Satu sedan putih baru saja memasuki gerbang Gerbera Palace, dimana perumahan ini selalu sepi di setiap jam siangnya. Mobil itu pun lalu berhenti tepat di depan sebuah rumah besar yang didominasi oleh cat berwarna abu-abu.
Iris yang awalnya masih tampak tenang di dalamnya, tiba-tiba saja terpaku saat pandangannya tertuju ke dalam carport rumahnya. Wrangler hitam Raka telah terparkir rapi di sana. Pria itu pulang lebih cepat dari yang diduga.
"Ris?"
Erlo bersuara di dekatnya, hendak menanyakan apa yang membuat wanita itu terus menoleh keluar jendela. Tapi Iris mengabaikannya, ia berusaha menormalkan lagi dirinya.
"Vio boleh keluar duluan ya, sayang." Iris menyuruh Violet untuk lebih dulu keluar dari dalam mobil Erlo.
Kini tinggalah ia bersama teman prianya ini. Perlahan-lahan terlihat jelas ada kecemasan yang membentuk di wajah Iris itu.
"Raka udah pulang. Kamu langsung pulang ya."
"Aku tunggu kamu."
"Nggak-Jangan nungguin aku-"
"Gimana kalo Raka bakal main tangan sama kamu??"
Iris terhentak, wanita itu langsung menatap Erlo dengan tak percaya sambil bergeleng pelan, "Raka nggak pernah main tangan sama aku."
"Er, kamu langsung pulang. Jangan tungguin aku lagi," sambungnya.
Belum sempat Erlo berucap, Iris lebih dulu langsung keluar dari dalam mobilnya. Di depan pintu rumah sana, ia dapat melihat ada Raka yang telah menyambut Violet duluan. Ia pun berjalan untuk menuju ke sana tapi belum saja sampai, tatapan Raka telah mengawasi langkahnya duluan.
Iris tahu bahwa pria ini tak suka melihat kedatangannya barusan, terlebih lagi dia sudah tahu dengan sosok yang bersamanya tadi, Erlo. Lantas Raka menarik Violet untuk masuk ke rumah duluan, seolah menjauhkan dan semakin membuatnya bersalah di sana.
Iris terdiam, ia menoleh sejenak ke belakang dan melihat mobil Erlo yang akhirnya mau bergerak pergi di saat itu juga. Wanita ini pun lantas memasuki rumahnya segera.
Di dalamnya ia langsung mencari sosok Raka dan Violet. Putri kecilnya itu sudah diambil lebih dulu oleh Bu Taris, saat Raka menyuruhnya tadi.
Maka kini tinggalah mereka berdua saja, berdiri dengan jarak jauh dan penuh kecanggungan.
"Kenapa nggak pergi lagi?"
Suara Raka lebih dulu pecah di antara mereka. Yang membuat Iris saat ini juga seperti merasa bersalah.
"Aku udah nggak ada kerjaan lagi."
"Biasanya langsung pergi lagi sama si itu."
Sontak mata wanita ini tertuju ketika melihat Raka yang tengah memperhatikannya juga selepas meneguk air minumnya tadi.
"Kamu pulang cepet?" tanya Iris, kali ini ia mencoba mengalihkan topik barusan.
"Aku udah nggak ada urusan lagi sama klien, jadi aku pulang cepet. Dan nggak sempet main lagi sama yang di luar-"
"Raka!"
"Kenapa? Kamu tersinggung?"
"Bisa nggak usah bahas itu lagi!?"
Raka mendengus saat melihat lagi ke arah Iris. Wanita ini tampak terbakar dengan ucapannya barusan. Segera ia pun mendekat perlahan.
"Dan ngebiarin Violet kebingungan ngelihat mamanya deket sama pria lain? Dia nggak sebodoh itu lagi, Ris, untuk terus kamu bilangin kalo yang sama kamu itu cuman temen kerja aja!"
