Suaraku tercekat. Mataku menatap kosong pada lelaki di sana. Lelaki yang selalu menunjukan segala tawa padaku. Lelaki yang sudah mengajarkanku arti pertemanan sesungguhnya. Lelaki yang selama ini sudah mengisi segala kisah luar biasa di hidupku. Dan cerita barusan, membuatku ingin meraung, menangis, memaki segala hal padanya.
Dia, anak selir yang aku ketahui sebagai Bright ini, membuat ragaku lemah tanpa hadirnya.
"Jangan, ya?" Suaraku terdengar parau. Aku memaksakan senyum; meyakinkan dia untuk tidak pergi. "Jangan tinggalkan aku, ya?"
Aku mohon.
Aku mohon katakan iya.
"Tidak, Win—"
"Jangan, aku mohon, tetap bersamaku, ya?" Aku menggeleng kuat. Tangisku semakin kencang, membuatku sesenggukan hebat.
Tidak bisakah dia berkata iya? Hanya bersamaku. Apa susahnya itu?
"Win, aku sudah bilang, kan?" Bright menatapku dengan pandangan bersalah. Matanya berkilat penuh kesedihan. "Aku bahagia melihatmu."
Memangnya kenapa? Memangnya kenapa jika dia bahagia?
"Dan karena itu, kekuatan cermin ini akan segera menghilang."
Ugh. Cermin bodoh! Cermin sialan!
Aku memukul berkali-kali pinggiran cermin tua itu. Membuat bayangan Bright sedikit bergetar di seberang sana.
"Bagaimana bisa kau berkata ingin meninggalkanku?" Aku mengigit bibir, menahan rintihan rasa sakit yang tiba-tiba menyerang. "Setelah kau hadir dengan segala rasa—segala rasa—"
Perasaan ini. Entah apa. Membuatku tidak ingin kehilangannya. Membuatku ingin memilikinya—dan hanya untukku. Namun, aku tak mengerti. Aku tak mengerti apa itu.
Bright mendekat. Aku melihatnya mengusap cermin itu dengan lembut. Mata kami bertemu, dan dia tersenyum di sana.
"Indah sekali," gumam Bright.
Wajahku memanas entah mengapa. Mataku mengerjap lamban, tak tahu harus membalas apa.
"Win, kau tahu," mulai Bright, dia masih menatapku dengan senyuman itu. "Aku akan selalu mengingat bagaimana cara kau tersenyum, bagaimana cara kau tertawa, dan saat kau marah padaku, saat kau menangis, saat kau senang dan saat kau sedih. Aku akan mengingat bagaimana kau memakan kue, bagaimana kau membaca buku, bagaimana kau membuat bibirmu mengerucut dan saat kau memberitahuku banyak hal tentang duniamu ini.
Dan Win, aku akan selalu mengingat bagaimana kau membuatku jatuh hati pada senyummu." Bright menatapku dengan senyuman terindah yang pernah ia tampilkan. "Karena aku—karena aku begitu mencintaimu, Win."
Hatiku tertohok. Perutku bergejolak aneh saat Bright mengatakan kalimat terakhirnya. Tangisku berhenti.
Apa—apa katanya?
Dia mencintaiku?
Bagaimana bisa—
Seperti dipompa oleh seseorang, jantungku mulai berdetak cepat. Dan bagaimana nafasku jadi tertahan akibat kurangnya oksigen yang aku hirup, wajahku tiba-tiba memerah entah karena itu atau hal lainnya.
Di saat bersamaan, aku merasa begitu bahagia. Rasanya tak ada lagi yang bisa membuatku menderita saat ini.
Karena Bright mencintaiku.
DIA MENCINTAIKU!
"Benarkah—" Suaraku tercekat. "Benarkah kau—cinta—aku?"
Nafasku memburu. Aku memegang cermin tua itu dengan kuat, membuat buku-buku jariku memutih seketika.
Bright tersenyum lemah. "Tentu, memangnya siapa yang tidak mencintaimu?"
"Banyak, banyak sekali!" Balasku cepat. Entahlah, aku begitu gugup.
Bright terkekeh. "Itu hanya karena mereka tidak mengenalmu, Win. Kau begitu indah melebihi puisi manapun yang pernah kubaca, begitu indah melebihi sejuta bintang yang menghiasi langit malam. Bagiku, kau tidak kurang dari sempurna, membuatku ingin mencintaimu setiap detik saja."
Bright tidak pernah melepas senyumnya. Dia menatapku begitu—
Ah, apa ini rasanya ditatap penuh cinta?
Dia mengusap pelan cermin tua itu. Mata kami saling menyapa.
"Win," ucap Bright pelan, "jangan lupakan aku, ya?"
Aku menggeleng kuat.
Tidak. Aku tidak akan melupakannya, pun membiarkannya pergi meninggalkanku.
"Jangan pergi," ucapku lagi, "jangan."
Bright kembali mengeluarkan senyum sendunya.
"Tidak, Bright."
Tidak, setelah aku mengerti apa yang aku rasakan, dia tidak bisa meninggalkanku. Dia tidak boleh pergi.
"Aku mencintaimu, Bright." Aku berucap frustasi, membuat wajah memohon padanya. "Aku juga begitu sangat benar-benar mencintaimu." Ya, pemborosan kata yang tidak akan aku koreksi, perasaan ini memang memerlukan ekspresi berlebih.
Dia favoritku. Dia kesukaanku setelah Ibu. Apapun yang aku harapkan sekarang; hanya dia ada di sisiku.
"Ambil kembali semuanya, Bright. Aku mohon tetap tinggal bersamaku, ya?"
Apa gunanya semua hal yang ia berikan ini jika pada akhirnya dia pergi? Aku tetap tak akan bahagia.
Anehnya, senyum Bright malah melebar. Wajahnya terlihat begitu bahagia setelah mendengar salah satu dari kalimatku tadi.
"Win, apa—apa kau benar-benar mencintaiku?"
Ugh.
TENTU SAJA, BODOH!
Aku mengangguk cepat walaupun wajahku sedikit memerah.
"Aku juga! Aku juga mencintaimu!" Bright berseru senang.
Astaga, aku tahu, beberapa saat lalu dia sudah memberitahuku, kan!
Bright terdiam sejenak. Dia mengatur nafasnya. Sementara aku begitu gugup hanya untuk menatap matanya.
"Win." Bright membuat ekspresi seperti dia baru saja memenangkan lotre. "Win, Win, Win ...."
Pipiku memanas. Kenapa dia terus memanggilku?!
"Win, Win ...."
Dia tak berhenti. Dan semakin lama dia memanggilku, raut wajahnya berubah jadi menyedihkan.
"Win ...."
Ah, aku tak kuasa menahan tangis.
Kita masih saling menyelami netra masing-masing. Aku mulai mengangguk setiap kali dia menyebut namaku. Mataku berair.
Apa benar tidak ada cara lain?
Apa perpisahan adalah jalan terakhir?
"Win, Win ...."
Dan pada akhirnya, aku tak bisa melakukan apapun. Aku ikut menaruh tanganku di cermin, merasakan tangan Bright di seberang sana. Begitu hangat.
Aku mengangkat sudut bibirku. Ya, aku suka sekali kehangatan ini.
"Bright, aku—aku tak akan mungkin melupakanmu."
Bright terdiam sejenak sebelum membalas. "Ya, aku juga, Win."
Dan dia tersenyum—
PRANG
—untuk terakhir kalinya.
• • •
KAMU SEDANG MEMBACA
magical mirror | brightwin
Fanfiction❕ COMPLETED ❕ Pertemuan Win dengan lelaki dalam cermin itu memang merubah segalanya. "Aku hanya ingin mengembalikan apa yang seharusnya milikmu, Win."