Hah?'' desah Nadila binngung bagaimana bisa ia menjelaskan karena ia benar-benar tak tahu. "Dila gak tahu dan semuanya gak ada hubungannya sama sekali,'' jelasnya
"Ayolah, jangan pura-pura sok polos dan lugu!'' dengkus Aldi.
"Dila benar-benar gak tahu,'' bantah Nadila dengan mata yang berkaca-kaca.
"Udah dibilangkan, gak usah sok polos, jelasin aja!'' ujar Vio nanar.
"Beneran, kok.''
"Udah deh gak usah pura-pura lagi kayak orang tolol! Dan ... jangan-jangan kamu lagi yang udah bunuh Elva!'' geram Lisi seraya menarik kerah seragamnya.
"Lisi, Dila bener-bener gak bunuh Elva. Waktu itu habis dari rumah sakit Dila tidur sampai pagi.''
"Udah Si, kamu gak bisa main tuduh sana-sini!'' Jovan mencoba melepaskan tangan Lisi dari kerah seragam Nadila. "Lagian polisi lagi nyari siapa pembunuhnya.''
"Sejak kapan kamu jadi sok bijaksana? Biasanya juga gak peduli.''
"Udah Lisi, bener kata Jovan kita gak bisa nuduh sana-sini!'' tukas Vanya dengan seiring bel masuk berbunyi. Lisi pun melepaskan cengkeramannya dari seragam Nadila yang sangat ketakutan.
Tak lama dari itu Bu Hasna memasuki kelas dan meminta seluruh siswa menyediakan dua lembar kertas untuk ulangan matematika, serta menyuruh mereka menyimpan buku catatan di meja paling depan. Kelas pun menjadi riuh oleh eluhan-eluhan siswa yang kini dengan terpaksa merobek dua lembar kertas dan menyimpan buku catatannya secara estafet di meja paling depan. Untuk sebagian siswa-siswi ulangan matematika itu sangat menyebalkan, apalagi dikondisi seperti ini. Seakan-akan Bu Hasna tak tahu suasana, padahal kemarin baru saja tegang dan takut sampai sekarang karena kejadian ditemukannya mayat Elva yang mengerikan.
"Nih guru, boloho atau kumaha sih?'' gumam Misbah kesal.
"Kenapa harus ulangan dadakan kayak gini sih, tahu suasana lagi gini.''
Bu Hasna meminta mereka untuk diam, lalu menulis sepuluh soal di papan tulis. Mereka menyalin dan memulai mengerjakannya.
Terlihat Ailin dalam waktu satu menit sudah selesai mengerjakan satu soal, ya baginya menyelesaikan soal-soal matematika adalah hal yang mudah begitu pula menyelsaikan perkara-perkara lain dalam semua mata pelajaran karena ia cukup cerdas. Sementara Vanya mendesah susah seraya menggaruk kepalanya yang sama sekali tak gatal, rasanya kepalanya mau meledek tersebab baginya cukup sulit.
Sepuluh menit telah berlalu dan terlihat Ailin sudah usai mengerjakannya, lantas bangkit dari duduknya untuk mengumpulkan ke depan.
"Lin, beri tahu dong! Susah nih,'' pinta Vanya memelas.
"Makanya belajar!''
"Kamu itu sahabat macam apa sih, Lin? Tega banget sama sahabat sendiri,'' eluhnya.
"Sahabat jahanam,'' suara Ailin datar seperti biasa dan terkesan angkuh serta tak berbelas kasih, lalu ia beranjak mengumpulkan jawabannya ke depan.
"Silahkan tunggu di luar ya, Lin!''
"Baik Bu.'' Ailin kemudian beranjak keluar.
Sesampainya di luar, ia bingung harus apa? Berdiam diri di depan kelas? Pergi ke kantin? Ke taman? Ke perpustakaan? Baiklah ia akan duduk-duduk saja di depan kelas dan bermain sosial media, agar tak bosan-bosan amat.
Selang waktu lima menit, terlihat Jovan keluar dari kelas. Rupanya ia juga cepat dalam mengerjakan soal. Ah, tentu saja dia juga sama pintarnya dengan Ailin maka tak heran jika dia mengerjakannya dengan cepat pula.
