7. Monyet dan Unta

Mulai dari awal
                                    

"Eh itu bukan Aunty yang cemen. Emang game-nya aja yang nggak jelas. Sengaja banget pengen untung gede. Curang."

"Yee, nyalahin orang. Emang Ontanya aja yang payah."

Bangcat tergelak. Aku cemberut.

"Omdev sini deh, main. Kasih liat kalau Onta yang payah, bukan salah mesinnya!"

"Harusnya kamu dong yang buktiin."

Athar mengangkat dagu. "Diwakilin Omdev dulu. Athar kan belom jadi orang gede. Tugasnya nonton sama perintah-perintah."

Aku memutar bola mata. Dasar bocah songong. Dan herannya, Pak Dokter itu mau-mau saja menurut. Dia langsung maju, memintaku untuk bergeser. Di belakangnya, aku mencibir dalam hati. Tidak mungkin dia bisa. Orang permainannya saja susah begitu, kok.

Baru saja aku akan ikut menonton bagaimana Bangcat mengambil sebuah boneka dari mesin itu, tiba-tiba ponsel di dalam tas berdering. Saat mengeceknya, ternyata ada panggilan masuk dari Tante Rahma. Sedikit menepi, aku segera mengangkatnya.

"Iya, Bos?"

"Nes, gambar desain untuk Bu Witri, belum kamu kasih Tante, kan?"

"Yang tetangga maminya Dewa di KL itu, kan? Belum. Kemarin Tante bilang kasih hari Senin aja."

"Iya, sih. Tapi udah selesai?"

"Udah seratus persen."

"Kalau gitu kamu fotoin terus kirim ke Tante bisa kan? Bisa, dong? Pasti bisa lah, ya."

"Nggak bisa, Tante." Aku berdecak. "Aku lagi di Timezone. Jadi babysitter Athar."

"Ya pulang."

"Enak aja! Ini Minggu ya, Bos ya, kalau Anda lupa. Hari merdeka."

"Please dong, Sayang. Urgent banget ini. Bu Witri minta ketemu tiga jam lagi."

"Duh Tante." Aku mengacak-acak rambut. Semakin menepi karena agar tidak menghalangi jalan orang. "Sketsanya ketinggalan di apart Bangbi. Sedangkan aku balik ke rumah Papa."

"Ya diambil. Kamu antar pulang Athar dulu, terus langsung ke apart. Jarak Timezone ke rumah orang tua kamu juga nggak jauh-jauh amat, kan?"

"Rumah Papa ke apart yang jauh, Bu Boos!"

"Nggak nyampe tiga jam, Anak Buaah!"

Aku manyun. Begini kalau Tante Rahma sudah kehabisan cara. Pasti selalu mengungkit-ungkit posisi. Membuatku tidak bisa berkutik.

"Demi bonus lho, ini."

"Iya-iya. Bos mah bebas nyuruh-nyuruh." Tante Rahma tertawa. "Udah, aku balik sekarang. Tutup dulu teleponnya. Bye."

Sambungan kuputus begitu saja. Aku mengembuskan napas kasar, sambil menyimpan kembali ponsel ke dalam tas. Saat kembali mendekati dua laki-laki beda usia itu, aku terkejut karena Athar sudah menenteng dua buah boneka seukuran genggaman tangan.

"Itu dapat dari mana, Thar?"

Athar menyengir lebar. "Omdev dapat, dong. Emang Onta? Payah!"

Aku mencebikkan bibir, melirik Bangcat sekilas. Kalau saja pria ini Bangbi, atau Bangkev, atau minimal Banggi, pasti aku sudah merengek untuk minta diajari. Tapi karena ini adalah tukang pukul yang berprofesi sebagai seorang dokter, aku tidak akan berani. Bisa langsung dilempar ke kali Ciliwung, akunya.

"Tapi Athar nggak suka bonekanya. Athar kan cowok. Jadi ini buat Omdev sama Onta aja."

Aku mendelik ke arah Athar. Bocah ini, ya Allah.

Aww-dorable You (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang