"You're here."
Haga masih berada di ambang pintu. Pikirannya mendadak kosong, melihat Kanaya berada di unitnya terasa seperti melihat setan.
"Pamali berdiri depan pintu," ucap Kanaya. Haga tersadar kemudian masuk ke dalam dengan tangan kanan menutup pintu. Ia melepas alas kaki, alih-alih menghampiri Kanaya ia memilih berjalan ke dapur untuk mengambil soda dari dalam kulkas.
Kanaya mematikan TV. Diletakkannya toples yang sedari tadi dipeluknya, kemudian menyusul Haga di dapur yang sebenarnya lebih tepat disebut mini bar karena desain dapur yang terlalu minimalis.
"Ambil satu lagi, gue mau," katanya meminta Haga untuk mengambilkan soda. Dengan patuh, Haga menuruti tanpa banyak bicara. Setelah menutup pintu kulkas hingga menimbulkan suara debaman, ia mengangsurkan soda itu kepada Kanaya.
"Thanks." Kanaya membuka kaleng soda itu lalu menenggaknya sedikit. Masih tidak ada percakapan yang berarti di antara keduanya. Itu membuat Haga muak sebab tak tahan dengan kecanggungan ini.
"Mind to explain, Nay?" Menyerah, Haga berinisiatif untuk membuka percakapan. Kanaya bergeming untuk beberapa saat, lalu membalas tatapan lawan bicaranya.
"Should i?"
"After lost you for a weeks, i think i deserve an explanation." Haga membalas dengan tajam. Namun Kanaya tak gentar. Dia tetap tenang seperti danau yang tak beriak.
"I don't know why i have to explain to you because i'm doing nothing?? What kind explanation i should tell you?"
Haga menggertakkan rahangnya menahan emosi. "Stop, Nay. Don't play to me, cukup jelasin alasan lo ngilang dari gue seminggu ini dan bersenang-senang dengan cowok lain!" sentaknya dengan tangan mengepal.
Kanaya tertawa setelahnya. Benar-benar tidak habis pikir dengan kemarahan Haga. "Gak ada alasan atas apa yang gue lakuin seminggu ini. Dan tentang cowok itu, none of your business. Just remember what your limit. You don't have to mad, you're nothing! Lo bukan pacar gue!"
Gadis itu menyelesaikan kalimatnya dengan nafas memburu. Haga mendecih lalu meremas kaleng sodanya hingga tak berbentuk kemudian melemparkannya ke dalam tong sampah.
Lelaki itu mengangguk, "Right. Gue bukan pacar lo, dan gue nggak ada hak buat marah. Tapi bisa jelasin alasan lo masuk kesini tanpa izin dari gue? Lo bahkan nggak peduli sama yang punya rumah," balas Haga.
Kanaya menyesap sodanya sedikit demi sedikit, lantas menarik kursi meja makan lalu mendudukinya. "Neisha bilang apa aja sama lo?" tanyanya mengabaikan pertanyaan sebelumnya.
Haga mendengus malas, sudah menjadi kebiasaan bagi gadis itu untuk mengalihkan pembicaraan. "Jangan mengalihkan pembicaraan, gue yang nanya duluan."
"Kalau lo jawab pertanyaan gue, semua pertanyaan yang ada di otak lo akan kejawab semua." Kanaya bersikeras. Haga menghela nafas sebelum membuka suara.
"Neisha bilang kalau lo selalu sama cowok itu selama seminggu ini. Dia bilang kalau cowok itu lagi pdkt-in lo."
Menangkap ada hal yang janggal, Haga bahkan baru menyadari kalau sedari tadi mereka berdua menggunakan lo-gue.
Kanaya mengangguk membenarkan, "Bener, dia emang lagi pdkt-in gue. Dan dia juga lagi pdkt-in lo."
Dahi Haga mengerut tidak paham, "Dia siapa?"
"Who else? Of course her, Neisha."
Haga hanya bisa diam membisu. Seingatnya, Neisha bilang kalau dia bukan tipenya. Well.. bisa saja dia berbohong, kan? Haga merutuk dalam hati, bisa-bisanya lo bodoh Haga?!
"Dan dengan itu, gue manfaatin dia untuk rencana gue."
Cukup. Kepala kecil Haga tak mampu menampung semua ini. Rencana? Apa lagi yang gadis di depannya ini lakukan?
"Gue manfaatin Neisha buat jadi perantara antara gue sama lo. Gue pura-pura deket sama cowok itu, kemudian Neisha melaporkannya kepada lo, dan gue bisa liat reaksi lo. As i expected, lo marah. Tapi nggak sampai disitu, gue juga nyuruh Neisha buat bikin lo cerita. Dan yeah, gue cukup senang karena lo akhirnya mulai sadar. Harus banget ya gue pakai cara gini biar lo nyadar?" Kanaya melanjutkan ucapannya dengan menambahkan omelan di akhir kalimat.
"Wait, what? Jadi selama ini Neisha boneka lo? Don't you know it's selfish, Nay? Bahkan cowok itu juga lo manfaatin." Haga menggeleng tidak habis pikir.
"Kalau lo nggak bisa membuktikan semua ucapan itu dengan cara lo, gue yang bakal membuktikan itu dengan cara gue. Emangnya kenapa? Lagian sama-sama mau, kok!" bantah Kanaya sengit.
"Tapi nggak manfaatin juga, Nay!"
"Ya terus gimana?!!" Kanaya berdiri dari duduknya. Ia menatap Haga nyalang.
Sementara itu, lelaki yang masih berdiri tegak di tempatnya terdiam. Kanaya mendecih tak lama kemudian.
"Bahkan lo aja diem, how can i trust your shitty words if you even don't have any idea for show your feel to me? "
"Nay, gue udah bilang. Semuanya butuh waktu, gue nggak bisa gitu aja ngelupain semuanya. Gue juga perlu nata hati."
"How long? Sampai gue tua? Sampai gue muak nunggu lo?"
"Muak?" Haga tertawa sumbang. Ia menyugar poni-poninya yang menghalangi pandangan. "Gue kira lo ngerti gimana struggle gue terhadap situasi sekarang," ucap Haga menyelipkan nada kecewanya.
"Lima tahun, Ga. Lima tahun gue harus nahan perasaan ini. Lo pikir gimana rasanya gue saat lo akhirnya melihat gue? Gimana senengnya gue saat akhirnya bisa disisi lo tiap saat walaupun gue tau kalau gue cuma dijadiin pelarian?" balas Kanaya getir. Sungguh, bukan maksud Kanaya bertindak jahat dengan memanfaatkan perasaan orang lain. Lagipula, yang bersangkutan merasa tidak masalah karena perasaannya belum sedalam itu.
Mereka berdua kembali bergeming. Suara-suara kendaraan dari luar gedung terdengar samar, detak jarum jam terasa begitu kencang terdengar. Senyap, tak satupun dari mereka yang berniat untuk berbicara. Kedua insan itu mengalihkan pandangan, sedangkan lelaki yang masih memakai kemeja biru langit itu melangkah menuju sofa.
Bermenit-menit berlalu begitu saja. Hingga akhirnya Kanaya ikut duduk di sofa berdampingan dengannya.
"Sekarang gini aja, lo masih mau main-main sama gue atau serius? Jujur—gue capek, Haga. Gue juga butuh kepastian, gue nggak bisa nunggu. Silakan kalau mau cap gue egois, nunggu lo ngeliat gue as a girl itu kemungkinannya kecil, nyaris mustahil. Kalau lo masih ragu, just cut it off. Gue nggak bisa maksa lo buat jalin hubungan kalau lo nggak siap," tutur Kanaya.
Haga menoleh untuk mendapati wajah sembab Kanaya. Rupanya tadi dia menangis. Tangannya terulur untuk mengusap airmata di sudut mata Kanaya.
"I'm sorry to hurt you much as your love to me." Pada akhirnya, hanya itulah yang bisa Haga lontarkan. Ia meraih tubuh mungil Kanaya untuk merengkuh daksanya.
"Don't leave me again.."
Dibiarkannya tubuh Kanaya tenggelam dalam raganya. Gadis itu menangis seraya memegang erat pinggangnya, Haga mengelus rambut Kanaya dan menyingkirkan helaian rambut yang mengganggu.
Setelah tangisnya reda, Haga menangkup wajah Kanaya kemudian mencium bibir ranum Kanaya dengan lembut, kemudian mengecupnya berkali-kali hingga Kanaya membuka sedikit mulutnya. Haga semakin memperdalam ciumannya dengan menekan tengkuk Kanaya menggunakan tangan kanannya, sementara itu tangan Kanaya yang tadinya berada di pinggang kini memeluk erat leher Haga.
He kiss her slowly and gently, with all love from his heart. He could taste strawberry from her lips. Sweet favor, he smile between kisses. He wrapped his girl by his arms. Deeply, it feels like butterfly, bring you fly to heaven.
Haga mencium bibirnya sekali lagi sebelum menyudahi pagutannya. Keduanya saling tatap dengan nafas memburu. Lelaki itu menyatukan dahinya seraya tersenyum.
"Sweet favor, now i call you sweet favor."
"Why?"
"Because nothing can beat sweetness of your lips."
Kanaya bersemu. Haga mengulas senyumnya sekali lagi. "Can you promise don't leave me again?"
Kanaya mengangguk kecil,"As your wish."
Haga tidak butuh kalimat 'i love you' atau 'be my girl' untuk Kanaya. Apabila Haga telah meminta Kanaya untuk jangan meninggalkannya, disitulah lelaki itu menerima Kanaya sepenuhnya dalam hidupnya.
***
"Milaaaan!"
Kayla berlari kecil saat melihat Milan di depan gerbang indekosnya. Ia membuka gerbang kemudian mengulas senyum lebar pada lelaki itu. Milan membalas senyumannya kemudian mencubit gemas pipi Kayla.
"Kaylaaaa!" balasnya mengikuti nada bicara Kayla.
Gadis itu tertawa kecil setelahnya. "Tumben kesini nggak bilang-bilang." Kayla berujar sembari memusatkan pandangannya pada plastik putih yang dijinjing Milan.
Tahu apa yang dimaksud Kayla, Milan mengangkat plastik putih itu, "Tadaa! Gue bawa martabak matcha, ayo makan bareng!"
Pupil mata Kayla melebar. "Serius?!! Ya ampun makasiiiih." Ia menerima plastik putih tersebut dari tangan Milan.
"Ayo masuk dulu!" ajak Kayla saat menyadari bahwa mereka masih berada di depan gerbang. Raut wajah Milan sedikit resah, ia merasa tidak enak masuk ke kamar kos Kayla lantaran tidak sopan dan takut Kayla dicap buruk karena mengajak lawan jenis masuk ke kamarnya.
"Eum... di pendopo aja mau nggak? Gue nggak enak sama yang punya kos, terus terang gue juga takut lo dicap jelek sama orang-orang," ungkap Milan tentang kekhawatirannya. Kayla tertegun. Ya Allah, ternyata masih ada cowok yang tau manner di dunia ini!
"It doesn't matter, tunggu bentar ya gue ambil piring sama laptop dulu." Setelah berucap, Kayla pergi membawa martabak matcha itu ke kamarnya meninggalkan Milan sendirian. Lelaki itu kemudian melangkahkan kakinya menuju pendopo yang terletak di dekat pohon jambu, berdekatan dengan rumah pemilik kos. Pas sekali untuk bersantai sambil menikmati semilir angin di sore hari.
Karena sudah beberapa kali ke indekos Kayla, Milan jadi tahu seluk beluk dari kawasan hunian ini. Sesampainya disana, Milan tidak langsung duduk. Melainkan menyapa sang pemilik kos yang kebetulan sedang menyiram tanaman hiasnya.
"Sore, Bu." Milan menyapa seraya tersenyum sopan. Yang disapa menoleh lalu meletakkan gembor—alat yang biasa dipakai untuk menyiram tanaman. Ia mengelap tangannya di daster batik yang dipakainya kemudian membalas senyuman Milan.
"Sore, Nak Milan. Mau pergi sama Kayla, tah? "
"Nggak, Bu. Mau ngobrol santai aja di pendopo, jalan-jalannya libur dulu," balas Milan sambil terkekeh.
