Setelah satu minggu mengurus segala persiapan pernikahan, pagi ini Arkan dan Ara telah sah menjadi sepasang suami istri, baik secara hukum maupun agama.
Suasana haru dan bahagia sangat dirasakan mereka yang menyaksikan acara sakral Arkan dan Ara.
Setelah menyalami tamu dan berganti pakaian santai, Ara dan Arkan bergabung di meja kedua sahabatnya yang tengah memakan camilan. Disana juga ada Dita, dan Riko yang sedang makan. Mungkin mereka juga baru makan siang.
"Banyak banget sih, Ra!"
Ara melirik Lala sekilas yang duduk di depannya. "Laper bego! Lo juga gak ada perhatiannya sama sahabat sendiri!"
Kasihan, pengantin baru kelaparan.
"Tadinya mau gue bawain, tapi gue pikir-pikir lagi. Kalau lo makan, lipstik lo hilang. Lo mau jadi jelek? Ewh, pengantin rasa gembel?"
Ara melempar Lala dengan kerupuk udang yang ada dipiringnya. "Gak usah lebay! Kan ada lo, asisten pribadi gue."
Lala membalas ucapan Ara tanpa suara. Ara terkekeh saat membaca gerak bibir Lala yang membalas 'mata lo' dengan wajah datar.
"Kamu kenapa ketawa sendiri?"
Ara berdehem sebentar, lalu menatap Arkan dengan tersenyum. "Gak papa, mas. Itu si Lala katanya mau nyusul kita nikah, padahal dia jomblo."
Lala melotot ke arah Ara. "Enggak kak! Ngarang banget mulut rombengnya si Ara." ucapnya menatap Arkan dengan senyum terpaksa.
"Itu ada Evan nganggur." cetus Arkan.
"Lo mau nikah sama gue? Ayoklah, kita susul penghulunya Ara." ajak Evan seraya menarik tangan Lala.
Lala menghentakkan cekalan Evan, dan mencubit pinggang laki-laki itu. "Jangan ngaco!"
"Kita kan sahabatan, kak. Gak mungkin saling suka." jelas Lala pada Arkan.
"Kenapa enggak?" tanya Ara. "Menurut penelitian gue, gak ada pertemanan ataupun persahabatan antara laki-laki dan perempuan kalau tidak ada yang melibatkan perasaan." lanjut Ara seraya menatap Lala dengan senyuman yang menjengkelkan di mata Lala.
"Maksud lo?"
Ara mengedikan bahunya acuh. "Kalau gue sama Evan aja gak ada perasaan apapun, berarti lo sama Evan yang merasakan itu."
Perkataan Ara membuat Lala terdiam. Entah apa maksud Ara mengatakan hal itu. Yang pasti, saat ini jantung Lala berdegup dengan sangat kencang.
Ara menatap bingung perubahan wajah Lala. "Lo kenapa sih? Lo kesambet?"
Lala menggeleng pelan, lalu melanjutkan makannya yang tertunda.
Ara menatap Evan dan bertanya dengan alis yang terangkat satu. Evan membalas Ara dengan mengedikan bahunya, dan menatap Lala dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Aku ada salah ngomong ya, mas?" bisik Ara pada Arkan yang duduk tenang di sampingnya.
Arkan melirik Evan dan Lala sekilas, lalu mengedikan bahunya.
"Padahal aku cuma bercanda." gumam Ara yang masih tak mengerti dengan perubahan sikap dan ekspresi Lala.
Ara mencoba mengulangi perkataannya tadi di dalam hati, guna menemukan kalimat yang mungkin saja membuat Lala tersinggung. "Kayaknya gak ada, deh."
Tiba-tiba Ara tersenyum penuh arti kepada Lala. "La, lo suka sama Evan?"
"Uhuk! Uhuk!"
Lala meraih gelas berisikan air putihnya, lalu meneguknya dengan cepat. Rasa pedas dan perih karena kripik singkong balado, menguasai area tenggorokan dan hidung Lala, membuat kedua mata gadis itu berkaca-kaca.
"Gue salah lagi?" gumam Ara.
"Mulut rombeng lo emang kudu gue tampol, baru tau rasa!" gerutu Lala mengusap bibirnya dengan tisu.
