Nenek Idah

71 11 1
                                    


Kenyamanan dalam balutan selimut membuatku tak ingin beranjak dari dari tidurku. Kedua bola mata terasa berat untuk kubuka tersebab oleh cahaya mentari pagi yang menyilaukan menerobos melalui celah jerjak jendela kamar. Aku nyaris terkejut saat kudapati seorang lelaki yang berdiri di depan ranjang sedang memegang roti panggang di tangan kanannya dan segelas susu hangat di tangan kirinya.

"Pagi, Sayang. Hmm ... pasti kamu nyenyak banget tidur gara-gara semalam kan? Nih, sarapan dulu," Beni begitu perhatian pagi ini. Ia sampai membawa sarapan ke kamar hanya untukku.

"Iya, Sayang. Sebentar, ya, aku mau ke kamar mandi dulu," jawabku dengan tersenyum kecil lalu melangkah masuk ke kamar mandi.

Beberapa detik kemudian aku keluar dengan tubuh yang segar sehabis mandi tadi. Terlihat Beni masih duduk di sisi ranjang sembari tersenyum padaku.

"Sayang, kamu hari ini libur ngantor kan?"

"Iya, Sayang. Kenapa?

" Gini, rencananya aku hari ini mau berkunjung ke rumah Nenek Idah, Sayang. Karena kan udah lama juga semenjak aku pindah belum sempat ketemu Nenek di sana. Pasti keluarga di sana juga udah rindu sama aku, Sayang."

"Oke, Sayang. Kamu boleh kok, pake mobil aku aja. Terus si kembar biar sama aku aja di rumah. Gak apa-apa kok, Sayang. Lagian aku juga ingin lebih dekat lagi dengan Andin juga Andita."

"Oh ... Kamu yakin bisa jagain mereka berdua, Sayang?

"Yakin banget lah, Sayang. Kan aku Papanya mereka, kamu lupa, ya?

"Nggak, Sayang. Bukan gitu, aku takut aja kalo kamu kerepotan sendiri nanti gimana?

"Udah, Sayang. Kamu tenang aja. Nanti biar aku
aja yang bangunin mereka di kamarnya, ya, Sayang?

"Oke, deh, Sayang. Sebentar, aku siap-siap dulu."

Aku sama sekali tidak menyangka kalau suamiku baru saja merespon dengan sangat baik dan juga perhatian. Iya, kupikir memang haru pergi hari ini berkunjung ke tempat Nenekku.

Aku merasakan bahwa kini Beni--suamiku yang penuh perhatian seperti dulu telah kembali. Bahkan kali ini lebih baik dan lebih menyayangi kami.

Selesai sarapan dan memakai riasan tipis di wajah serta tak lupa memoles lipstik agar terlihat lebih cerah nanti sewaktu ketemu keluarga di sana. setelah selesai aku keluar sesaat memasuki kamar Andin juga Andita. Di sana Beni baru saja ingin membangunkan mereka dari lelap alam mimpi. Begitu aku menekan kenop pintu lantas aku tersenyum kecil pada lelakiku di hadapan untuk meminta izin pergi beberapa jam ke rumah Nenek Idah.

Begitu keluar, aku langsung menyambar kunci mobil di meja kecil dekat televisi. Lantas aku berjalan dan masuk ke mobil lalu menyalakan mesinnya. Aku hanya butuh kurang lebih satu jam untuk mengemudinya sendiri. Tampak di jalan hiruk pikuk kendaraan yang lalu lalang melintas pagi ini.

Satu jam pun telah berlalu, mobil telah berhenti di depan gerbang pintu rumah Nenek Idah. Aku turun dari mobil sejenak lalu membukanya dan kuputar setir hingga memasuki halaman rumah.

“Adinda? Masuk, kamu pasti mau ngunjungin Nenek kan?” ucap Tante Mirna setelah membukakan pintu untukku. Terlihat senyum bahagia dari wajahnya.

“Iya, Tan. Nenek sehat kan? Udah lama juga Dinda belum sempat ke sini.” Aku akhirnya melangkah menuju kamar Nenek bersamaan dengan perempuan cantik di sebelah ku.

“Iya, padahal baru kemarin lho, Nda Nenek nanyain kamu. Eh, hari ini ku langsung datang. Mungkin kontak batin antara Nenek dan kamu kuat banget, ya, Nda. Langkah kami hampir sampai ke depan kamar perempuan pengganti mamaku.

“Nenek! Apa kabarnya? Dinda kangen banget sama Nenek.” Aku begitu antusias melihat perempuan ringkih yang masih menyisakan wajah cantiknya. Lantas aku memeluk dan menciumnya layaknya seorang Ibu kandungku sendiri. Meski Mama sudah pergi lebih dulu akan tetapi kasih sayang yang Nenek Idah berikan untukku tidak pernah kurang sama sekali.

“Kenapa kamu datang sendiri, Sayang? Andin sama Andita mana? Beni juga nggak ikut?” Aku sampai merasa tidak enak hati karena tidak membawa dua putri ku dan juga suami tercinta bertemu Nenek.

“Nenek jadi ingat waktu kamu masih seumuran mereka. Lucu dan sangat cantik mirip dengan Laras—Mama kamu, Nak.” Mendengar ucapan Nenek Idahdah aku merasa ada yang bergetar dalam dada ini. Andai saja Mama masih ada pasti beliau akan sangat bahagia memeluk cucunya dan pasti setiap hari canda tawa mereka membuat hari-hari yang dilalui Mama jadi indah.

“Iya, Nek. Tapi, kan, sekarang ada Nenek yang selalu menyayangi mereka dan aku juga, hehe.” Aku terkekeh saking bahagianya menatap senyum dari wajah keriput perempuan di sampingku.

“Beni apa kabarnya, Dinda?” tanya Tante Mirna yang duduk di sofa kecil di depan kami.
“Beni, baik-baik aja, Tan,” jawabku ikut tersenyum pada perempuan cantik di hadapan aku.

Beberapa saat, Tante Mirna keluar membuat minuman untukku. Artinya ini kesempatan aku untuk bertanya beberapa hal pada Nenek Idah.

“Nek, semenjak Dinda pindah ke rumah baru yang sekarang Dinda tempati, hampir setiap malam Dinda diganggu oleh sosok perempuan cantik bermata sendu. Entah apa maksudnya itu.” Aku memulai kembali pembicaraan setelah sekian lama aku diam dan tak ingin bertanya apapun pada Nenekku terlebih soal penampakan hantu perempuan itu.

“Mungkin ada sesuatu pesan yang ingin dia sampaikan sama kamu, Nak. Tak masalah asalkan kehadirannya tidak menyakiti keluarga kamu, Sayang.” Nenek Idah menjawab sembari mengusap jemari tangan aku dengan lembut.

“Terus kenapa perempuan itu tidak menampakan dirinya pada saat Dinda sedang bersama Beni, Nek?” tanyaku selanjutnya seraya menatap pada mata Nenek Idah dengan tatapan serius.

“Oh, itu mungkin dia tidak ingin dekat dengan selain kamu, Sayang. Tak apa-apa yang penting keluargamu tidak diganggu. Kalau kamu kan, sudah biasa melihat mahluk gaib,” balas Nenek Idah merangkul bahuku.

Setelah mengobrol dengan Nenek Idah kemudian, aku menghampiri Tante Mirna yang tengah sibuk di dapur. Sepertinya suasana rumah ini juga sepi semenjak Nadia pindah, kalau tidak keadaan bukan seperti ini.

Tak terasa waktu berlalu hingga sore hari. Begitu lah keadaannya, aku selalu lupa pulang jika sudah datang ke rumah Nenekku.

Aku sekarang lega karena sebenarnya penampakan hantu perempuan itu tidak benar-benar ingin mengganggu kami sekeluarga. Akan tetapi, ia ingin dekat dan menyampaikan pesan yang mungkin menjadi sebab ia bergentayangan di sekitar rumah kami.

Usai berpamitan, aku kemudian memasuki mobil dan melajukannya hingga mencapai tujuan. Akhirnya aku sampai juga di rumah sesaat sebelum magrib tiba. Setelah memarkir mobil di garasi, aku melangkah masuk. Baru beberapa detik sembari membuka sepatu di rak dekat dinding belakang pintu, tiba-tiba Andin dan Andita berlari dengan semangat langsung memeluk tubuhku.

Terlihat Beni menyusul di belakangnya dengan senyum yang merekah dari wajahnya.

“Mama tadi pergi ke tempat Mbah, ya? Kok Andin sama Andita nggak dibawa ikut, Ma?” Andin bertanya dengan bergelayut manja di pinggangku.

“Nama juga nggak ajak Andita,” ucap si gadis kecil yang tidak menyukai bando dengan wajah yang dibuat kerucut.

“Maafin Mama ya, Sayang. Besok-besok Mama ajak kalian ke rumah Mbah, ya? Papa juga ikutan nanti, oke?” Aku akhirnya balik memeluk mereka dan mengusap kedua pucuk kepala sang putri kecil ku.

Usai mengganti pakaian, aku duduk sesaat di sisi ranjang menjelang malam. Beni terlihat sedikit gelisah jelas tampak dari wajahnya. Ingin rasanya kutanya mungkin karena kecapekan mengurusi si kembar hari ini.

“Sayang, aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Tadi waktu aku lagi nonton bareng si kembar, aku kayaknya ngeliat ada seseorang yang ngintip dari luar. Dekat pohon besar halaman belakang itu lho. Kamu tahu, kan, Sayang?”

Aku sempat kaget mendengar ucapan Beni. Apa jangan-jangan sosok perempuan hantu itu yang melintas dari tangkapan mata Beni?

Bersambung ....

Mohon dukung cerita ini teman-teman. Makasih...

Mata Batin Adinda [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang