Raga berdecak. Cowok itu mengambil bola dari dalam keranjang lalu melemparnya ke arah Alvaska. "Tangkep Va!"
Alvaska menangkapnya. Dia dan keempat sahabatnya langsung berlari ke tengah lapangan untuk berlatih basket.
Kelima remaja itu mendrible bola masuk ke dalam ring bergantian. Mereka berlima tidak takut di hukum. Bolos berkali-kali, tidak masalah selama mereka memilki otak yang cerdas. Setidaknya Itulah yang kelima cowok itu pikirkan.
Di sisi lain, Kana dan Gara baru saja keluar dari perpustakaan untuk mengambil buku paket pelajaran sejarah di kelas mereka.
Saat berada di koridor, Kana dengan tiba-tiba menghentikan langkah, membuat Gara juga ikut berhenti.
"Lo kenapa, Ka?" Tanya Gara heran.
Kana tidak menjawab. Cewek itu berjongkok sambil memijat pangkal hidungnya yang terasa pusing. Entah kenapa, Kana merasa kepalanya seperti ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum. Sangat sakit.
"Lo sakit, Ka?" Tanya Gara khawatir. Cowok itu mengambil alih buku paket dari tangan Kana.
Kana menggeleng. "Nggak kok. Gue nggak apa-apa." Kana kembali berdiri. "Shh.."
Gara mengangguk paham, kemudian kembali berjalan di samping Kana. Sesekali cowok itu mendengar ringisan kecil yang keluar dari mulut Kana.
Kana memijat pangkal hidungnya.
"Lo bener-bener nggak kenapa-kenapa, kan? Kepala lo pusing?"
Kana menggelengkan kepalanya lagi. "Gue nggak apa-apa, Ga."
Gara mengangguk ragu. "Lo mau ke kantin dulu nggak? Beli minum."
"Boleh."
Kana dan Gara langsung berbelok menuju kantin di koridor lantai bawah. Setelah sampai di kantin, kedua remaja itu berjalan menuju stan minuman.Kana sesekali memejamkan mata menahan sakit di kepalanya. Cewek itu berusaha terlihat baik-baik saja. Padahal, Kana merasa dirinya sebentar lagi akan pingsan.
Gara membukakan tutup minuman botolnya, lalu menyodorkannya di mulut Kana. Kana membuka mulutnya lalu meminum minuman yang disodorkan Gara.
"Udah." Kana menjauhkan minuman itu dari mulutnya. Cewek itu memijat kembali pangkal hidungnya yang terasa pusing. "Gue izin ke UKS aja Ga. Kepala gue pusing banget."
"Mau gue anter nggak?"
"Nggak usah. Gue bisa sendiri."
Setelah mengatakan itu, Kana bergegas pergi meninggalkan Gara yang masih harus membayar minumannya. Cewek itu berniat untuk beristirahat di dalam UKS. Berharap sakit di kepalanya akan berkurang setelah tidur beberapa jam di ruangan itu.
Ketika melewati lapangan outdoor sekolah, Kana tidak sengaja melihat Alvaska dan keempat sahabatnya tengah bermain basket di tengah lapangan. Tanpa sadar, dia menghentikan langkahnya di pinggir lapangan.
Pandangan Kana tidak pernah lepas dari Alvaska yang menggunakan headband di kepalanya dan juga bandana merah di lengan kirinya.
Kana memejamkan matanya ketika sakit di kepalanya kembali menyerang. Cewek itu kembali berjalan mengabaikan rasa sakit dan juga pusing di kepalanya. Hingga tiba-tiba....
Buk!
Sebuah bola basket tepat mengenai pundak Kana. Kana menyentuh pundaknya yang terkena bola.
"Shh.." Kana meringis. Bukan karena rasa sakit di pundaknya yang terkena bola. Tapi karena rasa sakit di kepalanya yang tidak kunjung mereda. Malah rasa sakit itu semakin menyiksa. Kepalanya seakan teremas hingga membuat darahnya seolah mengalir keluar.
Alvaska yang melihat itupun sontak lansung berlari menghampiri Kana yang terlihat sedang menahan sakit di pinggir lapangan outdoor SMA Alantra.
"Lo nggak apa-apa?" Tanya Alvaska saat sudah berada di hadapan Kana. "Pundak lo sakit?"
Saat Cowok itu itu hendak menyentuh pundak Kana yang terkena bola, tangannya langsung di tepis kasar oleh Kana yang kini tengah menatapnya tajam.
Beberapa murid yang tengah melintasi koridor sekolah lantai bawah seketika berhenti melangkah untuk menyaksikan apa yang di lakukan oleh Alvaska dan Kana di pinggir lapangan. Beberapa dari mereka bahkan ada yang sampai memotret dan ada juga mengabadikan moment langka itu lewat video di ponsel yang mereka genggam.
"Jangan. Sentuh. Gue," desis Kana penuh penekan di setiap kata.
Alvaska bisa melihat ada tatapan terluka di balik tatapan Kana yang terlihat begitu tajam. Tangan cowok itu terulur untuk mengelus pipi Kana yang terlihat pucat. "Lo.. Sakit?"
Kana kembali menepis kasar tangan Alvaska, menahan sesak yang tiba-tiba saja menyerang dadanya. Hatinya. Melihat Alvaska hanya membuat Kana kembali mengingat malam di mana cowok itu merenggut paksa kehormatannya sebagai perempuan. Dan itu bener bener membuat Kana begitu terluka. Air mata cewek itu turun tanpa di minta.
Alvaska kembali mengulurkan tanggannya untuk menghapus lembut air mata yang mengalir di pipi Kana. Jujur, hati Alvaska sakit saat melihat Kana menangis.
"Jangan nangis."
Kana terkekeh miris. "Kembaliin kehormatan gue sebagai perempuan sekarang juga Va. Apa lo bisa?"
Alvaska tercekat. Hatinya seakan teremas hingga membuat dadanya terasa sesak. Oksigen di sekitarnya seakan menguap, membuatnya kesulitan hanya untuk sekadar menarik napas.
"Gue-"
"Sampai mati pun, lo nggak bakal pernah bisa," Kana berkata parau. Air mata cewek itu turun semakin deras. Alvaska hendak menghapusnya, tapi langsung ditepis kasar oleh si empunya. Hati Kana benar-benar hancur.
"Lo nggak bakal tau sesakit apa rasanya Va." Suara Kana bergetar. Tanpa berkata sepatah kata pun, cewek itu langsung berbalik badan membelakangi Alvaska.
Dan itu semua tidak luput dari perhatian para murid yang kini tengah memperhatikan Kana dan Alvaska dari balik jendela kelas dan koridor lantai bawah. Mereka semua berteriak histeris melihat kedekatan keduanya.
Ketika Kana hendak melangkah, sebuah tangan sudah lebih dulu melingkar di pinggang rampingnya.
Alvaska memeluk Kana dari belakang. Cowok itu mengeratkan pelukannya lalu menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Kana yang terbuka. Detak jantungnya berpacu begitu cepat. Tangannya yang bebas perlahan bergerak untuk mengelus perut datar Kana dari luar seragam. "A-apa anak kita ada di sini, sayang?" Bisik Alvaska parau.
Deg!
To be continue...
1321 word. Secuil jejak anda, means a lot_
ALVASKA 39
Mulai dari awal