"Bangun, udah setengah sembilan. Telat tahu rasa," ucapnya mencoba membangunkan Dika sambil melipat menata sepray serta bantal.
Dika mendengar, ia bahkan menggeliat pelan kala Rani menarik selimutnya. "Ka, udah setengah sembilan tuh lihat."
Dika tidur membelakangi gadis itu, ia sedikit tersenyum kecil lantaran ancaman Rani yang seperti Mamanya. Sangat persis. "Mungkin selama ini Rani berguru dengan Mama," pikir Dika sambil melirik sekilas jam weker di atas nakas.
Gadis itu berbohong demi kebaikan, agar Dika tidak terlambat masuk kuliah. Itu hal yang benar, baginya tidaklah mustahil dilakukan oleh seorang Ibu pada anaknya. Tapi, di sini Rani bukanlah Ibunya, melainkan istrinya.
Rani kembali menarik paksa selimut itu, hingga sekarang Dika tidak berbalut selimut sama sekali. Ia ingin balas dendam dengan Dika, soal apa yang ia lakukan tempo hari padanya.
Rasanya, begitu menjengkelkan jika tidur nyenyak kita diganggu oleh seseorang. Begitu yang dirasakan Rani saat itu.
Namun, hari ini ... Rani harap Dika juga merasakan kekesalannya.
Terbukti saat cowok itu sudah membuka matanya sedikit demi sedikit. Ia memperhatikan Rani, lalu menegakkan tubuhnya bersamaan dengan handuk yang melayang mengenai wajahnya. "Buruan mandi, aku tunggu di bawah," teriak gadis itu sambil berlari kecil ke arah dapur.
Dika belum sepenuhnya sadar, ia masih perlu bimbingan untuk melancarkan kembali otaknya yang sedikit mengalami gangguan setelah tidur ini.
Dika butuh Rani di sampingnya walau hanya sekedar menanyakan, "Bagaimana tidurnya? Nyenyak?" Atau mungkin mendapat sapaan pagi seperti orang lain berupa, "Selamat pagi, sayang."
Mungkin jika mau, Dika akan menunggu sapaan seperti itu hingga lebaran monyet. Rani tidak pernah peduli dengan perasaannya yang juga ingin diperhatikan. Rani tidak mengerti itu, bahkan untuk bersikap sedikit manis saja tidak pernah.
Dika hanya berjalan malas ke arah toilet, napasnya ia hembuskan begitu saja saat membuka pintu tersebut. "Nggak romantis banget, heran gue."
-----
Mangkir dua hari tanpa keterangan apapun membuat Rani mendapat banyak pertanyaan dari beberapa karyawan yang berada di lorong nonfood. Kali ini ia masih di lorong, tugasnya di kasir masih tergantikan oleh Bu Anjar. Rani tidak mau lancang untuk mengambil hak tersebut, karena ini perintah langsung dari Bu Santi.
Heru mendekat ke arah nya setelah beberapa SPG yang lain tekena semprot oleh Bu Siska---supervisor bagian nonfood, yang Rani tempati saat ini lantaran ketahuan ngerumpi di jam kerja.
Alih-alih membantu men-disply barang di samping gadis itu, Heru bahkan tidak tinggal diam untuk mengambil start, "Tumben kemarin mangkir," sindir Heru yang langsung membuat Rani menoleh ke arahnya.
"Weekend waktunya liburan Bang, bukannya kerja mulu."
Heru mengernyit, jawaban yang tidak ada takut-takutnya sama sekali pada senior. Tadinya ia pikir Rani akan mencoba menjawab pertanyaannya dengan ngeles serta ngasal. Awalnya ia pikir begitu, namun kenyataannya Rani justru terang-terangan menyatakan jika ia pulang dari liburan.
"Nggak ada oleh-oleh nih?" tanya Heru setelah Rani mengatakan jika ia baru saja ke Bandung.
Rani tersenyum kecil, kepalanya mengangguk sesuai irama nada bicaranya, "Ada kok ... bahkan spesial buat Bang Heru," ucapnya hingga membuat cowok di sampingnya ini mendelik, tidak percaya.
"Jangan bilang kalau oleh-olehnya, kripik angin."
Rani terkekeh pelan, baru kali ini ia bisa merasakan mengobrol bersama Heru tanpa adanya beban sama sekali. Jika di hari-hari biasa, Heru akan membuatnya selalu berpikiran jika dirinya memang salah atas tindakannya menolak Heru lalu.
Rani masih memikirkan hal itu, hingga saat ini.
Namun, entah angin entah hujan dari mana, tadi pagi Heru tiba-tiba saja membuatnya melongo dengan sebuah pesan singkat yang ia kirim secara tiba-tiba setelah beberapa minggu ia tidak saling chat dengannya.
From : Bang Heru
Maaf sudah bertindak terlalu serius selama ini, aku tahu kamu butuh penyesuaian dengan mengatakan jika kita kakak-adik aja.
Aku hargain keputusan kamu Ran, dan maaf ya jika selama ini udah sering bikin kamu merasa terganggu. Aku nggak bermaksud seperti itu.
Semoga kita bisa kembali berteman seperti sebelumnya.
Rani tidak lagi merasa bersalah saat mengingat pesan tersebut. Bahkan dirinya merasa jika Heru sudah lebih dewasa menyikapi hal seperti itu.
Bukan seperti dirinya, yang merasa bersalah jika tidak menerima Heru masuk di hatinya.
Saat itu, Rani benar-benar merasa bimbang, antara bertahan dengan Dika, atau mungkin beralih dengan Heru yang kapan saja bisa membuatnya tersenyum, walau Dika juga bisa kapan saja membuatnya seperti demikian.
Saat itu, Rani berpikir jika Heru orang yang berbeda.
Ia berbohong kepada Rere kala mengatakan jika hanya berniat membuat Heru baper, padahal yang sebenarnya ... gadis itu ingin mengenal lebih jauh mengenai cowok yang ia kenal kurang lebih dua bulan itu.
Rani tersenyum getir sambil memandangi punggung Heru yang sudah menjauh lantaran dipanggil oleh Pak Surya.
Keberadaan Heru yang tidak lagi berada di sebelahnya, membuat Rani menyimpulkan dari beberapa kejadian yang sudah menimpanya selama ini.
Rani anggap, pergi keluar bersama Heru di acara food festival adalah yang terakhir kalinya.
Dan juga, makan nasi goreng di warung kaki lima, sudah menjadi berakhirnya Rani memikirkan Heru sebagai penyembuhnya.
Rani mulai sadar jika dirinya sudah mencintai Dika secara perlahan.
-----
"Terimakasih sudah membaca, sempatkan untuk menekan votenya ya, kalau mau double up," ucap Rani saat membujuk orang-orang yang belum vote, untuk segera menekan tombol yang sudah disiapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHAR [Rani & Dika] TERBIT✅
Teen Fiction[Sudah tersedia di shopee] Maharani dan Mahardika dijodohkan, lalu menikah selepas wisuda kelas 12. Kehidupan setelah menikah, dilalui keduanya dengan santai layaknya teman biasa. ----- "Kamu apain leher aku?" Rani bertanya sambil menatap Dika yang...
36. Perlahan
Mulai dari awal