[23]. Viginti-Tres

16.6K 1.7K 40
                                    

Halo, maaf ya kemarin gak ada kabar hampir. Selain habis kuota juga lagi ngerjain laporan yg tiba tiba muncul (lagi). T_T

.
.

Selamat membaca

Bagian duapuluh tiga

***

"Suka gak?" dokter Aftar menutup mataku membawaku ke taman belakang rumahnya, kemudian memintaku duduk dan membuka penutup mataku perlahan. Aku menerjapkan mata untuk mengusir keburaman dimataku.

Aku melihat dekorasi yang indah bernuansa putih, di dekat pancuran kolam ikan, ada gitar akustik yang aku tebak dia akan menyanyi sesuatu untukku. Aku duduk di bawah di sebelahnya beralaskan gelaran dari kain warna biru. "Ini cake kamu yang buat?"

Dia mengangguk. Lebih bagus hiasan dia daripada punyaku. Dia mengecup pipiku sekilas saat aku masih mengamati kue buatannya. "Makan aja."

Dia kemudian mengambil gitarnya lalu menyanyikan lagu Photograph yang aku sukai akhir akhir ini, suaranya begitu mergu hingga aku menekuk lutut menatapnya yang sedang bernyanyi, sesekali tertawa karena dia aku ganggu saat bernyanyi hingga membuat beberapa lirik salah. Aku mengambil whipecream semprot lalu menyemprotkannya ke atas ke arah kami berdua, mengusapkannya rata ke wajah dia karena dia meraup wajahku dengan wiped cream dengan satu tangannya yang besar.

"Nda udah Nda, aku lagi nyanyi." Dia mengeluh saat aku menyusuri wajahnya dengan jariku dimulai dari alis kemudian turun ke hidung hingga ke bibir merona miliknya, tatapannya masih sama seperti biasanya, "Udah ah kamu bikin gak konsen."

Dia meletakkan gitarnya dan aku menepuk tangan menyoraki dirinya yang memposisikan diri seperti konser priabdi. "Konsen apa enggaknya itu tergantung iman kali," Aku menghelak saat dia berusaha meraihku.

"Ih udah, geli. Jangan di kelitikin mulu." Dia menarikku dalam pelukannya membuat wajah kami saling bertatap karena dia mengeratkan pinggangku. 

"Makasih ya udah mau nerima aku." Katanya usai mengecup bibirku. 

Aku memainkan rambutnya yang berantakan, merapikannya dan dia melakukan hal yang sama. "For my pleasure."

Dia memelukku, menumpukkan dagunya di bahuku. Mungkin dia bakal sakit punggung karena memelukku terus terusan.

Cake buatan dokter Aftar seperti brownis yang berisi cream blueberry mint, aku bisa membayangkan bagaimana dia membuatnya. Dia pasti berdiri di pantry sambil menggunakan apron terus tangannya memegang pisau, aku suka cara dia menggunakan pisau baik pisau bedah maupun pisau dapur karena saat itulah otot ototnya kelihatan. 

"Kamu kok bisa masak?" Aku menyuapinya dengan garpu di tangan kiriku, dia tak keberatan ya mungkin karena tinggal di luar negeri lama. Aku terbiasa dengan tangan kiri, bukankah aku pernah bilang kalau aku ambidextrous?

Dia mengambilkan teko berisi sirup siap minum dari kulkas, membawanya ke meja tempat kami makan lalu menuangkannya ke gelas setengah volume dan memberikannya ke aku dahulu. Dia selalu seperti itu, memposisikanku sebagai orang pertama yang mendapatkan sesuatu.

"Waktu di Amrik kan aku sendiri." Dia menaruh gelasnya yang baru saja habis isisnya kareana ia teguk habis. 

Aku memainkan garpu diatas piring, "Bukannya orang tua kamu di Amrik?"

Dia memutar mutar tubuhnya diatas stool, "Kalau aku dari SMP kayaknya disana, terus orangtua ku pindah pas aku kuliah di UI." Aku mengangguk ngangguk, menggigiti sisa cake di garpu.

Vulnere [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang