Recommended song for this chapter :
Wait For Life - Emile Haynie, Lana Del Rey
Aku meneguk sebutir aspirin dari dalam peralatan obat dan keluar untuk menghampiri Jimin di kamarnya.
Saat aku membuka pintu, sebuah senyuman tipis di wajah yang lesu menyapaku dari tempat tidur. Dia sangat sumringah melihatku dan kuharap sisa-sisa tangisan semalam di wajahku takkan menghapus semangatnya. Aku menutup pintu dari dalam sebelum berjalan mendekat, duduk di tepi kasurnya dan hal pertama yang kulakukan adalah menyentuh dahinya menggunakan punggung tanganku.
Oh, syukurlah, batinku mendesah. Panasnya sudah turun.
"Kau pergi ke mana tadi malam?"
"Umm.." Aku memberi jeda. Tidak mungkin aku memberitahunya soal Veronica dan Taehyung . "Temanku membutuhkan bantuan. Tapi itu tidak penting, aku mau tahu keadaanmu."
"Aku sudah baik, Jennie. Dolly sangat sigap merawatku. Terlebih aku juga sudah bilang padamu bahwa aku akan segera baik-baik saja."
"Jadi kau membuatnya seperti sebuah tuntuntan?"
Dia menyeringai lebar, mengangkat alisnya seraya memalingkan wajah dariku seolah tidak ingin mengakui kebenarannya. Inilah yang paling kusukai darinya. Dia kembali padaku lagi, "aku teringat kata-kata Tae Woo yang sangat manjur bagiku. Dan aku terus mengulangnya di kepala."
"Apa?"
"Nanti juga akan terbiasa." Lagi, dia menyunggingkan senyum termanisnya. Begitupun aku, namun entah mengapa itu terdengar menggelitik perutku. Aku jadi mengerti mengapa metabolisme tubuhnya terbilang cukup kuat, Jimin tidak mudah stress karena dari dulu dia selalu mendapat penanganan yang tepat. Seperti didikan Tae Woo misalnya.
"Aku akan memasakkan nasi goreng lagi untukmu!" Kataku dengan nada tinggi, berusaha menghiburnya. Namun aku malah mendapati ekspresinya berubah murung saat senyumnya perlahan menghilang.
"Maafkan aku, Jennie. Seharusnya aku bisa makan masakanmu kemarin."
Kusaksikan tangannya terangkat menyentuh pipiku. Kontan aku menggeleng.
"Tidak, itu tidak masalah. Sekarang aku bisa melakukannya tanpa kokimu." Tukasku, menyentuh tangannya yang masih mengusap pipiku lembut sebelum bangkit dan berbalik menuju pintu. Ada perasaan aneh di dalam usapan tangannya yang mana aku harus memblokade kegiatannya dengan meninggalkannya sendirian di kamar. Selain itu, perasaan yang lain muncul akan bayangan Taehyung yang mungkin saja bekerja sama dengannya. Oh, sial. Pikiran jelek itu sangat mengganggu.
Mungkin lebih baik jika aku cepat-cepat pulang ke rumah karena ia juga sudah sembuh.
Di perjalananku menuju dapur, ponselku berbunyi dari dalam saku gaun putihku. Mengambilnya, aku membaca nama itu secara seksama. Cecil? Aku menempelkannya ke telinga.
"Halo, Jennie! Tak menyangka kau akan mengangkatnya! Apa kau sibuk?"
"Tidak. Ada apa?"
"Besok aku ingin mengajamu ke cafe, apa kau bersedia?"
"Uh, ke cafe?" Aku diam sejenak, menimbang-nimbang. "Di mana?"
"Terserah padamu, nanti hubungi aku lagi. Aku sedang ada urusan di kampus, da-ah!"
Dengan itu panggilan terputus dan aku melanjutkan niatku memasak nasi goreng di dapur.
***
"Bagaimana?"
YOU ARE READING
REDEEM
Fanfiction[M 21+ | Sedang berlangsung | Explicit Content] When a helpless woman trapped in the life of an Antisocial Personality Disorder (ASPD) "He's not just an asshole, he is a whole living devil. Even the hell says 'no' when I find myself falling for it."...