Farrel ke studio. Gak tau kenapa, dia pengin aja ke studio pada malam itu. Studio gelap, gak ada cahaya. Dia berdiri di luar. Matanya mengalih pada kaunter di depan. Dia teringat pertemuan pertama dia dan Dinda di kaunter tersebut. Dinda seakan tergugup ketika melihatnya.
Farrel kemudian ingin pergi tapi langkah terhenti tatkala mendengar suara orang menyanyi di dalam. Farrel coba menjenguk ke dalam, mendekatkan telinga pada cermin pintu. Memang benar, ada suara orang menyanyi di dalam. Dan yang menyanyi itu.. Dinda?
Farrel terus saja berdiri disitu, mendengar nyanyian Dinda. Begitu sayu sekali nyanyian Dinda seakan dia meluahkan isi hatinya.
'Hari demi hari dan juga malam
Dari malam aku bernapas lalu
Mengingat semua tentangmu
Saat berdua hatiku pun tergetar
Saat kau senyum hatiku pun berdebar
Ternyata bukan milikku
Berulang kali kau titip salam untuknya
Ku tak rela 'tuk menyampaikannya
Tahukah kamu, tahukah dirimu
Betapa diriku menginginkan dirimu
Pedih hatiku saat kusadari
Mencintamu yang cinta pada dia
Berharap kau segera melupakannya
Berharap kau tak lagi suka padanya
Tuhan, tolong ubah hatinya
Berulang kali kau titip salam untuknya
Ku tak rela 'tuk menyampaikannya
Taukah kamu, taukah dirimu
Betapa diriku menginginkan dirimu
Pedih hatiku saat kusadari
Mencintamu yang cinta pada dia
Salahkah bila kumenunggu
Demi hati yang mencintaimu
Tahukah kamu, tahukah dirimu
Betapa diriku menginginkan dirimu
Pedih hatiku saat kusadari
Mencintamu yang cinta pada dia
Pedih hatiku saat kusadari
Mencintamu yang cinta pada dia
Mencintamu yang cinta pada dia'
Selesai nyanyi, Farrel tak beranjak. Malah dia menunggu sehingga melihat kelibat Dinda. Cahaya lampu dihidupkan. Farrel akhirnya melihat Dinda. Dia mengetuk cermin itu.
"Dinda! Dinda!" Farrel memanggil sambil mengetuk. Dinda menoleh tatkala dengar suara seseorang.
"Farrel?"
"Dinda! Dinda buka pintunya!"
Dinda menapak dekat. "Kamu ngapain disini? Pulang gy. Aku gak mahu ktemu kamu." Balas Dinda.
"Ayolah Dinda. Buka. Aku mahu ngomong sama kamu."
"Aku gak mahu ngomong sama kamu. Dan gak ada yang perlu diomongi."
"Din. Aku tu cari kamu di mana mana tau gak. Aku dan Sheila khawatir sama kamu. Sheila..."
"Stop! Aku gak mahu dengar lagi. Mendingan kamu pergi. Pergi Farrel!"
"Gak! Aku gak akan pergi selagi kamu gak izinin aku untuk masuk. Dinda. Jangan kea anak kecil." Akhirnya Farrel mengeluarkan kata kata itu. Dia harus membuat Dinda sadar.
"Anak kecil? Jadi selama ini kamu anggap, tingkah aku tu kea anak kecil? Ngambek sesuka hati, itu kea anak kecil?"
Farrel meraup mukanya. "Din. Apa yang harus aku lakuin sih, supaya kamu mahu dengarin aku?"
"Kamu mau tau apa? Aku kasi tau kamu. Kamu putus sama Sheila."
Farrel terkejut mendengarnya.
"Kenapa? Kamu gak bisa?" Ulang Dinda.
"Kamu gak boleh selfish donk, Dinda. Aku dan Sheila tu saling mencintai. Aku gak akan mutusin dia."
"Selfish? Kamu bilang aku pentingin diri sendiri? Terus, kamu dan Sheila ngak? Kalian jadian, dan sama sekali gak kasi tau aku. Backstreet dibelakang aku. Apa itu bukan kepentingan kalian sendiri? Ah?" Giliran Dinda yang meluahkan semuanya.
"Aku tu cinta sama kamu, Farrel! Aku tu cinta sama kamu." Airmata Dinda mengalir. Farrel jadi tak keruan. Andai saja dia ada didekat Dinda.
"Tapi kamu gak pernah peduli sama aku! Kamu ngasi aku harapan! Kalo kamu gak suka sama aku, kenapa kamu selalu baik dan dekat sama aku? Kenapa kamu selalu perhatian sama aku! Apa itu untuk mendapatkan perhatian Sheila? Karna kamu suka sama Sheila? Itu sama aja dengan kamu memanfaatkan aku, Farrel!"
Farrel menggelengkan kepalanya. Dia tak bermaksud seperti itu. Dia memang ikhlas dan tulus berteman dengan Dinda. Dinda udah salahfaham.
"Kamu salahfaham, Din."
"Ngak!"
"Aku gak pernah manfaatin kamu!"
"Ngak! Diam!" Dinda meninggi suaranya.
"Kamu hancurin hati aku, Farrel. Kamu dan Sheila sama sama hancurin hidup aku. Aku benci sama kalian! Aku benci! Pergi Farrel! Pergi!!"
Farrel mundur ke belakang. Dia melihat tangisan Dinda. Sungguh dia tak tegar. Dinda bersandar pada cermin pintu. Perlahan lahan dia merosot ke bawah sehingga terduduk. Farrel tak beranjak, dia memandangi Dinda disitu.
"Ahhhh!!" Dinda meluahkan rasa sakitnya. Farrel turut sakit melihatnya.
-
Studio tak lagi seperti dulu. Dinda tidak masuk hari ini dan Sheila merasa sepi.
Imbasan dia dan Dinda di studio bermain dalam fikiran. Dia terkenang saat keduanya baru buka studio ini, saat mereka meluang waktu bercanda di studio sehingga mereka karoakean lah, jamming lah. Semuanya mereka melakukan bersama.
Kini telah berbeda.
-
Dinda ada di Taman Menteng. Dia sedang ngamen, menyanyikan sebuah lagu yang sangat kena pada situasinya saat ini.
Dinda tak mempedulikan orang orang disekeliling. Memang, rame yang menghulurkan uang padanya. Tapi dia endahkan.
Fikirannya malah mengenangkan pada moments nya bersama Farrel dan lalu pada Farrel dan Sheila.
Ternyata, Farrel sedang menyaksikannya dari tepi jalanan.
Begitu Dinda mendalami lagu tersebut.
'Ku akui ku sangat sangat menginginkanmu
Tapi kini ku sadar ku diantara kalian
Aku tak mengerti ini semua harus terjadi
Ku akui ku sangat sangat mengharapkanmu
Tapi kini ku sadar ku tak akan bisa
Aku tak mengerti ini semua harus terjadi
Lupakan aku kembali padanya
Aku bukan siapa siapa untukmu
Ku cintaimu tak berarti bahwa
Ku harus memilikimu slamanya
Ku akui ku sangat sangat menginginkanmu
Tapi kini ku sadar ku diantara kalian
Aku tak mengerti ini semua harus terjadi
Lupakan aku kembali padanya
Aku bukan siapa siapa untukmu
Ku cintaimu tak berarti bahwa
Ku harus memilikimu slamanya
Aku tak mengerti ini semua harus terjadi
Lupakan aku kembali padanya
Aku bukan siapa siapa untukmu
Ku cintaimu tak berarti bahwa
Ku harus memilikimu slamanya
Lupakan aku kembali padanya
Aku bukan siapa siapa untukmu
Ku cintaimu tak berarti bahwa
Ku harus memilikimu slamanya'
Dinda ke rumah Bu Nini. Farrel turut mengekori. Dinda kelihatan bahagia. Senyuman terukir di wajahnya, saat bertemu dengan adik adik dan Bu Nini.
Mungkin saja dia coba tuk kuat dan menganggap semuanya baik baik saja di depan Bu Nini. Dinda memang luar biasa.
"Kak. Koq Kak Farrel dan Kak Sheila udah lama gak ke sini? Mereka sibuk kerja ya?" Tanya Dodit pada Dinda.
"Iya. Mereka sibuk." Balas Dinda. "Gak ada mereka, tapi ada Kak Dinda juga bisa kan?"
"Bisa lah. Kak Dinda itu kea nadi kita. Gak ada Kak Dinda.. Hidup kita gak akan semangat dan ceria." Kata Dodit.
"Iya Kak Dinda. Kak Dinda harus selalu ke sini. Setiap hari kita selalu menanti kedatangan kakak." Giliran Mawar yang mengambil hati Dinda.
"Pokoknya Kak Dinda is the best deh! Kak Dinda itu udah seperti kakak kita yang selalu kita banggakan." Kata Melati pula.
Dinda terharu mendengarnya. Dia merapatkan ketiga adik itu.
"Apapun yang terjadi.. Kalo pun nanti kakak udah gak datang ke sini lagi.. Kalian harus janji ya. Jangan pernah menyerah untuk hidup. Kalian harus tetap kuat dan menjadi anak yang pintar. Harus berbakti pada Ibu. Bahagiain Ibu. Bikin Ibu bangga sama kalian. Ya?" Kata kata Dinda seakan satu pesanan.
"Emank kak Dinda mahu ke mana? Kak Dinda gak sayang sama kita?" Tanya Melati.
Dinda coba tuk tersenyum.
"Kakak sayang sama kalian koq. Kaka sayang banget sama kalian." Dinda memeluk ketiganya. By Nini rasa terharu. Farrel merasa seperti Dinda sedang menyembunyikan sesuatu dari mereka.
Bu Nini ada di ruang tamu. Dinda mendekatinya. Dia bersalaman dengan Bu Nini.
"Maafin Dinda, Bu. Halalkan makan minum Dinda ya, Bu. Terima kasih karna Ibu udah menerima aku dalam keluarga ini. Aku sayang sama Ibu." Tiba tiba saja Dinda jadi hiba.
"Ibu gak tau, apa yang kamu sembunyiin dari Ibu. Tapi Dinda..kamu jangan pernah memendam semua ini sendiri. Kamu harus cerita." Bu Nini memegang kepala Dinda. Dia merasakan ada yang beda.
Dinda mengumpulkan semangat untuk jujur. "Aku ada kanker, Bu. Aku ada kanker darah."
Bu Nini terkejut mendengarnya. Dia beristighfar.
"Sudah berapa lama, Dinda? Kenapa kamu gak pernah cerita ke Ibu?"
Bu Nini mengangkat kepala Dinda agar bertentangan mata.
"Aku coba untuk kuat, Bu. Tapi aku gak bisa. Aku gak kuat. Aku pengin hidup seperti orang lain, tapi nyatanya aku gak bisa. Aku cuma menghitung hari."
"Nak.. Ajal maut semua di tangan Allah. Selagi ada kesempatan untuk kamu.. Kamu pasti bisa."
Dinda menggelengkan kepalanya.
"Gak, Bu. Percuma. Karna pada hujungnya.. Aku cuma menanti hari."
Bu Nini merasa simpati pada Dinda. Pantasan saja, sejak kebelakangan ini, sikap dan tingkah Dinda sangat berbeda, tidak seperti biasa. Nyatanya, dia sedang berlawanan dengan penyakitnya.
Bu Nini menarik Dinda ke dalam pelukkannya. Dia memeluk anak itu. Dinda sudah dia anggap seperti anaknya sendiri, kakak kepada anak anak kandungnya. Kehadiran Dinda telah mewarnai kehidupan mereka, bahkan telah membantu mereka dengan begitu banyak sekali. Kenapa anak sebaik Dinda harus mengalami hal seperti ini?