"Oalah, iya iya. Bagus, jangan jalan-jalan terus. Duitnya dipakai buat kuliah, jangan buat ngapelin pacar. Ibu ada buat pisang goreng, nanti ibu bawain ya."
"Matur suwun, Bu. Jangan repot-repot, saya udah bawa makanan dari rumah," tolaknya dengan halus.
"Oh, ya sudah. Nanti kalau ada perlu ketok aja rumah ibu, ya?"
"Nggih, Bu. Sekali lagi makasih banyak."
Wanita paruh baya itu mengibaskan tangannya, "Wes! Kayak sama siapa aja kamu, santai aja! Ibu tinggal dulu, ya."
"Silakan, Bu."
Sepeninggal beliau, Milan melepas alas kakinya lalu duduk di atas pendopo. Tak berselang lama, Kayla datang.
"Kay, lo nggak berniat untuk nginep di pendopo, kan?"
Tentu saja Milan bertanya heran, sebab Kayla bahkan membawa bantal beserta bonekanya ke pendopo. Jangan lupakan laptop serta piring dan gelas di tangannya. Biar diperjelas, Kayla memeluk boneka pinguinnya, sementara itu bantal leher ia kalungkan pada lehernya. Laptop dan kabel chargeran di tangan kiri, sedang gelas dan piring di tangan kanan.
Multitalenta sekali, bukan?
"Kalau memungkinkan sih iya, tapi nggak. Gue nggak mau jadi sasaran nyamuk malem-malem." Kayla membalas kalem. Milan dengan cekatan mengambil alih laptop beserta piring dan gelas.
"Thankyou."
Kayla duduk bersila di atas pendopo, lalu menyalakan laptopnya. "Kalau mau buat kopi atau teh bikin sendiri, ya. Tuh udah ada dispenser, teh celup sama kopi sachetan, tinggal seduh," terang Kayla sambil menunjuk dispenser di sudut pendopo.
"Boleh?"
"Ya boleh, lah! Buat apa repot-repot disediain kalau nggak diseduh?"
Milan mengangguk paham lalu menyeduh kopi untuk dirinya sendiri dan teh untuk Kayla.
"A cup of tea for Milady." Milan menaruh gelas berisi teh itu di dekat Kayla.
Kayla yang kala itu tengah memfokuskan atensinya pada laptop, kontan menoleh. "Wah, jadi ngerepotin. Makasih, ya!"
Gadis itu meniup uap panas lalu menyeruput sedikit tehnya. "Gue belum kelar nugas, nggak papa gue fokus laptopan dulu?" tanyanya pada Milan.
"Santai, lagian bagus ada gue disini. Siapa tau bisa bantu."
"Nggak usah, ini tinggal dikit, kok."
Milan tak membalas lagi setelahnya. Ia memilih untuk menandaskan kopi seraya menikmati angin sore.
"Enak banget ya ada pendopo gini, sore-sore makan pisang goreng sambil ngopi," celetuk Milan tiba-tiba. Mendadak dirinya membayangkan bapak-bapak yang hobi main catur sambil ngopi ditemani bapak-bapak lainnya.
"Emang. Kadang kalau gabut, gue sama anak kosan lain ngerujak bareng ibu disini. Seru banget sih, jadi kayak punya keluarga baru. Terus kalau ada kerkom nggak repot cari tempat," ujar Kayla.
"Gue pengen deh punya pendopo di rumah."
Kayla tertawa kencang, "Bikin dimana lo? Di atap? Hahahaha!"
Milan menghela nafas kecewa, rumahnya terletak di perumahan dan tidak ada lahan lebih untuk membuat pendopo. Benar juga kata Kayla, mau buat dimana? Ada lahan untuk garasi saja sudah bersyukur.
"Ya maksudnya kalau udah nikah nanti, Kayla." Milan berseru gemas. Antara gemas ingin mencubit atau gemas ingin menendang Kayla ke lautan dalam.
"Gue juga mau sih ada pendopo gini, seru aja gitu. Nanti bisa arisan disini, atau mau adain pengajian tiap minggu."