"Terus mau kamu apa, Raka?! Terus-terusan ngelihat aku ngerasa bersalah kayak gini!?? Aku juga capek, Raka!"
"Iya.. kamu nggak capek sendirian. Aku juga capek, kita akhirin aja! Kita cerai!"
Suara lantang Raka itu langsung menusuk cepat ke arah Iris. Wanita ini bahkan tak siap dan begitu terkejut saat mendengarkannya. Iris berusaha menahan perasaan yang bercampur di hatinya. Perasaan yang didominasi oleh rasa takut, marah, dan kesedihan yang sudah tak dapat dibendungnya lagi.
Air mata yang telah ia tahan sejak keributan tadi, akhirnya langsung pecah dengan mudahnya. Iris bergeleng ketakutan sambil menahan isakannya agar tak didengar oleh siapapun selain dirinya dan Raka.
Dan sayangnya, keributan dua orang itu tak luput untuk dilihat oleh putri mereka. Violet sudah melihat kedua orang tuanya sejak tadi, dari atas tangga tempat ia berdiri sekarang.
"Vio..." Suaranya bergetar memanggil putrinya dari lantai bawah.
Diam-diam Raka ikut menegang ketika Iris memanggil nama tersebut. Saat ia menengok ke belakang, ia dapat melihat sang putri yang tengah menahan tangisnya di sana.
Gadis kecil itu jelas ketakutan melihat keributan orang tuanya. Terlebih lagi papanya sempat membentak mamanya dan berkata bahwa mereka akan berpisah. Violet yang mendengarkan lantas dibuat syok berat.
Sang putri langsung berlari meninggalkan mereka untuk menuju ke kamarnya segera.
"Jauhi Violet mulai sekarang! Kamu nggak berhak ngelindungin dia lagi!" pekik Iris sebelum ia meninggalkan Raka untuk mengejar putri kecilnya barusan.
__________
Siang hari di Palmerio Cafe terlihat cukup sepi di jam makan siang ini. Kafe yang berada di salah satu mall mewah di Jakarta itu menjadi pilihan Azka sebagai tempat makan siangnya sekarang.
Sebenarnya ia jarang pergi ke tempat ini. Selain letaknya yang jauh dari kantornya, kafe ini juga bukan seleranya sebagai tempat untuk menyantap makan siang. Masih ada tempat makan lainnya yang lebih baik untuk dikunjungi selain di sini.
Saat ini Azka tengah terduduk seorang diri di salah satu meja makannya, selagi ia menikmati anggur putih dingin dari sajian kafe ini. Ia tengah menunggu kedatangan seseorang yang sebentar lagi akan tiba.
Ketika pintu kafe ini terbuka, munculah seseorang yang tengah ia tunggui sejak tadi. Perempuan itu berjalan menuju tempat pemesanan minuman. Azka memperhatikannya yang tengah menunggu pesanan Vanilla Lattenya itu.
Hingga setelah beberapa menit menunggu dan ia telah mendapatkan minumannya, sosok tadi belum langsung keluar begitu saja. Mata mereka lantas tak sengaja bertemu di sana.
"Lo ngapain di sini?"
Sella menangkap keberadaannya di kafe ini. Azka tersenyum dan memberikan kode kepadanya untuk segera terduduk di kursi seberangnya.
Sella menurut dan kebetulan ia sedang istirahat siang sekarang. Jadi tak ada masalah untuk menemui pria ini.
Azka tengah memainkan gelas anggurnya itu, "Lo pernah bilang kalo wine di sini yang paling enak," ucapnya.
"Jadi?"
"Rupanya nggak seperti yang gue bayangin."
"Emang kenapa?"
"Winenya masih muda. Biasa aja. Lo bisa nyari modelan gini di supermarket sekalipun."
Ucapan Azka itu lantas membuat Sella memutarkan bola matanya.
"Lo mau ngerusak lambung dengan minum wine di jam makan siang kayak gini? Gue gak peduli kalo lo punya toleransi tinggi sekalipun."
Azka mendengus. Pertemuannya dengan Sella memang tidak direncanakan sebelumnya. Tapi dia tahu, bahwa kafe ini telah menjadi tempat andalan untuk makan siang Sella karena tempatnya yang berada di dekat butik kebaya milik mamanya. Yang menjadi tempat perempuan ini bekerja juga.
"Jadi lo ngapain ke sini?" tanya Sella ke topik awalnya.
"Raka mau cerai sama Iris," jawab Azka.
Mata perempuan ini lantas memutar dengan malas. Ia pun langsung menjatuhkan tubuhnya ke sandaran kursi tersebut.
"Terus mau lo apa? Gue jadi saksi buat nontonin sidang perceraian mereka gitu?"
"Boleh juga."
"Nggak!"
"Dengar, cepat atau lambat keduanya pasti bakal cerai."
"Wait, lo pulang ke rumah?"
Pertanyaan Sella lantas dibalasnya dengan anggukan. Ia memang pulang ke Gerbera Palace kemarin. Azka jarang berada di perumahan itu, selain untuk menemui kakeknya yang tinggal di rumahnya sana.
Pria tua itu yang kini menjadi satu-satunya keluarga yang ia punya. Yang pernah menyelamatkannya dari pembunuhan yang dilakukan oleh mamanya juga.
"Gue butuh bantuan lo," ucap Azka.
"Apa?" tanya Sella.
"Ini bakal kedengaran sulit, tapi gue mau Raka untuk nggak pergi nemuin Anora lagi."
Mendengarkan hal tersebut lantas membuat Sella tertawa.
"Kalo lo mau begitu, maka lo harus ngusir Violet dari Elephant Love. Inget, Anora itu guru Violet di sana, sedangkan Raka adalah orang tua dari murid yang Anora ajari," jelas Sella.
"Dan ngebiarin Anora dibuat trauma dengan kemunculan Raka?" balas Azka.
Kini keduanya terdiam. Azka jadi teringat bagaimana kejadian antara Anora dan Raka waktu di SMA dulu. Ingin sekali ia menghajar habis-habisan Raka, tapi saat itu dirinya sedang memegang posisi penting di sekolah. Azka tak boleh membuat keributan selagi masih memegang jabatan ketua OSIS di tangannya.
"Raka nggak berhak untuk nemuin Anora lagi. Dia pantes buat dapetin karma atas kelakuannya dengan Anora dulu," sahut Azka setelah meneguk habis anggur putihnya tadi.
"Dan Anora adalah karma terburuk Raka."
"Maksud lo?"
"Gue tahu kalo Raka bersalah atas apa yang dia perbuat ke Anora dulu. Dia dan gengnya pernah ngebully habis-habisan Anora, sampai cewek itu trauma. Dan tau gak, kalo beberapa tahun yang lalu, Raka pernah nyamperin gue pas di New York dulu."
Cerita Sella membuat Azka semakin terdiam. New York, ia tahu Raka pernah berada di sana untuk melanjutkan kuliah S2 Arsitekturnya. Dan Sella juga berada di sana untuk menempuh pendidikan di sekolah desain.
"Dia mau ngapain?"
"Minta bantuan gue buat nyariin Anora. Singkatnya dia udah tobat dan merasa bersalah banget pernah bikin Anora trauma dengan pembullyan dia."
"..."
"Masalahnya gue juga nggak tahu Anora dimana. Dianya aja juga ngilang."
Azka mendengus, bahkan ia berpikir bahwa Raka tak pantas untuk mendapatkan permintaan maaf itu. Karena Anora pernah dibuat trauma berat dengan apa yang dia perbuat. Gadis itu sendirian menghadapi semuanya hanya karena masalah sepele dan sangat bodoh dari yang Raka dan gengnya perbuat.
"Karma Raka ada di perceraian rumah tangganya sendiri," suara Azka. Ia pun segera beranjak dari kursinya untuk pergi dari kafe ini.
Tapi sebelum pergi, ia kembali bersuara ke arah Sella.
"Kita lihat aja gimana semuanya terjadi nanti."
_________
Ketika malam telah tiba, ibu kota akan menghidupkan satu lagi sisinya yang tak terlihat, tapi sudah menjadi hal umum. Akan ada banyak kelab malam yang buka di setiap malamnya, menjadikan hal seperti ini sudah biasa untuk berdampingan dengan kehidupan masyarakat ibu kota.
Saat ini Raka berada di salah satu kelab malam di ibu kota. West Eagle, kelab malam yang paling populer ini menjadi pilihannya untuk menghabiskan seluruh rasa kesedihan yang telah merenggutnya seharian ini.
Tempatnya bukan terasa asing lagi untuknya. Beberapa minggu yang lalu ia juga pernah berada di sini dengan keadaan yang sama dan begitu menyedihkan.
Sedari tadi ia tak henti menuangkan alkohol ke dalam gelasnya. Minuman ini adalah favoritnya sejak beberapa minggu lalu. Raka tak sering melakukannya, hanya terjadi jika ia sedang menghadapi masalah berat saja. Dan membutuhkan pelampiasan sejenak.
Dalam satu kali tegukan, alkohol itu pun mengalir membasahi tenggorokannya. Meninggalkan rasa panas sekaligus manis di akhirannya. Raka sudah meneguk sekitar tujuh gelas dan ia sama sekali belum merasa untuk ambruk.
Tanpa ia sadari, sedari tadi ada seseorang yang sibuk mengawasinya. Di ujung ruangan itu, di salah satu meja VIP yang dimiliki kelab ini, seorang pria segera beranjak meninggalkan teman-temannya yang sibuk menikmati alkohol dan musik saat itu.
Ketika tangan Raka hendak meneguk gelasnya yang ke delapan, orang yang mengawasinya itu langsung menghentikan gerakannya.
"Ka, udah mabuk."
Raka menepis cepat tangan itu, "Gak ada yang peduli." Ia meneguk kembali alkoholnya itu.
Azka yang rupanya tengah berada di sampingnya ini. Ia juga berada di West Eagle, bahkan sudah dari tiga hari yang lalu. Ia mendengus melihat Raka yang sok kuat dengan alkohol itu. Bahkan dalam hitungan beberapa detik saja, dalam satu kali tendangan ia bisa menjamin Raka akan langsung ambruk.
"Kenapa lagi ke sini?" tanya Azka.
Raka tak menjawab, sekali lagi, ia meneguk terlebih dahulu alkoholnya, "Vio.. Iris nggak mau aku ketemu Violet."
"Kenapa gitu?"
"Aku mau cerai."
"Kapan?"
"Secepatnya."
Azka buru-buru menghentikan Raka untuk meminta sebotol lagi. Ia segera mengajaknya untuk duduk terlebih dahulu di kursi yang telah disiapkan di sekitar meja bar.
"Raka," panggil Azka.
"Papa sayang Violet," racau Raka.
"..."
"Violet suka warna ungu.."
"..."
"Aku nggak mau kehilangan Violet."
Diam-diam Raka menengok ke teman duduk sampingnya. Azka menaikkan satu alisnya, ada kata-kata yang masih ditahan oleh pria ini.
"Kayak aku pernah kehilangan Anora," suara Raka dengan pelan.
"Apa peduli kamu dengan Anora?" tanya Azka.
Raka menggeleng. Matanya terpejam dan senyumannya muncul saat itu. Azka harus bersiap lebih banyak lagi kejujuran yang dibuat oleh Raka saat mabuk.
"Kamu dulu pernah ngebully dia."
"No. Itu geng aku."
"Tapi kamu ngenikmatin pembullyan itu yang dilakuin sama geng kamu."
Azka mendesah. Ia terus menahan gertakannya sejak Raka mengucapkan nama itu.
"Anora... terlalu lemah-"
"Dia ketakutan."
