Nggak apa-apa. Ayo, pulang.”
Meskipun masih ragu terhadap Nika, tetapi Yasfar menurut. Ia merangkul Nika sambil mengusap pundaknya, melangkah bersama menuju kendaraan yang sudah menunggu mereka. Nika merasakan kenyamanan saat dirangkul Yasfar setelah berjam-jam merasa tidak mendapat sentuhan.
💫
Makasih banyakkk buat yang selalu mampir ke sini, semoga selalu bisa dinikmati yaaa 🥰💖💫