Ara tersenyum manis pada Lala, lalu mengaduk-aduk makanannya. "Gak ada salahnya menyukai seseorang yang masih sendiri, La. Kalau lo ngerebut milik orang lain, itu baru kesalahan. Lo bisa dapet kebahagiaan lo sendiri, tanpa merebut kebahagiaan orang lain. Percaya deh sama gue, kalau lo merebut kebahagiaan orang lain, lo gak akan pernah merasakan kebahagiaan yang sebenarnya."
Dita menghentikkan pergerakan tangannya di atas piring. Riko melirik Ara dengan pandangan sendu. Sedangkan Evan dan Lala juga terdiam melirik Ara, Dita, dan Riko bergantian. Arkan sendiri juga menatap Ara yang duduk disampingnya.
Ara mendongakkan kepalanya, dan mengerutkan keningnya samar. "Kalian kenapa natap gue kayak gitu? Gue salah lagi ya? Perasaan dari tadi gue salah mulu!" gerutu Ara.
"Menurut lo, masa lalu harus dilupakan atau dikenang?"
Ara terdiam sesaat, lalu menatap Evan. "Dikenang."
"Kenapa?"
"Masa lalu itu bagian dari kehidupan gue. Seumur hidup gue, gue gak akan pernah lupain itu."
"Meskipun itu sebuah rasa sakit?"
Ara mengangguk menatap Lala. "Sesakit apapun itu, dia yang buat gue sekuat ini."
Dita beranjak dari duduknya, dan meninggalkan meja mereka. Riko mengikuti langkah Dita meninggalkan meja.
Ara melirik Dita dan Riko dengan kening berkerut. "Mereka kenapa?"
"Tertampar, terjedug, terjelungup, terperosok, ter—"
"Apa sih!" Ara menatap Evan jengkel.
"Lo gak sadar sama ucapan-ucapan lo tadi?"
Ara menggeleng. "Emang kenapa?"
"Terus, maksud lo ngomong kayak gitu apa?"
"Gak ada maksud apa-apa. Gue spontan aja bilang gitu."
"Ara, lo gak sadar kalau ucapan lo itu pas banget buat mereka?"
Ara terdiam sesaat. "Padahal gue gak ada maksud nyindir. Kalau gue mau, gue bisa langsung ngomong di depan mereka secara langsung dengan maksud jelas."
"Sudah, lanjutkan makannya." ucap Arkan.
Ara kembali melanjutkan makannya, diikuti Evan dan Lala yang berebut stick keju yang sisa sedikit.
***
"Kamu masih suka sama Riko?"
Ara menoleh menatap Arkan. "Kenapa mas tanya kayak gitu?"
"Saya pengen tau aja."
"Enggak. Rasa suka dan cinta aku sama Riko udah lama mati, karna terkalahkan oleh rasa benci. Aku dulu pernah mencintai Riko dengan sangat besar. Sekarang, sebesar itu pula kebencian aku sama dia."
Mereka sama-sama terdiam sesaat.
"Tidur yuk, mas. Ini gak ada malam pertama kan?"
Arkan menatap Ara dengan jail. "Kamu mau?"
"Jangan dulu! Dosa gak sih mas?"
Arkan mengangguk. "Dosa, kalau kamu menolak."
"Tapi mas ...." rengek Ara dengan wajah memelas.
"Enggak-enggak! Ayo tidur!" Arkan merangkul leher Ara, dan berjalan menuju ranjang kamar Ara.
Arkan mengecup kening Ara sebentar, lalu menatap istrinya dengan senyum manis. "Selamat tidur, istriku."
Ara terkekeh pelan, lalu meraup wajah Arkan dengan telapak tangannya. "Jangan gitu! Nanti aku baper!"
Arkan ikut terkekeh pelan, dan menarik tubuh Ara untuk ia peluk. Ara menyandarkan kepalanya di dada bidang suaminya, dan memejamkan matanya perlahan.
***
"Yang udah halal emang beda." kata aku yang lagi duduk di pojokan bersandaran tembok, sambil pegang kepala karna lagi pusyeng.
Mon maap kalo ada typo.
Jangan lupa vote dan comment.
See you next part ❤
Semarang, 14 Maret 2021
Salam Indah♡