13. Aneh

19.5K 2.2K 286
                                    

Happy reading 🤗
.
.
.

"Makan dulu kali, Mbak. Lo semalem tidur jam dua, lho." Fani masuk ke ruang jahit, berdiri di sebelah meja yang kugunakan untuk menjahit.

Semakin dekat dengan acara fashion week, kami semakin sibuk dengan segala persiapannya. Semua desain baju yang merupakan bagianku, sudah selesai beberapa minggu lagi dan tinggal merampungkan proses menjahitnya. Dan seperti biasa tiap kali membuat desain baru, kami tidak pernah membiarkan baju itu dijahit oleh bagian produksi. Maka itulah, aku dan dua desainer J&P rela lembur sampai tengah malam bahkan sudah menginap selama dua hari ini di butik. Untungnya, di lantai teratas memang disediakan ruangan khusus istirahat kami.

"Iya, ini juga udah selesai bagian lengan." Aku mematikan mesin jahit. Lalu memeriksa hasilnya yang membuatku tersenyum puas.

"Ya udah yuk keluar."

"Iye, bawel." Aku bangkit berdiri, lalu mengerling ke arah Fani. "Khawatir banget lo sama gue?"

Fani langsung bergidik jijik. "Please ya, Mbak, kurangin rasa percaya dirinya. Noh, di depan udah ditunggu berondong lo!"

Aku memutar bola mata. Memilih keluar setelah pamit pada anak-anak yang sedang sibuk menjahit. Di ruang fitting, sudah ada Dewa dan Bangraf yang sedang mengobrol.

"Ada Bangraf juga?"

Fani hanya membalasnya dengan mengedikkan bahu sambil berjalan ke arah gaun-gaun kids yang memang menjadi bagiannya. Aku memiringkan bibir, memilih untuk menghampiri dua pria publik figur itu.

"Bangraf!"

Pria yang usianya tiga tahun di atasku itu menoleh. Lalu senyum ramahnya terbit. Senyum yang seketika membuatku teringat pada Galih, cowok yang dulu naksir berat pada Kiara.

"Hello, designer."

"Hello, singer."

Lalu kami sama-sama tergelak. Rafael Pradipta ini adik sepupunya Banggi. Lebih tepatnya, anak dari sahabat masa kecil Tante Bintang, yaitu Om Galang. Aku akrab sih dengan Bangraf, tapi tidak seakrab dengan Banggi dan Bangkev. Karena lingkup pergaulan yang berbeda.

"Itu yang tadi jalan sama kamu, nggak suruh ke sini?"

Mendengar pertanyaannya, aku memutar bola mata sambil mendengus. "Please ya, Bang, kalau mau cari mangsa jangan di sini. Dia temen aku, yang nggak bakal aku lempar ke kandang buaya darat macam Abang!"

Inilah perbedaan antara Bangraf dan Banggi. Banggi itu walaupun kadang tidak bisa mengontrol emosi, tidak bisa lemah lembut, dan suka to the point, tapi dia tidak pernah main perempuan. Dia lebih memilih sendiri sampai tua daripada bergonta-ganti pasangan hanya dengan alasan mencari yang benar-benar pas. Beda dengan Bangraf yang playboy. Kadang dua bulan bisa putus tiga kali.

"Dan jangan kira aku nggak tahu kalau belakangan ini Abang ngejar-ngejar Fani, ya." Aku mendahului ketika Bangraf terlihat akan memberi pembelaan. "Please dong, Bang. Fani itu anak baik-baik. Dia nggak cocok sama dunia Abang. Jangan dia."

"Kalau niatku nggak main-main? Kamu nggak pernah mikir kalau suatu saat aku bakal serius? Dan mungkin ini saatnya. Dan dia orangnya."

Aku mendengus keras-keras. "Hilih billshit!"

Bangraf hanya terkekeh, meski setelah itu dia mengarahkan pandang ke arah Fani yang begitu serius dengan pekerjaannya. Biar saja. Peringatanku untuknya pasti sudah cukup untuk membuat dia tidak berani macam-macam. Lalu aku menoleh ke arah Dewa yang diam dari tadi.

"Sariawan lo?"

"Kan lagi nonton debat negara. Penonton harus diem."

Aku memutar bola mata. Mengambil duduk di sebelahnya, lalu membuka kotak kertas di atas meja. "Ini lo yang bawa?"

Aww-dorable You (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang