Pak Aditya menatapku dengan serius, matanya menilai lautan yang nggak berujung di depan kami. "Kamu yakin? Ini lautan terbuka, Luna. Kita bisa terjebak lebih jauh."
AKu paham kekhawatirannya. Peluang hidup dan mati kami saat ini 50:50. Artinya sama besar. Menunggu bantuan yang entah ada atau nggak dan kapan sampainya, sama riskannya dengan mencoba berenang mencari daratan. Kalaupun kami mati di tengah pencarian, paling tidak, kami sudah berusaha.
Aku mengangguk cepat, tekadku mulai menguat. "Lebih baik bergerak daripada menunggu saja. Jika kita bertahan terlalu lama di sini, kita bisa kehabisan tenaga. Kita harus berusaha."
Pak Aditya tampaknya ragu sejenak, lalu mengangguk lemah. "Baiklah, kalau begitu. Kita berenang bersama."
Kami mulai berenang, bergerak bersama-sama dalam keheningan yang menakutkan. Lautan ini terasa lebih menakutkan dengan setiap langkah, dengan setiap tarikan ombak yang semakin kuat. Aku tahu, kami berdua harus bertahan. Aku berusaha menjaga jarak agar kami tetap dekat, takut terpisah di tengah ketidakpastian ini.
Aku merasa sangat kehausan. Kerongkonganku kering setelah berteriak selama berjam-jam. Namun aku nggak boleh meminum air laut yang mengandung banyak garam. Itu bisa berbahaya untuk tubuhku. Aku terus berenang dengan sisa tenaga.
Namun, setelah beberapa lama berenang, aku mulai melihat perubahan pada Pak Aditya. Dia semakin terlihat lemas. Aku menoleh, dan melihatnya menunduk sedikit, seolah mencari angin di antara ombak yang datang silih berganti. "Pak, jangan!" teriakku ketika melihat Pak Aditya menenggak air laut untuk meredakan kehausan. Itu salah, sangat salah. Tapi sudah terlambat. Beberapa detik kemudian, dia tersedak, dan mulai muntah-muntah.
"Pak Aditya!" Aku berteriak, mengguncang tubuhnya, mencoba menjaga kepalanya tetap di permukaan. Tapi Pak Aditya tidak bergerak. Tubuhnya mulai kehilangan keseimbangan.
Aku merasa panik, jantungku hampir terhenti. "Pak Aditya, bangun! Bangun!" Aku mengguncangnya dengan sisa tenaga yang ada, tapi matanya tetap terpejam. Aku mencoba menahannya di permukaan, tetapi dia semakin lemah. Hatiku semakin gelisah. Aku harus bertahan, aku harus menemukan daratan, tapi aku tidak bisa meninggalkannya sendirian.
Dengan susah payah, aku menggenggam tubuh Pak Aditya dan terus berenang, meskipun kelelahan mulai menyerang. Laut terasa begitu dalam dan luas, seolah nggak ada akhir. Aku berdoa dalam hati meminta pertolongan pada-Nya. Dia yang memberiku hidup dan Dia pula yang berkuasa mengambilnya. Apabila aku mati di sini, saat ini, aku bersiap dikubur di dasar laut, tanpa nisan dan tanpa nama.
Ketika aku merasa hampir putus asa, akhirnya, di kejauhan, aku melihat sesuatu yang tampak seperti daratan. Pulau kecil, aku nggak tahu itu pulau apa. Aku berenang menuju ke sana, dengan tubuh Pak Aditya yang semakin dingin di tanganku.
Sore hari mulai menjelang ketika aku akhirnya sampai di pantai kecil itu. Aku menyeret tubuh Pak Aditya dengan segenap kekuatanku, meskipun tubuhku hampir nggak bisa bergerak lagi. Aku menarik tubuh Pak Aditya ke pasir, berusaha memposisikannya agar tetap terlindung dari ombak.
Tersengal, aku terduduk di hamparan pasir putih dan melihat hamparan biru laut yang nyaris saja menelanku hidup-hidup. Aku masih hidup! Ya, aku selamat! Aku menangis sendirian dengan perasaan campur aduk dalam hatiku. Bersyukur sekaligus ketakuan.
Di sampingku, tubuh Pak Aditya terkapar nggak berdaya. Dia diam nggak bergerak. Aku memeriksa tubuh Pak Aditya, dan dia sudah sangat dingin. "Pak Aditya..." Aku berbisik, mencoba merasakan detak jantungnya, masih ada tapi sangat lemah. Bibirnya kebiru-biruan, tubuhnya kaku. Aku panik, sangat panik. Aku harus melakukan sesuatu.
Aku mulai membuka pakaian Pak Aditya, berusaha menghindari hipotermia. Tubuhnya yang terendam terlalu lama di air membuatnya semakin lemah. Tersaru-saruk dengan lutut gemetar, aku mencari ranting kering, batok kelapa yang sudah membusuk, dan daun-daun kelapa kering untuk membuat api. Untungnya tadi aku sempat mengantongi korek api di saku jins. Firasatku benar. Ilmu bertahan hidup yang selama ini kudapat dari kegiatan pencinta alam, sungguh bermanfaat.
Korek api itu nggak mau menyala sementara tubuhku semakin menggigil kedinginan. Jantungku berdebar keras. Setiap detik terasa sangat lama. "Aku harus berhasil," gumamku, berusaha menenangkan diri.
"Yes!" Aku bersorak saat korek itu menyala pada detik-detik terakhir di ambang keputus asaanku. Aku berhasil membuat api unggun. Api itu menyala perlahan, dan aku segera mendekatkan tubuh Pak Aditya yang kaku ke arah panas itu, berharap panas api bisa sedikit menghangatkannya. Namun, mataku tidak pernah lepas dari wajahnya yang semakin membiru.
Aku mulai memberikan CPR. Menggunakan segala daya untuk menekan dadanya, berharap ada kehidupan yang kembali. Aku tidak bisa menyerah. "Pak Aditya, bertahanlah..." Aku berbisik penuh harap. Aku menekan dadanya lagi, tetapi Pak Aditya tetap tak bergerak. Bibirku terasa kering, dan air mata nggak bisa kutahan lagi. "Tolong, Pak... bangunlah..."
Tapi tak ada yang berubah. Pak Aditya tetap terbaring diam.
***
Bakal gimana nasib Pak Aditya dan Luna di Pulau Terpencil?
Vote dan komen yang banyak.
Love,
💋 Bella 💋
Pulau Terpencil (3)
Mulai dari awal