"Mas Arkan, perut aku?" Ara menyentuh perutnya yang datar.
"Mas, bayi kita dimana? Perut aku kenapa datar?" Tanya Ara dengan nada bergetar.
"Sayang, kamu ... keguguran."
Setetes air mata jatuh melewati pelipis Ara. Wanita itu menatap suaminya dengan gelengan kepala. "Gak mungkin," lirihnya dengan tersenyum kecil.
Arkan menggenggam tangan Ara dengan kuat. "Kamu harus ikhlas. Dia sudah tenang di sana."
"Enggak!" Teriak Ara. "Anakku masih hidup! Dia di sini, di perut aku!" Ara menepuk perutnya dengan keras.
"Sayang, stop." Arkan merengkuh Ara ke dalam pelukannya.
Ara memberontak. "Mas Arkan, anak aku masih hidup! Dia masih hidup! Dia di perut aku! Dia belum meninggal!"
"ARA! ANAK KITA SUDAH MENINGGAL!"
Ara membuka matanya dengan nafas terengah-engah. Pandangannya beralih ke perutnya yang masih buncit. Ara memejamkan matanya sesaat, dan menghela nafasnya lega. Tangan kanannya terangkat untuk mengusap perutnya.
Ara menangis dalam diam. Air matanya berjatuhan di atas bantal yang ia tiduri. Ara tidak bisa membayangkan kalau mimpinya tadi menjadi kenyataan, mungkin dirinya akan gila.
Ceklek.
Arkan melihat istrinya yang tengah menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Ia berjalan menghampiri istrinya dengan cepat.
"Sayang," panggil Arkan, sambil menyentuh tangan Ara yang berada di atas perut wanita itu.
Ara menatap Arkan, dan mengulas senyum tipisnya. "Bayi kita masih ada,"
Arkan mengangguk. Tangannya bergerak mengusap air mata sang istri.
"Aku mimpi buruk." Ara menatap Arkan dengan mata berkaca-kaca. "Mas bilang, anak kita udah meninggal. Aku teriak gak terima. Aku bilang, dia masih di perutku. Tapi, perutku udah datar, Mas. Dia pergi. Dia benar-benar pergi."
Arkan menarik Ara dalam dekapannya, dan menciumi kepala wanita itu. "Anak kita masih ada. Dia masih ada di perut kamu. Dokter bilang, kita hampir aja kehilangan dia. Tapi dia anak yang kuat. Dia bisa bertahan di dalam perut Mamanya."
Ara terisak di dada bidang Arkan. Tangannya meremas lengan Arkan dengan kuat.
"Sssttt, sudah. Jangan menangis lagi, sayang. Jangan banyak pikiran." Arkan mengusap air mata Ara, dan mencium kening wanitanya.
"Ak-aku takut," cicit Ara.
"Aku gak akan kasih kamu ijin buat ketemu Ara! Gara-gara kamu, menantu sama cucuku seperti ini, Lia!"
"Aku ingin bertemu Ara, Jihan. Bagaimanapun juga dia tetap putriku."
"Kalau dia putrimu, kamu tidak akan melakukan hal sejahat ini kepada dia!"
Ara melepaskan pelukannya bersama Arkan. "Mama sama bunda?"
Arkan mengangguk sekilas, sambil merapikan surai panjang Ara.
"Aku gak mau ketemu sama bunda dulu, Mas. Apalagi Dita." Ara menatap pintu ruangannya dengan kosong.
"Terima kasih, kamu udah percaya sama aku."
"Aku selalu percaya sama Mas."
Brakk.
"Ibu macam apa dia itu! Tega-teganya memperlakukan mantu Mama seperti itu. Wanita gak tau diri! Mama baru tau sifat asli dia seperti ini," gerutu Jihan sambil memasuki ruangan Ara.
Setyo yang berjalan di samping Jihan pun hanya diam. Takut-takut salah ngomong, justru dirinya yang akan terkena semburan lava panas dari istrinya itu.
"Gimana kondisi kamu, sayang?" Ujar Jihan sambil memeluk Ara dengan sayang.
Ara mengusap punggung mama mertuanya dengan senyuman manis. "Lebih baik, Ma. Maaf, udah buat Mama dan Papa khawatir."
"Gak papa, Ra. Ini semua bukan salah kamu." Setyo berjalan menghampiri Ara. "Jangan diambil hati dan pikiran. Pikirkan kesehatan kamu dan anak kamu saja."
Ara mengangguk sekali. "Iya, Pa."
"Kamu mau ketemu bunda kamu?"
Jihan memelototi Setyo. "Gak usah!"
"Papa cuma nanya, Ma. Siapa tau Ara ingin bertemu dengan bundanya."
Ara menatap papa mertuanya seraya menggeleng pelan. "Aku belum mau ketemu."
"Bagus! Gak usah ketemu selamanya aja!" Ucap Jihan menggebu-gebu.
"Ma!" Tegur Setyo pada istrinya.
Arkan merangkul pundak istrinya, mengabaikan perseteruan kedua orang tuanya. "Mau makan?"
"Nanti aja," kata Ara sambil bersandar di dada bidang Arkan lagi.
"Mama sama Papa pulang aja," ucap Arkan, yang dibalas pelototan tajam dari mamanya.
"Kamu ngusir Mama? Kamu mau Mama kutuk jadi ikan mas?"
Arkan menghela nafasnya pelan. "Ini udah tengah malem, Ma. Besok, kalian bisa ke sini lagi sama Kak Risa. Dia bilangnya mau ke sini besok."
"Benar kata Arkan, Ma. Lebih baik kita pulang dulu. Biarkan Ara istirahat," kata Setyo menanggapi.
Jihan mencebikan bibirnya. Dengan terpaksa, ia berpamitan pada menantu kesayangannya, juga anak durhakanya.
Setelah kepergian kedua orang tua Arkan, ruangan Ara kembali sunyi. Hanya suara jarum jam dinding yang mengisi kesunyian itu.
"Mau tidur?"
Ara mengeratkan pelukannya pada pinggang Arkan, dan menggeleng. "Menurut Mas, siapa ayah dari bayi Dita?"
"Jangan pikirkan itu dulu. Kesehatan kamu lebih penting sayang," ucap Arkan sambil mengusap perut buncit istrinya.
"Aku benar-benar takut waktu kamu pingsan, dan gak bangun-bangun. Darah yang mengalir di kaki kamu cukup membuat aku kacau, sayang. Jangan lagi. Jangan buat aku khawatir lagi," lanjut Arkan.
"Maaf," gumam Ara dengan mata terpejam.
***
Keesokan harinya, Ara sudah diperbolehkan pulang, karna wanita itu yang mengancam untuk tidak makan, jika dirinya tidak diperbolehkan pulang hari ini juga. Karna kondisinya juga sudah semakin baik, dokter pun mengijinkan Ara pulang dengan catatan harus rajin meminum obatnya. Ara hanya mengiyakan dengan cepat, agar dirinya bisa pulang dengan cepat pula.
Rumah sakit adalah tempat yang paling Ara benci. Tempat dimana ayahnya yang ia cintai itu menghembuskan nafas terakhirnya. Ara selalu ingat akan detik-detik sebelum ayahnya meninggalkan dirinya. Membuat wanita itu memiliki rasa trauma sendiri terhadap rumah sakit.
Arkan menarik selimut sebatas paha istrinya, dan menggenggam tangan wanita itu. "Jangan banyak pikiran. Aku akan cari tau ayah dari bayi Dita. Aku gak akan pernah ninggalin kamu, sekalipun bunda kamu sendiri yang memaksa."
"Aku juga gak akan pernah biarin itu terjadi. Mas Arkan punyanya Ara."
Arkan terkekeh pelan, dan mencubit hidung istrinya gemas. "Kamu makin cantik kalau lagi marah,"
"Halah, gembel."
"Gombal, sayang."
"Sama aja."
Arkan mengulas senyum hangatnya. Paling tidak, dirinya sudah berhasil menghibut Ara meskipun sedikit.
Brakk.
"Tante!!" Izan datang dengan air mata yang membasahi pipi tembamnya.
"Sayang," Ara menyambut Izan dengan senyum hangatnya.
Izan menaiki ranjang Ara dibantu Arkan. Ia memeluk tante kesayangannya itu dengan erat. "Huaaa Tante Ala! Tante Ala cakit apa? Kok bisa di lumah cakit? Telus adik Izan kenapa? Kok Tante Ala beldalah. Izan semalem gak bisa tidur, mikilin Tante Ala."
"Bohong," ucap Risa di depan pintu kamar Ara yang terbuka lebar. "Semalem aja dia tidur nyenyak banget. Sampai suara petir gede aja dia gak kebangun. Baru tadi pagi aku kasih tau, langsung drama termehek-mehek."
Izan menatap mamanya dengan wajah kesal. Sedangkan Ara sudah terkekeh geli mendengar penuturan Risa.
"Jangan gitu, nanti adiknya kejepit." Arkan melonggarkan pelukan Izan pada Ara yang terkesan menindih perut wanita hamil itu.
"Kalau kejepit, bunyinya cit cit cit ya Om?"
"Kamu pikir anak Om itu curut?" Arkam menatap keponakannya kesal.
"Izan gak bilang gitu," balas Izan semakin menduselkan wajahnya di dada Ara.
Ara mengusap kepala Izan dengan sayang. "Tante seneng, Izan ke sini. Tante kesepian gak ada temennya."
"Ya udah, Izan tinggal di sini sama Tante Ala aja."
"Gak!" Tolak Arkan mentah-mentah.
"Om Alkan pelit, kayak Mama waktu Papa gajian."
"Heh!" Risa melototi putranya dengan galak. "Siapa yang ngajarin kamu ngomong kayak gitu?"
Izan menunjuk Arkan dengan santainya. "Om Alkan lah."
"Fitnah kamu! Om gak pernah ngajarin gitu ya!"
"Izan gak boleh gitu. Bohong itu dosa, apalagi fitnah," kata Ara sambil merapikan surai bocah itu.
"Yang ngajalin papa," ucap Izan pelan.
Risa menggeram kesal. Kalau suaminya datang nanti, pasti akan dia hajar habis-habisan. Risa menghela nafas pelan, dan duduk di sisi ranjang Ara yang kosong. "Gimana keadaan kamu?"
"Alhamdulillah, lebih baik, Kak."
"Jangan banyak pikiran, Ra. Kehamilan kamu itu masih rawan. Kasihan bayi kamu kalau Mamanya stress."
Ara mengangguk. "Iya, Kak. Makasih."
***
Tbc.
Segini dulu ya fren.
Hari ini cukup melelahkan ya bung. Capek hati capek pikiran. Semoga ceritanya gak semakin kacau kayak otak authornya.
Jangan lupa vote dan komen!
Mon maap kalo ada typo.
See you next part ❤
Semarang, 13 Mei 2021
Salam Indah♡