Part 5

131 22 0
                                    


Jam delapan malam aku sudah tiba didepan rumahku. Aku menghela nafas kembali, aku tidak tau akan ada apa lagi dirumah, apa aku akan kembali dimarahi?

Ya Allah sungguh aku sudah tidak tahan lagi, entah sampai kapan aku harus bertahan seperti ini.

Aku mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Kakiku berniat menaiki tangga menuju kamarku. Tapi suara itu menghentikan langkahku dan memaksakan tubuhku untuk kembali mendengar perkataannya.

"Hei runa, buatkan cepat makanan kita untuk malam ini, kamu ini, memang sangat suka keluyuran diluar!" Ucap ibu mia, ibu tiriku.

Ya Allah bu, aku keluar untuk bekerja bukan keluyuran.

Sudah berapa kali aku mengatakan itu, tapi libatlah, ini malah akan menambah ucapan kasar dari mereka.

Rania disampingnya mengangguk setuju. "Kamu tau, kami menunggu kamu lama sekali."

Aku menghela nafas panjang.

Ya Allah, kuatkan aku.

Aku menggangguk. Berusaha tersenyum. Kakiku tidak jadi melangkah ke kamar. Aku lanjutkan langkahku ke dapur dan memulai untuk memasak. Sampai makanan yang kubuat sudah selesai dan menghidangkannya dimeja. Ayah, ibu, rania dan juga rama sudah duduk dimeja makan. Aku ikut duduk disamping rama. Didepanku ada ibu dan rania sedang ayah ada di sisi yang lain.

Semuanya mulai makan.

Ditengah suapan. Rania beceloteh tentang seorang lelaki yang hampir saja menabraknya. Lihatlah matanya sangat berbinar bahagia. Padahal ia bisa saja terluka saat itu. Aku tetap melanjutkan makan.

"Aku sudah meminta nomernya tapi dia menolak memberikannya. Dan ibu tau, namanya itu adnan, dia tampan sekali, bu, aku menyukainya." Ucap Rania. Aku tersedak.

Uhukk! uhukk!

Dengan cepat tanganku mengambil gelas berisi air. Meminumnya. Rania menatap sinis padaku.

"Kalo makan itu biasa aja kali, ngebut banget!" Aku mengangguk meminta maaf.

Sebentar. Apa yang tadi dikatakan rania? Adnan? Apa yang dimaksud rania, kak adnan? Aku menggeleng cepat, didunia ini banyak lelaki yang bernama sama, kali saja itu cuma adnan lain. Aku tidak ingin jika rania sama sepertiku menyukai adnan, jika ia tau pasti ia akan memaksaku meminta nomer hpnya atau lebih parah lagi adnan dan rania malah lebih dekat.

Maafkan aku Ya Allah.. aku bersikap egois, tapi aku tidak ingin rania memiliki adnan. Walau aku tau adnan pasti menolak wanita sepertinya, Aku tau type wanita yang diinginkan adnan dan yang pasti itu bukan rania.

***

Dijendela kamarku aku memangku dagu. Menatap langit gelap Gemerlap bintang dan bulan menjadi penghias langit malam ini. Aku tersenyum. Masyaallah indah sekali bukan.

Melihat suasana malam seperti ini, membuatku tenang sejenak.

"Ibu, aku merindukanmu. doakan aku disini, doakan aku menjadi wanita yang tegar dan kuat menerima semuanya, bu," ucap pelanku berharap ibuku disana mendengarkanku.

Aku membenarkan posisi dudukku dan sandaranku di jendela. Aku tersenyum.

"Ibu, apa boleh runa ceritakan sesuatu?" Ucapku seolah ibuku ada benar dihadapanku.

Angin malam membelai lembut hijabku. Seolah itu ibuku yang sedang mendekap sayang tubuhku dan Tersenyum. Malam itu seolah aku mendengar bisikan pelan yang membuatku semakin terbuai dalam dekapannya.

"Iya sayang, ceritakan lah," dekapan itu terlepas. Aku menatap wajah didepanku ini. Aku tersenyum kembali.

"Ibu?" Ucapku tak menyangka. Semuanya seolah nyata. Aku menangis terharu. kembali menghamburkan pelukanku pada sosok yang kurindukan sejak lama.

