Bismillahirrahmanirrahim
.
.
.
.
.
Jum'at barokah. Jangan lupa baca Al-kahfi juga ya..
Komen tiap paragraf biar habis ini update lagi. 🤍
Happy Reading 🤍
__________________________________
"Aargh," erang Irham ketika pisau itu berhasil menyayatnya begitu dalam. Daerah mengalir tanpa henti.
"Gus Irham!" teriak Hasna.
Hasna yang sudah melumpuhkan tiga diantaranya langsung menghampiri Gus Irham, sambil menggigit lalu merobek hijabnya. Dengan gerakan cepat ia menendang satu orang yang berniat kembali menyerang suaminya dari belakang. Tunggu, sejak kapan suami? Ah, sudahlah.
Setelah itu Hasna melilitkan robekan hijabnya tepat di telapak tangan kanan Gus Irham yang terluka guna menghentikan darah yang keluar.
Gus Irham menatapnya kagum, kemudian menggeleng cepat. Bodoh sekali dalam situasi seperti ini bisa-bisanya ia terpesona.
"Awas!" kali ini Irham yang membalik tubuh istrinya dan mendaratkan tinju kirinya pada pipi penjahat itu.
Hasna hampir tak bisa menahan tawa ketika Irham mengibas-ngibaskan tangannya kesakitan. Tangan lembut seorang Gus yang kerjanya megang kitab mana bisa hal seperti ini. "Gus, tunggu di mobil saja sana, biar ana yang tangani."
Hah? Irham tidak salah dengar? Jiwa lelakinya direndahkan serendah-rendahnya. Dalam sekali sentakan Irham menarik Hasna dalam dekapannya. "Ning, ucapanmu melukaiku."
Hasna sudah ingin menjawab kalau dirinya bukan ning. Tapi.... "Gus di belakangmu."
Refleks Irham mengangkat tubuh Hasna, membiarkan gadis itu memberikan tendangan bebas. "Waw," kagum Irham.
Lelah bermain-main Hasna mendorong dengan kekuatan penuh motor yang menghadang mobil Irham dan keduanya berlari masuk ke dalam mobil setelah itu tancap gas meski para penjahat itu mencoba menghalanginya.
"SIAL!!"
Umpatan itu masih bisa terdengar oleh Irham maupun Hasna yang sudah berhasil lolos. Mereka bernapas lega.
***
Sesampainya di rumah paman Billy langsung marah besar. Mungkin ini yang almarhum Bian takutkan kenapa ia meminta agar Hasna tetap di pesantren, bisa jadi orang tua Hasna tanpa sengaja berurusan dengan mereka hingga melibatkan Hasna. Tapi, siapa mereka?
"Paman tenang dulu. Belum tentu mereka mau nangkap aku, bisa jadi mereka cuma mau rampok kami." ucap Hasna sembari membalutkan perban di tangan Gus Irham.
"Tidak mungkin, Hasna. Mereka bahkan tidak menyinggung soal uang sama sekali." Gus Irham mengingatkan.
Benar juga. Tapi, apa hubungan mereka dengan orang tuanya.
"Demi kebaikan kamu dan semuanya, Paman mau kamu kembali ke pesantren, Nak."
"Nggak! Sebelum ibu ketemu, aku gak mau balik ke pesantren." Hasna beranjak dari duduknya menuju kamar lalu membanting pintu dengan keras.
"Maafkan kelakuan Hasna, Gus."
"Saya paham. Kalau begitu saya kembali ke rumah Paman dulu. Assalamu'alaikum..."
"Wa'alaikumussalam."
"Mas mereka pisah kamar? Kan sudah sah."
"Gak papa. Cuma semalam doang. Besok aku akan paksa Hasna tinggal di rumah kita dulu. Di sini kan banyak orang. Takutnya Gus Irham sungkan."
***
Keesokan harinya Hasna tidak keluar sama sekali sehabis sholat subuh. Dia keluar kamar sehabis dzuhur ketika mendengar Irham mengajaknya ke kantor polisi.
Tepat pukul empat sore Hasna dan Irham sudah pulang dari kantor polisi. Mereka habis mengurus penyelidikan dan pencarian ibu Hasna. Mulai dari kapan terakhir mereka pergi dan melacak nomor ponsel yang sempat Bian gunakan untuk mengirim pesan singkat pada paman Billy.