"Anora.."
Kembali lagi Raka meracau mengucapkan nama itu, ingin sekali Azka menyumpalkan mulutnya itu dan berhenti mengucapkan nama seseorang yang sama sekali tak pantas disebutkan olehnya itu.
"Aku suka dia."
"Siapa?"
"Anora. Aku suka Anora. Dia manis, dia suka ungu."
"Seorang pembully gak berhak untuk suka sama korbannya. Itu jahat."
"Aku bisa milikin Anora saat ini juga."
BUUGHH!!
BRUKK!
Semakin lama ia menunggu, akhirnya Azka tak tahan untuk segera meninju terang-terangan Raka yang tak sadar sejak tadi. Karena kehebohan yang dibuatnya itu, seluruh pengunjung kelab lantas tertuju kepada mereka semua.
Azka mengelap lebih dahulu keringatnya sebelum ia menarik kasar kerah Raka yang jatuh tadi.
"Berapa banyak lagi orang yang mau lo sakitin?! Lo nggak sadar udah nyakitin istri lo sendiri!?" pekik Azka.
Raka tak melawan, pria ini justru tersenyum kembali, "Di dalam rumah tangga gue, gue nggak membenarkan yang namanya perselingkuhan," ucapnya.
Buru-buru ia menepis tangan Azka dari kerah kemejanya itu, "Udah bisa nebak'kan apa yang terjadi sekarang?" sambung Raka.
Kini Azka yang dibuat terdiam olehnya. Raka segera meninggalkan ia di sana dengan banyak pandangan orang-orang yang masih tertuju sejak tadi. Sebelum pergi, Raka mengeluarkan tujuh lembar uang seratus ribu untuk diberikan ke bartender yang melayaninya tadi.
"Maaf, itu temen bapak mau pulang sendirian ya? Saya takutnya, bakalan bahaya kalo teman bapak tadi mau nyetir sambil mabuk gitu." Suara lainnya mengarah kepadanya, bartender tadi memberi tahu Azka soal keadaan Raka yang hendak pulang dengan kondisi mabuk itu.
"Bodoh!" geram Azka dan sekarang gilirannya yang ikut keluar dari kelab malam ini.
__________
Hari Senin menjadi hari paling sibuk lainnya yang dimiliki Anora ketika berada di ibu kota. Ia baru bisa beristirahat dari pekerjaannya pada pukul dua belas siang. Lima belas menit yang lalu kelas keramik yang dia ajarkan baru saja berakhir.
Anora memberi salam terakhirnya untuk semua anak murid yang ia ajari, begitupun juga dengan para orang tua mereka, ia memberi salam pamitnya satu persatu. Sekarang tinggalah ia sendirian di ruangan ini, semuanya tampak begitu berantakan setelah kegiatan tadi.
Anora harus membersihkan noda lumpur yang telah mengering maupun membecek di beberapa bagian lantai. Kira-kira butuh tiga puluh menit untuk membuat seluruh ruangan ini kembali bersih sekaligus tulangnya yang siap remuk.
Bahkan pekerjaan ini ia tanggung sendirian dibandingkan harus meminta petugas kebersihan untuk datang. Anora tak mau repot memanggil mereka, lagian petugas kebersihan belum tentu tahu bagaimana membersihkan sekaligus menyusun beberapa keramik yang pecah maupun noda di sini.
Pukul satu siang barulah Anora selesai dari pekerjaannya secara kesuluruhan. Ia menyeka keringatnya, lalu tersenyum puas melihat ruangan ini kembali bersih. Sekarang barulah Anora dapat keluar dari ruangan ini.
Ia baru saja mengunci pintunya, sebelum tiba-tiba dikejutkan dengan keberadaan sosok lainnya di sekitarnya.
"Violet?"
Tak ada yang menyangka bahwa gadis kecil ini masih menunggu sendirian di sini. Terlihat wajah Violet yang sedang tampak murung itu.