-
Dinda berjalan sendiri di taman. Fikirannya begitu kusut. Memikirkan tentang penyakitnya, tentang Farrel dan Sheila. Farrel. Sheila.
Dua orang ini sudah menyakiti hatinya dengan kebohongan mereka. Kalo aja Sheila jujur dari dulu, dia pasti sudah mengundur. Tapi sekarang, dia sudah terlanjur sayang sama Farrel. Tapi.. Ada baiknya Farrel dan Sheila juga. Karna hidupnya kan gak lama. Dia gak mungkin bisa selamanya bersama Farrel. Apa dia harus ikhlas dan redha sama semuanya?
"Dinda." Farrel memanggil Dinda. Dia kini sudah berdiri di sebelah Dinda. Dinda terkejut.
"Kamu ngapain disini?" Tanya Dinda. Dia melihat sekeliling. Apakah Farrel sendiri?
"Sheila gak ada. Aku sendiri."
Dinda mengalih pandangan ke depan.
"Dinda. Aku mohon. Kamu jangan jauhin dari kita. Semakin kamu menjauh, semakin itu masalah kita gak akan selesai."
"Masalah kita memang gak akan pernah ada jalan penyelesaiannya. Hati aku terlalu sakit sama apa yang kalian lakuin. Aku gak akan bisa maafin kalian."
"Dinda.." Farrel memegang tangan Dinda. "Aku tau kamu suka sama aku. Kamu mungkin cinta sama aku. Tapi kamu perlu tau - perasaan gak bisa kita nolak. Dan..."
Dinda melepaskan pegangan Farrel. "Berapa kali kamu harus terus bilang, kalo kamu cinta sama Sheila dan gak akan pernah lepasin dia? Berapa kali, kamu harus terus menyakiti aku? Ah?"
Farrel diam.
"Kamu tenang aja Farrel. Aku gak akan ganggu hidup kalian. Aku akan pergi jauh dari hidup kalian dan gak akan pernah ada diantara kalian berdua. Itu janji aku." Ucap Dinda. Dia coba untuk tidak terlalu bawa perasaan.
Farrel semakin serba salah meski dia tak tau, di mana salahnya yang sebenar.
"Maafin aku Farrel." Dinda kemudian menapak pergi namun dia merasa pusing. Jalannya juga tak tentu arah.
"Dinda." Farrel memegang kedua bahu Dinda. "Kamu kenapa?"
Dinda menggelengkan kepalanya. Dia tak mempedulikan Farrel. Dinda berjalan namun akhirnya dia tewas juga. Dia didakap oleh Farrel.
"Dinda. Dinda." Farrel panik.
-
Farrel menunggu Dinda di luar. Dia diperiksa oleh Doktor Ian. Farrel tak mengabari Sheila, untuk saat ini. Mungkin, memang ada yang dirahsiakan Dinda, dan mungkin saja Dinda memang tak ingin Sheila tau.
Doktor Ian pun keluar. Farrel menghampirinya.
"Dok. Dinda gy mana? Apa yang terjadi sih sebenarnya? Dinda kenapa, doktor?"
Doktor Ian sekedar diam.
"Doktor. Saya perlu tau. Kalo ini bersangkutan dengan nyawa...saya harus tau kan dok? Mungkin Dinda butuh support kita. Iya kan doktor?"
"Apa yang bisa saya katakan.. Untuk saat ini, memang Dinda membutuhkan dukungan dari teman temannya. Saya tidak tau alasan Dinda untuk merahsiakan ini dari semua orang. Tapi yang pasti.. Dinda gak boleh untuk terlalu cape, terlalu banyak pikiran. Itu akan mengeruhkan lagi keadaannya.."
Farrel meraup mukanya. Sudah pasti. Sudah yakin sekali kalo ada yang tidak kena pada Dinda. Farrel kemudian masuk ke ruangan Dinda. Dia menapak perlahan ke Dinda. Dinda belum lagi sadar. Mata Farrel memandangi pada IV yang dimasukkan ke Dinda.
'Apa sebenarnya yang kamu sembunyi dari kita, Dinda?' Ucap hati kecil Farrel.
Hari demi hari dan juga malam
Dari malam aku bernapas lalu
Mengingat semua tentangmu
Saat berdua hatiku pun tergetar
Saat kau senyum hatiku pun berdebar
Ternyata bukan milikku
Berulang kali kau titip salam untuknya
Ku tak rela 'tuk menyampaikannya
Tahukah kamu, tahukah dirimu
Betapa diriku menginginkan dirimu
Pedih hatiku saat kusadari
Mencintamu yang cinta pada dia
Jari jemari Dinda mulai bergerak. Mata Dinda mulai membuka. Farrel mendekatkan diri pada Dinda.
"Dinda." Farrel memanggil dengan lembut.
"Gy mana? Kamu rasa sakit lagi? Mahu aku panggil doktor? Ah?" Tanya Farrel yang seraya itu ingin memanggil doktor, tetapi Dinda memegang tangannya.
"Gak usah. Aku gak papa koq." Ucap Dinda dengan perlahan.
Farrel menarik bangku agar dekati Dinda. Dia memandang wajah Dinda yang pucat itu.
"Aku minta maaf, Farrel."
Farrel menggelengkan kepala. "Kamu gak salah, Dinda. Aku yang salah."
"Ngak."
"Din.."
"Farrel please.. Izinin aku untuk bicara." Kata Dinda. Sangat sayu dan pilu mendengarnya. Farrel mengangguk kepala.
"Aku terlalu memaksa cinta. Mungkin.. Kamu benar. Cinta gak bisa dipaksa. Dan.. Aku harus terima. Lagian.. Aku gak mungkin bisa bahagiain kamu."
Farrel memandangi Dinda.
"Aku sakit, Farrel. Umur aku gak lama lagi."
Farrel memandang Dinda. Dia shock mendengarnya.
"Kamu ngomong apa sih? Maksud kamu apa?"
"Aku sakit. Aku menghidap leukemia."
Farrel terkejut.
"Jadi selama ini.. Kamu sering kelelahan, pengsan.. Itu karna.. Kamu sakit? Kamu sakit kanker?"
Dinda mengangguk. Airmata kian menitis.
"Aku pikir aku punya kesempatan.. Tapi aku udah terlambat."
Farrel tau apa yang dimaksudkan Dinda, iaitu kesempatan untuk dia menyatakan cinta pada Farrel.
"Tapi aku gak papa koq. Setidaknya.. Kamu tau yang aku suka sama kamu. Dan.. Kamu selamanya akan bahagia dengan Sheila."
"Apa artinya kebahagiaan, kalo kamu menderita? Melihat teman kita menderita. Itu gak bahagia buat kita, Dinda. Kenapa kamu gak pernah kasi tau ke kita, ke Sheila?"
Dinda menggelengkan kepala. "Janji sama aku, Farrel.. Jangan kasi tau Sheila. Jangan kasi tau siapa siapa."
Farrel menjadi hiba. Dia coba untuk tidak menangis. Dia malah menghapuskan airmata Dinda yang menitis.
"Siapa lagi yang tau?"
"Bu Nini. Aku baru kasi tau dia tadi." Balas Dinda.
Farrel menarik nafas dalam. "Pasti ada rawatan kan?" Tanya Farrel.
"Aku gak akan buat rawatan apapun."
"Dinda."
"Kita semua akan mati juga."
"Kamu masih muda."
"Kita akan tetap mati."
Farrel memejamkan matanya. Hatinya sakit mendengar ini.
"Farrel.." Dinda memanggil dengan lembut.
"Janji sama aku."
Farrel mengangguk perlahan. Tangan mencapai tangan Dinda dan digenggam erat.
"Aku gak mahu kehilangan kamu, Dinda. Kamu teman terbaik aku." Dan Farrel tewas. Airmatanya turut mengalir. Dinda semakin menitis airmata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilema
Short StoryMengisahkan tentang dua orang sahabat yang jatuh cinta pada orang yang sama. Dan ternyata, cowok itu juga suka sama sahabatmu.