JASPER'S POV
That was a memorable sex. Bukan yang terbaik, tapi aku akan mengingat bagaimana sorot mata Cynthia, adik tiriku begitu memuja. Bagaimana pipinya bersemu saat aku menyerbu dengan rangsangan.
Wajah cantiknya mulai memerah, perlahan. Aku bisa melihatnya, pembuluh darah di kulitnya yang mulai melebar, mengalirkan darah lebih banyak ke permukaan. Flushing. Itu yang terjadi, tanda fisik dari respon tubuhnya. Detak jantungku semakin cepat saat aku mengamati perubahan itu. Aku tahu apa yang sedang terjadi, meskipun dia berusaha menahan diri. Napasnya mulai lebih dalam, teratur, namun sedikit tersekat—aku bisa mendengar sedikit rintihan yang tak terkontrol dari bibirnya.
Dua tahun aku selibat menekan keinginan. Aku tidak tersiksa sebab studiku memasuki masa-masa rawan di mana banyak rekan sejawat berguguran. Semua hasrat tertuntaskan kala aku menggempur Cynthia habis-habisan.
"Neng Cynthia kok jalannya ngangkang? Ada yang sakit?"
Aku menoleh pada Mbak Yunah. Asisten rumah tangga Tante Widya - atau aku harus menyebutnya Mama sekarang - kabarnya bukan sekadar mengurus pekerjaan rumah tapi juga merupakan pengasuh Cynthia sejak bayi. Dia pasti peka terhadap perubahan majikan kecilnya.
Cynthia tampak menahan nyeri saat berjalan. Aku ikut meringis mengingat semalam pengendalian diriku runtuh. Pagi ini aku sempat menggagahinya lagi. Her pussy got me hooked.
Cynthia melihatku yang tengah memasak sarapanku sendiri - Salmon avocado toast - langsung menggelendot dengan manja.
"Masih sakit?" tanyaku penuh empati.
"Banget. Buat pipis juga sakit," keluhnya.
Aku menepuk pelan kepalanya. Cynthia menggemaskan. 33 tahun aku dibesarkan tanpa kehadiran saudara kandung sempat membuatku berpikir menyenangkan rasanya punya kakak atau adik. Dulu aku ingin punya adik laki-laki supaya bisa dijadikan sidekick, partner in crime dalam berbagai hal. Namun punya adik perempuan semanis Cynthia juga oke. Her pussy is cute, her tits are banging, and her ass is hot.
Cynthia mendongakkan kepala. Binar di matanya tak bisa menutupi fakta bahwa dia suka padaku. Tangannya mulai iseng menjamah penisku yang ditutup celana renang ketat. "Mau," rajuknya manja.
Yeah, jangan ditanya. Aku juga ingin menelanjanginya sekarang juga lalu menyetubuhinya di meja makan hingga dia meneriakkan namaku. Namun aku bisa terlambat. Tanggung jawabku tidak boleh kalah dengan nafsu binatang.
Aku menghidangkan sarapan yang tadinya untukku ke hadapan Cynthia. "Makan."
"Mau sarapan ini," katanya seraya menekan kejantananku.
"Makan sekarang. Saya mau kasih kamu obat."
Aku meninggalkannya sejenak menuju kamar untuk mengenakan celana training yang agak longgar dan mengambil pil. Ketika kembali, Cynthia tengah sibuk mengunyah.
"Enak loh, Kak Jasper. Kakak ini multitalenta ya," pujinya seraya berdecap. Semalam bibir itu memuasaknku. Semakin lama aku menatap, semakin panas dingin aku dibuatnya. "Tampan, Mapan, Berpendidikan, dan Memuaskan."
"Cynthia..." Aku menggumamkan namanya. Tolong jangan buat aku melambung. Kelemahanku adalah pujian.
"Kak," panggil Cynthia lirih, "Habis ini sempat main lagi nggak sebelum kita berangkat?" tanyanya penuh harap.