"Nggak nanya," sahut Milan dengan nada menyebalkan. Kayla membalasnya dengan melempar bantal leher hingga mengenai gelas kopi yang dipegang Milan. Alhasil, isinya tumpah—yang untungnya hanya tinggal sedikit. Bayangkan kalau masih utuh?
"Ck, Kayla!" Milan berdecak sebal sembari membersihkan noda hitam di kaosnya.
"Siapa suruh nyebelin!" Kayla membalas sewot.
Iya deh, iya. Milan yang salah dan selalu salah!
Satu jam kemudian, Kayla mematikan laptopnya dan membiarkan benda itu mengisi daya. Kedua insan itu menikmati manisnya martabak dibalut saus greentea dan susu kental manis yang melimpah.
Manisnya overload, kalau kata Milan. Padahal menurut Kayla, ini manisnya pas, seperti slogan iklan-iklan di TV.
"Lo harus ngurangin makanan manis kaya begini, Kay. Nanti kena diabetes susah sembuhnya." Milan baru saja memberi Kayla kuliah tentang bahaya makanan manis bagi kesehatan dan apa saja dampaknya.
"Siap, Pak Dokter." Tanpa peduli dengan ocehan Milan, Kayla tetap menyahuti sambil menghabiskan satu potong martabak matcha itu.
"Minumnya jangan teh, harus air putih biar nggak seret!"
"Nggih, Pak."
Milan mengacak-acak rambut Kayla hingga helai-helai rambutnya mencuat ke atas. "Gemes banget, pengen gue buang ke laut!" ucapnya gemas.
"Coba aja, gue yang buang lo duluan!" balas Kayla sambil memasang wajah angkuh.
Milan geleng-geleng kepala melihat keangkuhan Kayla. Ia lalu membawakan air putih untuk gadis itu, memastikan Kayla tidak meminum teh karena sudah cukup banyak mengonsumsi gula.
"Besok ada acara nggak?" Milan bertanya seraya membereskan sampah yang ada. Ia memungut bungkus kopi lalu memasukkannya ke dalam kotak martabak yang kosong.
"Nggak, kenapa? Mau ajak jalan?"
"Great, i'll pick up you around ten."
"Alright, what kind place are we go to? Bookstore? Picnic? Movie? Grocery?"
"Lo maunya apa?"
Kayla menimbang-nimbang sejenak, "Picnic sounds great. How 'bout you?"
"Picnic nice tho. Berarti jangan siang, nanti gosong. Sore aja gimana? At four, we'll go to danau deket UI. Mau nggak? Disitu kan banyak orang duduk-duduk."
"Malu nggak lo kalau kita kesana? Kan banyak orang." Kayla menatap Milan sangsi.
Yang ditanya mengangkat kedua bahunya, "Ngapain malu? Kita kan nggak aneh-aneh juga."
"Kali aja lo malu, eh besok bawa apa? Gue buat sandwich, ya? Gue kasih double beef biar kenyang. Terus nanti lo bawa cemilan ringan sama minumnya gue buat smoothies. Oh iya! Kita harus bawa tea set nggak sih?! Oh my God, tomorrow will be fun!! " Kayla mencerocos sendiri dengan antusias. Hal itu mengundang senyum di wajah rupawan Milan.
"Do anything what you want, Kay. Gue ikutan seneng kalau lo seneng." Milan berkata tulus.
Kayla lagi-lagi dibuat jatuh ke dalam pesona Milan. How he treats her, how he talk to her, how he fell hard to her make wall she made herself slowly destroyed.
"Thankyou, i don't know how to thank with all your kindness give to me." Mata Kayla berkaca-kaca saat mengucapkannya.
Milan bergeser untuk mendekatkan tubuhnya pada Kayla. Ia meraih kepala Kayla untuk bersandar di dadanya. "Don't thank to me, just be yourself and stay by my side all the time," lirih Milan pelan yang masih terdengar Kayla.
Sepertinya, Kayla jatuh sejatuh-jatuhnya pada lelaki itu.
When she fell first, he fell harder.
***
woy, aku ngerasa berdosa ngetik kiss scene diatas... maafin ya kalau kurang ngefeel 😔🙏🏻
tidak ada note dari author nanad karena malas ngetik, hehehe :D
see you on next chapter!!