"Violet nggak pulang?" tanya Anora.
Violet menggeleng.
"Kenapa? Nggak ada yang jemput Vio?"
Lagi, gadis kecil ini kembali bergeleng. Anora terdiam, ia mendadak bingung bagaimana cara menghubungi orang tuanya itu.
"Violet!"
Dan suara lainnya kembali datang menghampiri dua orang ini. Mereka dikejutkan dengan kedatangan seorang pria dengan pakaian serba hitam dan tak luput dari topi hitam juga yang sempat menutupi wajahnya dari pandangan Anora itu.
"Nggak mau!" Anora dikejutkan ketika Violet melarang orang itu mendekatinya. Gadis kecil ini buru-buru bersembunyi di belakang tubuhnya.
"Vio, ini papa, Nak. Papa mau jemput kamu."
"Vio nggak mau sama papa! Papa jahat!"
Pekikan Violet membuatnya tertegun. Papa jahat? Apa yang sedang terjadi di antara mereka berdua?
"Maaf?" Anora memotong keduanya. Lantas pria di depannya ini membuka segera topiknya dan pandangan mereka bertemu di sana.
"Saya mau jemput Violet."
Raka berada di depannya sekarang. Keadaan pria ini sedikit tak biasa dari sebelumnya. Anora dapat melihat wajahnya yang sedikit pucat, juga tambahan goresan luka yang mencorengi bagian tulang pipi kanannya.
"Vio nggak mau sama papa!" pekik Violet lagi.
Nafas Raka lantas terhembus dengan berat. Ia langsung berjongkok di hadapan putrinya itu yang bersembunyi di dekat Anora.
"Maaf kalo kemarin papa nakutin Violet. Papa salah, sayang," mohon Raka.
Violet kembali bergeleng. Anora tak tahu masalah di antara mereka berdua, tapi dia ingin membantu Raka untuk membujuk Violet pulang.
"Vio, papanya udah tulus lho minta maaf. Masa Vio nggak mau maafin," bujuk Anora.
Gadis kecil ini tetap diam. Ada sedikit keraguan untuk menatap Raka, tapi sekali lagi Anora meyakinkan bahwa papanya itu bersungguh-sungguh untuk meminta maaf padanya.
"Papa nggak bakal marah-marah lagi 'kan sama mama?"
"Iya. Papa nggak bakal marah-marah lagi."
Sedikit keraguan terdengar di suara Raka untuk menyetujui permintaan putrinya itu. Anora tertegun mendengarkan obrolan mereka itu. Sepertinya ada cekcok di antara orang tua Violet.
Setelah melalui sedikit waktu yang panjang, Violet akhirnya mau diajak papanya untuk pulang. Raka menarik pelan putrinya utu untuk berada di dekatnya segera. Perhatiannya lalu teralihkan saat melihat Anora di sana.
"Miss Nora, maaf ganggu gara-gara yang barusan."
"Nggak papa, Pak. Oh ya, Violet hati-hati ya pulangnya."
Sebelum kedua papa dan anak ini pergi, Raka ingin menahannya dulu dengan memberi satu pertanyaan.
"Miss Nora pulang sendirian?" tanya Raka.
"Eh?-iya, Pak." Anora sedikit canggung dengan pertanyaan Raka itu.
Pertemuan mereka setelah beberapa hari yang lalu membuat dirinya merasa tak nyaman. Raka masih menjadi mimpi buruknya sampai hari ini.
"Minggu lalu Vio ngelihat Miss Nora pulang sama cowok. Pacarnya Miss Nora ya?" Hingga Violet berhasil berceletuk dan membuat Raka cepat-cepat menoleh ke arahnya segera.
Beberapa detik Anora sontak terkejut mendengarkan ucapan Violet tentangnya barusan. Sama dengan Raka yang tampak tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan putrinya itu.
__________
BERSAMBUNG
Help! Aku oleng sama papa Raka yang kayak gini 🤧❤👍