Mereka bahagia, sangat. Walaupun tahu itu bukan akhir perjuangan mereka berdua untuk tetap saling melengkapi, namun mereka benar-benar tahu caranya menyalurkan kebahagiaan mereka dengan tertawa bersama. Seperti beban dipundak mereka sudah berkurang satu, dan mereka sudah siap berjuang untuk rintangan berikutnya dengan sangat percaya diri.

Mereka memiliki satu sama lain. Mereka bahagia menjalani hidup mereka bersama.

Keduanya tertawa dengan binar sama cerahnya dimata masing-masing, masih saling bergengaman tangan dan berputar sambil masih melompat-lompat layaknya anak kecil.

"Aku cinta Kak Baskara!!" seru Mentari keras, tertawa semakin renyah setelahnya.

"Gue juga cinta sam--- anjing!!"

Mentari terkejut, Baskara menunduk, terjatuh sambil memegang erat telapak kakinya. Darah bercucuran dari sana membuat Mentari menutup mulut dengan mata melebar.

"Kak!! Kakak berdarah!"

Tawa mereka seketika berganti dengan kepanikan Mentari. Sedangkan Baskara terkekeh pelan, masih memegang telapak kakinya.

Kelingking jari kakinya terluka sesaat setelah menabrak rak sepatu sialannya. Baskara seharusnya kesal sekarang, namun yang ia lakukan sekarang justru terkekeh dengan senyuman manisnya menatap sang isteri yang kini masih terkejut dan tidak tahu harus melakukan apa.

"Kita udah dapet restu bunda, Tar. Gue gak bakalan ragu-ragu lagi buat bercinta sama lo," ujar Baskara tanpa mencoba menutupi rasa senangnya.

Baskara berkata jujur, selama ini sedikit pikirannya tak nyaman saat tidur bersama Mentari. Memikirkan keluarganya masih tak menyukai pernikahannya bersama gadis yang ia cintai dengan alasan tidak sederajat, sangat mengganggunya.

Itu, bahkan tidak masuk akal. Apa dipikiran mereka adalah hal yang wajib untuk menikahi seseorang yang sama-sama dari keluarga berada, dan orang-orang miskin harus bersama orang miskin juga?

"Ini gak tepat untuk mikirin itu! Sekarang aku harus gimana? Kaki Kakak masih berdarah."

Mentari mulai berjalan gugup mengelilingi kamar, tangannya dengan cepat meraih selimut dan membawanya untuk Baskara.

"Itu buat apa?" tanya Baskara mengangkat sebelah alisnya.

Mentari menatap Baskara ragu-ragu. "Bersihin luka Kak Baskara?" tanya Mentari tak yakin.

Baskara tertawa geli, berdiri dengan sedikit ringisan dan mencium Mentari kilat. Berjalan menuju kamar mandi dan membersihkan darah dikakinya dengan air, tangannya kemudian meraih handuk bersih dan membawanya keluar dan duduk di tepi kasur.

"Tolong ambilin kotak obat, Tar," pinta Baskara sembari mengeringkan lukanya.

Mentari menurut, berjalan linglung di dalam kamar sebelum ingat bahwa kotak obat berada di lemari dapur, ia berjalan cepat mencarinya.

"Ini." Mentari mengulurkan kotak obat pada Baskara yang lagi-lagi mengangkat alisnya.

Mentari mulai berpikir, apakah Baskara melakukan itu untuk membuatnya terlihat semakin menarik atau memang itu dia lakukan tanpa sadar ketika sedang memikirkan hal-hal yang tidak seharusnya terjadi? Entahlah.

"Lo gak mau bantuin gue?"

"Oh, um, o-oke." Mentari dengan kaku mulai mendaratkan bokongnya pada tepi kasur, dan Baskara tanpa di suruhpun sudah mengangkat kakinya yang terluka hingga kini berada di atas pangkuan Mentari.

Mentari diam, tangannya yang sedikit begetar membersihkan pinset dengan alkohol dan menekannya pelan pada luka suaminya.

Baskara meringis pelan, namun matanya tetap menatap lekat sisi wajah Mentari yang terlihat sangat manis ketika sedang fokus.

Ah, Baskara mulai berniat untuk meminta jatahnya setelah ini. Menikah muda memanglah yang terbaik. Baskara tertawa kecil memikirkannya.

Mentari menoleh sekilas dan kembali fokus pada luka Baskara. Ia mulai mengolesi salep antibiotik dan memotong perban menjadi lebih kecil agar mudah membalut luka di jari kelingking kaki Baskara.

"Sebenarnya gak usah pake perban juga gak pa pa. Itu cuma luka kecil," ujar Baskara pelan.

"Biar lebih aestetik aja," balas Mentari jujur. Mungkin ia sedikit aneh karena menganggap luka apapun itu akan terlihat lebih cantik saat dibaluti perban.

"Dasar aneh," komentar Baskara sambil terkekeh, dan Mentari tak tersinggung sedikitpun karena ia sadar akan hal itu.

Baskara meraih tangan Mentari untuk ia genggam. Mentari menurunkan kaki Baskara pelan, dan menoleh dengan senyum kecilnya.

Suaminya terlihat sangat tampan sekarang dengan lengan kemeja terlipat hingga siku dan kancingnya terbuka menampilkan dada bidangnya. Rambutnya berantakan membuat tangan Mentari gatal ingin melarikan jemarinya di sana. Sama seperti saat mereka bercinta dan Mentari akan mulai melarikan jemarinya di temat favoritnya itu saat mereka sama-sama mendapatkan klimaksny---

"Mentari?" panggil Baskara melambaikan tangannya di depan wajah Mentari dengan seringaiannya.

Mentari tersentak saat sadar dari khayalannya, merasakan wajahnya memanas, sangat panas hingga Mentari pikir wajahnya mulai terbakar. Bagaimana bisa ia memikirkan hal mesum seperti itu sambil menatap tubuh suaminya seperti predator lapar? Apa ia benar-benar sudah tak polos lagi sekarang?

Ah, sepertinya memang begitu.

Mentari memalingkan wajah, mengusapnya kasar dengan sebelah tangan.

"Mikirin apa lo? Apapun itu, gue tebak pasti gak jauh-jauh dari masalah ranjang," tebak Baskara tepat sasaran.

Mentari duduk dengan gelisah, ia merasa seperti terciduk saat sedang mencuri barang. Ingin berlari keluar kamar, namun pergelangan tangannya digenggam erat oleh tangan Baskara yang kini terasa hangat.

"Nggak tuh! Sok tau!" kilah Mentari yang membuatnya semakin terlihat jelas sedang berbohong.

"Aku, aku cuma mikirin Kakak udah makan atau belum? Cuma itu kok!"

"Ooh." Baskara mengangguk seolah-olah percaya dengan jawaban Mentari.

"Gue belum makan, dan niatnya memang pengen makan sekarang."

"Oke, kalau gitu, ayo!" Mentari menarik tangan Baskara antusias, sudah tak tahan untuk terus berada diobrolan yang menyudutkan dirinya.

"Di sini."

Mentari menoleh ke belakang pada Baskara yang tak sedikitpun beranjak dari duduknya. Apa Baskara sesakit itu untuk makan di tempat tidur, pikirnya heran. Itu bahkan hanya luka di jari kelingking kakinya. Mentari berkomentar seolah-olah tak merasa panik saat melihat darahnya tadi.

"Ya, di sini. Di atas kasur," jelas Baskara dengan suara rendah, tangannya melepas kancing kemeja satu-persatu hingga kain itu lepas dan menampilkan tubuhnya dengan sangat jelas.

Mentari ternganga, sedikit paham dengan apa yang Baskara benar-benar inginkan.

"Itu, tadi, aku bener-bener gak mikirin tentang itu. Kak Baskara kayaknya salah paham, deh." Mentari meringis pelan, mencoba menjauh namun Baskara dengan cepat memeluk perutnya.

"Lo kapan sih gak malu-malu lagi. Padahal kita sama-sama tau kalau lo juga suka itu, kan?" bisik Baskara menggoda Mentari.

Iya, aku suka! Tidak seharusnya kan Mentari menjawab begitu? Mereka masih pengantin baru, dan bersikap malu-malu adalah hal yang wajar dari pada harus agresif.

Mentari berdehem pelan untuk menyamankan tenggorokannya yang tercekat. "Siapa yang malu-malu. Aku, emh, kaki Kakak kan lagi sakit. Aku gak yakin kalau Kak Baskara bisa maksimal nanti."

Baskara terkekeh dengan sangat rendah membuat bulu kuduk Mentari serempak meremang. Tubuhnya yang terlempar ke kasur dan seringaian Baskara menyadarkannya jika tak seharusnya ia menantang suaminya yang perkasa dengan kalimat itu.

Mentari yang malang--- beruntung ... sekali lagi ia harus melayani suaminya hingga beberapa jam ke depan.

Tbc ...

Unpredictable Journey [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang