Keesokan harinya, listrik menyala, namun cahaya lampunya masih pudar. Mendadak, kami mendengar suara musik dari kamar mandi. Penasaran, kami berdiri dan berjalan bergerombol, lantas melongok ke dalam kamar mandi. Aku mendengar lagu itu, “Jesus Take the Wheel,” berkumandang berulang-ulang. Di dalam kamar mandi, kami melihat si ahli fisika. Dia telanjang bulat, duduk membelakangi kami di lantai ubin, sebuah iPod terletak di depannya. Di bawah tubuhnya, kami melihat genangan darah, mengalir menuju lubang pembuangan.
Perlahan-lahan, dia menoleh ke arah kami. Dia menatapku, lalu mengangkat jarinya ke mulut, tersenyum dan mendesis, “ssstt…”
Dengan tangan lainnya, dia mengangkat alat kelaminnya yang telah dipotong. Matanya tertutup, namun senyumnya lebih mirip seringai. Dia berbisik, “aku suka lagu ini sekarang.”
“Ya, Tuhan,” gumam si dokter. Dia perlahan menghampiri si ahli fisika, berusaha membuatnya tetap tenang. “Tak apa-apa, nak, aku akan menolongmu.”
Si ahli fisika cekikikan, matanya masih tertutup dan mulutnya masih menyeringai. Saat si dokter semakin dekat, si ahli fisika mendadak menjerit dan melompat. Dia menabrak si dokter sampai terjatuh, lantas menindihnya, dan menggigit lehernya kuat-kuat, tepat di nadi jugularnya. Darah muncrat membahasi giginya dan leher si dokter. Sementara si dokter sekarat sambil tercekik darahnya sendiri, si ahli fisika kini berdiri dan menatap kami dengan kejam, nampaknya berniat menyerang kami. Saat dia siap menerjang, mendadak kami mendengar suara letusan keras. Aku terjatuh lantaran telingaku mendadak berdenging menyakitkan. Ketika dengingan itu berhenti, aku melihat si ahli fisika terbaring tewas di kamar mandi. Di keningnya ada luka tembak bundar yang menembus sampai ke belakang tengkoraknya. Salah satu anggota tim maintenance memegang pistol yang masih berasap.
Sekarang kami tinggal berempat. Aku, si ahli biologi, dan dua orang maintenance. Yang lainnya sudah tewas, atau hilang. Walaupun listriknya sudah menyala, tetapi masih belum ada sinyal radio dan Wifi. Kami panik dan gelisah, sampai akhirnya salah satu orang maintenance berkata, “tidak ada cara lain. Aku harus memperbaiki piringan satelit untuk mendapatkan sinyal. Itu satu-satunya harapan kita.”
Aku menatapnya, sadar dia benar. Di luar sana masih dingin dan gelap karena badai masih menderu.
“Aku akan pergi,” ujar si orang maintenance.
“Baiklah, aku ikut denganmu,” temannya berkata.
Setelah mereka pergi, tinggal aku dan si ahli biologi, berdua. Kami menatap kepergian kedua orang maintenance itu, yang terbungkus jaket tebal, keluar menembus badai. Kami menunggu selama berjam-jam, menanti datangnya sinyal radio dan wifi.
Dan menunggu.
Dan masih menunggu.
Lama kemudian, walaupun aku dan si ahli biologi tak saling bicara, kami akhirnya menyadari satu hal: kamilah yang tersisa dari tim kami.
Si ahli biologi akhirnya menangis di pangkuanku, sampai dia tertidur kelelahan. Aku sendiri sangat lelah, namun sebelum menutup mata, aku merasa mendengar suara cekikikan, seperti suara anak kecil.
Aku tak ingat kapan aku terbangun, tapi kemudian aku menyadari kalau aku sendirian. Aku meneriakkan nama si ahli biologi. Aku membuka setiap kamar dan ruangan, sampai akhirnya aku menemukannya di ruang percobaan.
Si ahli biologi duduk bersandar di belakang meja. Dia telah menulis sepucuk surat indah tentang “ingin melihat dunia luar sebelum mati.” Di salah satu tangannya, ada jarum suntik kosong yang nampaknya telah dia gunakan untuk mengakhiri hidupnya. Kedua matanya terbuka dan menatap kosong. Aku perlahan mundur, meninggalkannya dalam damai.
Sekarang, kalau kau membaca surat ini, kau akan tahu bahwa mungkin ini saat-saat terakhir dimana aku bisa berpikir jernih. Aku berusaha menjelaskan padamu mengapa kami semua dibawa ke neraka beku ini, hanya untuk mati satu-persatu; aku berusaha menjelaskan semuanya sebelum aku menaruh pistol ini di mulutku dan menembakkannya.
Setelah melihat mayat si ahli biologi, aku kembali ke kantorku. Aku merasa lemah dan histeris di saat yang bersamaan. Ketika melihat cermin, aku melihat wajahku yang seputih hantu dan mataku yang seolah jadi hitam sepenuhnya. Ini membuatku meninju cermin itu sampai pecah berkeping-keping. Ketika kepalan tinjuku tergores, aku sedikit tersadar, dan saat itulah, aku melihat sehelai kertas di tengah-tengah pecahan kaca. Di kertas itu, tertempel sebuah foto.
Inilah tulisannya:
“Jika kau sempat membaca ini, kuharap semuanya belum terlambat bagimu. Tempat ini tidak seperti yang kau bayangkan. Earl, si pemilik proyek, bukan orang religius sinting yang kebanyakan uang; dia orang yang jauh lebih berbahaya. Kau mungkin sudah menemukan peti terkunci itu. Di dalamnya, ada beberapa benda kecil diletakkan untuk membuatmu takut. Mungkin ada pendeta di timmu yang akan segera menyebut bahwa peti itu ‘jahat.’ Itu semua sudah diatur. Dan debu hitam yang melayang dari dalam peti itu? Itu bukan debu dan bukan saripati iblis.
Pernahkah kau membayangkan kenapa kalian ditempatkan begitu jauh dari pangkalan lainnya?
Karena fasilitas kalian sebenarnya adalah TEMPAT PENGUJIAN SENJATA KIMIA.
I REGRET EVER WORKING IN THE SOUTH POLE – Kalian semua telah dipilih sebagai obyek penelitian senjata kimia oleh perusahaan swasta. Debu hitam itu adalah bahan kimia dengan komposisi tak terlacak, dengan serat patogen yang bisa menimbulkan psikosis dan halusinasi, dan dimaksudkan untuk mengincar para pejabat penting dan bahkan pemimpin dunia. Prinsipnya adalah membuat musuh membunuh diri mereka sendiri. Jika kau sempat menghirup debu hitam itu, sudah terlambat bagimu. Satu-satunya yang bisa kau lakukan adalah memastikan pesan ini dibaca seseorang.
Jangan percaya pada orang-orang maintenance dan si terapis pria. Mereka semua bekerja untuk Earl. Mereka akan menghilang tanpa jejak segera setelah Earl berkunjung ke tempatmu. Mereka telah mencatat rutinitasmu, sehingga walaupun badai salju berakhir dan kau bisa pergi, kau akan dikejar dan dibunuh.
Maafkan aku. Aku sudah kehilangan semua anggota timku. Aku berharap kau tak pernah datang.
Maafkan aku — Dave.”
Foto yang tertempel di surat itu nampaknya adalah anggota tim sebelumnya. Ada seorang pria yang wajahnya dilingkari spidol merah, dengan tulisan “ini aku.”
Dia adalah si pria berjaket jingga dengan wajah mirip tikus itu.
Sc: Horror Creepypasta Riddle Indonesia
KAMU SEDANG MEMBACA
Creepy Horror : 2nd
HorrorSeri kedua dari Creepy Horror. Apakah kisah Creepypasta kali ini lebih 'abnormal', lebih santai, ataukah lebih mencengkam? Well, kau tidak akan tahu sebelum kau membacanya. Jangan baca ini sendirian. Karena satu hal yang pasti, you are not alone...