“Kurasa aku harus izin dulu ke kepala desa atau ketua RW.” Manyura menyuarakan pendapatnya. Ia pernah bertamu ke sebuah dusun dan harus melakukan itu agar bisa menginap dengan aman. Manyura merasa ia juga mesti melakukan hal yang sama sekarang.
“Kamu mau bunuh diri?”
“Loh, bukannya tata kramanya seperti itu. Maksud kamu bunuh diri bagaimana?”
“Maksudku, tidak semudah yang kamu bayangkan. Apalagi Alang sudah melihat kamu bersamaku. Mereka akan memperumit.”
“Jangan terlalu berpikir negatif. Menurutku akan lebih berbahaya tanpa meminta izin. Lagian, apa Alang-alang itu penguasa di kampung ini? Aku heran, sepertinya sedari tadi kamu takut padanya.” Manyura mengajak Seta berhenti. Ia memandangi sekeliling. Keadaan sudah berbeda. Tidak ada lagi pepohonan rapat. Mereka berada di padang rumput yang tidak terawat. Beberapa puluh meter di sebelah kanan mereka terlihat samar sebuah bangunan besar. Manyura mengernyitkan dahi, “Ini kita sudah sampai mana, sih?”
“Istal.”
“Istal?” Manyura mengulangi perkataan Arlingga. Ia tidak menyangka di sini ada istal sebesar ini. Namun, tampaknya sudah tidak terpakai.
“Bebaskan mereka.” Arlingga mengulurkan plastik yang di pegangnya dan mengambil alih tali kekang kuda. Manyura mendengkus.
“Apa kamu sedang kesepian?”“Apa?!"
“Masak kunang-kunang jantan semua yang kamu tangkap?” Manyura menggeleng-gelengkan kepala melihat kunang-kunang yang terus berkedip.
“Hah?!”
“Menurut sebuah artikel yang pernah aku baca, kunang-kunang perjaka atau duda akan memberi sinyal untuk memikat betina dengan cara berkedip-kedip.”
Seketika Arlingga tertawa, “Setahuku semua kunang-kunang berkedip.” Arlingga menuntun Seta menuju bangunan tanpa memedulikan Manyura yang mengulum senyum ke arahnya.
“Ternyata dia bisa tertawa,” gumam Manyura dan menyusul Arlingga setelah mengucapan perpisahan dengan kunang-kunang.
Manyura menatap punggung Arlingga yang terus bergerak mendekati bangunan. Di depan sebuah pintu besar, perempuan itu memencet saklar lampu. Seketika Manyura dapat melihat bangunan panjang di hadapannya. Keadaan dinding terkelupas dan banyak sawang di sudut-sudut plafon. Suara derit pintu terdengar memenuhi ruang.
“Apa kamu akan berdiri di situ saja?”
“Aku akan menunggu di sini.”
Arlingga berbalik. “Kenapa? Kamu takut?”
Manyura menggeleng. Ia memerhatikan Arlingga masuk menuntun Seta dan menambatkannya di sebuah tiang di dalam ruangan luas. Kemudian berbalik lagi menghampirinya. “Aku rasa kamu akan aman di sini. Di dalam ada ruangan bersih. Bisa kamu tempati. Aku akan pulang.”
“Tapi, bukannya lebih aman jika aku izin terlebih dahulu? Kalau kamu tidak mau mengantar, beri tahu di mana rumah kepala desa biar aku ke sana sendiri.”
“Kamu pikir mereka akan menyambutmu dengan ramah? Mereka itu tak lebih seperti musang berbulu ayam. Aku benci mereka semua. Bahkan bapakku sendiri.” Arlingga meremas sisi kemeja putih yang membungkus tubuh rampingnya.
" .... "
“Seandainya bukan karena istal ini, aku tidak sudi pulang.” Nada Suara Arlingga memelan. Manyura terkesiap. Ia hanya memandang intens perempuan yang berkaca-kaca di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantra Pandhawa Kedua
General FictionMantra Pandhawa merupakan sebutan bagi kelima anak Biyung Roro. Manyura Juan Renantra, adalah Mantra Pandhawa Kedua. Ia memiliki profesi sebagai Timber Cruiser. Penjelajah hutan, tetapi tidak bisa membaca peta. Ketika masa demisioner, ia menjelaja...