••• Warning! Versatile •••
Love is a delayed pain, if you are curious about its presence, then be prepared to feel the pain.
Cahaya redup mengelilingi kedua pria yang tengah duduk di dalam mobil, Singto hanya berdiam diri lalu menatap sejenak sosok yang kini berada tepat di sampingnya, ia merasa ada gemuruh pelan dalam hatinya, Singto tak tahu mengapa rasanya hari ini sangat berat, hingga ia tak bisa bertahan untuk saat-saat ini.
Jemarinya terangkat ke atas ingin menggenggam tangan seseorang yang terlihat sangat tenang itu, meskipun nyatanya tak bisa, sebelum ia bisa meraihnya Singto mengurungkan niatnya dan bersikap seolah tak ingin melakukan sesuatu.
Namun, ada seseorang yang menarik bahu kanannya untuk mendekat, sosok itu menuntunnya hingga pandangan keduanya beradu, keduanya bertatapan sejenak sebelum pria itu menepuk kepalanya pelan, seolah ingin mengatakan sesuatu tetapi tak ada yang terucap di antara mereka.
Singto menundukkan kepalanya, tetapi jemari tu menarik dagunya ke atas agar kedua manik mereka saling bertemu untuk kesekian kalinya, napas keduanya beradu semakin lama makin mendekat, menciptakan suasananya yang intens, Krist bergerak lebih dulu berinisiatif untuk mencium sosok itu lagi.
Krist tak suka Singto yang lebih terlihat murung daripada biasanya, ia lebih suka ketika pria itu menggumamkan beberapa hal tak masuk akal kepadanya. Krist tak menyukai Singto yang hanya diam dan menatapnya dengan pandangan menyedihkan itu, ia tak menyukai keadaan ini. Singto bahkan tidak memberikannya cela untuk tahu meskipun ia memberikan beberapa petunjuk bagi Krist. Walaupun sedikit Krist rasa ia paham apa arti semua ini.
Kedua tepian bibir itu saling bertaut sama lain, mengisap, mengigit serta mengulum satu sama lainnya, terjalin dengan kuat dan tak ingin terlepas sama sekali. Entah siapa yang memulai lebih dulu, akan tetapi kini dengan napas yang terengah-engah serta suasana yang sedikit lebih intens, tangan mereka sudah tidak berada pada tempat yang seharusnya.
Ini bukan hal yang tidak biasa untuk mereka, bukankah memang selalu seperti sekarang?
Mereka memang mempunyai beberapa hal yang sama, tidak bisa terlepas satu sama lainnya. Krist merasa ada yang memandang sekarang, ia menolehkan kepalanya ke arah Singto dan Krist tahu apa maksud pandangan itu, ia tahu tentang segalanya, terapi hanya lebih memilih untuk tak mengucapkan hal yang pria itu ingin dengar.
"Pindah ke sini, aku yang akan menyetir."
"Kau bisa?"
"Kau pikir siapa yang membantumu dari tadi? Lagipula aku heran bagaimana bisa kau sampai ke apartemen dengan satu tanganmu masih memakai gips."
Singto terdiam tak mengatakan apapun dan langsung turun seolah menghindari pertanyaan ini, tentu saja ia tak pergi sendiri, tetapi ada seseorang yang ikut bersamanya dan Singto menyuruh pria itu untuk tinggal sementara ia akan pergi dengan Krist hanya berdua, bagaimana jika ada orang lain di samping mereka? Bukankah itu membuat keduanya justru tak nyaman? Namun, Singto lupa dengan beberapa cela yang dirinya tinggalkan, ia tak memikirkan ini terlalu banyak, karena tak mempunyai waktu untuk berpikir ia sangat merindukan Krist jadi langsung ingin menemui pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Phoenix: Street Fighter [ Peraya ]
Fanfiction[Completed] Krist-petarung jalanan yang menguasai ilmu bela diri kickboxing dan dijuluki Phoenix, karena bisa mengalahkan para lawannya dengan keahliannya hebat yang dirinya miliki, meskipun taruhannya adalah nyawanya sendiri, tetapi ia tidak pernah...