4. Gara-Gara Hujan

860 102 357
                                    

"Layaknya tetesan air hujan, yang tak pernah bosan jatuh ke bumi. Kira-kira seperti itulah, rasa cintaku padamu."

-Dilara dalam mode klepek-klepek-

Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Hujan adalah, suatu bentuk presipitasi atau endapan dari cairan atau zat padat yang berasal dari kondensasi yang jatuh dari awan menuju permukaan bumi. Namun tidak semua air hujan mampu sampai ke permukaan bumi, karena sebagian menguap, ketika jatuh melalui udara kering.

Seorang gadis berkulit putih, menghela napasnya panjang. Tetesan air hujan yang jatuh dari langit, kemudian menubruk tanah, membuat rok bagian bawahnya menjadi basah.

Sambil mendumal kesal, Dilara mengangkat rok abu-abunya setinggi lutut. Pagi ini, hujan deras datang tanpa aba-aba terlebih dulu. Dan bodohnya, Dilara lupa membawa payung, jadilah ia terjebak di halte bus depan sekolah seperti ini.

Rasanya sangat dingin. Dilara mulai jenuh, karena sampai saat ini hujan belum juga menunjukkan tanda-tanda ingin berhenti.

Lari, jangan?

Dilara melangkah maju, kemudian mundur lagi. Ada beberapa hal, yang membuatnya ragu.

Pertama.

Dilara tidak bisa lari kencang. Bagaimana jika sampai di kelas nanti, bajunya basah kuyub? Tidak. Dilara tidak mau terlihat seperti--kucing yang habis tercebur got.

Kedua.

Dilara mudah sakit. Jangan sampai ia merepotkan anggota keluarganya, hanya karena hal konyol seperti ini.

Ketiga.

Siapa tahu, Tuhan mengirimkan seorang laki-laki baik hati dan tampan rupa untuknya. Laki-laki yang rela basah kuyub, demi melindunginya dari tetesan air hujan.

Dilara tersenyum, membayangkan Bright Vachirawit Chivaare, yang tiba-tiba melintas di kepalanya.

"Andai Mas Bright meluk gue dari belakang. Gandeng tangan gue, sampai ke kelas, bajunya basah kuyub. Dan ...."

"Pikiran lo jangan macem-macem. Ayo gue anter ke kelas."

Suara itu.

Suara yang sudah dua bulan, tidak pernah terdengar di telinganya. Dilara menoleh ke belakang. Ia mendongak, menatap seseorang yang baru saja bicara kepadanya.

"Evan?" gumamnya pelan.

Tidak. Pasti Dilara hanya sedang halusinasi. Pasalnya, nyaris setiap hari Evan selalu hadir di dalam mimpinya.

Dilara menampar pipinya keras. Sakit. Itulah yang Dilara rasakan. Jadi, ini memang Evan sungguhan?

"Iya, ini gue."

Dilara mengedipkan matanya beberapa kali. "Evan ... Ainsley?" tanyanya ragu.

"Hem."

Dilara menunduk, ia masih belum bisa percaya kepada Evan. Ia ingin menangis sekeras-kerasnya, berharap mimpi manis ini segera berakhir secepatnya.

Ia tidak mau terluka lebih dalam lagi. Ia juga mau bahagia, meski tidak bersama Evan.

Tuhan, bangunkan ia sekarang juga.

"Lo dingin?"

Dilara tidak menjawab. Laki-laki itu, menyelipkan rambut Dilara ke belakang telinga. "Ayo gue anter ke kelas, Ra. Lo jangan keras kepala."

Sentuhan ini terlalu nyata, untuk dikatakan mimpi. Suara Evan terlalu jelas, dan tidak samar seperti biasanya. Dilara semakin terjebak di dalam mimpi indahnya, mengapa sampai sekarang, Tuhan masih belum membangunkannya juga?

Dilara [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang