"Ada satu hal yang benar-benar aku sesali di dunia ini, yaitu pertemuan kita. Jika waktu itu kita tidak bertemu, mungkin aku tak akan pernah merasa sehancur ini."
Katanya, melupakan seseorang itu sulit. Nyatanya, memang benar. Seorang gadis berkulit putih, tengah menatap layar ponselnya. Sejak satu jam lalu, kegiatannya masih saja sama; memandangi foto seseorang, yang tengah tersenyum lebar.
Sesak.
Netranya mulai dibanjiri air mata.
Sepertinya, ia gagal move on lagi.
"Gue pasti bisa bertahan tanpa Evan. Nggak ada sejarahnya, seorang Dilara Zehran lemah kayak gini."
Dilara menyeka air matanya kasar, tak mau mengalah pada kenyataan yang benar-benar menyudutkannya. Ponselnya bergetar, seseorang mengirimkannya pesan. Dilara membuka aplikasi whatsapp, membaca pesan dari Hana--teman sekelasnya.
Hana: Ra, lo di mana? Bu Husna udah di kelas.
Tidak penting. Untuk apa Hana menghubunginya? Bahkan Dilara sama sekali tidak tertarik pada pelajarannya Bu Husna. Sangat menyebalkan.
Pelajarannya Bu Husna itu memang kurang kerjaan. Dilara sendiri tidak tahu, apa gunanya menghitung kecepatan buah yang jatuh dari pohonnya? Daripada repot-repot menghitung hal semacam itu, lebih baik ia belajar melupakan Evan. Itu jelas lebih berguna, bagi hidup dan juga hatinya.
Dilara mengabaikan pesan yang dikirimkan Hana. Masa bodohlah, jika Bu Husna memarahinya. Lagi pula, ini pertama kalinya ia bolos pelajaran Bu Husna.
Dilara mematikan ponselnya, menyimpan benda pipih berwarna putih tersebut ke dalam saku.
Menghela napas panjang, netranya menatap hampa tanaman lidah mertua yang berada di depannya.
Sejuk.
Rooftop memang tempat terbaik, bagi siapa pun yang ingin bolos saat jam pelajaran. Rasanya, ia enggan kembali ke kelas untuk belajar. Tempat ini terlalu nyaman untuk ditinggalkan.
Pintu rooftop terbuka. Dilara menoleh ke arah orang yang sudah berani mengusik ketenangannya.
Hana.
Cewek berambut panjang itu sangat lancang, berani-beraninya ia datang ke tempat ini. Netra Dilara menyipit, bersiap memaki Hana dengan kata-kata kasar.
Raut cemas Hana, langsung berubah tenang ketika ia berhasil menemukan Dilara. Ia mendekati Dilara yang saat ini tengah duduk selonjoran, di atas lantai rooftop yang cukup kotor.
"Ngapain lo ke sini?" ketus Dilara.
Hana memegang kedua bahu Dilara. Ia tersenyum lega. "Untung Hana bisa menemukan Dilara ke sini. Dari tadi, Hana udah cari Dilara ke mana-mana."
Dilara menepis kasar tangan Hana yang berada di pundaknya, Hana ini memang benar-benar lancang. "Jangan sentuh gue! Tangan lo kotor!"
Hana menaikkan sebelah alisnya. "Oh ya? Bukannya lantai rooftop terlihat lebih kotor daripada tangan Hana?" tanyanya dengan nada meledek.
"Berisik lo!" bentak Dilara.
"Lebih kotor lantai rooftop, atau tangan Hana?"
Dilara mengabaikan pertanyaan Hana. Ia tidak mau berbicara dengan cewek sok polos yang selalu mengganggu hidupnya.
"Jawab pertanyaan Hana, Dilara!"
Dilara mendekati Hana, mengikis jarak yang tercipta di antara mereka berdua. "Lo mau tau, lebih kotor mana, diri lo sama lantai rooftop?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilara [SEGERA TERBIT]
Teen FictionPart sudah lengkap. Dont copy my story, please. #1 in Dilara Dilara Zehran, seorang gadis cantik yang memiliki daya ingat lemah. Namun sialnya, ia tidak bisa melupakan Evan Ainsley--mantan pacarnya. Semenjak hubungannya dan Evan hancur, Dilara beru...