Jovan duduk di samping Ailin dengan bosan, ia ingin sekali berbincang-bincang namun rasanya enggan. Ailin kan apatis sekali dan terlalu dingin, bahkan sikapnya selalu tidak menyenangkan terhadap orang lain, takut tak dianggap jadinya. Ya, kalau menurut istilah anak zaman sekarang takut dikacangin.
Jovan pun yang merasa canggung memilih beranjak pergi dengan seiring Ailin mendengar suara kecapi di tengah suara gemercik hujan yang turun mengguyur bangunan sekolah bersama senandung kawih sabilulungan1, kawih pavoritnya. Seingat Ailin jam sekarang tak ada pelajaran seni budaya, baik kelas X, XI, ataupun kelas XII. Mungkin itu salah satu siswa yang sedang tak belajar di kelas karena tak ada guru. Ailin pun tertegun dalam afsun, sebab suaranya begitu lembut, anggun, cantik dan indah.
Sabilulungan dasar gotong royong
Sabilulungan sifat silih rojong
Sabilulungan genteng ulah potong
Sabilulungan persatuan tembong
Tohaga, rohaka
Teguh tangguh perbawa sabilulungan
Sadia, sajiwa
Segut singkil ngabasmi pasalingsingan
Sabilulungan hirup sauyunan
Sabilulungan silih pikaheman
Sabilulungan tulung tinulungan
Sabilulungan kukuh persatuan
Santosa samakta
Teuneng ludeung ngajaring
kawibaan
saihwan sapahan
Nagri nanjung berekah sabilulungan
Sesaat kemudian nyanyiannya berhenti dan petikannya berubah menjadi menyeramkan. Selagi itu, Jovan asyik mencari buku untuk dibaca karena benar-benar bosan menanti teman-temannya usai menyelesaikan ulangannya. Tiba-tiba ia mendengar seorang perempuan bernyanyi lagu bambung hideung2 yang dipercayai oleh sebagian orang Sunda mengandung hal-hal mistis.
"Siapa sih yang nyanyi? Berisik!'' katanya dengan nada setengah berteriak sambil mencari-cari sumber suara, namun tak ada siapa-siapa. Perpustakaan tersebut lenggang, penjaganya juga entah ke mana? Jadi hanya dirinya sendiri, lalu siapa yang bernyanyi? Pikirnya heran sekaligus agak takut.
Mungkin hanya perasaan saja, pikirnya lagi yang kemudian kembali mencari buku. Tak lama dari itu ia merasa sesuatu yang dingin berhembus di leher sebelah kanannya, ia pun berbalik dan tak ada apa-apa. Tak-tak-tak! Terdengar suara langkah kaki yang begitu keras menghampiri sehingga ia merasa lega, mungkin ada seseorang yang datang, tetapi dilihatnya tak ada siapa-siapa. Perasaankah? Tanyanya dalam hati sambil menelusuri setiap sudut ruangan.
Tak-tak-tak! Ia kembali mendengar suara langkah kaki dari arah yang lain dan dilihatnya kembali tak ada siapa-siapa. Lalu, terdengar suara seorang perempuan bersenandung, bangbung hideung... bara-bara teuing diri ... leuheung bari diango ka sukagalih ... membuat jantungnya bekerja sepuluh kali lipat. Napas Jovan terengah-engah sambil terus mencari sumber suara. "Siapa?''
Tubuhnya terasa lemas dan keringat dingin tak henti keluar dari tubuh. Tak-tak-tak! Suara langkah kaki semakin kencang dan mendekat. Sekelebat Jovan melihat bayangan perempuan yang begitu mengerikan menghampiri dengan keadaan tubuh yang membusuk dan berceceran darah serta belatung. Karena kaget, spontan ia melangkah mundur dan menabrak salah satu lemari buku hingga berjatuhan.
Apakah salah lihat? Halusinasikah? Batinnya berusaha tak percaya sambil memegang kepala yang terasa mau pecah saat ini juga. Kemudian ia membereskan buku-buku yang jatuh karena ia harus bertanggung jawab. Saat itulah ia menemukan sebuah buku yang membuatnya sangat tertarik. Tunggu! Bukankah buku ini adalah buku tanpa pengarang dan judul yang seharusnya berada di tangan Ailin? Lalu kenapa ada di sini? Apa telah dikembalikan?
Ia membuka dan membacanya seraya duduk di salah satu kursi. Sesekali ia mengerutkan dahi, sesekali matanya berkaca-kaca, sesekali tertegun diam seraya berpikir. Dan di bagian terakhir ia menemukan sketsa-sketsa yang menampakkan wajah seorang perempuan yang amat cantik, mirip perempuan yang pernah mendatanginya seraya membawa bunga matahari. Sketsa seorang perempuan tengah dijambak rambutnya, tengah menangis di sebuah sudut ruangan seraya memeluk lutut, dan banyak lagi sketsa seorang perempuan itu dalam bentuk perundungan, mirip-mirip diperlakukan seperti Prisilla oleh Audri, Lisi, dan Elva. Ia juga menemukan secarik kertas yang diselipkan, menampakkan sebuah lingkarang yang dibentuk oleh darah dengan tulisan sebuah kekosongan dan awal yang tak menemukan akhir.
Lalu tiba-tiba secarik kertas tersebut terbakar, hingga Jovan secara reflek melepaskannya dari genggaman karena benar-benar kaget. Kemudian, setiap huruf dalam buku tersebut mengeluarkan darah segar yang baunya amat menyengat. Selang beberapa detik sebuah tangan penuh darah dan busuk keluar dari buku tersebut. Seketika jantungnya bertambah riuh bergemuruh, rasanya ubun-ubun mendidih. Selain itu ada kedua kaki tanpa tubuh berjalan mendekati, begitupun dengan tangan yang keluar dari buku dan kolong meja. Sedangkan tubuhnya melayang di langit-langit dan lagu bambung hideung kembali terdengar.
Sumber suaranya begitu dekat, Jovan pun memberanikan diri mendongakkan kepala dan dilihatnya kepala dengan wajah yang rusak dan dipenuhi darah melayang tepat di atas kepalanya sambil bernyanyi. Wajahnya hitam dan penuh sayatan.
Sebisa-bisa ia lari keluar dari perpustakaan untuk kembali ke depan ruang kelas, meski tubuhnya lemas dan tak hentinya bergemetar karena ini benar-benar mengerikan.
Di sudut lain, terlihat Ailin tengah berjalan menelusuri koridor yang sepi dan agak gelap tersebab cuacanya. Entah kenapa rasanya ia penasaran, ingin tahu siapa yang bermain kecapi dan menyanyikan kawih sabilulungan itu.
"Ayo berteman dan bermain!''
Seketika langkah Ailin terhenti bersama suara petir yang mendegam, mendengar suara bisikkan di telinga kanannya yang tak jelas, entah suara laki-laki atau perempuan. Suaranya terdengar begitu parau, menyedihkan dan menyeramkan. Jantung Ailin rasanya berhenti, lalu berdetak sepuluh kali lipat lebih cepat dari biasanya. Hawa dingin menyergap semakin dingin, menelusuk kesetiap pori-pori kulit, begitupun kengerian menyusup ke dalam pembuluh darah dan mengalir deras ke kepala.
Ailin menghela napas panjang, lantas memberanikan diri untuk melihat ke arah kanannya, mungkin saja itu siswa yang sedang iseng? Tetapi tak ada siapa-siapa, lalu ia berbalik badan dan dilihatnya tak ada siapa-siapa pula di belakang, kalau ada pastinya Ailin sudah mendapatinya. Baiklah, mungkin ini hanya perasaan saja atau bisikkan angin, pikirnya yang kemudian melanjutkan langkah. Tak lama dari itu ia mendengar suara kaki yang begitu keras mengikuti, ia berbalik kembali namun tidak ada siapa-siapa. Ia pun melanjutkan langkah dan kali ini lebih cepat.
Saat ia sampai di depan ruang kesenian nadanya merendah, sayup-sayup seperti ditelan oleh suara hujan yang semakin deras dan sesekali petir mendegam. Kret..., ia membuka pintu secara perlahan dan saat itulah hawa tak tentu menyergap, dingin dan panas bercampur. Sepasang matanya mendapati seorang laki-laki mengenakan seragam yang sama dengannya, membelakangi dan terus bermain kecapi. Kalakian, laki-laki itu berbalik dan tersenyum padanya. Terlihat wajah laki-laki itu begitu pucat, tetapi tak membuat ketampanannya berkurang. Tunggu, bukankah yang bernyanyi adalah perempuan? Lalu kenapa di ruangan ini nyatanya Arius? Salah dengarkah? Tetapi mana mungkin? Pikir Ailin heran. Hah, bermasalahkah telinganya? Dan bukankah Arius masih di kelas? Masih mengerjakan soal ulangan.
Ailin memalingkan pandangan dan seperti biasa, ia tak membalas senyuman Arius. Beruntung temannya itu sudah terbiasa dengan sikap dinginnya. Kemudian Ailin beranjak dari ruangan tersebut untuk kembali ke depan ruang kelasnya. Yang membuatnya heran, ia kembali berpapasan dengan Arius menuju ke arah ruang kesenian. Wajahnya juga sama-sama pucat, lantas siapa di ruangan kesenian dan di kelas? Yang mana Arius? Dia atau yang ada di dalam ruang kesenian atau yang di dalam kelas? Ini mustahil, karena Arius tidak punya saudara kembar dan mana mungkin dia sudah berada di sini, berjalan mulai mendekat? Tak ada jalan lain dari ruang kesenian, selain jalan ini. Jika itu Arius, berarti ia harus muncul dari belakang, bukan dari depan. Apa ini halusinasi? Pikir Ailin benar-benar tak percaya dengan peristiwa ini.
Saat Arius mencapai jarak yang lumayan dekat, hawa tak tentu menyergap kembali, dingin dan panas. Terlihat ia menyuguhkan senyuman kepadanya dan saat ia melintas angin berhembus kencang memeluk beberapa detik seperti tadi bersama petir yang mendegam. Ailin hanya tertegun diam, jantungnya bergemuruh riuh, keringat dingin keluar dari dahi dan lengannya. Ia berbalik dan menatap langkah Arius yang semakin jauh, lalu sesuatu yang dingin keluar merembes dari ponselnya hingga berceceran di lantai. Dilihatnya cairan berwarna darah.
Bau anyir menyengat, memenuhi hidung. Ya, ini darah, darah yang begitu segar. Dengan reflek Ailin menjatuhkan ponselnya dan terlihat darah semakin deras keluar, lalu membentuk tulisan sebentar lagi akan dimulai, kemudian tulisan itu membentuk angka 29.
"Ini halusinasi kan? Ya, ini halusinasi,'' gumamnya dengan napas terengah-engah, karena ia benar-benar takut dan merinding.
Ia mengangkat kepala untuk memastikan bahwa laki-laki yang berpapasan dengannya adalah Arius, tetapi dilihatnya ia sudah tak ada dan ponselnya kembali normal. Semua darah sudah hilang, begitupun yang berlumur di tangannya. "Ya, ini halusinasi,'' katanya masih tak percaya, mungkin ia benar-benar berhalusinasi. Haruskah pergi ke psikiater? Pikirnya sambil memegang kepala yang terasa mau pecah.
"Ailin, kamu kenapa?'' tanya Vanya yang sedari tadi mencarinya, khawatir melihatnya memegang kepala. "Sakit?''
Bukannya menggubris Vanya, Ailin malah beranjak ke kelas kembali untuk memastikan bahwa Arius tak ada di kelas, tetapi nyatanya Arius berada di kelas tengah menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tak gatal karena pusing mengisi soal matematika.
"Vanya, Arius dari tadi di kelas?''
"Iya, dari tadi ia di kelas dan gak pernah ke mana-mana.''
"Tapi aku liat dia di ruang kesenian ....'' Ailin pun menceritakan semuanya dengan detail.
"Ini aneh Ailin, aku juga ngalamin hal yang kamu alamin walau tak sama persis, tadi pagi sebelum aku berangkat ke sekolah. Bisikan mengajak berteman dan bermain, darah dan angka 29. Kita bener-bener udah kena kutukan Lin dan tepat di tanggal 29 kita bakal mati.''
"Stop Van, peristiwa ditanggal 29 februari di setiap kabisat pasti bisa dikuak dan dijelaskan secara ilmiah, bukankah para ilmuan di kota kita lagi menelitinya?''
Catatan kaki
1. Kawih merupakan lagu tradisional Sunda yang tak terikat dengan aturan baik liriknya ataupun lagunya. Sedangkan Sabilulungan artinya saling tolong menolong.
2. Bambung hideung artinya kumbang tanduk hitam.
Pencipta kawih Sabilulungan : Mang Koko Koswara yang lahir pada tanggal 1917 di Indihang, Tasikmalaya, Jawa Barat.