Irham tak hanya menyewa jasa seorang detektif untuk menemukan ibu Hasna, dia juga meminta Alex— sahabatnya—mencari seorang hacker untuk melacak nomor ponsel Bapaknya Hasna. Segala upaya sudah dilakukan semaksimal mungkin.
Gus itu menepikan mobilnya ke tempat parkir di halaman rumah paman dan bibinya, sedangkan Paman dan bibi Hasna sudah pulang lebih dulu ke rumah Hasna karena di sana rumah duka, pasti sudah ada ibu-ibu yang memasak untuk tahlilan nanti malam.
Lelaki itu mendekat pada Hasna yang termenung menatap ke jendela. Tanpa berkata apapun ia membuka seatbelt yang mengikat Hasna, hingga gadis itu menoleh tajam ketika tanpa sengaja Gus Irham menyentuh kulit tangannya.
"Maaf," ucap Gus Irham ketika Hasna masih menatap dirinya.
Tidak tahu kenapa rasanya Hasna ingin berteriak pada takdir dan mencaci semesta kenapa menjebaknya dengan pernikahan seperti ini.
Akad tanpa jejak. Ya, pernikahannya dengan Gus Irham dirahasiakan dari orang-orang karena mereka masih berduka. Tapi, namanya juga ibu-ibu kompleks cepat atau lambat berita ini akan terdengar juga suatu hari.
Namun sebelum itu terjadi Hasna dan Gus Irham mungkin sudah kembali ke pesantren. Sesuai syarat sebelum menikah Billy meminta Hasna agar berjanji tiga hal jika ingin restu darinya.
Pertama; Hasna harus lulus sekolah dengan nilai yang ... setidaknya baik. Mengingat Hasna selalu dapat nilai terendah di kelasnya.
Kedua; Hasna harus kembali ke pesantren dan patuh pada Gus Irham selaku suami. Karena itu memang tugasnya sebagai istri.
Ketiga; berhenti membuat ulah yang akan mempermalukan Gus Irham dan keluarga.
Hasna menolak dengan tegas! Keputusannya menikah, karena ia ingin ikut andil dalam pencarian, bukan untuk kembali ke pesantren. Tapi, karena bujukan dan janji yang Irham berikan akhirnya ia setuju.
Sebenarnya tanpa syarat itupun Hasna akan turuti lelaki yang sudah berstatus suaminya, siapapun itu. Tapi, mengingat banyaknya personil yang Gus Irham kerahkan untuk menemukan ibunya, Hasna jadi makin sungkan.
"Kamu shalat ashar dulu ya. Belum sempat kan?" Gus Irham turun lalu membukakan pintu mobil untuk Hasna. Dia sadar Hasna lebih banyak diam sekarang. Berbeda dari pertama kali mereka bertemu.
Gadis itu menurut. Sedang tidak ingin berdebat apalagi memukul orang. Namun Hasna sudah berjanji dalam hati tidak akan larut dalam sedihnya. Sekarang tujuannya adalah menemukan ibu dan menjaganya seperti keinginan bapak dalam mimpinya.
"Gus,"
Gus Irham berbalik dan membalas tatapan Hasna. "Hm?"
"Terimakasih."
"Tidak perlu terimakasih. Itu sudah tugas saya sebagai suami kamu."
"Ana tahu."
"Bagus kalau begitu."
"Gus," panggil Hasna lagi. Dia ingin bertanya tentang alamat yang beberapa waktu lalu Gus Irham tunjukkan. Anggap saja sebagai balas jasa. Sebenarnya Hasna penasaran kenapa dia bertanya tempat itu?
"Iya?"
"Tidak jadi." akhirnya Hasna masuk lebih dulu.
Gus Irham menggaruk tengkuknya bingung, lalu menyusul Hasna ke kamar yang biasa Hasna tempati jika menginap di rumah pamannya ini.
"Gus ngapain?"
"Mau ganti baju."
"Kenapa di sini?"
"Terus saya harus di mana?"
"Ya mana ana tahu."
"Sejak semalam saya di sini."
"Kalau begitu pindah. Ini kamar sepupu ana."
"Pindah ke mana? Setau saya tidak ada kamar lain di sini selain kamar paman kamu. Tidak sopan jika saya di sana."
"Terus kita harus sekamar, gitu? Ogah ya!"
"Terus kita harus pisah kamar, begitu? Berdosa jika pasangan yang sudah menikah tapi masih pisah kamar."
Hasna menyipitkan matanya menatap Gus irham tidak suka. Ia membuka tas selempang miliknya, lalu menyerahkan secarik kertas.
"Ini apa?" tanya Gus Irham bingung saat menerima kertas dengan tulisan tangan gadis itu.
"Baca aja."
Perjanjian Pra nikah
Surat perjanjian yang akan di sepakati oleh Gus Irham Malik Hanafi sebagai pihak pertama. Dan Hasna Az-zahra Alfatunnisa sebagai pihak kedua.
1. Pihak pertama akan membantu sepenuhnya untuk menemukan Hasni selaku ibu kandung pihak kedua. Hal ini wajib tidak bisa diganggu gugat.
2. Pihak kedua akan menuruti apapun perintah pihak pertama terkecuali melayani kebutuhan ranjang.
"Uhuk!" Gus Irham hampir tersedak salivanya sendiri saat membaca bagian itu. Detik selanjutnya ia tertawa ngakak.
"Gak usah ketawa. Lanjut baca!"
"Kamu seyakin itu saya bakal tertarik nyentuh kamu?"
Hasna menggeleng. "Kita gak saling cinta. Jadi gak mungkin Gus tertarik. Tapi, ya.. Buat jaga-jaga aja."
Kali aja situ khilaf. Hasna memicing sinis.
Lelaki itu berdeham lalu mengangguk kembali fokus pada kertas dari bocah itu. Kekanakan sekali.
Pihak pertama tidak berhak memaksa pihak kedua melayani nafsunya kecuali atas suka sama suka.
3. Selama di pesantren pernikahan ini akan dirahasiakan hingga pihak kedua lulus sekolah, atau sampai pihak kedua siap menerima statusnya sebagai istri.
"Tunggu. Kapan kamu lulus?"
"Beberapa bulan lagi," jawab Hasna cepat.
"Kok bisa? Bukannya waktu kamu pindah sudah kelas 12 di sekolah lamamu?"
"Ana ngulang, Gus. Ana gak lolos waktu uji masuk pesantren."
"Oh, saya paham."
"Gus paham kalau uji masuk pesantren itu terlalu sulit kan? Jadi, pertimbangkan untuk dipermudah, Gus."
"Nggak. Saya paham kamu bodoh."
"Allahu akbar! Nyelekit sekaliii."
Gus Irham tidak peduli protesan Hasna dan lanjut membaca perjanjian konyol itu.
4. Pihak pertama maupun pihak kedua tidak berhak mengatur atau melarang untuk jatuh cinta pada siapapun.
5. Pihak pertama dan pihak kedua berhak meminta cerai jika ada yang melanggar perjanjian di atas.
6.
Demikian perjanjian diatas diakhiri dengan tanda tangan kedua belah pihak.
Hasna menyerahkan pulpen berwarna hitam pada Gus Irham. "Kalau Gus ada yang ingin ditambahkan bisa tulis di bagian enam."
Gus Irham mengangguk paham, lalu menuliskan sesuatu di bagian enam sebelum akhirnya ia tandatangani.
Hasna langsung membaca bagian itu ketika Gus Irham sudah menyerahkannya kembali.
6. Pihak kedua dilarang keras menolak segala materi pembelajaran private dengan pihak pertama.
"Harus ya belajar bareng, Gus? Ah, ana males belajar tau nggak. Ish, lagian buat apa sih nilai tinggi-tinggi. Toh, nilai itu hanya angka, bukan penentu kesuksesan seseorang."
Gus Irham merebut kertas itu, menggulungnya lalu menepukkannya ke kepala Hasna. "Nilai itu penting. Nilai itu menentukan seseorang itu cerdas atau bodoh. Jika bukan untuk sukses, setidaknya agar tidak malu-maluin orang tua."
"Allahu akbar! Pedes banget Gus ucapannya."
"Biar kamu sadar."
"Iye, ane faham, Gus."
"Alhamdulillah, kalo gitu ayo ambil wudhu' terus sholat."
Hasna mendengkus kasar, kakinya ogah-ogahan mengkuti gusnya ke kamar mandi. Lagipula jika Gus Irham berani macam-macam.... beehh!
Hasna memperagakan beberapa jurus di belakang Gus Irham.
Saat lelaki itu menoleh Hasna nyengir.
"Kamu ngapain?"
"Pemanasan, Gus." Hasna kembali menampakkan deretan gigi putihnya, kikuk.
***
Bersambung....
Komen lebih banyak dari bab semalam langsung update. 😉