"Ibu tau? Aku sangat merindukan ibu, kenapa ibu pergi begitu cepat? Ibu taukan, bahkan aku belum merasakan belaian ibu sama sekali. Kenapa ibu pergi?" Wanita yang memelukku tersenyum singkat. Matanya persis sepertiku. Bahkan senyumnya? Aku seperti menyaca diriku. Ibuku mirip sekali denganku.

"Ibu pergi karena ingin melihat anak ibu seberapa kuat dan tegar ia menjalani hidupnya."

"Tapi, Bu, runa sudah tidak kuat. Runa ingin ikut ibu saja disana, yah." Bujukku menahan tangis.

Wanita didepanku menggeleng pelang. Senyumnya tak pernah pudar. Sekarang kedua tangannya menangkup pipiku. Tangisku semakin merembas. Mata itu masih menatap lekat diriku.

"Tidak, sayang, masih panjang waktu hidupmu disini, masih banyak harapan dan keinginan yang belum terkabulkan."

"Ibu, aku hanya ingin ibu terus disampingku, terus mendekapku seperti ini."

"Ibu selalu ada untukmu, runa, bahkan ibu sangat dekat denganmu, kamu mau tau ibu dimana? Ibu ada dihatimu sekarang. Ibu selalu mendoakanmu sepanjang saat. Anakku harus kuat anakku pasti tegar." Ucapnya. Aku tersenyum ditengah tangis. Kembali memeluk tubuh itu.

"Ibu, aku ingin bercerita tentang seseorang," ucapku menghapus air mataku. Wajahku kembali berbinar.

"Siapa, hum?"

"Dia ... dia adnan, bu," ucapku malu-malu. Ibu mengusap puncak kepalaku.

"Kamu menyukainya?" Aku mengangguk. Berusaha Menyembunyikan senyumku.

"Dia baik, bu, dia sangat baik padaku, ibu tau, ia membawaku ke rumahnya dan orang tuanya juga tak kalah baik lagi, mereka mengajarkan aku segalanya, bu, dan ibu tau? Sekarang aku berhijab karna keluarganya, mereka sangat baikkan?" Ibuku mengangguk. Senyumnya semakin membuatku tak ingin melepaskan genggaman tangannya.

"Ya sudah, katakan pada dia jika kamu menyukainya," goda ibuku.

"Ahh ibu, dimana-dimana lelaki dulu yang menyatakan perasaannya."

"Kamu lupa, runa, khadijah istri rosululloh juga menyatakan cintanya pada rosul? Bukan rosul dulu yang menyatakan cintanya kan?" Aku menggeleng, menampilkan wajahku yang cemberut.

"runa bukan seperti ibunda khadijah yang berani menyatakan perasaanya pada rosul. Tapi sepertinya bu, runa ingin seperti kisah cintanya fatimah dan ali saja, yang diam-diam saling mencintai, dan akhirnya mereka dipersatukan oleh Allah, iya kan bu?" Tak ada jawaban.

Ibu? Dimana ibu?

Aku tersadar, apa tadi aku bermimpi? Tidak mungkin, tapi itu seperti nyata. Aku menghela nafas. Beberapa detik kemudian kembali tersenyum. Mataku kembali menatap langit gelap didepanku.

"Ibu, terima kasih telah menyempatkan hadir, walau sebentar, tapi tak apa bu, segitu saja sudah membuatku sangat bahagia." Ucapku kemudian.

Drrttt.. drrttt..

Suara pesan masuk di handphoneku. Aku dengan cepat beranjak dan mengambil benda pipih itu di meja belajarku.

Pesan dari adnan, aku tersenyum.

Adnan
Assalamualaikum, runa.

Aku
Waalaikumsalam, kak adnan, iya ada apa ya?

Adnan
kedua orang tuaku menyuruhku untuk mengajakmu main kesini. Mereka sepertinya merindukan mu, Aku tau besok kamu libur, kan? Jadi apa bisa luangkan waktumu?

Aku tampak berfikir sejenak. Besok hari minggu, besok juga kafe libur. Tugas kuliah juga sudah ku selesaikan. Tidak ada salahnya jika aku menerima tawaran adnan tadi.

Aku kembali mengetik

Aku
Iya, insyaallah, kak aku akan kesana, besok.


Tak menunggu lama, adnan kembali membalasnya.

Adnan
Syukran, aku tunggu dirumah besok. Assalamualaikum.

Aku
Waalaikumsalam...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HarunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang