Aku terjatuh ke laut begitu cepat. Rasanya seperti terlempar dari dunia ke dunia lain—dunia yang penuh ketakutan dan kebingungannya sendiri. Tubuhku berputar di udara dan kemudian, air laut menyambut dengan kedinginan yang memekakkan. Aku nggak sempat bernapas, air langsung masuk ke mulut dan tenggorokan. Sebelum sadar, aku sudah terbenam sepenuhnya dalam gelapnya lautan.
Aku mencoba naik ke permukaan untuk mengambil napas. Ya! Berhasil! Oksigen terasa begitu berharga setiap detiknya. Beberapa detik berlalu, dan aku panik, mencoba membuka mata. Gelombang besar datang, menghantam tubuhku, mendorongku lebih dalam. Aku merasakan setiap tarikan air yang masuk ke tubuhku, menenggelamkan seluruh indra, melenyapkan rasa takut yang sempat kurasakan. Tubuhku bergerak refleks, berenang ke permukaan, dan akhirnya aku berhasil muncul lagi. Air laut terasa begitu dingin dan rasanya nggak ada habisnya. Jantungku berdetak kencang.
Aku memandangi sekitar. Ada banyak orang yang terjatuh juga. Aku bisa melihat Bu Rina, namun dia tanpa pelampung dan langsung tenggelam. "Bu Rina!" Aku berteriak, berharap bisa membantu, tapi tubuhnya menghilang begitu saja di bawah gelombang.
Di kejauhan, aku bisa melihat Pak Fajar, Bu Maya, dan beberapa anggota tim lainnya terlempar ke laut, mereka tersebar jauh, nggak ada yang bisa kujangkau. Aku nggak tahu apakah mereka masih hidup atau tidak. Aku menelan ludah, merasa gelisah. Aku berteriak, mencoba memanggil nama Mas Hilbram. "Mas Hilbram!" Aku berharap bisa mendengar suaranya, setidaknya tanda bahwa dia masih selamat. Tetapi... nggak ada jawaban. "Mas Hilbram!" Aku memanggilnya lagi, kali ini lebih keras, dengan harapan bisa membuat suaraku menembus ombak yang terus bergulung.
Nggak ada suara, hanya deburan ombak yang menggema di telingaku. "Pak Eko!" Aku mencoba lagi, panik mulai menyusup dalam diriku. Tapi tetap—hanya keheningan yang menjawab. Lautan yang begitu luas ini menelan setiap teriakan dan harapan.
Jantungku berdegup semakin cepat. "Ya Tuhan, aku harus apa?" lirihku bingung. Tubuhku semakin terasa lelah, aku merasa seperti terperangkap di dunia yang nggak bisa kuatur. Ketika aku hampir terjebak dalam ketakutan itu, aku mendengar suara yang mengarah ke arahku.
"Luna!"
Aku menoleh ke kiri dan melihat Pak Aditya—dengan pelampung yang masih menempel di tubuhnya. "Pak Aditya!" Aku berteriak lega. Itu dia. Aku bisa melihat dia mengapung di tengah lautan, meskipun wajahnya terlihat lelah, dan tubuhnya tampak bergoyang-goyang tertarik arus.
"Luna, kamu baik-baik saja?" suaranya serak, dan aku bisa melihat dia menatapku dengan pandangan yang penuh kelegaan.
Aku mengangguk meski aku tahu dia tidak bisa melihatnya dengan jelas. "Aku baik-baik saja, Pak. Tapi, Pak Aditya... kita harus tetap bersama. Jangan terpisah!" aku berteriak, berusaha menahan rasa cemas. Suara ombak seakan menyapu setiap kata, tapi aku yakin dia mendengarnya. "Bapak bisa berenang kan?"
Pak Aditya mengangguk lemah, terlihat sedikit kelelahan. "Saya bisa berenang, Luna. Tapi... saya tidak pernah berenang di laut seperti ini." Ada kegelisahan yang tak bisa disembunyikan dalam suara Pak Aditya. Aku bisa merasakannya.
Aku menggenggam tangannya, berusaha tetap tenang meski jantungku berdegup kencang. "Kalau begitu, kita harus tetap dekat. Jangan sampai kita terpisah!" Aku menggenggam tangan Pak Aditya lebih erat, merasa sedikit lega karena kami masih bisa saling meraih.
"Kita sama-sama teriak yang kencang ya, Pak. Siapa tahu ada perahu nelayan atau kapal yang lewat."
Pak Aditya mengangguk. Selama beberapa jam, kami terus berteriak meminta bantuan, namun tidak ada yang datang. Laut ini luas dan sunyi, hanya ada ombak yang bergulung, seakan mengabaikan usaha kami. Tubuhku semakin lelah, dan rasa haus semakin menjadi. Aku menoleh ke Pak Aditya, berharap ada solusi, sesuatu yang bisa memberi harapan. Namun Pak Aditya tampaknya nggak pernah berhadapan dengan situasi darurat yang mengancam nyawa seperti ini, terutama karena lawan kami sekarang adalah alam liar, lautan lepas. "Pak, kita nggak bisa hanya menunggu. Kita harus berenang mencari daratan."